Tafsir, dan Ilmu Tasir
A. Pengertian Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah
Secara bahasa kata Tafsir ( تفســير ) berasal dari kata فَسَّرَ yang mengandung arti: menjelaskan, menyingkap dan menampak-kan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata الفســر berarti menyingkapkan sesuatu yang tertutup [Al-Qaththan, 1992: 450 - 451].
Menurut istilah, Tafsir berarti Ilmu untuk mengetahui kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammas Saw. dan penjelasan maknanya serta pengambilan hukum dan makna-maknanya [Az-Zarkasyi, 1972: I, 13]. Definisi lain tentang pengertian Tafsir dikemukakan oleh As-Shabuni [1985: 66], bahwa Tafsir adalah Ilmu yang membahas tentang Al-Quranul-Kariem dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
PENGERTIAN ILMU TAFSIR
Definisi Ilmu Tafsir
هو علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل علي نبيه محمد (ص) وبيان معانيه وإستخراج أحكامه و حكمه .
Ilmu yang dengannya diketahui : maksud kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw.Makna-makna al-Qur’an dapat dijelaskan Hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya dapat diketahui
A.PENGERTIAN ILMU TAFSIR
Menurut Imam As Sayuthy dalam kitabnya "ITMAMUD DIRIYAH" mengemukakan bahwa Ilmu Tafsir adalah Ilmu yang membahas masalah Alquran dari segi masalah turunnya,sanadnya,caramembacanya,macam-macam lafadznya dan hukumnya.
Sedangkan menurut Abu Hajar dalam kitabnya"AL BAHRUL MUHITH" mengemukakan bahwa Ilmu Tafsir adalah Ilmu yang membahas tentang cara-cara mengucapkan lafadz Alquran dan hukum-hukumnya dalam bentuk kata tunggal.
Jadi, Ilmu Tafsir adalah Ilmu tentang cara mengucapkan lafadz-lafadz Alquran dan untuk cara memahami makna kandungannya. para ahli tafsir membagi Ilmu Tafsir menjadi 2 bagian yaitu:
1. Ilmu Riwayah : Ilmu yang bersumber dari riwayat yakni tempat turun Alquran,Ashabun Nudzu, tertibnya,Qiraatnya dan waktu turunnya.
2. Ilmu Dirayah : Ilmu yang bersumber dari dirayat yakni dengan jalan pemikiran dan penelitain seperti mengetahui lafadz yang ghaib maknanya dan mengetahui makna-maknanya yang berhubungan dengan hukum serta makna i`rabnya.
B.Cabang-cabang Ilmu Tafsir yang pokok yaitu.
1. ilmu tawarihlkin nuzul yaitu ilmu yang menjelaskan tenteng masa dan tertib turunnya ayat Alquran mulai dari pertama sampai akhir.
2. ilmu ashabun nuzul yaitu ilmu yang menerangkan tentang sebab-sebab turun suatu ayat.kitab"LUBABUN NUZUL" karangan Assayuthy adalah kitab yang memuat masalah Asbabun Nuzul.
3. Ilmu Qiraat yaitu ilmu menjelaskan tentang rupa-rupa bacaan yang berasal dari Rasulullah.
4. Ilmu I'rabil quran yaitu ilmu yang menerangkan tentang baris Alquran dan jedudukan lafadz dalam kalimat.
5. ilmu adabi tilawtil Quran yaitu ilmu yang menerangkan tentang adab membaca Alquran.
6. ilmu aqsamil quran yatiu ilmu yang menerangkan tentang arti dan maksud sumpah Allah yang terdapat dalam Alquran.
7. ilmu ma1rafat muhkam wal mutasyabih yaitu ilmu yang menerangkan tentang ayat-ayat yang muhkamat dan mutasyabihat.
8. ilmu i1jazil Quran yaitu ilmu yang menerangkan tentang kehebatan dan kekuatan susunan Alquran.
9. ilmu badi`il quran yaitu ilmu yang menerangkan tenteang keindahan dan ketinggian sastra dan balaghah Alquran.
10. ilmu amtsail quran yaitu ilmu yang menerangkan tentang pepatah-pepatah yang menjelaskanperumpamaan yang ada di dalam Alquran.
C.AHLI TAFSIR PADA MASA MUTAQADIM SAMPAI ABAD KE IV H. ahli tafsir pada masa sahabat ialah:
1. Abu Baqar As Shiddik
2. Umar bin khatab
3. Utsman bin Affan
4. Ali bin abu Thalib
5. Abdullah bin Mas`ud
6. Abdullah bin abbas
7. Ubay bin Ka`b
8. Said bin Tsabit
9. Abu musa Al Asy`ari
10. Abdullah binZubair
ahli tafsir pada masa tabi`in ialah:
1. Mujahid bin jabir
2. Said bin Jubair
3. Ikrimah
4. Atha` bin Abi Rabah
5. Iman Malik
6. Qatadah bin Di`amah
7. Masruq bin Ajda`
8. Dlahhak bin muzahin
Ahli Tafsir pada abad ke III H ialah: adapun ulama tafsir riwayah
1. Al Waqidy
2. Ishaq bin Rahawih
3. Rawahb bin Ubbadah
4. Said bin Manshur
5. Yazid bin Harun
adapun ulama tafsir dirayah ialah:
1. Al Allaf
2. Al Jhidah
3. Al Nazhzham
ahli tafsir pada abad ke IV ialah:
1. Abu Bakaar Al Asham
2. An Nadhdham
3. Al Jubay
4. Ubaidillah bin Muhammad
TAFSIR YANG TERKENAL DARI ABAD KE II SAMPAI BABAD MODERN.
Tafsir pada abad ke II adalah:
1. Tafsir As Suddy
2. Tafsir Ibnu Jurajj
3. Tafsir Muqatil
4. Tafsir Muhammad bin Ishaq
5. Tafsir Ibnu Uyainah
6. Tafsir Waki` Ibnu I`jarrah
Tafsir pada abad ke III adalah:
JAMI`UL BAYAN karangan Ibnu Jarir Ath-Thabari Tafsir pada abad ke IV adalah
kitab Syarif Al Murtatha Tafsir pada abad ke V adalah: kitab tafsir Al Kasysyaf susunan Ja`rullah Az Zumakhsyari Tafsir pada abad ke VII dan VIII H adalah:
1. Tafsir Mufatihul Ghaibi oleh Fakhudin Ar Razi
2. Al Jamili Ahkamil Quran oleh Abu Abdullah Al Qurtuby
3. Tafsir Lulabut Takwilfil Ma`anit Tanzil oleh Ali bin Muhammad
4. An Nahrul Mad oleh Ibnu Haiyan
5. Tafsir Al Hafidh ibn Katsir
Kitab Tafsir pada abad ke IX dan X H adalah;
1. Turjumanul Quran oleh As Sayuti
2. As Sirajul Munir oleh Al Khatib Asy Syarbini
3. Al Jalalain oleh Jalaludin Al Mahally dan Jalaludin As Sayuthi
Kitab Tafsir pada abad ke XI.XII danXIII H adalah:
1. Fathul Qadir oleh Asy Syaukani
2. Ruhul Ma`ani oleh Al Lusi
3. Fathul Bayan oleh Sidik Hasan Khan
4. Ruhul Bayan oleh Ismail Haqqi
5. Tafsir Al Munir oleh Muhammad Nawawi Al Jawy
Kitab tafsir pada abad modern adalah:
1. Al Jawahir oleh Thantawi Jauhari
2. Al Manar oleh As Saiyid Muhammad Rasyid Ridla
3. Al Maraghy oleh Ahmad Musthafa
4. Tafsir Al Wadhih oleh Mahmud Hijazi
5. Tafsir Fizhilalil Quran oleh Sayid Qutub
Tafsir di Indonesia yang terkenal antara lain adalah:
1. Tafsir Al Quranul Karim oleh Abdul Haklim Hasan dan Zainal Arifin Abbas
2. Tafsir Alquranul Karim oleh Mahmud Yunus dan Karim Bakry
3. Tafsir AlFurqan oleh Ahmad Hasan
4. Tafsir Al-Azhar oleh Hamka.
Sedangkan pengertian Ta’wil, menurut sebagian ulama, sama dengan Tafsir. Namun ulama yang lain membedakannya, bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173]. Sehubungan dengan itu, Asy-Syathibi [t.t.: 100] mengharuskan adanya dua syarat untuk melakukan penta’wilan, yaitu: (1) Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya [tidak bertentangan dengan syara’/akal sehat], (2) Makna yang dipilih sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Alquran].
Dari pengertian kedua istilah ini dapat disimpulkan, bahwa Tafsir adalah penjelasan terhadap makna lahiriah dari ayat Alquran yang penegrtiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki oleh Allah; sedangkan ta’wil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbathkan dari ayat Alquran berdasarkan alasan-alasan tertentu.
Sedangkan Tarjamah, secara bahasa berati memindahkan lafal dari suatu bahasa ke bahasa lain. Dalam hal ini, memindahkan lafal ayat-ayat Alquran yang berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Dalam pelaksanaannya, tarjamah terbagi kepada tiga bentuk:
1. Tarjamah Harfiah/Lafzhiah: yaitu memindahkan lafal dari suatu bahasa ke bahasa lain dengan cara memindah bahasakan kata-demi kata, serta tetap mengikuti susunan (uslub) bahasa yang diterjemahkan .
2. Tarjamah Ma’nawiah/Tafsiriah: Sebagian ulama ada yang membedakan antara tarjamah ma’nawiah dengan tarjamah tafsiriah, sedangkan sebagian lainnya menganggap keduanya adalah sama.
B. Macam-macam tafsir berdasarkan sumbernya
Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi kepada dua bagian: Tafsir Bil-Ma’tsur dan Tafsir Bir-Ra’yi. Namun sebagian ulama ada yang menyebutkannya tiga bagian.
1. Tafsir Bilma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Alquran dan/atau As-Sunnah sebagai sumber penafsirannya.
2. Tafsir Bir-Ra’yi adalah Tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber penafsirannya.
3. Tafsir Bil Isyarah, Penafsiran Alquran dengan firasat atau kemampuan intuitif yang biasanya dimiliki oleh tokoh-tokoh shufi, sehingga tafsir jenis ini sering juga disebut sebagai tafsir shufi.
ad.1. Contoh Kitab-kitab Tafsir Bil-Ma’tsur antara lain:
a. Tafsir Al-Qur’anu al-‘Azhim (القرآن العظيم), karangan Abu al-Fida’ Ismail bin Katsir al-Qarsyi al-Dimasyqy, terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir (w. 774H.)
b. Tafsir Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an(جامع البيان), karangan Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabary, dikenal dengan sebutan Ibnu Jarir At-Thabary (225 H. – 310 H.)
c. Tafsir Ma’alim al-Tanzi, (معالم التنزيل), dikenal dengan sebutan al-Tafsir al-Manqul, karangan al-imam al-Hafizh al-Syahir Muhyi al-Sunnah Abu Muhammad bin Husein bin Mas’ud bin Muhammad bin al-Farra’ al-Baghawy al-Syafi’iy, dikenal dengan sebutan Imam al-Baghawy (w. 462 H.)
d. Tafsir Tanwir al-Miqyas Min Tafsir Ibn ‘Abbas(التنوير المقياس من تفسير ابن عباس), karangan Majd al-din Abu al-ThahirMuhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar al-Syairazi al-Fairuzabadi, dikenal dengan sebutan al-fairūzâbâdi (Lahir tahun 729 H.)
e. Tafsir al-Bahr (البحر), karangan al-‘Allamah Abu al-Layts al-Samarqandy
ad.2. Contoh kitab-kitab Tafsir Bil-Ra’yi:
C. Macam-macam Tafsir berdasarkan corak penafsirannya
Corak penafsiran yang dimaksud dalam hal ini adalah bidang keilmuan yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufassir memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya pun memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya.
Berdasarkan corakm penafsirannya, kitab-kitab tafsir terbagi kepada beberapa macam. Di antara sebagai berikut:
1. Tafsir Shufi/Isyari, corak penafsiran Ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir Isyariy. Nama-nama kitab tafsir yang termasuk corak shufi ini antara lain:
a. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, karya Sahl bin Abdillah al-Tustari. Dikenal dengan Tafsir al-Tustasry.
b. Haqaiq al-Tafsir, Abu Abdirrahman al-Silmy, terkenal dengan sebutan Tafsir al-Silmy.
c. Al-Kasf Wa al-Bayan, karya Ahmad bin Ibrahim al-Naisabury, terkenal dengan nama Tafsir al-Naisabury.
d. Tafsir Ibnu Araby, karya Muhyiddin Ibnu Araby, terkenal dengan nama Tafsir Ibnu ‘Araby.
e. Ruh al-Ma’ani, karya Syihabuddin Muhammad al-Alusy, terkenal dengan nama tafsir al-Alusiy. [Ash-Shabuni, 1985: 2001]
2. Tafsir Fiqhy, corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fiqih. Dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak fiqhi ini termasuk tafsir bilma’tsur. Kitab-kitab tafsir yang termasuk corak ini antara lain:
a. Ahkam al-Qur’an, karya al-Jashshash, yaitu Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Razi, dikenal dengan nama Tafsir al-Jashshash. Tafsir ini merupakan tafsir yang penting dalam fiqh madzhab Hanafi.
b. Ahkam al-Qur’an, karya Ibnu ‘Araby, yaitu Abu Bkar Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Mu’afiri al-Andalusiy al-Isybily. Kitab tafsir ini menjadi rujukan penting dalam Ilmu fiqh bagi pengikut madzhab Maliki.
c. Al-Jami’ Li ahkam al-Qur’an, karya Imam al-Qurthuby, yaitu Abdu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Anshary al-Khazrajy al-Andalusy. Kitab ini dikenal dengan nama kitab Tafsir al-Qurthuby, yang pendapat-pendapatnya tentang fiqh cendrung pada pemikiran madzhab Maliki.
d. Al-Tafsirah al-Ahmadiyyah Fi Bayan al-Ayat al-Sayari’ah, karya Mula Geon
e. Tafsir Ayat al-Ahkam, karya Muhammad al-Sayis,
f. Tafsir Ayat al-Ahkam, karya Manna’ al-Qaththan
g. Tafsir Adhwa’ al-Bayan, karya Syeikh Muhammad al-Syinqitiy. [Manna’ al-Qaththan, 1992: 511 – 515]
3. Tafsir Falsafi, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan filsafat, termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian Ilmu Kalam. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak falsafi ini termasuk tafsir bir-Ra’yi. Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah:
a. Mafatih al-Ghaib, karya Imam Fkhruddin al-Razi yang lebih dikenal dengan nama tafsir al-Razi. Tafsir ini bercorak kalam aliran Ahlus-Sunnah.
b. Tanzih al-Qur’an ‘An al-Matha’in, karya al-Qadhi Abdul Jabbar. Tafsir ini bercorak kalam aliran Mu’tazilah. Dilihat dari segi metode yang digunakannya, tafsir ini termasuk tafsir Ijmaliy. Sedangkan dari segi sumber penafsirannya ia lebih banyak menggunakan akal, karena itu termasuk Tafsir Bir-Ra’yi.
c. Al-Kasysyaf ‘An Haqaiq al-Tanzil Wa ‘Uyun al-Aqawil Fi Wujuh al-Ta’wil, karya al-Zamakhsyary. Kitab ini dikenal dengan nama Tafsir al-Kasysyaf. Corak penafsirannya adalah kalam aliran Mu’tazilah
d. Mir’at al-Anwar Wa Misykat al-Asrar, dikenal dengan Tafsir al-Misykat, karya Abdul Lathif al-Kazarani. Tafsir ini bercorak kalam aliran Syi’ah
e. At-Tibyan al-Jami’ Li Kulli ‘Ulum al-Qur’an, karya Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan bin ‘Ali al-Thusi. Tafsir ini bercorak kalam aliran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah.
4. Tafsir Ilmiy, yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak ‘Ilmiy ini juga termasuk tafsir bir-Ra’yi. Salah satu contoh kitab tafsir yang bercorak ‘ilmiy adalah kitab Tafsir al-Jawahir, karya Thanthawi Jauhari.
5. Tafsir al-Adab al-Ijtima’i, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial kemasyara-katan. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak al-Adab al-Ijtima’ ini termasuk tafsir bir-Ra’yi. Namun ada juga sebagian ulama yang mengkategorikannya sebagai tafsir Bil-Izdiwaj (tafsir campuran), karena prosentase atsar dan akal sebagai sumber penafsiran dilihatnya seimbang.
Salah satu contoh tafsir yang bercorak demikian ini adalah Tafsir Al-Manar, buah pikiran Syeikh Muhammad Abduh yang dibukukan oleh Muhammad Rasyid Ridha.
D. Macam-macam Tafsir berdasarkan metodenya
Para ulama ahli Ulum al-Qur’an telah membuat klasifikasi tafsir berdasarkan metode penafsirannya menjadi empat macam metode. Yaitu: (1) Metode Tahlily, (2) Metode Ijmaliy, (3) Metode Muqaran, dan (4) Metode Maudhu’i. Keempat metode ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Metode Tahlily (metode Analisis)
Yaitu metode penafsiran ayat-ayat Alquran secara analitis dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya sesuai dengan bidang keahlian mufassir tersebut. Uraiannya, antara lain menyangkut pengertian kosa kata (makna mufradat), keserasian redaksi dan keindahan bahasanya (fashahah dan balaghah), keterkaitan makna ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayuat sebelum maupun sesudahnya (munasabah al-ayat) dan sebab-sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul). Demikian pula penafsiran dengan metode ini melihat keterkaitan makna ayat yang ditafsirkannya dengan penjelasan yang pernah diberikan oleh Nabi, para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama sebelumnya yang telah lebih dahulu memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut. Karena itu, kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini pada umumnya memerlukan volume kitab yang sangat besar, berjilid-jilid sampai 30 jilid banyaknya.
Penafsiran dengan metode ini dilakukan secara berurutan dan berkesinambungan terhadap ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutannya yang terdapat dalam mushhaf ‘Utsmani yang ada sekarang. Mulai dari awal surat al-Fatihah sampai dengan akhir surat an-Nas.
2. Metode Ijmaly (metode Global)
Yaitu penafsiran Alquran secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar, tapi mencakup makna yang dikehendaki dalam ayat. Dalam hal ini mufassir hanya menjelaskan arti dan maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan artinya sebatas makna yang terkait secara langsung, tanpa menyinggung hal-hal tidak terkait secara langsung dengan ayat. Tafsir dengan metode ini sangat praktis untuk mencari makna mufradat kalimat-kalimat yang gharib dalam Alquran. Di antara kitab-kitab tafsir yang termasuk menggunakan metode Ijmali ini antara lain:
a) Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, karya Muhammad Farid Wajdi,
b) Al-Tafsir al-Wasith, Produk Lembaga Pengkajian Universitas Al-Azhar, Kaero.
c) Tafsir al-Jalalain, karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahally,
d) Shafwah al-Bayan Li Ma’ani al-Qur’an, karya Syeikh Husanain Muhammad Makhlut,
e) Tafsir al-Qur’an, karya Ibnu Abbas yang dihimpun oleh Fayruz Abady,
f) At-Tafsir al-Muyassar, karya Syeikh Abdul Jalil Isa,
g) Taj al-Tafasir, karya Muhammad Utsman al-Mirghani [al-‘Aridh, 1992: 74; Baidan, 1998: 13].
3. Metode Muqaran (metode Komparasi/Perbandingan)
Tafsir dengan metode muqaran adalah menafsirkan Alquran dengan cara mengambil sejumlah ayat Alquran, kemudian mengemukakan pendapat para ulama tafsir dan membandingkan kecendrungan para ulama tersebut, kemudian mengambil kesimpulan dari hasil perbandingannya [al-‘Aridh, 1992: 75]. Namun menurut Baidan [1998: 65], Metode komparatif (muqaran) ialah:
a) Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Alquran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih; dan atau memiliki redaksi yang berbeda tentang satu kasus yang sama,
b) Membandingkan ayat Alquran dengan Hadits, yang sep-intas terlihat bertentangan,
c) Membandingkan pendapat berbagai ulama tafsir dalam menafsirkan suatu ayat.
4. Metode Maudhu’i (metode Tematik)
Yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir untuk menjelaskan konsep Alquran tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Alquran yang membicarakan tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat tersebut dikaji secara komprehensif, mendalam dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya. Baik dari segi asbabun nuzulnya, munasabahnya, makna kosa katanya, pendapat para mufassir tentang makna masing-masing ayat secara parsial, serta aspek-aspek lainnya yang dipandang penting. Ayat-ayat tersebut dipandang sebagai satu kesatuan yang integral membicarakan suatu tema (maudhu’) tertentu didukung oleh berbagai fakta dan data, dikaji secara ilmiah dan rasional.
Demikian luasnya sudut pandang yang digunakan dalam metode tafsir ini, maka sebagian ulama menyebutnya sebagai metode yang paling luas dan lengkap. Bahkan ketiga metode yang disebutkan sebelumnya, semuanya diterapkan secara intensif dalam metode ini.
Ciri utama metode ini adalah terfokusnya perhatian pada tema, baik tema yang ada dalam Alquran itu sendiri, maupun tema-tama yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, metode ini dipandang sebagai metode yang paling tepat untuk mengatasi berbagai masalah dalam kehidupan umat manusia. Karena ia dapat memberikan jawaban dengan konsep Alquran terhadap berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia.
Lebih dari itu, jawaban Alquran yang disajikan melalui metode tafsir maudhu’i ini dapat memperkecil kontroversi pemahaman tentang sesuatu masalah. Karena ayat-ayat yang ditafsirkannya dipahami secara integral, tidak parsial, sehingga pemahamannya tidak terkotak-kotak pada suatu ayat tertentu dan pendapat mufassir tertentu pula.
Kitab-kitab tafsir yang disusun dengan menggunakan metode maudhu’i, tidak didapati dalam bentuk kitab-kitab tafsir dengan metode yang lain. Karena ia sifatnya tematik, maka pemunculannya berupa buku-buku mengenai tema tertentu yang digali dari Alquran. Contohnya seperti:
Dhomir dalam ilmu tafsir
اَلضَّمِيْرُ
(Kata Ganti Orang)
A. Dhomir Munfashil
Dhomir Munfashil adalah dhomir yang penulisannya terpisah dengan kata yang lain.
Pembacaan Tabel
هُوَ Dia (Seorang laki-laki)
هُمَا Mereka (Dua orang laki-laki/perempuan)
هُمْ Mereka (Para lelaki)
أَنْتَ Kamu (Seorang laki-laki)
أنْتُمْ Kalian (Para lelaki) dst..
Contoh:
هُوَ أُسْتاَذٌ (Dia adalah seorang Ustadz)
أَنَا مسْلِمٌ (Aku adalah seorang muslim)
B. Dhomir Muttashil
Dhomir Muttashil adalah dhomir yang penulisannya bersambung dengan kata yang lain.
Pembacaan Tabel
كِتَابُهُ Bukunya (Buku milik laki-laki itu)
كِتَابُهُنَّ Buku mereka (Buku milik para perempuan itu)
كِتَابُُنَا Buku kami dst..
C. Dhomir Mustatir
Dhomir Mustatir adalah dhomir yang tidak tertulis dalam kalimat akan tetapi tersembunyi dalam suatu kata.
Fa’il Berbentuk Dhomir Dari Fi’il Madhi
Mengenal Fa’il Yang Berbentuk Dhomir
1. Fi’il Madhi
كَتَبَ: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya هُوَ
كَتَبَا: Fa’ilnya adalah alif
كَتَبُوا: Fa’ilnya adalah wawu
كتَبَتْ: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya هِيَ
كَتَبَتَا: Fa’ilnya adalah alif
كَتَبْنَ: Fa’ilnya adalah nun
كَتَبْتَ: Fa’ilnya adalah ta’
كَتَبْتُمَا: Fa’ilnya adalah ta’
كَتَبْتُمْ: Fa’ilnya adalah ta’
كَتَبْتِ: Fa’ilnya adalah ta’
كَتَبْتُمَا: Fa’ilnya adalah ta’
كَتَبْتُنَّ: Fa’ilnya adalah ta’
كَتَبْتُ: Fa’ilnya adalah ta’
كَتَبْنَا: Fa’ilnya adalah نَا
Contoh:
مُحَمَّدٌ كَتَبَ الدَّرسَ
Fa’il dari kalimat ini adalah dhomir mustatir yang taqdirnya هُوَ
الْمُسْلِمُوْنَ فَهِمُوْا الدَّرْسَ
Fa’il dari kalimat ini adalah wawu
جَلَسْتُ عَلَى الْكُرْسِيِّ
Fa’il dari kalimat ini adalah ta’
Fa’il Berbentuk Dhomir Dari Fi’il Mudhori
2. Fi’il Mudhori’
يَكْتُبُ: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya هُوَ
يَكْتُبَانِ: Fa’ilnya adalah alif
يَكْتُبُوْنَ: Fa’ilnya adalah wawu
تَكْتُبُ: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya هِيَ
تَكْتُبَانِ: Fa’ilnya adalah alif
يَكْتُبْنَ: Fa’ilnya adalah nun
تَكْتُبُ: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir taqdirnya أَنْتَ
تَكْتُبَانِ: Fa’ilnya adalah alif
تَكْتُبُوْنَ: Fa’ilnya adalah wawu
تَكْتُبِِيْنَ: Fa’ilnya adalah ya’
تَكْْتُبَانِ: Fa’ilnya adalah alif
تَكْتُبْنَ: Fa’ilnya adalah nun
أَكْتُبُ: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya أَنَا
نَكْتُبُ: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya نَحْنُ
Contoh:
مُحَمَّدٌ يَرْكَبُ الْحِصَانَ
Fa’il dari kalimat ini adalah dhomir mustatir yang taqdirnya هُوَ
الْمُمَرِّضَاتُ يَدْخُلْنَ الْمُسْتَشْفَى
Fa’il dari kalimat ini adalah nun
نَكْتُبُ الرِّسَالَةَ
Fa’il dari kalimat ini adalah dhomir mustatir yang taqdirnya نَحْنُ
Fa’il Berbentuk Dhomir Dari Fi’il Amr
3. Fi’il Amr
اُكْتُبْ: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya أَنْتَ
اُكْتُبَا: Fa’ilnya adalah alif
اُكْتُبُوْا: Fa’ilnya adalah wawu
" MUNASABAH ANTAR AYAT"
Perkataan "munasabah", menurut bahasa artinya : sesuai, cocok atau patut.
Menurut istilah di kalangan ahli Ilmu Al-Qur'an, ada macam-macam rumusannya atau pengertiannya.
Menurut Dr. Mana' Qathan dalam kitabnya yang bertitel "Mabahis fi Ulumil Qur'an" disebutkan pengertian munasabah sebagai berikut :
"Segi pertalian antara kalimat dengan kalimat dalam satu ayat atau antara ayat dengan ayat dalam banyak ayat atau antara surat dengan surat.”
Menurut definisi tersebut, segi persesuaian pada garis besarnya ada tiga macam :
Pertama : Persesuaian antar kalimat (jumlah), yaitu Persesuaian antara kalimat-kalimat dalam satu ayat.
Kedua : Persesuaian antar ayat. Artinya persesuaian antara satu ayat dengan berikutnya atau dengan ayat sebelumnya.
Ketiga : Persesuaian antar surat. Artinya persesuaian antara pembuka surat dengan penutup surat sebelumnya atau antara penutup surat dengan pembuka surat berikutnya.
PEMBAHASAN
Pengertian Munasabah Kata Munasabah secara etimologi, menurut as-Syuyuti berrarti al-Musakalah المشكلة(keserupaan) dan al-Muqabarah المقبرة (kedekatan).
•
Sedangkan menurut terminologi dapat didefinisikan sebagai berikut:
• Menurut az-Zarkasyi.
Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan pada akal, pasti akal itu menerimanya.
• Menurut Ibnu al-‘Araby
Munasabah adalah keterkaitan ayat-ayat al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi
• Menurut al-Biqai
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian al-Qur’an baik ayat dengan ayat atau surat dengan surat.
Jadi untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam al-Qur’an diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam.
As-Syuyuti menjelaskan beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu:
Memperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
Dasar Pemikiran Adanya Munasabah Diantara Ayat-ayat atau Surat-surat al-Qur’an.
As-Syitibi menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung banyak masalah, namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dan lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat atau sebaliknya. Karena bila tidak demikian akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan.
Mengenai hubungan antara satu ayat atau surat dengan ayat atau surat lain (sebelum atau sesudah) tidaklah kalah pentingnya dengan mengetahui sebab Nuzulul Ayat. Sebab mengetahui adanya hubungan antara ayat-ayat dan surat-surat itu dapat pula membantu kita memahami dengan tepat surat-surat dan ayat-ayat yang bersangkutan. Ilmu al-Qur’an ini disebut ilmu Tunasabil aayatiwasuwar.
Ilmu ini menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat atau beberapa surat al-Qur’an. Apakah hubungan itu berupa ikatan antara ‘umm’ (umum) dan khusus, atau antara abstrak dan konkrit, atau antara sebab akibat atau antara illat dan ma’kulnya ataukah antara rasional dan irrasional bahkan dua hal yang kontardiksi.
Macam-macam Munasabah Menurut as-Syuyuti dalam kitab Asror, terdapat tujuh macam munanasabah, yaitu: Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya As-Suyuti menyimpulkan bahwa munasabah antar satu surat dengan surat sebelumnya, seperti contoh dalam surat al-Fatikhah ayat 1 terdapat ungkapan Alhamdulillah. Ungkapan ini berkorelasi dengan surat al-Baqarah ayat 152 dan 186
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ (١٥٢)
152. karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu[98], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
[98] Maksudnya: aku limpahkan rahmat dan ampunan-Ku kepadamu.
Munasabah antara nama surat dan tujuan turunnya
Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol dan itu tercermein pada namanya masing-masing.
Umpamanya pada surat al-Baqarah ayat 67-71, yang menceritakan tentang lembu betina yang intinya membicarakan tentang kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan kata lain, tujuan surat ini adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan pada hari kemudian.
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ (٦٧)قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لا فَارِضٌ وَلا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ (٦٨)
67. dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?"[62] Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".
68. mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina Apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".
[62] Hikmah Allah menyuruh menyembelih sapi ialah supaya hilang rasa penghormatan mereka terhadap sapi yang pernah mereka sembah.
• Munasabah ini sering terlihat jelas tetapi sering pula tidak jelas. Munasabah yang terlihat jelas biasanya menggunakan pola ta’kid (penguat), tafsir (penjelas), i’tiradh (bantahan) dan tasdid (penegasan).
Munasabah dengan pola ta’kid yaitu apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat terletak disampingnya seperti contoh, ungkapan رب العالمين pada ayat kedua memperkuat kata الرحمن dan الرحيم pada ayat pertama.
Munasabah antara suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat disampingnya
Dalam surat al-Baqarah ayat 1-20, umpama Allah memulai penjelasan-Nya, tentang kebenaran dan fungsi al-Qur’an bagi orang-orang yang bertaqwa. Dalam kelompok ayat berikutnya dibicarakan tentang tiga kelompok manusia dan sifat mereka yang berbeda-beda yakni mukmin, kafir dan munafik.
Munasabah antar fasilah (pemisah) dan isi ayat
Jenis munasabah ini mengandung tujuan tertentu diantaranya tamkin (menguatkan) makna yang terkandung dalam suatu ayat. Seperti contoh dalam surat al-Ahzab ayat 25.
Dalam ayat ini Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan bukan karena menganggapnya lemah melainkan karena Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa. Jadi adanya Kashilah diantara penggalan ayat di atas dimaksudkan agar pemahaman terhadap ayat tersebut menjadi lurus dan sempurna.
Munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama
Munasabah semacam ini, as-Syuyuti, telah mengarang sebuah kitab yang berjudul Marasyid al-Mathali fi Tanasub al-Maqali wa al-Mathali, seperti contoh yang terdapat dalam surat al-Qashas yang diawali dengan penjelasan perjuangan Nabi Musa ketika berhadapan dengan kekejaman Fir’aun atas perintah dan pertolongan Allah, Nabi Musa berhasil keluar dari Mesir setelah mengalami berbagai tekanan. Pada akhir surat Allah menyampaikan kabar gembira kepada NAbi Muhammad yang menghadapi tekanan dari kaumnya dan janji Allah atas kemenangannya. Munasabah disini terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.
Munasabah penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya.
Jika memperhatikan setiap pembukaan surat, kita akan menjumpai munasabah dengan akhir surat sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. Seperti pada permulaan surat al-Hadid yang dimulai dengan tasbih:
Ayat ini bermunasabah dengan ayat sebelumnya yakni surat al-Waqi’ah.
Pendapat Ulama Tentang Munasabah
Syaikh Izuddin Abdus Salam, memberikan alasan beliau berkata: “munasabah adalah ilmu yang baik, tetapi dengan syarat adanya hubungan yang jelas dalam satu persoalan, menyatu antara awal dan akhirnya, keduanya sama-sama mempunyai hubungan dan apabila terjadi dalam sebab-sebab yang berbeda maka hal tersebut tidak masuk dalam syarat tersebut”.
Muhammad Izzah Daruzzah, menyatakan, bahwa semula tidak ada hubungan antara satu surat atau ayat dengan ayat atau surat yang lain.
Dr. Shubhi al-Shalik, mengemukakan bahwa mencari hubungan antara satu surat dengan surat yang lainnya adalah sesuatu yang sulait dan sesuatu yang dicari-cari tampa ada pedoman atau petunjuk, kecuali hanya didasarkan atas tertib surat-surat taukifi itu.
Hanya sedikit ulama tafsir yang mengungkapkan adanya munasabah atau relevansi antara surat-surat, mereka cukup mencari-cari adanya dua lafadz yang serupa atau adanya dua ayat yang sebanding didalam kedua surat yang berurutan letaknya, baik dua lafadz dan dua ayat yang serupa atau sebanding itu terdapat permulaan atau pertengahan maupun penghabisan surat.
Kaidah Mempelajari Ilmu Munasabah
Menggali mukjizat al-Qur’an dari segi bahasanya, sehingga kita dapat mengetahui mutu dan tingkat ke Balaghah-an bahasa al-Qur’an, sehingga dapat lebih meyakinkan bahwa al-Qur’an adalah mukjizat Allah bagi Nabi Muhammad SAW.
Memperluas balasan para musyafir untuk memahami makna yang dikandungnya sehingga akan lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap al-Qur’an.
Dapat membantu dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga mempermudah penjelasan hukum.
SEJARAH TAFSIR DAN PERKEMBANGANNYA
Tafsir Pada Masa Nabi Muhammad Saw.
Metode penafsiran Al-Qur’an pada zaman Nabi adalah penjelasan secara langsung oleh beliau sendiri, sebab orang yang paling memahami Al-Qur’an adalah Rasulullah, beliau selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya.
Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir Al-juhani berkata :
“Saya mendengar Rasulullah berkhutbah di atas mimbar membaca firman Allah: siapkan kekuatan segenap kemampuanmu untuk menghadapi musuhmu lalu beliau bersabda:
“Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”. (HR Abu Dawud, no 2516)
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori (4966) Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadanya (nanti) di surga.
Tafsir Pada Masa Shahabat.
Metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah melalui tiga macam cara;
a. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an,
b. menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah,
c. dengan kemampuan ijtihad.
2.1 Tafsir Al-Qur’an Dengan Al-Qur’an
Cara penafsirannya adalah melalui metode mujmal ditafsirkan oleh mubaiyin, muthlaq ditafsirkan oleh muqaiyad, Al-Am di tafsirkan oleh Al-Khas dan sebahagian qira-at ditafsirkan oleh qiara-at yang lain.
Contoh Al-Am di takhsis dengan Al Khash
وَالْعَصْرِ (١)إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢)إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)
1. demi masa.
2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Tafsir Al-Qur’an Dengan Sunnah Rasulullah
Cara penafsirannya adalah melalui beberapa metode, antaranya:
a. Hadits berfungsi sebagai menyatakan yang mujmal dalam Al-qur'an, taudhihil musykil, takhsihsul Am dan taqyidul Muthlaq.
b. Hadits berfungsi sebagai menyatakan makna lafadh atau yang berkaitan ayat dengan ayat dalam Al-Qur’an.
c. Hadits berfungsi sebagai menyatakan hukum tersendiri yang belum tersebut dalam Al-Qur’an.
d. Hadits berfungsi sebagai menyatakan nasakh ayat tertentu dalam Al-Qur’an.
e. Hadits berfungsi sebagai menyatakan penguatan ayat dalam Al-Qur’an
Tafsir Al-Qur’an Dengan Kemampuan Ijtihad.
Cara penafsiran melalui Ijtihad ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
1.Mengetahui kedudukan bahasa Arab dan rahasianya
2.Mengetahui adat orang Arab
3.Mengetahui kondisi kaum Yahudi dan Nashrani di kepulauan Arab pada waktu turun Al-Qur’an.
4.Mampu memahami Al-Qur’an dan mampu bernalar.
Tafsir Al-Qur’an dengan cerita Israiliyat.
Cara penafsirannya adalah melalui berita yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nashrani. Rasulullah pernah bersabda "jika dikisahkan padamu tentang Ahlul kitab maka janganlah dibenarkan dan jangan pula dianggap dusta". Maksudnya ialah supaya kaum muslimin menyelidiki dahulu kebenaran hal tersebut, setelah nyata kebenarannya barulah diambil sebagai pegangan.
Di antara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas7.
Tafsir Dan Metodenya Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir di antaranya:
1.Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jabr, Said bin Jabir, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Thawus Al-Yamany dan ‘Atha’ bin Abi Rabah.
2.Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Quradli.
3.Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qamah bin Qais, Hasan Al-Basry dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabi’in bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan di antara mereka maka pendapat tersebut tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya8.
Tafsir Dan Metodenya Pada Zaman tabi' tabi'in
Ahli sejarah berpendapat zaman ini sekitar abad ke 3 Hijriah atau zaman sesudah zaman Tabi'in. di zaman inilah munculnya para imam-imam mazhab dalam fiqh. Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini mulai mencantumkan nama guru tempat mereka mengambil hadits yang sanadnya sampai ke Rasulullah Saw. Penulis tafsir yang terkenal di zaman ini antaranya Al-Waqidi (wafat 207), sesudah itu ibnu Jarir Ath-thabarri (wafat 310)9.
Tafsir Dan Metodenya Pada Abad 4 H – 12 H
Ahli sejarah berpendapat zaman ini sekitar abad ke 4 Hijriah atau zaman sesudah zaman salaf. Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak hanya mengutip riwayat dari sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in saja tetapi telah mulai bekerja menyelidiki dan membuat perbandingan penafsiran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, di mana logika dan ilmu filsafat telah dipelajari. Buku tafsir di periode awal seperti nik wal 'uyun oleh Al-mawardi, bahrul ulum oleh samrqandi, tafsir al-bughawi dan lain-lain. Pada zaman ini banyak sekali melahirkan buku tafsir dengan berbagai gaya penafsiran seperti gaya sastra bahasa, gaya kisah-kisah, gaya filsafat, gaya teologi, gaya penafsiran ilmiah, gaya fiqih atau hukum, gaya tasawuf dan lain-lain.
1.6 Tafsir Dan Metodenya Pada Zaman Modern (12 H – 14 H)
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini sastra budaya kemasyarakatan yang mencakup berbagai hal kemasyarakatan seperti unsur kesehatan dan kejiwaan. Kebanyakan tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar10. Di antara tokoh di zaman ini Syaikh Muhammad 'Abduh, Abu A'la Al-Maududi, Sayid Qutb dan lain-lain.
Tafsir Ke dalam Bahasa Indonesia
Usaha penafsiran Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia pertama kali oleh A.Hasyim cs tahun 1936 namun tidak lengkap. Tafsir pertama yang paling lengkap dalam bahasa Indonesia oleh Pro. T.M. Hasbi Ash Shidieqy dari Aceh tahun 195611.
Terjemahan Al-Qur'an Ke Dalam Bahasa Asing
Setelah umat Islam tersebar di berbagai pelosok dunia maka keinginan untuk mengetahui Al-Qur’an dengan bahasanya sendiri semakin meningkat maka timbullah usaha untuk menterjemahkan Al-Qur’an ke berbagai bahasa dunia.
4.1 Terjemahan Al-Qur'an Ke Dalam Bahasa Barat
Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Eropa terjadi pada tahun 1135 M untuk keperluan biara Clugny, kemudian menyusul dalam bahasa Jerman oleh Boysen tahun 1773. adapun terjemahan dalam bahasa Inggris pertama kali oleh A. Ross yang merupakan terjemahan dari bahasa Perancis tahun 1647. terjemahan Al-Qur'an yang paling terkenal di dunia Barat dan Timur ialah Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur'an Text tahun 1934.
4.2 Terjemahan Al-Qur'an Ke Dalam Bahasa Indonesia
Seiring perjalanan waktu, Al-Qur'an telah diterjemahkan hampir dalam seluruh bahasa dunia, tidak terkecuali bahasa Indonesia. Al-Qur'an diterjemah ke dalam bahasa Melayu Indonesia pertama kali pada pertengahan abad 17 M oleh Abdul Rauf Fansury, seorang ulama dari singkel Aceh12.
C. Sejarah Tafsir Al-Qur’an
Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah SAW masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah SAW. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an : 1. Al-Qur’an itu sendiri karena terkadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain. 2. Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya. 3. Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’y maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah SAW.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur’an antara lain empat khalifah , Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits. Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur’an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri yaitu Mekkah dengan madrasah Ibn Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid ibn Jabir, Atha ibn Abi Ribah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani dan Said ibn Jabir. Madinah dengan madrasah Ubay ibn Ka’ab dengan murid-murid Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi, Abu al-Aliyah ar-Riyahi dan Zaid ibn Aslam dan Irak dengan madrasah Ibn Mas’ud dengan murid-murid al-Hasan al-Bashri, Masruq ibn al-Ajda, Qatadah ibn-Di’amah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan Marah al-Hamdani. Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibn Majah, Ibn Jarir at-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafis bi al-Matsur.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Mekipun begitu mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi al-ray yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyarah.
D. Bentuk Tafsir Al-Qur’an
Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur’an yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:
D.1 Tafsir bi al-Matsur
Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi SAW. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat. Contoh tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an antara lain: “wa kuluu wasyrobuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswadi minal fajri….”(QS 2, Al Baqarah:187) Perkataan minal fajri adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat al khaitil abyadhi. Contoh Tafsir Al Qur’an dengan Sunnah antara lain: “alladziina amanuu wa lam yalbisuu iimaanahum bizhulmin……”(QS Al An’am 82) Rasulullah s.a.w.menafsirkan dengan mengacu pada ayat : “innasy syirka lazhulmun ‘azhiim” (QS Luqman 13) Dengan itu Beliau menafsirkan makna zhalim dengan syirik. Tafsir-tafsir bil ma’tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma’tsur fit Tafsiri bil Ma;tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja’far An Nahhas)
D.2. Tafsir bi ar-Rayi
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metoda tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada. Contoh Tafsir bir ra’yi dalam Tafsir Jalalain: “khalaqal insaana min ‘alaq” (QS Al Alaq 2) Kata ‘alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz ‘alaqah yang berarti segumpal darah yang kental. Beberapa tafsir bir ra’yi yang terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi),Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An Nasafy, Tafsir Al Khatib, Tafsir Al Khazin.
D.3. Tafsir Isyari
menurut kaum sufi setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari. Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat: “…….Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah…..”(QS Al Baqarah 67) yang mempunyai makna zhahir adalah “……Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina…” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “….Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah…” Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, TafsirAt Tastary, Tafsir Ibnu Araby.
QIRA’AT AL-QURAN DAN MACAM-MACAMNYA
A. Pengertian
Berdasarkan etimologi (bahasa), qira`at jamak dari qira`ah, yang merupakan isim mashdar dari qara`a. Qiro’ah artinya bacaan. Adapun secara terminologi (istilah): ”Ilmu yang mempelajari tata cara manyampaikan atau membaca kalimat-kalimat al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya yang disandarkan kepada orang yang menukilnya”.
Akan tetapi dalam membicarakan definisi konsep qira`at, para ulama’ menggunakan berbagai definisi yang cukup beragam sesuai dengan paradigma yang dipakai. Namun perbedaan cara pendefinisian sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Nabi Muhammad. Adapun definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyngkut ruang lingkup pebedaan diantara beberapa qira’at yang ada. Dengan demikian, ada tiga unsur qira`at yang dapat ditangkap dari definisi di atas, yaitu:
1. Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
2. Cara pelafalan ayat-ayat al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi, sehingga bersifatnya tauqifi, bukan ijtihadi.
3. Ruang lingkup perbedaan qira`at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl.
Menurut Az-Zarqani mengistilahkan qira`at dengan: ”Suatu madzab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurro` yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baiknya itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.
B. Macam-Macam Qira’at
Pertama, macam-Macam Qira’at Dari Segi kuantitas/ jumlahnya. Adapun sebutan qira`at dari segi jumlah qira’at ada bernacam-macam. Ada yang bernama qira`at tujuh, qira`at delapan, qira`at sepuluh, qira`at sebelas, qira`at tiga belas, dan qira`at empat belas. Tetapi dari sekian macam jumlah qira`at yang dibukukan, hanya tiga macam qira’at yang terkenal yaitu:
1. Qira`at al-Sab’ah: ialah qira`at yang dinisbatkan kepada para imam qurro` yang tujuh yang masyhur. Mereka adalah: Nafi`, Ibnu Katsir, Abu Amru, Ibnu Amir, Ashim, Hamzah dan Kisa`i.
2. Qira`at ‘asyroh: ialah qira`at sab’ah diatas ditambah dengan tiga qira`at lagi, yang disandarkan kepada : Abu Ja’far, Ya’qub dan Khalaf Al-‘Asyir.
3. Qira`at arba’: ialah qira`at ‘asyrah yang lalu ditambah dengan empat qira’ah lagi, yang disandarkan kepada: Ibnu Muhaishin, Al-Yazidi, Hasan Al-Bashri dan Al-A’masy.
Dari tiga macam qira’at ini, qira’at sab’ah-lah yang paling masyhur dan terkenal, menyusul qira`at ‘asyrah.
Kedua, dari segi kualitas, berdasarkan penelitian al-Jazari, qira`at berdasarkan kualitas dapat dikelompokkan dalam lima bagian:
1. Qira`at Mutawatir, yaitu qira`at yang diriwayatkan oleh orang banyak dari orang banyak yang tidak mungkin terjadi kesepakatan di antara mereka untuk berbohong.
2. Qira`at Masyhur, yakni qira’at yang memilki sanad sahih, tetapi tidak sampai kepada kualitas mutawatir. Qira`at ini sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan Mushaf ‘Utsmani, masyhur dikalangan qurro`, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan al-Jazari, dan tidak termasuk qira`at yang keliru. Umpamanya, qira`at dari imam tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda. Sebagian perawi, misalnya, meriwayatkan dari imam tujuh itu, sementara yang lainnya tidak. Dan qira’at semacam ini, banyak digambarkan dalam kitab-ktab qira`at, misalya At-Taisir karya Ad-Dani, Qashidah karya Asy-Syatibi, Au’iyyah An-Nasyr fi Al-Qira’ah al-‘Asyr, dan An-Nasyr (kedua kitab yang terakhir ditulis Ibn Al-Jazari.
4. Qira`at Ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menylahi tulisan Mushaf ‘Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak memilki kemasyhuran, dan tidak dibaca sebagaimana ketetuan yang telah ditetapkan Al-Jazari. At-Turmudzi dalam kitab Jami’-nya dan Al-Hakim dalam Mustadrak-nya menempatkan qira`at seperti ini dalam bahasa khususnya, diantara riwayat yang dikeluarkan Al-Hakim melalui ‘Ashim Al-Jahdiri, dari Abu Bakah yang menyebutkan bahwa Nabi Saw. membaca ayat:
“Mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani yang indah”.(QS:55:76).
Qira’at versi Mushaf ‘Utsmani berbunyi:
4. Qira’at Syadz (menyimpang): yakni qira’at yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qira’at ini. Diantaranya adalah:
”Yang meguasai hari pembalasan.”
Qira’at versi Mushaf’ Utsmani berbunyi:
5. Qira’at Maudhu’(palsu), yaitu qira’at yang dibuat-buat dan disandarkan kepada seorang tanpadasar. Seperti qira’at yang disusun oleh Abu Al-Fadhl Muhammad bin Ja’far dan mensbtkannya kepada Imam Abu Hanifah. Misalnya:
Dengan merofa’kan lafdhul jalalah dan menashabkan hamzah dari kalimat (العلماء). Padahal qiro’qt yang benar adalah sebaliknya. Qira’at seperti ini tidak ada dasarnya. Dan imam Abu Hanifah bersih dari semua itu.
Qira’at jenis ini tidak boleh dipakai di dalam da di luar shalat. Bahkan harus ditolakdan diingkari keberadaannya.
6. Qira’at Syabih bi al-mudroj, yaitu qira’at yang mirip dengan mudroj dari macam-macam hadis. Dia adalah qira’at yang didalamnya ditambah kalimat sebagai tafsir dari ayat tersebut. Seperti qira’at Sa’ad bin Abi Waqqosh yang berbunyi surat an-nisa ayat 12 وَلهُ أَخٌ أوْ أ ُختٌ من أ ُمّ
Qira’at versi Utsmani berbunyi:
وَلهُ أَخٌ أوْ أ ُختٌ tanpa adanya penambahan (من أ ُمٍّ )
Tolak ukur yang dijadikan pegangan para ulama’ dalam menetapkan qira’at yang sahih adalah sebagai berikut:
a. Bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab, baik yang fasih atau paling fasih. Sebab, qora`at adalah sunnah yang harus diikuti, diterima apa
adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan pada rasio.
b. Bersesuai dengan salah satu kaidah penulisan Mushaf ‘Ustman walaupun hanya kemungkinan (ihtimal) atau mendekati. Misalnya, lafadz maliki yaumi al-din (ما لك يوم الدين), dituliskan pada semua mushaf dengan membuang alif, sehingga dibaca pendek pada lafadz maliki (ملك)
c. Memiliki sanad yang sahih atau jalan periwayatannya benar, sebab qira`at merupakan sunnah yang diikuti yang didasarkan pada penukilan dan kesahihan riwayat.
B. Penyebab Perbedaan Qira’at
Sebab-sebab munculnya beberapa qira’at yang berbeda adalah:
1. Perbedaan qira’at Nabi: artinya dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya, Nabi memakai beberapa versi qira’at. Misalnya, Nabi pernah membaca surat As-Sajdah (32) ayat 17 sebagai berikut:
2. Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum Muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut dialek diantara mereka dalam mengucapkan kata-kata didalam al-Qur’an. Contohnya:
a. Ketika seorang Hudzail membaca dihadapan Rasul atta hin, pada hal ia menghendaki hatta hin. Rasul pun membolehkannya sebab memang begitulah orang Hudzail mengucapkan dan menggunakannya.
b. Ketika orang Asadi membaca di hadapan Rasul tiswaddu wujuh, huruf ta’ pada kata tiswaddu dikasrahkan. Dan alam i’had (dikasrahkan), Rasul pun membolehkanya, sebab demikianlah orang Asadi menggunakan dan mengucapkannya.
c. Ketika seorang Tamim mangucapkan hamzah pada suatu kata yang tidak diucapkan orang Quraisy, Rasul pun membolehkannya, sebab demikianlah orang Tamim menggunakan dan mengucapkanya.
d. Ketika seorang qari’ membawa wa idza qila lahum dan qhidha al-ma’u dengan menggabungkan dhammah kepada kasrah, Rasul pun membolehkannya sebab demikianlah ia menggunakan dan mengucapkanya.
3. Adanya riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
4. Adanya lahjah atau dialek kebahasaan dikalanghan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.
D. Urgensi Mempelajari Qira`at dan Pengaruhnya dalam Mengistinbath Hukum
Perbedaan anatara satu qira`ah dan qira`ah lainnya bisa terjadi perbedaan huruf, bentuk, kata, susunan kalimat, dan lain-lain. Perbedaan ini tentu sedikit atau banyak membawa perbedaan kepada makna yang selanjutnya berpengaruh kepada hokum diistinbath. Urgensi perbedaan qir`at terhadap hukum yaitu:
1. ilmu qira`at dapat menguatkan ketentuan hokum yang telah disepakati para ‘Ulama. Misalnya, berdasarkan surat al-Nisa` ayat 12, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Namun dalam qira`at syadz, Sa’ad bin Abi Waqash memberi tambahan ungkapan min umm (من أم), sehingga dapat memperkuat dan mengukuhkan ktetapan hukum yang telah disepakati.
2. menarjih hukum yang diperselisihkan para ‘Ulama.
3. menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbea.
4. menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula.
5. dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam al-Qur’an yang mungkin sulit dipahami maknanya.
Adapun pengaruh perbedaan qira`at dalam istinbath hukum, juga memperlihatkan pengaruh. Sebagaimana dikatakan al-Zarkasyi, bahwa perbedaan dengan qira`at timbullah perbedaan dalam hukum. Beliau menyebutkan masalah batalnya wudhu` orang yang disentuh (lawan jenis) dan tidak batalnya atas dasar perbedaan qira`at pada “kamu sentuh” dan “kamu saling menyentuh”.
D. AL-SAB’AH AHRUFIN DALAM AL-QUR’AN
Ada yang berpendapat bahwa qira`at tujuh identik dengan hadis Nabi SAW. yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf. Diantara hadis Nabi yang menyatakan hal tersebut adalah
”Rasul Allah saw. bersabda: sesungguhnya al-Qur’anini diturunkan dalam tujuh huruf, bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah bagimu dari al-Qur’an”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut Shubhi al-Shalih, bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam kajian ilmu tafsir ialah tujuh macam bacaan yang diajarkan oleh Rasulallah dan tidak identik dengan qira`at al-sab’ah yang popular dalam dunia Islam.Istilah tersebut (baca: qira`at al-sab’ah) baru lahir pada penghujunng abad II H, dipelopori Ibn Mujahid.
Sedangkan kata “ahruf”, dalam hadis nabi tersebut, secara lughawi merupakan bentuk jamak dari “harf” yang bermakna musytarak (mempunyai banyak arti) dapat berarti puncak, satu ejaan huruf, tepi sesuatu, bentuk, dan sebagainya. Karena itu, sab’ah ahruf bisa diartikan tujuh bahasa, tujuh ilmu, tujuh makna, tujuh bacaan, dan tujuh bentuk . Akan tetapi, pengertian hadis tersebut Hafizh Abu ‘Amr al-Dani mengandung dua kemungkinan. Pertama, berarti “tujuh cara membaca dari berbagai bahasa”. Kedua, berarti “bacaan” sesuai dengan kebiasaan bangsa Arab menamakan sesuatu dengan salah satu bagian terpenting yang terdapat padanya dan bacaan tidak mungkin terjadi tanpa adanya huruf .
Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan huruf-huruf yang tujuh ialah segi-segi lafadz yang bermacam-macam di dalam satu kalimat dan satu makna, seperti: halumma, aqbala, ta’aala, ‘ajal, asri’, fashaddi, dan nahwiyyi . Namun sebagian besar ‘Ulama berpendapat bahwa tujuh huruf itu ialah tujuh bahasa, yang menurut Abu Ubayd terdiri atas bahasa: Quraisy, Hudzayl, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, dan Yaman. Hal ini menunjukkan banyaknya kemungkinan cara membaca al-Qur’an yang dibolehkan untuk memberi kemudahan bagi kaum muslimin yang pada pokoknya terdiri dari orang-orang arab yang menggunakan lahjah pada masa turunnya al-Qur’an. Untuk mewujudkan kemudahan ini maka terjadilah sebagian perubahan huruf, kata, kalimat, ataupun susunan kalimat dalam sebagian ayat-ayat al-Qur’an. Karena itu, ungkapan tentang al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf ini lebih tepat diartikan sebagai tujuh bentuk perbedaan bacaan al-Qur’an. Adapun secara garis besar bentuk perbedaan itu dapat diperhatikan sebagai berikut:
KESIMPULAN
Mempelajari qira`at dapat meringankan dan memudahkan bagi umat Islam semuanya. Khususnya kaum arab pada masa-masa awal yang diajak berdialog oleh al-Qur’an, padahal mereka terdiri dari banyak. Selain itu qira`at dapat membantu dalam bidang tafsir. Merupakan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad saw. atas umat-umat pendahulunya. Karena kitab-kitab yang dahulu turun hanya dengan satu segi dan dalam satu qira`ah, berbeda al-Qur’an.
A. Pengertian Asbabun Nuzul
Menurut bahasa (etimologi), asbabun nuzul berarti turunnya ayat-ayat al-Qur’an[1] dari kata “asbab” jamak dari “sababa” yang artinya sebab-sebab, nuzul yang artinya turun. Yang dimaksud disini adalah ayat al-Qur’an. Asbabun nuzul adalah suatu peristiwa atau saja yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al-Qur’an baik secara langsung atau tidak langsung.
Menurut istilah atau secara terminologi asbabun nuzul terdapat banyak pengertian, diantaranya :
1. Menurut Az-Zarqani
“Asbab an-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
2. Ash-Shabuni
“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama”.
3. Subhi Shalih
ما نزلت الآية اواآيات بسببه متضمنة له او مجيبة عنه او مبينة لحكمه زمن وقوعه
“Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi”
4. Mana’ al-Qathan
مانزل قرآن بشأنه وقت وقوعه كحادثة او سؤال
“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya al-Qur’an berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi”.
5. Nurcholis Madjid
Menyatakan bahwa asbab al-nuzul adalah konsep, teori atau berita tentang adanya sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari al-Qur’an kepada Nabi saw baik berupa satu ayat, satu rangkaian ayat maupun satu surat.
Kendatipun redaksi pendefinisian di atas sedikit berbeda semua menyimpulkan bahwa asbab an-nuzul adalah kejadian/peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut.
Mengutip pengertian dari Subhi al-Shaleh kita dapat mengetahui bahwa asbabun nuzul ada kalanya berbentuk peristiwa atau juga berupa pertanyaan, kemudian asbabun nuzul yang berupa peristiwa itu sendiri terbagi menjadi 3 macam :
1. Peristiwa berupa pertengkaran
Seperti kisah turunnya surat Ali Imran : 100
Yang bermula dari adanya perselisihan oleh kaum Aus dan Khazraj hingga turun ayat 100 dari surat Ali Imran yang menyerukan untuk menjauhi perselisihan.
2. Peristiwa berupa kesalahan yang serius
Seperti kisah turunnya surat an-Nisa’ : 43
Saat itu ada seorang Imam shalat yang sedang dalam keadaan mabuk, sehingga salah mengucapkan surat al-Kafirun, surat An-Nisa’ turun dengan perintah untuk menjauhi shalat dalam keadaan mabuk.
3. Peristiwa berupa cita-cita/keinginan
Ini dicontohkan dengan cita-cita Umar ibn Khattab yang menginginkan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat, lalu turun ayat
والتخذ وامن مقام ابراهيم مصلّى
Sedangkan peristiwa yang berupa pertanyaan dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
1. Pertanyaan tentang masa lalu seperti :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ ذِي الْقَرْنَيْنِ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُمْ مِنْهُ ذِكْرًا (٨٣)
“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya". (QS. Al-Kahfi: 83)
2. Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada waktu itu seperti ayat:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلا (٨٥)
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra’ : 85)
3. Pertanyaan tentang masa yang akan datang
¬ �
“(orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya?”
B. Macam-macam Asbab an-Nuzul
1. Dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbab an-nuzul
a. Sarih (jelas)
Artinya riwayat yang memang sudah jelas menunjukkan asbabunnuzul dengan indikasi menggunakan lafal (pendahuluan).
سبب نزول هذه الآية هذا...
Sebab turun ayat ini adalah
حدث هذا... فنزلت الآية
Telah terjadi …… maka turunlah ayat
سئل رسول الله عن كذا... فنزلت الآية
Rasulullah pernah kiranya tentang …… maka turunlah ayat.
b. Muhtamilah (masih kemungkinan atau belum pasti)
Riwayat belum dipastikan sebagai asbab an-Nuzul karena masih terdapat keraguan.
نزلت هذه الآية فى كذا...
(ayat ini diturunkan berkenaan dengan)
احسب هذه الآية نزلت فىكذا...
(saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan ……)
ما احسب نزلت هذه الآية الا فىكذا...
(saya kira ayat ini tidak diturunkan kecuali berkenaan dengan …)
2. Dilihat dari sudut pandang terbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat atau terbilangnya ayat untuk satu sebab asbab an-nuzul.
a. Beberapa sebab yang hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat
b. Satu sebab yang melatarbelakangi turunnya beberapa ayat.
C. Urgensi Asbabun Nuzul
1. Penegasan bahwa al-Qur’an benar-benar dari Allah SWT
2. Penegasan bahwa Allah benar-benar memberikan perhatian penuh pada rasulullah saw dalam menjalankan misi risalahnya.
3. Penegasan bahwa Allah selalu bersama para hambanya dengan menghilangkan duka cita mereka
4. Sarana memahami ayat secara tepat.
5. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum
6. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an
7. Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an
8. Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat serta untuk memantapkan wahyu di hati orang yang mendengarnya.
9. Mengetahui makna serta rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an
10. Seorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umum dan dalam keadaan bagaimana ayat itu mesti diterapkan.
D. Cara Mengetahui Riwayat Asbab an-Nuzul
Asbab an-nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. Oleh karena itu, tidak boleh tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatan (pentransmisian) yang benar (naql as-shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunnya ayat al-Qur’an
Al-wahidi berkata :
لا يحل القول فى اسباب نزول الكتاب الاّ بالرواية والسماع ممن شاهدواالتنزيل ووقفوا على الاسباب وبحثوا عن علمها
“Tidak boleh memperkatakan tentang sebab-sebab turun al-Qur’an melainkan dengan dasar riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan ayat itu diturunkan dengan mengetahui sebab-sebab serta membahas pengertiannya”.
Sejalan dengan itu, al-Hakim menjelaskan dalam ilmu hadits bahwa apabila seorang sahabat yang menyaksikan masa wahyu dan al-Qur’an diturunkan, meriwayatkan tentang suatu ayat al-Qur’an bahwa ayat tersebut turun tentang suatu (kejadian). Ibnu al-Salah dan lainnya juga sejalan dengan pandangan ini.
Berdasarkan keterangan di atas, maka sebab an-nuzul yang diriwayatkan dari seorang sahabat diterima sekalipun tidak dikuatkan dan didukung riwayat lain. Adapun asbab an-nuzul dengan hadits mursal (hadits yang gugur dari sanadnya seorang sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai kepada seorang tabi’in). riwayat seperti ini tidak diterima kecuali sanadnya sahih dan dikuatkan hadits mursal lainnya.
Biasanya ulama menggunakan lafadz-lafadz yang tegas dalam penyampaiannya, seperti: “sebab turun ayat ini begini”, atau dikatakan dibelakang suatu riwayat “maka turunlah ayat ini”.
Contoh : “beberapa orang dari golongan Bani Tamim mengolok-olok Bilal, maka turunlah ayat Yaa aiyuhal ladzina amanu la yaskhar qouman”.
E. Kaidah Penetapan Hukum Dikaitkan dengan Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul sangatlah erat kaitannya dengan kaidah penetapan hukum. Seringkali terdapat kebingungan dan keraguan dalam mengartikan ayat-ayat al-Qur’an karena tidak mengetahui sebab turunnya ayat. Contohnya firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 115 yang artinya :
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Firman Allah itu turun berkenaan dengan suatu peristiwa yaitu beberapa orang mukmin menunaikan shalat bersama Rasulullah saw. Pada suatu malam yang gelap gulita sehingga mereka tidak dapat memastikan arah kiblat dan akhirnya masing-masing menunaikan shalat menurut perasaan masing-masing sekalipun tidak menghadap arah kiblat karena tidak ada cara untuk mengenal kiblat.
Seandainya tidak ada penjelasan mengenai asbabun nuzul tersebut mungkin masih ada orang yang menunaikan shalat menghadap ke arah sesuka hatinya dengan alasan firman Allah surat al-Baqarah ayat 115.
KESIMPULAN
1. Asbabun nuzul adalah sebab turunnya al-Qur’an (berupa peristiwa/pertanyaan) yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut.
2. Asbabun nuzul terdiri dari kata asbab (jamak dari sababa yang artinya sebab-sebab), dan nuzul (artinya turun).
3. Macam-macam asbabun nuzul ada 2, yaitu :
a. Dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbabun nuzul meliputi sharih dan muhtamilah
b. Dari sudut pandang terbilangnya asbab an-nuzul untuk satu ayat atau terbilangnya ayat untuk satu asbab an-nuzul meliputi :
1) Beberapa sebab yang hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat
2) Satu sebab yang melatarbelakangi turunnya beberapa ayat
4. Urgensi asbabun nuzul
a. Penegasan bahwa al-Qur’an benar dari Allah
b. Penegasan bahwa Allah benar-benar memperhatikan Rasul dalam menjalankan misi risalahnya
c. Penegasan bahwa Allah selalu bersama para hambanya dengan menghilangkan duka cita mereka
d. Sarana memahami ayat secara tepat
e. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum
f. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an
Al Sual dan Al Jawab dalam Al Quran
Khalid Abd al Rahman al Akk mendefinisikan pengertian al su’al (pertanyaan) sebagai perkataan yang menjadikan permulaan. Sedangkan al jawab (jawaban) merupakan perkataan yang dikembalikan kepada si penanya.
A. Pola al-su’al dan al-jawab dalam al-Qur’an
Menurut Khalid ‘Abd al-Rahman al-‘Akk dalam Ushul al-Tafsir wa Qawaiduha bentuk-bentuk pertanyaan dan jawaban dalam al-Qur’an dibagi menjadi bebara pola, diantaranya:
a. Jawabannya bersambung (muttashil) dengan pertanyaannya, seperti dalam beberapa firman Allah berikut ini:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (٢١٥)
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 215)
b. Jawabannya terpisah (munfashil) dengan pertanyaannya, baik yang terdapat dalam satu surah maupun dalam dua surah yang berlainan. Diantara contoh pertanyaan dan jawaban yang terdapat dalam satu surah, seperti ditunjukkan oleh firman Allah berikut ini:
وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الأسْوَاقِ لَوْلا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا (٧)
“Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?” (QS. Al-Furqan: 7)
Pertanyaan di atas kemudian dijawab pada surah yang sama tetapi pada ayat yang berbeda, yaitu dalam QS. Al-Furqan: 20
“Dan kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.” (QS. Al-Furqan: 20)
Sedangkan contoh redaksi pertanyaan dan jawabn yang terdapat dalam dua surah yang berlainan, diantaranya ditunjukkan oleh firman Allah berikut ini:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمَنِ قَالُوا وَمَا الرَّحْمَنُ أَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُورًا (٦٠)
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Sujudlah kamu sekalian kepada yang Maha Penyayang", mereka menjawab:"Siapakah yang Maha Penyayang itu? apakah kami akan sujud kepada Tuhan yang kamu perintahkan kami(bersujud kepada-Nya)?", dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh (dari iman).” (QS. Al-Furqan: 60)
Pertanyaan tersebut dijawab dalam surah yang berbeda, yaitu QS. Al-Rahman: 1-4:
الرَّحْمَنُ (١)عَلَّمَ الْقُرْآنَ (٢)خَلَقَ الإنْسَانَ (٣)عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (٤)
“(Tuhan) yang Maha pemurah, Yang Telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (QS. Al-Rahman: 1-4)
c. Dua jawaban dalam surah yang berbeda untuk satu pertanyaan, seperti dalam firman Allah berikut ini:
“Dan mereka berkata: "Mengapa Al Quran Ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?" Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu?”... (QS. Zukhruf/ 43: 31-32)
Pertanyaan di atas, kemudian dijawab dengan dua jawaban dalam surah berbeda-beda, pertama pada surah sama, yaitu:
“Kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Zukhruf: 32)
Kedua, pada QS. Al-Qashshash: 68
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).”(QS. Al-Qashshash: 68)
d. Satu pertanyaan yang jawabannya tidak disebutkan, seperti dalam QS. Muhammad: 14:
أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ كَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ (١٤)
14. Maka Apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Rabbnya sama dengan orang yang (shaitan) menjadikan Dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?
“Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Rabbnya sama dengan orang yang (shaitan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?” (QS. Muhammad: 14)
e. Jawaban yang diberikan mendahului pertanyaannya, seperti pada firman Allah berikut ini:
“Shaad, demi Al Quran yang mempunyai keagungan.” (QS. Shad:1)
Ayat di atas sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang terdapat pada QS. Shad:4
“ Dan mereka heran Karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: "Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta". (QS. Shad:4)
B. Kaidah al Su’al dan al jawab dalam al Qur an
Pada dasarnya kaidah umum mengatakan bahwa pertanyaan (al-su’al) harus sesuai dengan jawaban (a-jawab), namun dalam al-Qur’an ditemukan kaidah lain yang menyatakan bahwa nemtuk jawaban yang diberikan tersebut menyimpang dari apa yang dimaksudkan oleh pertanyaan, hal ini dimaksudkan untuk memberikan peringatan kepada si penanya bahwa jawaban itulah yang seharusnya dipertanyakan. Jawaban yang demikian oleh al-Sakaky disebut sebagai al-slub al-hakim (Mohammad Nor Ikhwan, Memahami Bahasa Al-Quran, h 74). Dalam al-qur’an, kasus semacam ini seperti ditunjukkan dalam QS. Al-Baqarah/2:189:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.
Pada ayat diatas, redaksi yang digunakan adalah redaksi tanya-jawab, yaitu dengan menggunakan sighat lafazh sa’ala. Asbab al-nuzul ayat ini berkenaan dengan pertanyaan Mu’adz bin Jabal dan tsa’labah bin Ghunamah kepada Rasulullah saw: “Ya Rasulullah! Mengapa bulan sabit itu mulai timbul kecil sehalus benang, kemudian bertambah besar hingga bundar dan kembali seperti semula, tiada tetap bentuknya?” Sebagai jawabannya turunlah ayat tersebut. (K.H.Q Shaleh, Dkk, Asbabun Nuzul, h 56)
Secara logika, pertanyaan itu seharusnya dijawab dengan menerangkan proses perubahan yang terjadi pada bulan tersebut. Namun, terhadap pertanyaan yang demikian itu, jawaban yang diberikan al-qur’an kepada mereka adalah berupa penjelasan tentang hikmahnya, dengan alasan untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih penting untuk dipertanyakan adalah hikmah dari bulan sabit, bukan seperti yang mereka pertanyakan.
Jawaban al-Qur’an yang demikian itu, bisa jadi karena ada asumsi lain bahwa yang dipertanyakan tidak terpaku pada bulan sabit semata, tapi juga menginginkan manfaat atau hikmah di balik kejadian yang demikian itu. Jika memang demikian halnya, maka jawaban al-Qur’an itu tidak menyalahi kaidah umum yang berlaku. Dengan demikian, ada kesesuaian antara pertanyaan dan jawabannya.
Kadang-kadang sebuah jawaban bersifat lebih umum dari apa yang dipertanyakan karena memang demikianlah yang dikehendaki. Seperti dalam QS. Al-an’am: 64:
Katakanlah: "Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, Kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya." QS. Al-an’am: 64
Teks ayat di atas merupakan jawaban dari pertanyaan yang disebutkan pada ayat sebelumnya, yaitu:
Katakanlah: "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan rendah diri dengan suara yang Lembut (dengan mengatakan: "Sesungguhnya jika dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur"". QS. Al-an’am: 63.
Redaksi teks ayat ini secara eksplisit mempertanyakan tentang siapakah orang yang mampu menyelamatkan dari bencana yang ada di darat dan di laut. Artinya, bahwa teks ayat ini hanya menyebutkan dua bencana, yaitu di darat dan di laut. Namun jawaban yang diberikan al-Qur’an terhadap pertanyaan itu sebagaimana ditunjukkan oleh ayat sesudahnya, bahwa Allahlah yang akan menyelamatkannya dari bencana tersebut, baik di darat maupun di laut, bahkan Allah juga akan menyelamatkannya dari segala macam bentuk kesusahan. Dengan demikian, jawaban yang diberikan al-Qur’an tersebut sifatnya lebih umum dan lebih komprehensif dari yang dipertanyakan.
Ayat senada, di antaranya juga ditunjukkan dalam QS Thaha: 18:
Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, Aku bertelekan padanya, dan Aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya". (QS Thaha: 18).
Teks ayat di atas merupakan bentuk jawaban dari pertanyaan yang disebutkan pada ayat sebelumnya, yaitu:
Apakah itu yang di tangan kananmu, Hai Musa? (QS Thaha: 17).
Dalam teks ayat ini, sebenarnya Allah hanya mempertanyakan kepada Nabi Musa perihal apa yang ada di tangan kanannya. Kemudian, pertanyaan itu oleh Nabi Musa dijawab bahwa yang ada di tangan kanannya adalah tongkat. Dengan jawaban yang demikian, sebenarnya sudah mencukupi bagi si penanya dan sudah dapat dipahami, namun Nabi Musa menambahkan dalam jawabannya sesuatu yang terkait dengan fungsi tongkat tersebut, yaitu untuk bertelekan, memukul daun, dan beberapa fungsi lainnya. Hal yang demikian, dilakukan Nabi Musa karena ia merasa senang dengan pertanyaan yang dilontarkan Allah kepadanya.
Ada pula bentuk jawaban terhadap suatu pertanyaan yang diajukan bersifat lebih sempit cakupannya dari yang dipertanyakan, karena memang demikianlah yang dikehendaki. Kasus senacam ini antara lain ditunjukkan dalam QS. Yunus: 15
Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri
Ayat ini sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang disebutkan sebelumnya, pada ayat yang sama yaitu:
"Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini atau gantilah dia
Dalam teks di atas, setidaknya ada dua pertanyaan pokok, yaitu perintah untuk mendatangkan al-Qur’an lain, selain al-Qur’an yang sudah ada, dan jikalau tidak dapat maka disuruh menggantinya. Terhadap pertanyan ini, jawaban yang diberikan al-Qur’an tidak mencakup kedua hal dimaksud, tetapi hanya terfokus pada satu hal, yaitu yang terkait dengan perintah untuk menggantinya. Jawaban yang dikehendaki al-Qur’an memang demikian. Hal ini mengingat bahwa mengganti itu lebih mudah daripada menciptakan kembali. Jika mengganti saja sudah tidak mampu apalagi untuk menciptakan, pasti akan lebih sulit.
Lafazh al-sual (pertanyaan) bila dipergunakan meminta sesuatu pengertian, maka terkadang ia bermuta’addi kepada maf’ul kedua secara langsung dan terkadang dengan menggunakan kata bantu ‘an (عن). Seperti dalam QS. Al-Isyra’: 85:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isyra’: 85)
Dan apabila dipergunakan untuk meminta sesuatu benda atau yang sejenis, maka ia bermuta’addi kepada maf’ul kedua secara langsung dengan menggunakan kata bantu min (من), namun cara yang disebutkan pertama lebih banyak dipakai. Hal ini seperti ditunjukkan dalan firman Allah, sebagai berikut:
“...dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Mumthahanah: 10).
“...dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Nisa: 32)
Kedudukan akal dalam Al-Qur`an
Semenjak awal sekali Al-Qur`an telah menjelaskan bahwa Tuhan tak berharap dan tak ingin manusia menjadi malaikat; dengan segenap kekurangan, kompleksitas, dan kontradiksinya manusia mempunyai kemampuan untuk menjadi lebih daripada malaikat, dan disini akal manusia memainkan peran kunci. Al quran juga menyatakan bahwa iman akan ambruk justru ketika akal diabaikan atau dipakai secara tidak tepat.
Kalimat-kalimat Al-Qur`an yang rasional dan kerap kali bernada mendidik merupakan salah satu cirinya yang paling menonjol. Salah satu tema pokoknya adalah bahwa orang-orang mengingkari atau mendustakan ayat-ayat Allah dan merusak agama karena mereka tidak menggunakan akal. “Mereka tidak mengerti” dan “mereka benar-benar kaum yang tidak mau menggunakan akal”.
Menurut Al-Qur`an, akal dan iman adalah satu kubu, sebagai mana logika dan kepercayaan yang salah, dan kitab ini menjelaskan perbedaan nyata di antara keduanya : ”Sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dan yang salah”. Orang-orang yang paling beruntung menurut Al Qur`an adalah ”mereka yang berakal”, ”orang-orang yang mendalam ilmunya”, ”mereka yang berpikir”, dan ”mereka yang mengakui bukti-bukti yang terang”.
Dizaman modern, penekanan Al-Qur`an bahwa akal penting sekali bagi agama adalah sebuah konsep yang radikal. Konfilk antara akal dan iman hampir telah menjadi sebuah aksioma dalam ranah pemikiran modern. Secara silogistik tak ”terbukti” bahwa kepercayaan kepada tuhan selalu mengarah pada sebuah kontradiksi logika. Lebih tepatnya, konflik ini merupakan persepsi yang lahir dari pengalaman historis dan pribadi. Disatu pihak, kita mempunyai sejarah yang panjang tentang pembunuhan para filosof dan ilmuwan oleh pemegang otoritas keagamaan.
Dipihak lain, kita menyaksikan kaum rasionalis yang frustasi karena tak mampu menemukan jawaban-jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan teologis. Oleh karena itu, lebih pas bila dikatakan bahwa akal dan iman sering kali digunakan secara bertentangan, bukannya pada dasarnya berselisih. Terlepas dari bagaimana cara melakukannya, sekarang ini hanya ada segelintir tokoh dalam tradisi-tradisi monoteistik yang coba memadukan iman dan akal. Juga perlu dikemukan bahwa sebagian besar sarjana agama modern, luar biasa berhati-hati dalam menyikapi pendekatan rasional terhadap islam. Mereka tampaknya bersandar jauh lebih kuat pada hadis dibandingkan pada akal, tetapi tidak selalu demikian, terutama pada beberapa abad pertama zaman islam. Karena penekanan al Qur`an yang besar kepada akal dalam mencari iman cukuplah besar.
Al Quran mengenai pembinaan masyarakat
Ketika orang-orang Barat membangga-banggakan kemajuan Yunani dan Romawi dimasa lalu, tetap saja mereka tidak dapat menjadika kehidupan masyarakat Yunani dan Rum itu, sebagai contoh tatanan sosial yang baik untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat mereka. Seperti apa yang didamba-dambakan oleh umat Islam akan kembalinya masyarakat Madinah dalam kehidupan mereka, yang berdasarkan syari’at islam.
Berbicara tentang masyarakat yang islami , maka kita akan terbayang pada masyarakat Islam pertama di Madinah pada awal-awal perkembangan Islam dibawah bimbingan manusia yang mulia dan lihai dalam membentuk tatanan sosial yang rapi dan sempurna yaitu Rasulullah saw. dimana beliau benar-benar berhasil membangun masyarakat yang madani , yang belum ada duanya di dunia ini. Di Madinah Rasulullah telah mencontohkan dan membuktikan serta memperlihatkan kepada seluruh dunia tatanan masyarakat yang sempurna, dimana seluruh anggota masyarakat yang heterogen itu hidup damai, sejahtra, saling tenggang rasa, aman dan saling mencintai hidup rukun berdampingan walaupun mereka berbeda suku, bangsa, keyakinan dan idiologi.
Perlu ditegaskan, bahwa masyarakat pertama yang terbentuk dalam Islam adalah masyarakat di Madinah, bukan di Makka sebab kaum muslimin di Makkah masih sangat sedikit serta mereka berpencar-pencar ke beberapa daerah untuk menyelamatkan agama mereka, sehingga belum cukup kekuatan dan jumlah untuk membentuk suatu masyarakat, sehingga dalam tulisan ini dipokuskan pada langkah-langkah Rasulullah saw. dalam membina dan membentuk masyarakat Islam yang pertama di kota Madinah.
Sekilas Masyarakat Madinah Sebelum Islam
Secara geografis, kota ini datar yang dikelilingi gunung dan bukit-bukit serta beriklim gurun. Madinah merupakan pusat pemukiman masyarakat Arab yang telah ada sebelum agama Islam datang. Nama pemukiman tersebut adalah Yasrib. Dalam pandangan masyarakat Arab, Yasrib tidak mempunyai kedudukan apa-apa. Ia tidak sepenting kedudukan kota Makkah yang di dalamnya terdapat Baitullah yang disakralkan oleh seluruh masyarakat Arab.
Dilihat dari komunitas sosialnya, penduduk Madinah sangat herterogen. Secara keseluruhan, penduduk Madinah terdiri dari sebelas kelompok. Delapan kelompok itu berasal dari bangsa Arab. Adapun yang paling dominan di antara mereka ada dua suku yaitu klan (suku) Khazraj dan Aus yang berasal dari Arab bagian selatan. Mereka adalah masyarakat yang menguasai lahan pertanian di Madinah. Selain delapan kelompok bangsa Arab tersebut, terdapat juga tiga kelompok asing yang tinggal di Madinah. Mereka adalah orang-orang Yahudi yang berhijrah ke Jazirah Arabia sejak abad pertama Masehi. Mereka lebih menguasai dunia perdagangan karena mereka tinggal di pusat pemukiman Yasrib.
Hanya saja, sangat disayangkan sifat heterogenitas masyarakat Madinah ternyata tidak dapat meredam sifat keangkuhan primordialisme yang melekat pada masing-masing kelompok. Akibatnya, hampir setiap hari konflik antar suku senantiasa muncul dalam kehidupan mereka. Bahkan, konflik tersebut sering dianggap sebagai hal yang biasa. Konflik yang terus berkepanjangan membawa dampak lambannya perkembangan tingkat peradaban masyarakat Madinah.
Sebagai contoh permusuhan yang turun temurun dan bahkan sudah menjadi kebencian yang mendarahdaging antara Kabilah Aus dan Khazraj, walaupun pada dasarnya mereka masih dalam satu ikatan kekerabatan. Tetapi karena permusuhan itu sedemikian hebatnya, anak-anak mereka pun sejak lahir hingga dewasa sudah dinyatakan bermusuhan.
Konflik yang paling genting adalah konflik yang terjadi pada tahun 617-8 M yang dikenal dengan nama konflik Bu’ats. Konflik Bu’ats adalah konflik yang melibatkan hampir seluruh kelompok masyarakat Madinah. Konflik ini berawal dari semakin merosotnya peranan orang-orang Yahudi dalam kehidupan perkonomian masyarakat Madinah. Mereka mengalami dinamika kehidupan yang ditandai dengan terjadinya pergeseran peranan di antara kelompok yang ada. Keadaan ini segera dipahami oleh dua suku Arab yang paling berpengaruh, yaitu Khazraj dan Aus. Mereka akhirnya, saling berebut kedudukan untuk menggantikan posisi peranan orang-orang Yahudi dalam dunia perekonomian, perdagangan, dan kontrol terhadap pasar.
Dari segi keadaan kepercayaan penduduk Yasrib sebelum kedatangan Islam adalah sama dengan masyarakat Arab pada umumnya, yang menyembah berhala dengan mengikuti tatacara kaum Quraisy. Hanya saja kepercayaan penduduk Yasrib tidak sekuat penduduk Makkah dalam kepercayaan ini, sebab tidak kita temukan keterangan yang mengatakan bahwa penduduk kota Yasrib mempunyai patung khusus buat mereka saja, seperti Laata, Manat, uzza dan Hubal yang disembah penduduk Makkah. Pada umumnya mereka hanya menyembah patung-patung besar di luar kota Yasrib.
Metode Pembinaan Rasulullah Saw Dalam Membentuk Masyarakat Islami
Diketahui bersama bahwa ketika Rasulullah saw tiba di kota Madinah, maka bertemulah beberapa unsur kelompok masyarakat yang berbeda, yang merupakan kewajiban sekaligus tantangan bagi beliau untuk membentuknya menjadi sebuah masyarakat yang bermartabat, dibangun di atas pondasi yang kokoh, dan memiliki tata aturan yang mengatur tingkah laku dan cara pergaulan di antara mereka.
Pembentukan masyarakat Islami untuk pertama kalinya, dikerjakan sendiri oleh Rasulullah saw. Dengan demikian beliau memberi pelajaran kepada kita bagaimana seharusnya masyarakat Islam itu terbentuk, langkah-langkah apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah dalam membina masyarakat Madinah yang heterogen itu, menjadi satu keluarga besar, yang memperhatikan seluruh anggota masyakaratnya tanpa memandang asal suku dan kabilahnya. Itulah keluarga Islam "masyarakat Islam". Berikut penjelasan beberapa langkah praktis yang dilakukan oleh Rasulullah dalam membentuk masyarakat Islam itu:
1. Pembinaan Melalui Masjid
Sesampainya di Madinah, Rasulullah saw. segera menegakkan masyarakat islam yang kokoh dan terpadu, dan sebagai langkah pertama kearah itu, Rasulullah saw membangun masjid. Tidaklah heran kalu masjid merupakan asas utama dan terpenting bagi pembentukan masyarakat Islam, karena masyarakat Islam tidak akan terbentuk kokoh dan rapi kecuali dengan adanya komitmen terhadap sistem, aqidah dan tatanan Islam, hal ini hanya bisa ditumbuhkan melalui semangat masjid.
Di dalam masyarakat Islam masjid berkedudukan sebagai pusat pembinaan mental spiritual dan phisik material, tempat berhubungan dengan Tuhan sepanjang zaman, yang akan melahirkan hubungan yang kokoh antara hamba dengan Tuhannya dan akan menjadi sumber kekuatan individu-individu Muslim. Bagaimana tidak kaum muslimin diwajibkan melakukan kejama'ahan shalat fardu yang lima di masjid-masjid, dan shalat jum'at berjama'ah setiap minggu. Kejam'ahan shalat di masjid inilah yang akan membentuk jama'ah (masyarakat) Islam yang solid, menjadi kultur (adapt istiadat) perkampungan kaum muslimin, sehingga terwujud masyarakat yang "la khaufun 'alaihim walahum yahzanun".
Masjid itu bukan sekedar tempat untuk melaksanakan shalat semata, tetapi juga menjadi sekolah bagi orang-orang Muslim untuk menerima pengajaran dan bimbingan-bimbingan Islam, sebagai balai pertemuan dan tempat untuk mempersatukan berbagai unsur kekabilahan dan sisa-sisa pengaruh perselisihan semasa Jahiliyah, sebagai tempat untuk mengatur segala urusan dan sekaligus sebagai gedung parlemen untuk bermusyawarah dan menjalankan roda pemerintahan.
Kemudian diantara sistem dan prinsip islam adalah tersebarnya mahabba dan ukhuwah sesama kaum muslimin, tetapi ikatan ini tidak akan terjadi kecuali dalam masjid, dengan bertemunya kaum muslimin berkali-kali dalam sehari dimana kedudukan, kekayaan dan status sosial lainnya terhapuskan.
Dan juga sistem islam adalah terpadunya beraneka ragam latar belakang kaum muslimin dalam satu kesatuan yang kokoh diikat oleh tali Allah, ini pun bisa dilakukan bila masjid-masjid telah dibangun ditengah masyarakat muslim, karena masjid adalah tempat kaum muslimin beerkumpul mempelajari ajaran islam.
2. Pembinaan Melalui Persaudaraan Sesama Kaum Muslimin
Sebagai langkah selanjutnya, Rasulullah mempersaudarakan para sahabatnya dari kaum Muhajirin dan Anshar. Sebab masyarakat manapun, tidak akan berdiri tegak, kokoh tanpa adanya kesatuan dan dukungan anggota masyarakatnya. Sedangkan dukungan dan kesatuan tidak akan lahir tanpa adanya persaudaraan dan saling mencintai. Suatu masyarakat yang tidak disatukan oleh tali ikatan kasih sayang dan persaudaraan yang sebenarnya, tidak mungkin bersatu pada satu prinsip. Persaudaraan itu harus didasari oleh aqidah yang menjadi idiologi dan faktor pemersatu. Persaudaraan antara dua orang yang berbeda aqidah adalah mimpi dan khurafat. Oleh sebab itu Rasulullah menjadikan aqidah islamiyah yang bersumber dari Allah swt. Sebagai asas persaudaraan yang menghimpun hati para sahabatnya.
Inilah di antara buah yang dihasilkan dari perjalanan hijra yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Pelajaran yang paling berharga bagi nilai kemanusiaan dari peristiwa ini adalah pengorbanan, pembelaan, dan itsar (mendahulukan kepentingan orang lain).dasar dari persaudaraan yang dilakukan oleh Rasulullah ini tidak memandang perbedaan suku, ras, dan status social . Rasulullah memandang sama mereka yang merupakan bangsa Arab maupun non-Arab. Antara orang yang bebas dan seorang budak. Antara seorang tokoh pada suatu kabilah dengan orang biasa. Dan antara orang kaya dan miskin.
Persaudaraan yang dilakukan oleh Rasulullah diantara kaum muslimin tersebut tidak hanya antara Muhajirin dan Anshar saja, tetapi lebih luas dari itu, yakni dilakukan antara semsama orang-orang Muhajirin, dan sesame orang-orang Anshar. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah dengan maksud merekatkan hubngan antara kabilah-kabilah kaum Muhajirin dan lebih khusus merekatkan hubungan suku Aus dan suku Khazraj yang sering berperang sebelum kedatangan Rasulllah ke Madinah. Menurut Imam Abdur Rahman al-Khats'ami dalam kitabnya Ar-Raudhul Unuf menyebutkan: "maksud dari persaudaraan ini adalah untuk menghilangkan kesepian lantaran meninggalkan kampong halaman mereka, dan menghibur karena berpisah dengan keluarga, disamping agar mereka saling membantu satu sama lain".
Praktek persaudaraan sebagaimana telah dijelasakan diatas, telah menghasilkan suatu 'masyarakat Islam' yang terdiri dari bermacam-macam kabilah dan unsure-unsur yang berbeda, tetapi masing-masing anggota masyarakat itu telah melupakan asal-usul keturunan dan golongannya. Mereka hanya melihat kepada ikatan Islam yang dijadikan Rasulullah sebagai ikatan persaudaraan di antara mereka.
Untuk melihat gambaran kedekatan dan itsar di antara mereka. Allah SWT menggambarkannya dengan indah dalam al-Qur'an, surat al-hasyr ayat 9:
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (٩)
"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung." (Q.S. Al-Hasyr:9)
Rasulullah menjadikan persaudaraan Muhajirin dan Anshar sebagai asas bagi prinsip-prinsip keadilan sosial yang paling baik di dunia. Prinsip-prinsip ini kemudian berkembang dan mengikat menjadi hukum-hukum dan undang-undang syari’at yang tetap, yang berbasis pada ukhuwah islamiyah.
3. Perjanjian Kaum Muslimin Dengan Orang-orang di Luar Islam
Setelah Rasulullah mengokohkan persatuan kaum Muslimin, dan telah berhasil memancangkan sendi-sendi masyarakat Islam yang baru, dengan menciptakan kesatuan aqidah, politik dan sistem kehidupan di antara orang-orang Muslim, maka langka selanjutnya yang dilakukan oleh Rasulullah adalah menawarkan perjanjian damai kepada golongan atau pihak di luar Islam. Perhatian beliau pada saat itu adalah bagaimana menciptakan keamanan, kebahagiaan dan kebaikan bagi semua manusia, mengatur kehidupan di daerah itu dalam satu kesepakatan.
Secara garis besar perjanjian antara rasulullah dengan golongan di luar Islam yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Madinah, dapat disebutkan empat prisip hukum yang terkandung di dalamnya, yaitu :
Pertama, pada pasal pertama disebutkan bahwa Islam adalah satu-satunya faktor yang dapat menghimpun kesatuan kaum muslimin dan menjadikan mereka satu ummat. Semua perbedaan akan sirna di dalam kerangka kesatuan yang integral ini. Ini merupakan asas pertama yang harus diwujudkan untuk menegakkan masyarakat Islam yang kokoh dan kuat.
Kedua, Pada pasal kedua dan ketiga disebutkan bahwa di ntara ciri khas terpenting dari masyarakat Islam ialah, tumbuhnya nilai solodaritas serta jiwa senasib dan sepenanggungan antar kaum Muslimin. Setiap orang bertanggungjawab kepada yang lainnya baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
Ketiga, Pada pasal keenam disebutkan betapa dalamnya asas persamaan sesama kaum muslimin. Ia bungan hanya slogan, tetapi merupakan salah satu rukun syari'at yang terpenting bagi masyarakat islam yang harus diterapkan secara detil dan sempurna. Ini berarti bahwa jaminan seorang Muslim, siapapun orangnya, harus dihormati dan tidak boleh diremehkan.
Keempat, Pada pasal kesebelas disebutkan bahwa hakim yang adil bagi kaum Muslimin, dalam segala perselisihan dan urusan mereka, hanyalah syari'at dan hukum Allah swt yaitu apa yang terkandung di dalam kitab Allah swt dan sunnah Rasul-Nya. Jika mereka mencari penyelesaian bagi problematika mereka kepada selain sumber ini maka mereka berdosa dan terancam kesengsaraan di dunia dan siksa Allah swt di akhirat.
Dutsur yang dibuat oleh Rasulullah saw ini, berdasarkan wahyu Allah swt dan ditulis para sahabatnya kemudian dijadikan undang-undang dasar yang disepakati kaum muslimin dan tetangganya yaitu Yahudi dan Arab Badui yang belum masuk Islam, merupakan bukti nyata bahwa masyarakat Islam sejak awal pertumbuhannya tegak berdasarkan undang-undang yang sempurna, bahwa masyarakat Islam sejak awal telah ditopang oleh perangkat perundang-undangan dan manajemen yang diperlukan setiap masyarakat atau negara. Dari sini tertolaklah tuduhan orang-orang yang mengatakan bahwa Islam hanya mengataur hubungan manusia dengan Rabbnya.
Pembinaan Masyarakat
Manusia adalah makhluq sosial, dia tak bisa hidup seorang diri, atau mengasingkan diri dari kehidupan bermasyarakat. Dengan dasar penciptaan manusia yang memikul amanah berat menjadi khalifah di bumi, maka Islam memerintahkan ummat manusia untuk saling ta’awun, saling tolong-menolong, untuk tersebarnya nilai rahmatan lil alamin ajaran Islam. Maka Islam menganjurkan ummatnya untuk saling ta’awun dalam kebaikan saja dan tidak dibenarkan ta’awun dalam kejahatan ( QS Al Maaidah:2)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلا الْهَدْيَ وَلا الْقَلائِدَ وَلا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٢)
2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah[389], dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram[390], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya[391], dan binatang-binatang qalaa-id[392], dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya[393] dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
[389] Syi'ar Allah Ialah: segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadat haji dan tempat-tempat mengerjakannya.
[390] Maksudnya antara lain Ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan Ihram., Maksudnya Ialah: dilarang melakukan peperangan di bulan-bulan itu.
[391] Ialah: binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka'bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih ditanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadat haji.
[392] Ialah: binatang had-ya yang diberi kalung, supaya diketahui orang bahwa binatang itu telah diperuntukkan untuk dibawa ke Ka'bah.
[393] Dimaksud dengan karunia Ialah: Keuntungan yang diberikan Allah dalam perniagaan. keredhaan dari Allah Ialah: pahala amalan haji.
Oleh karena itu manusia selalu memerlukan oranglain untuk terus mengingatkannya, agar tak tersesat dari jalan Islam. Allah SWT mengingatkan bahwa peringatan ini amat penting bagi kaum muslimin.
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (Adz Dzariyat: 55)
Bahkan Allah SWT menjadikan orang-orang yang selalu ta’awun dalam kebenaran dan kesabaran dalam kelompok orang yang tidak merugi hidupnya. (QS: Al Ashr: 1-3). Maka hendaknya ummat Islam mngerahkan segala daya dan upayanya untuk senantiasa mengadakan tashliihul mujtama’, perubahan ke arah kebaikan, pada masyarakat dengan memanfaatkan peluang, momen yang ada.
Jika kita berada di bulan Ramadhan maka bisa melakukan ta’awun, misalnya dengan saling membangunkan untuk sahur, mengingatkan pentingnya memanfaatkan waktu selama menjalankan puasa. Mengingatkan agar jangan menyia-nyiakan puasa dengan amalan yang dilarang syari’at, dsb. Di bulan Syawal, lebih ditingkatkan lagi dengan hubungan sosial yang berkelanjutan, mengesankan. Bulan Dzulhijjah juga momen penting untuk merajut kembali benang-benang ukhuwah. Tentu saja hari-hari selain itu perlu kita tegakkan aktivitas-aktivitas sosial yang memang merupakan seruan Islam.
1. Silaturahim
Islam menganjurkan silaturahim antar anggota keluarga baik yang dekat maupun yang jauh, apakah mahram ataupun bukan. Apalagi terhadap kedua orang tua. Islam bahkan mengkatagorikan tindak “pemutusan hubungan silaturahim” adalah dalam dosa-dosa besar.
“Tidak masuk surga orang yang memutuskan hubungan silaturahim” (HR. Bukhari, Muslim)
2. Memuliakan tamu
Tamu dalam Islam mempunyai kedudukan yang amat terhormat. Dan menghormati tamu termasuk dalam indikasi orang beriman.
“…barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR. Bukhari, Muslim)
3. Menghormati tetangga
Hal ini juga merupakan indikator apakah seseorang itu beriman atau belum.
“…Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya” (HR. Bukhari, Muslim)
4. Saling menziarahi.
Rasulullah SAW, sering menziarahi para sahabatnya. Beliau pernah menziarahi Qois bin Saad bin Ubaidah di rumahnya dan mendoakan: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu serta rahmat-Mu buat keluatga Saad bin Ubadah”. Beliau juga berziarah kepada Abdullah bin Zaid bin Ashim, Jabir bin Abdullah juga sahabat-sahabat lainnya. Ini menunjukkan betapa ziarah memiliki nilai positif dalam mengharmoniskan hidup bermasyarakat.
“Abu Hurairah RA. Berkata: Bersabda Nabi SAW: Ada seorang berziyaroh pada temannya di suatu dusun, maka Allah menyuruh seorang malaikat (dengan rupa manusia) menghadang di tengah jalannya, dan ketika bertemu, Malaikat bertanya; hendak kemana engkau? Jawabnya; Saya akan pergi berziyaroh kepada seorang teman karena Allah, di dusun itu. Maka ditanya; Apakah kau merasa berhutang budi padanya atau membalas budi kebaikannya? Jawabnya; Tidak, hanya semata-mata kasih sayang kepadanya karena Allah. Berkata Malaikat; Saya utusan Allah kepadamu, bahwa Allah kasih kepadamu sebagaimana kau kasih kepada kawanmu itu karena Allah” (HR. Muslim).
5. Memberi ucapan selamat.
Islam amat menganjurkan amal ini. Ucapan bisa dilakukan di acara pernikahan, kelahiran anak baru, menyambut bulan puasa. Dengan menggunakan sarana yang disesuaikan dengan zamannya. Untuk sekarang bisa menggunakan kartu ucapan selamat, mengirim telegram indah, telepon, internet, dsb.
Sesungguhnya ucapan selamat terhadap suatu kebaikan itu merupakan hal yang dilakukan Allah SWT terhadap para Nabinya dan kepada hamba-hamba-Nya yang melakukan amalan surga. Misalnya;
“Sampaikanlah kabar baik, kepada mereka yang suka mendengarkan nasihat dan mengikuti yang baik daripadanya” (Az Zumar: 17).
“Maka Kami memberi selamat kepada Ibrahim akan mendapat putra yang sopan santun (sabar)”. (Al Maidah: 101),
Rasulullah SAW juga memberikan kabar gembira (surga) kepada para sahabatnya semisal, Abu bakar RA, Umar bin Khaththab RA, Utsman RA, Ali RA, dsb.
6 Peduli dengan aktivitas sosial.
Orang yang peduli dengan aktivitas orang di sekitarnya, serta sabar menghadapi resiko yang mungkin akan dihadapinya, seperti cemoohan, cercaan, serta sikap apatis masyarakat, adalah lebih daripada orang yang pada asalnya sudah enggan untuk berhadapan dengan resiko yang mungkin menghadang, sehingga ia memilih untuk mengisolir diri dan tidak menampakkan wajahnya di muka khalayak.
“Seorang mukmin yang bergaul dengan orang lain dan sabar dengan gangguan mereka lebih baik dari mukmin yang tidak mau bergaul serta tidak sabar dengan gangguan mereka” (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Ahmad).
7. Memberi bantuan sosial.
Orang-orang lemah mendapat perhatian yang cukup tinggi dalam ajaran Islam. Kita diperintahkan untuk mengentaskannya. Bahkan orang yang tidak terbetik hatinya untuk menolong golongan lemah, atau mendorong orang lain untuk melakukan amal yang mulia ini dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama.
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (Al Maa’un: 1-3).
BERINTERAKSI DENGAN NON MUSLIM
-Muamalah dengan yang setimpal.
- Tidak mengakui kekufuran mereka
- Berbuat yang adil terhadap mereka dan menahan diri dari mengganggu mereka.
- Mengasihani mereka dengan rohamh insaniyah.
- Menumjukkan kemuliaan akhlaq muslim dan izzah Islam.
Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa Islam menuntut ummatnya untuk menerapkan perilaku-perilaku kebaikan sosial. Untuk lebih luas lagi dapat dikatakan bahwa wujud nyata atau buah dari seorang mu’min yang rukuk, sujud, dan ibadah kepada Allah SWT adalah dengan melakukan aktivitas kebaikan. Seorang yang menyatakan diri beriman hendaknya senantiasa menyuguhkan , menyajikan kebaikan-kebaikan di tengah masyarakat. Jika setiap orang yang beriman rajin melakukan hal ini, maka lingkungan kita akan “surplus kebaikan”. Dus, defisit keburukan.
Sementara yang terjadi sekarang adalah tata kehidupan sosial masyarakat yang “surplus keburukan”. Seseorang tidak akan merasa aman membawa uang dalam jumlah besar di jalan raya, di bus kota. Orang tidak tenang meninggalkan hartanya tanpa adanya sistem keamanan yang ketat. Fenomena seperti orang mudah sekali terprovokasi untuk anarkhi, mudah sekali berkelahi, masalah kecurangan, tipu menipu dalam perdagangan, dan sebagainya yang meliputi di hampir setiap bidang kehidupan kita. Semua membuat sesaknya nafas kehidupan ini. Memang sebenarnya negara ini bukan disesakkan oleh jumlah penduduknya tetapi akhlaq yang buruklah yang menyesakkan dada.
Atas dasar inilah harus dibuat arus kebaikan, budaya kebaikan, sehingga orang mudah menemukan kebaikan dimana saja dia berada. Seseorang mudah mendapatkan salam dan senyum ketika bertemu orang lain walaupun belum saling kenal, tidak mudah curiga terhadap yang lain, banyak orang yang mampu menahan marah, mendapati orang suka berbuat baik, menolong dsb. Kondisi kehidupan seperti ini layaknya kehidupan zaman Rasulullah SAW, ataupun para salafush sholeh, dimana banyak orang berbuat baik tanpa disuruh dan diminta, hanya kerena mengharap ridho Allah SWT semata. Kita masih ingat kisah dua orang di zaman salafush shaleh, sedang mengadakan tarnsaksi jual beli sebidang tanah. Tanah telah dibeli oleh seorang pembelinya dan diolah tanah tersebut, ternyata dia mendapatkan sebatang emas dalam timbunan tanah tsb. Lantas dikembalikannya emas itu kepada si penjual, tapi ditolaknya, lantaran dia telah menjual semuanya apapun didalamnya. Namun si penemu emas (pembeli) tak bersedia menerima kembali karena dia hanya bermaksud membeli tanah. Terjadilah cek-cok saling menolak batangan emas. Akhirnya diadukan ke qodli, dan diputuskan dengan adil. Orang yang menemukan emas menikahkan anak laki-lakinya dengan anak perempuan si penjual tanah, dengan mahar emas tsb. Maka selesailah masalah.
Demikianlah jika setiap kita suka berlomba dalam kebaikan maka dampaknya, yang akan menikmati hasilnya adalah kembali ke kita juga. Yaitu sebuah kehidupan yang kita impikan, surplus kebaikan.
Di zaman sekarang ini surplusnya kebaikan hanya terjadi dalam waktu dan tempat yang tertentu saja. Misalnya hanya di bualan Ramadhan saja orang menahan marah, suka shodaqoh, jujur, dsb, dan setelah itu amalan tersebut langka. Di tempat tertentu misalnya hanya di seputar Ka’bah ketika bulan Hajji, di sana sering didapatkan orang memberikan uangnya kepada siapa saja yang ditemuinya, bahkan ada yang menyebarnya. Di Kuwait ketika Ramadhan telah tiba, saat menjelang ifthor, banyak warga yang membuka warung makan dan mempersilakan siapa saja untuk ifthor di sana, gratis!
Sungguh nikmat jika adat seperti itu berjalan di sepanjang waktu dan di setiap tempat. Namun yang terjadi setelah bulan itu berlalu, kehidupan berjalan sebagaimana yang sebelumnya.
Untuk itu hanya orang-orang mu’minlah satu-satunya manusia harapan untuk menciptakan peradaban seperti itu.
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Al Hajj: 77).
BAHAYA MIRAS
Miras atau minuman keras merupakan cairan yang mengandung zat alkohol dalam jumlah besar dan beberapa zat lainnya yang berfungsi menimbulkan efek santai (fly) terhadap otak jika diminum dalam takaran tertentu. Efek santai yang dimaksud adalah timbulnya semacam halusinasi dan perasaan nyaman dan terbebas dari tekanan (stress) dan tanggung jawab. Cairan atau minuman ini telah terbukti merusak fisik berupa ganguan pada pencernaan (lambung, liver, dan usus) serta kecanduan (adiktif). Selain itu, kehidupan social seseorang juga akan rusak. Karena ketika mabuk akibat minuman keras, seseorang menjadi kehilangan kendali dan tidak dapat mengontrol diri. Dampak sosialnya dia akan dijauhi dan dianggap berbahaya bagi masyarakat. Di lingkungan masyarakat yang mayoritas muslim, pecandu miras akan mendapat resistensi (penolakan) karena dianggap pelaku maksiat.
Konsumsi Miras adalah Tindakan Pidana
Dalam Islam, minuman keras diwakili oleh istilah khamr. Khamr secara bahasa berarti menutup. Karena itu, minuman khamr akan menutup akal seseorang. Biasanya khamr berupa cairan yang terbuat dari perasan buah anggur atau kurma yang difermentasikan sehingga memberi efek mabuk (sukr) bagi yang meminumnya. Masyarakat Arab, tempat Al Qur’an turun, sangat akrab dengan minuman ini. Bagi mereka, minuman yang memberi efek santai ini hampir menjadi konsumsi sehari-hari. Saat itu, seakan-akan mustahil untuk menghilangkan kebiasaan ini dari kehidupan orang Arab. Inilah yang menjadi salah satu sebab sehingga larangan meminum khamr dalam Al Qur’an turun secara bertahap sebanyak tiga kali.
Ayat pertama:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (٢١٩)
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir,” (QS Al Baqarah [2]: 219).
Dalam ayat ini, tampak bahwa Al Qur’an secara halus merubah paradigma masyarakat pada waktu itu tentang khamr. Ungkapan “pada keduanya terdapat dosa dan beberapa manfaat” merupakan langkah persuasif Al Qur’an yang tidak serta merta melarang khamr sehingga dapat menimbulkan penolakan.
Ayat kedua
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
43. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
[301] Menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat ini termuat juga larangan untuk bersembahyang bagi orang junub yang belum mandi.
Larangan shalat dalam keadaan mabuk sebagaimana dalam ayat ini menampakkan cara Al Qur’an mempersempit ruang bagi para pecandu yang otomatis mengurangi secara bertahap kebiasaan buruk mereka.
Ayat ketiga:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٩٠)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maidah [5]: 90).
Larangan pada ayat ini bersifat final. Ketika masyarakat secara mayoritas dianggap sudah mampu menerima larangan dan meninggalan khamr, maka tidak lagi ada dispensasi. Sejak ayat ini turun, minuman khamr atau mabuk karena khamr menjadi tindak pidana (had) yang mendapatkan ancaman hukuman 80 kali dera/cambuk.
Miras dan Budaya Masyarakat
Dalam masyarakat tertentu masih terdapat kebiasaan merayakan suatu keberhasilan dengan berpesata minuman keras. Atas hasil melaut, bertani, panen kebun, dan sebagainya yang seharusnya disyukuri dengan mengeluarkan zakat, justru menjadi ajang pesta pora dengan meminum minuman keras. Untuk mengontrol dan mengendalikan efek negatif dari kebiasaan ini, diperlukan upaya bersama antara pemerintah (ulul amr) dengan ulama. Dari aspek ketertiban umum, pemerintah seharusnya dapat meminimalisir aktivitas seperti ini. Di lain pihak, peran ulama dan dai (juru dakwah) dibutuhkan dalam rangka memahamkan kepada masyarakat mengenai kedudukan atau hukum khamr dalam Islam. Seperti telah disebutkan, khamr merupakan tindak pidana yang diancam dengan hukuman berat (80 kali cambuk). Ancaman ini sesuai dengan efek dan bahaya yang ditimbulkan dari pengaruh minuman tersebut.
Miras Oplosan
Perkembangan yang memprihatinkan saat ini adalah kecanduan pada miras ini semakin tinggi. Bahkan beberapa kalangan menganggap pengaruh santai yang ada pada minuman keras standar masih kurang. Mereka menginginkan lebih. Maka muncul ide untuk mencampur miras yang standar dengan bahan dan zat lain yang dianggap dapat lebih “mengeraskan” minuman tersebut. Miras hasil campuran ini populer disebut “miras oplosan”. Akibatnya, minuman oplosan ini telah memakan banyak korban jiwa. Di Manado, Indramayu, dan di Bali sudah puluhan orang meninggal karena miras oplosan ini.
Kini dapat direnungkan betapa syariah Islam yang telah membuat rambu-rambu tertentu berupa hudud (tindak-tindak pidana) jika dilanggar benar-benar menimbulkan bahaya besar di kalangan masyarakat. Upaya sistematis untuk menggolkan pelarangan miras secara tegas adalah perjuangan (jihad) yang harus dilakukan oleh para legislator muslim. Mandat yang diperoleh dari rakyat dalam pemilu harusnya benar-benar digunakan untuk melindungi dan memakmurkan kehidupan masyarakat baik dari aspek sosial, budaya, terlebih kegamaan
________________________________________
Memahami Makanan/Minuman Halal
Sehat dan bergizi
Allah Swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الأرْضِ حَلالا طَيِّبًا وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (١٦٨)
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dan baik dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata. (QS al-Baqarah [2]: 168).
Makan adalah kebutuhan jasmani yang harus dipenuhi. Halal dan baik (halâl[an] thayyib[an]) merupakan syarat utama saat kita mengkonsumsi makanan. Karena itu, mengetahui makanan halal sangat penting; tidak hanya bagi orangtua, yang bertugas menyediakan makanan untuk anak-anak, tetapi juga bagi anak-anak. Mereka harus mulai dikenalkan dengan makanan halal atau haram agar lebih berhati-hati saat mengkonsumsinya. Bagaimana mengenalkan makanan halal dan haram kepada anak? Tulisan berikut akan memberikan beberapa kiatnya.
Beberapa Kiat
1. Mengenalkan label halal.
Usahakan untuk selalu membeli makanan yang sudah mendapatkan sertifikat halal dari mulai makanan ringan, jajanan anak-anak sampai memilih rumah makan ketika akan bersantap dengan keluarga. Label halal biasanya berbentuk lingkaran kecil di sudut atas atau bawah kemasan. Di dalamnya terdapat kata halal untuk makanan dalam kemasan dan keterangan (sertifikat halal) dalam bentuk lembaran kertas untuk restoran-restoran atau makanan yang tidak dikemas. Sertifikat halal ini dikeluarkan oleh POM MUI. Meski tidak berarti yang tidak berlabel halal adalah makanan yang haram, mengenalkan label halal penting demi mendidik anak untuk berhati-hati sebelum membeli.
2. Mengenalkan kandungan makanan. Ajari anak-anak untuk mengamati setiap kandungan makanan yang tercantum dalam kemasan. Jika di dalamnya mengandung bahan yang meragukan, seperti gelatin, misalnya, pastikan bahwa yang tercantum adalah gelatin yang berasal dari sapi. Gelatin biasanya terdapat pada makanan yang lembut dan sedikit kenyal, seperti permen lunak, es krim, dan puding. Tiga jenis makanan ini termasuk makanan favorit anak-anak. Karena itu, dengan mengenalkan komposisi kandungan, anak-anak terdidik untuk berhati-hati sebelum mengkonsumsi makanan.
3. Memperlihatkan poster barang haram.
Poster anti narkoba, misalnya, bisa kita lihat dimana-mana; di berbagai media (massa/elektronik) atau di jalan-jalan raya. Gunakan sarana itu untuk mengenalkan kepada anak makanan yang haram, di antaranya narkoba berikut berbagai bahaya yang ditimbulkan. Narkoba dapat mengganggu kesehatan, melemahkan perasaan dan merusak moral serta menghancurkan generasi. Dengan memperlihatkan poster semacam itu, anak-anak telah dididik sedari dini untuk mewaspadai makanan/zat yang haram.
4. Menunjukkan makanan yang haram saat Berbelanja.
Sekali waktu, ajaklah anak berbelanja di pasar atau supermarket. Jika ada makanan haram yang di jual di sana, tunjukkanlah kepada mereka. Amatilah baik-baik, misalnya, perbedaan antara daging sapi dan babi; mulai dari warna, tekstur dan sebagainya yang menunjukkan perbedaan itu. Selain daging segar, kepada anak-anak juga bisa diperlihatkan beberapa makanan kaleng yang mengandung bahan babi. Selain makanan, anak juga bisa dikenalkan dengan minuman-minuman beralkohol yang haram dikonsumsi, yang biasanya dijual di supermaket besar; seperti macam-macam bir atau minuman haram lainnya. Tekankan kepada anak-anak bahwa semua itu dilarang oleh Islam dan haram untuk dikonsumsi.
5. Mengunjungi pameran produk halal.
Jika ada kesempatan, ajaklah anak-anak mengunjungi pameran produk halal. Di tempat pameran akan disajikan makanan dan minuman yang biasanya sudah mendapat sertifikat halal. Anak akan menjadi lebih tahu, ternyata tidak sedikit makanan halal yang bisa dikonsumsi. Anak juga bisa bertanya langsung kepada orang-orang yang menjaga setiap stand sekaligus meminta penjelasan tentang produk makanan yang dipamerkan. Dengan cara itu, anak-anak terbiasa memperhatikan makanan halal dan makin menyadari betapa pentingya soal ini.
6. Membacakan ayat dan hadis.
Mengenalkan makanan halal dan haram juga bisa dilakukan dengan mengenalkan dalil-dalil tentang makanan yang bersumber dari al-Quran atau Hadis Rasulullah saw. Ajaklah anak untuk membaca, mengkaji dan kalau mungkin menghapalkan ayat-ayat dan hadis tersebut. Contohnya ayat berikut:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٣)
Ddiharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.. (QS al-Maidah [5]: 3).
[394] Ialah: darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam surat Al An-aam ayat 145.
[395] Maksudnya Ialah: binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas adalah halal kalau sempat disembelih sebelum mati.
Contoh lain adalah sabda Rasulullah saw. berikut:
الْبَحْرُ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“ Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. “
(HR at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad).
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنْ سُحْتٍ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
Tidak akan masuk surga siapa saja yang dagingnya tumbuh dari makanan yang haram. Neraka lebih utama untuknya. (HR Ahmad).
7. Menanamkan kehalalan melalui cara mendapatkannya.
Selain kiat di atas, penting juga diajarkan kepada anak, bahwa makanan yang halal tidak hanya dilihat dari zatnya saja, tetapi juga cara memperolehnya. Makanan yang zatnya halal, tetapi didapat dengan cara yang haram, menjadi haram juga. Misal, ayam goreng yang halal dimakan, jika didapat dengan cara mengambil bekal temannya saat makan siang di sekolah, menjadi haram. Dengan cara ini, anak juga dididik sedari dini untuk mendapatkan rezeki dengan cara yang halal selalu. Dengan begitu, bibit-bibit korupsi dan tindak kejahatan menyangkut harta lain dengan cara ini sesungguhnya sudah dilibas mulai dari akarnya.
8. Mengenalkan makanan halal melalui kegiatan makan bersama.
Cara lain yang cukup efektif mengenalkan makanan halal kepada anak-anak adalah saat makan bersama. Sebelum acara makan dimulai, ajaklah anak-anak mengamati makanan masing-masing. Selain dari kandungan gizinya dan manfaatnya untuk pertumbuhan anak, jelaskan juga sisi kehalalan. Tanamkan rasa syukur dengan makanan yang sudah tersedia, sekaligus juga ajarkan tentang adab makan dan minum sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.: membaca doa sebelum makan, menggunakan tangan kanan, tidak berbicara saat makan, tidak mencela makanan dan sebagainya.
9. Menunjukkan makanan haram melalui tivi.
Mengenalkan makanan haram kepada anak, selain bisa dilakukan secara langsung juga dapat melalui media, misalnya televisi. Di film-film biasanya terdapat adegan orang yang mabuk karena meminum minuman beralkohol. Sampaikan bahwa khamr (minuman beralkohol) haram diminum. (Lihat: QS al-Maidah [5]: 90).
10. Mengikuti perkembangan info halal.
Ada majalah khusus yang dikeluarkan POM MUI yang bisa kita dapat. Kita juga biasa mengakses langsung melalui internet. Dengan begitu, kita tidak akan tertinggal informasi tentang perkembangan makanan halal, sekaligus kita akan lebih mudah dalam mencari produk halal. Ajaklah anak-anak untuk turut memperhatikan atau membaca media itu. Akan lebih menyenangkan jika anak juga sekali waktu diajak untuk surfing di internet untuk mengetahui makanan yang halal.
Kepemimpinan Dalam Al-Qur'an
Itulah ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul, dan kepada Ulil Amri yang beriman dan menjalankan syari’at Allah dan Sunnah Rasul.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58-59)
“Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Itulah ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul, dan kepada Ulil Amri yang beriman dan menjalankan syari’at Allah dan Sunnah Rasul. Lalu perkara-perkara yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Allah dan Rasul. Semua ini adalah syarat iman kepada Allah dan Hari Akhir. Sebagaimana ia merupakan tuntutan iman kepada Allah dan Hari Akhir. Jadi, tidak ada iman sama sekali manakala syarat ini tidak terpenuhi. Tidak ada iman, dan pada gilirannya dampaknya yang pasti pun tidak mengikuti.
Setelah nash ini meletakkan masalah pada posisi kondisionalnya, maka sekali lagi nash menghadirkannya dalam bentuk “nasihat” dan motivasi, seperti yang dilakukannya terhadap perintah menunaikan amanah dan berlaku adil, yang kemudian disusul dengan nasihat dan motivasi.
“Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Yang demikian itu lebih baik bagi Anda, dan lebih baik akibatnya. Lebih baik di dunia, juga lebih baik di akhirat. Lebih baik akibatnya di dunia, juga lebih baik akibatnya di akhirat. Jadi, bukan hanya menggapai ridha Allah dan pahala akhirat—dan itu merupakan berkara yang sangat, tetapi mengikuti manhaj itu juga dapat mewujudkan kebaikan dunia dan akibat yang baik bagi individu dan jama’ah di kehidupan yang dekat ini.
Sesungguhnya manhaj ini berarti “seseorang” menikmati kelebihan-kelebihan manhaj yang diletakkan Allah baginya. Allah yang Maha Menciptakan, Mahabijaksana, Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha Mengenal. Manhaj yang terbebas dari kebodohan, hawa nafsu, kelemahan, dan syahwat manusia. Manhaj yang tidak mengandung nepotisme kepada satu individu, satu kelompok, satu bangsa, satu ras, satu generasi. Karena Allah adalah Rabb bagi semua orang. Allah Subhanah tidak terkontaminasi oleh keinginan memihak kepada satu individu, atau satu strata sosial, atau satu bangsa, atau satu ras, atau satu generasi.
Inilah manhaj yang di antara keistimewaannya adalah dibuat oleh yang menciptakan manusia, yang mengetahui hakikat fitrahnya dan kebutuhan-kebutuhan yang hakiki bagi fitrah ini. Sebagaimana Dia mengetahui seluk-beluk jiwanya, sarana-sarana untuk berbicara kepadanya dan memperbaikinya. Sehingga manusia tidak terjebak dalam kebingunan saat mencari manhaj yang sesuai, dan Allah swt. tidak membebani manusia dengan harga dari uji coba-uji coba yang keras. Sementara mereka terjebak dalam kebingunan tanpa petunjuk!
Cukuplah bagi mereka melakukan uji coba dalam bidang kreasi dan inovasi material sesuka hari, karena bidang tersebut sangat luas bagi akal manusia. Dan cukuplah bagi akal mereka untuk berusaha menerapkan manhaj ini, dan mengetahui letak-letak analogi dan ijtihad mengenai hal-hal yang diperselisihkan akal.
Inilah manhaj yang di antara keistimewaan adalah dibuat oleh Pencipta alam semesta tempat manusia tinggal. Jadi, Dia menjamin untuk manusia manhaj yang kaidah-kaidahnya sesuai dengan hukum alam. Sehingga manusia tidak perlu berkonflik dengan hukum alam, tetapi justeru berdampingan dengannya dan memanfaatkannya. Manhaj memberinya petunjuk tentang semua ini dan melindunginya.
Inilah manhaj yang di antara keistimewaannya adalah—selain memberinya petunjuk dan melindunginya—manhaj ini juga memuliakannya dan memberi ruang bagi akalnya untuk bekerja di dalam manhaj. Yaitu ruang ijtihad untuk memahami nash-nash yang ada, disusul dengan ijtihad untuk mengembalikan masalah yang tidak diredaksikan kepada nash-nash atau kepada prinsip-prinsip umum agama ini. Dan selain itu ada ruang yang orisinil bagi akal manusia, yaitu ruang penelitian ilmiah terhadap alam semesta dan ruang kreasi dan inovasi material.
“Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Sehabis menetapkan kaidah universal ini dalam syarat iman dan batasan Islam, juga dalam aturan pokok umat Islam, dan manhaj penetapan syari’at dan prinsip-prinsipnya, maka konteks beralih kepada orang-orang yang menyimpang dari kaidah ini, kemudian sesudah itu mereka mengklaim sebagai orang yang beriman! Padahal mereka melanggar syarat iman dan batasan Islam, karena mereka ingin bermahkamah kepada selain syari’at Allah, yaitu kepada Thaghut, padahal mereka diperintahkan untuk mengingkarinya.
Konteks beralih kepada mereka untuk memandang aneh sikap mereka. Juga untuk mengingatkan mereka dan orang-orang seperti mereka tentang keinginan setan untuk menyesatkan mereka. Konteks mendeskripsikan kondisi mereka ketika diajak mengikuti Allah dan Rasul-Nya lalu mereka menolak. Penolakan ini dianggap sebagai sikap hipokrit. Sebagaimana konteks menganggap keinginan mereka untuk bermahkamah kepada thaghut sebagai tindakan keluar dari iman—bahkan sejak awal dianggap tidak masuk ke dalamnya. Sebagaimana konteks menjelaskan alasan-alasan mereka yang lemah dan palsu untuk mengikuti langkah yang aneh ini, ketika bencana dan musibah ditimpakan pada mereka. Meski demikian, Rasulullah saw diinstruksikan untuk menasihati mereka. Dan penggal ini ditutup dengan penjelasan tentang tujuan Allah mengutus para Rasul.
Pembinaan pribadi
Sisi yang harus dibangun pada pribadi muslim adalah sebagai berikut:
A. Ruhiyah (Ma’nawiyah)
Aspek ruhiyah adalah aspek yang harus mendapatkan perhatian khusus oleh setiap muslim. Sebab ruhiyah menjadi motor utama sisi lainnya, hal ini bisa kita simak dalam firman Allah SWT di Surat Asy-Syams : 7-10
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sungguh sangat beruntung orang yang mensucikannya dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya,” (QS. Asy Syams: 7-10).
Dan dalam surat Al Hadid ayat 16:
“Belumkah datang waktunya untuk orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka berdzikir kepada Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Alkitab di dalamnya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik ” QS. Al-Hadid:16).
Ayat-ayat di atas memberikan pelajaran kepada kita akan pentingnya untuk senantiasa menjaga ruhiyah, kerugian yang besar bagi orang yang mengotorinya dan peringatan keras agar kita meninggalkan amalan yang bisa mengeraskan hati. Bahkan tarbiyah ruhiyah adalah dasar dari seluruh bentuk tarbiyah, menjadi pendorong untuk beramal saleh dan dia juga memperkokoh jiwa manusia dalam menyikapi berbagai problematika kehidupan.
Aspek-aspek yang sangat terkait dengan ma’nawiyah seseorang adalah:
a. Aspek Aqidah. Ruhiyah yang baik akan melahirkan aqidah yang lurus dan kokoh, dan sebaliknya ruhiyah yang lemah bisa menyebabkan lemahnya aqidah. Padahal aqidah adalah suatu keyakinan yang akan mewarnai sikap dan tingkah laku seseorang. Oleh sebab itu kalau ingin aqidahnya terbangun dengan baik maka ruhiyahnya harus dikokohkan. Jadi ruhiyah menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan seorang muslim karena dia akan mempengaruhi bangunan aqidahnya.
b. Aspek akhlaq. Akhlaq adalah bukti tingkah laku dari nilai yang diyakini seseorang. Akhlaq merupakan bagian penting dari keimanan. Akhlaq juga salah satu tolok ukur kesempurnaan iman seseorang. Terawatnya ruhiyah akan membuahkan bagusnya akhlaq seseorang. Allah swt dalam beberapa ayat senantiasa menggandengkan antara iman dengan berbuat baik. Rasulullah saw pun ketika ditanya tentang siapakah yang paling baik imannya ternyata jawab Rasulullah saw adalah yang baik akhlaqnya (”ahsanuhum khuluqan”)
أي المؤمنين افضل إيمانا ؟ قال احسنهم خلقا. رواه ابو داود والترمذى والنسائ والحاكم.
“Mukmin mana yang paling baik imannya? Jawab Rasulullah ” yang paling baik akhlaqnya” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i)
Bahkan diutusnya Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- pun untuk menyempurnakan akhlaq manusia sehingga menjadi akhlaq yang islami
َ إًَِنما بعثت لأتمم مكا رم الأخلاق
Tolok ukur dan patokan baik dan tidaknya akhlaq adalah al-Qur’an. Itulah sebabnya akhlaq keseharian Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- merupakan cerminan dari Al-Qur’an yang beliau yakini. Hal ini terbukti dari jawaban Aisyah ra ketika ditanya tentang bagaimana akhlaq Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- , jawab beliau “Akhlaq Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- adalah al-Qur’an.
كان خلقه القرآن
c. Aspek tingkah laku. Tingkah laku adalah cerminan dari akhlaq yang melekat pada diri seseorang….
B. Fikriyah (’Aqliyah)
Kepribadian Islami juga ditentukan oleh sejauh mana kokoh dan tidaknya aspek fikriyah. Kejernihan fikrah, kekuatan akal seseorang akan memunculkan amalan, kreativitas dan akan lebih dirasa daya manfaat seseorang untuk orang lain. Fikrah yang dimaksud meliputi:
a. Wawasan keislaman. Sebagai seorang muslim menjadi keniscayaan bagi dia untuk memperluas wawasan keislaman. Sebab dengan wawasan keislaman akan memperkokoh keyakinan keimanan dan daya manfaat diri untuk orang lain.
b. Pola pikir islami. Pola pikir islami juga harus dibangun dalam diri seorang muslim. Semua alur berpikir seorang muslim harus mengarah dan bersumber pada satu sumber yaitu kebenaran dari Allah swt. Islam sangat menghargai kerja pikir ummatnya. Di dalam al-Qur’an pun sering kita jumpai ayat ayat yang menganjurkan untuk berpikir: “afala ta’qiluun, afala tatafakkaruun, la’allakum ta’qiluun, la’allakum tadzakkaruun,”
افلا تعقلون ,أفلا تذكرون, افلا تتفكرون, لعلكم تعقلون,لعلكم تذكرون
Seorang muslim harus senantiasa menggunakan daya pikirnya. Allah mewujudkan fenomena alam untuk dipikirkan, beraneka macamnya tingkah laku manusia sampai adanya aneka pemikiran dan pemahaman manusia hendaknya menjadi pemikiran seorang muslim. Tetapi satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa tujuan berpikir tidak lain adalah untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah –subhânahu wa ta`âlâ- bukan sebaliknya.
c. Disiplin (tepat) dan tetap (tsabat) dalam berislam. Sungguh kehidupan ini tidak terlepas dari ujian, rintangan dan tantangan serta hambatan. Ujian tersebut tidak akan berakhir sebelum nafasnya berakhir. Oleh sebab itulah untuk menghadapinya perlu tsabat dalam berpegang pada syariat Allah swt.
“dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hijr: 99)
Di surat Ali Imran: 102 Allah SWT menjelaskan,
“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu sebenar-benar taqwa. Dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran: 102)
Begitu pentingnya tsabat dijalan Allah, sampai Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- mengajarkan do’a kepada ummatnya, sebagai berikut:
اللهم يا مقلب القلوب ثبت قلوبنا على دينك (رواه الترمذى)
“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, kokohkanlah hati-hati kami untuk tetap berada pada agamaMu “
C. Amaliyah (Harokiyah)
Di antara sisi yang harus dibangun pada pribadi muslim adalah sisi amaliyahnya. Amaliyah harakiah yang merubah kehidupan seorang mukmin menjadi lebih baik. Hal ini penting sebab amaliyah adalah satu di antara tiga tuntutan iman dan Islam seseorang. Tiga tuntutan tersebut adalah: al-iqror bil- lisan (ikrar dengan lisan), at-tashdiq bil-qalb ( meyakini dengan hati), dan al-amal bil jawarih (beramal dengan seluruh anggota badan). Jadi tidak cukup seseorang menyatakan beriman tanpa mewujudkan apa yang diyakininya dalam bentuk amal yang nyata.
“Maka katakanlah “beramallah kamu niscaya Allah dan RasulNya serta orang-orang beriman akan melihat amalanmu itu. Dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. at-Taubah: 105)
Umat Islam dituntut oleh Allah –subhânahu wa ta`âlâ- untuk menunaikan sejumlah amal, baik yang bersifat individual maupun yang kolektif bahkan kewajiban yang sistemik. Kewajiban individual akan lebih khusyu’ dan lebih baik pelaksanaannya jika ditunjang dengan sistem yang kondusif. Shalat, puasa , zakat dan haji misalnya akan lebih baik dan lebih khusyu’ kalau dilaksanakan di tengah suasana yang aman tenteram dan kondusif. Apalagi kewajiban yang bersifat sistemik seperti dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar, jihad dsb, mutlak memerlukan ketersediaan perangkat sistem yang memungkinkan terlaksananya amal tersebut.
Pentingnya amaliyah harakiah dalam kehidupan seorang mukmin laksana air. Semakin banyak air bergerak dan mengalir semakin jernih dan semakin sehat air tersebut. Demikian juga seorang muslim semakin banyak amal baiknya, akan semakin banyak daya untuk membersihkan dirinya, sebab amalan yang baik bisa menjadi penghapus dosa. Simaklah QS. Huud: 114
“Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam, sesungguhnya perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan yang buruk (dosa), itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”. (QS. Huud: 114)
Ada sedikitnya tiga alasan kenapa seorang harus beramal:
1. Kewajiban diri pribadi.
Sebagai hamba Allah tentunya harus menyadari bahwa dirinya diciptakan bukan untuk hal yang sia-sia. Baik jin dan manusia Allah ciptakan untuk tujuan yang amat mulia yaitu untuk beribadah, menghamba kepada Allah –subhânahu wa ta`âlâ-. Amalan adalah bentuk refleksi dari rasa penghambaan diri kepada Dzat yang mencipta.
“Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah” (QS. Adz Dzaariyaat: 56)
Di samping itu pertanggungjawaban di depan mahkamah Allah nanti bersifat individu. Setiap individu akan merasakan balasan amalan diri pribadinya.
“Dan bahwasanya manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna” (QS. an-Najm: 39-41).
2. Kewajiban terhadap keluarga.
Keluarga adalah lapisan kedua dalam pembentukan ummat. Lapisan ini akan memiliki pengaruh yang kuat baik dan rusaknya sebuah ummat. Oleh sebab itulah seseorang dituntut untuk beramal karena terkait dengan kewajiban dia membentuk keluarga yang Islami, sebab tidak akan terbentuk masyarakat yang baik tanpa melalui pembentukan keluarga yang baik dan islami.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS. At-Tahrim :6)
Setiap muslim seharusnya mampu membentuk keluarga yang berkhidmat untuk Islam, seluruh anggota keluarga terlibat dalam amal islami di seluruh bidang kehidupan.
3. Kewajiban terhadap dakwah.
Beramal haraki bagi seorang muslim bukan hanya atas tuntutan kewajiban diri dan keluarganya saja, akan tetapi juga karena tuntutan dakwah. Islam tidak hanya menuntut seseorang saleh secara individu tapi juga saleh secara sosial.
“dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah:71)
“dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Ma’ruf adalah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
Juga di dalam surat Fushshilat ayat 33:
“siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat: 33)
SEJARAH TAFSIR DAN PERKEMBANGANNYA
Secara etimologi tafsir bisa berarti: الايضاح والبيان (penjelasan), الكشف (pengungkapan) dan كشف المراد عن اللفظ المشكل (menjabarkan kata yang samar ). 1 Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya. 2
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat periode yaitu :
Pertama, Tafsir Pada Zaman Nabi.
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44). Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman Allah :
وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة
kemudian Rasulullah bersabda :
ألا إن القوة الرمي
“Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.
Tafsir Pada Zaman Shohabat
Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya.
Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah.
Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist marfu’. 3 Atau paling kurang adalah Mauquf.
Tafsir Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:
1)- Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
2)- Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli. Dan 3)- Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya.
Tafsir Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya. Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in. Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat
غير المغضوب عليهم ولاالضالين
ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni. Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya. Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.
Metode Penafsiran
Metode penafsiran yang banyak dilakukan oleh para mufassir adalah:
Pertama, Tafsir Bil Ma’tsur atau Bir-Riwayah
Metode penafsirannya terfokus pada shohihul manqul (riwayat yang shohih) dengan menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan sunnah, penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para sahabat dan penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Yang mana sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada. Dan penafsiran seperi inilah yang sangat ideal yang patut dikembangkan. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah :
1. Tafsir At-Tobary ((جامع البيان في تأويل أى القران terbit 12 jilid
2. Tafsir Ibnu Katsir (تفسير القران العظيم ) dengan 4 jilid
3. Tafsir Al-Baghowy (معالم التنزيل )
4. Tafsir Imam As-Suyuty (الدر المنثور في التفسير بالمأثور ) terbit 6 jilid.
Kedua, Tafsir Bir-Ra’yi (Diroyah).
Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Ar-Ro’yu al Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa syarat diantaranya:
1)- Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Qur’an dan as-sunnah
2)- Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil ma’tsur, Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya.
Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini diantaranya :
1. Tafsir Al-Qurtuby (الجامع لأحكام القران )
2. Tafsir Al-Jalalain (تفسير الجلالين)
3. Tafsir Al-Baidhowy (أنوارالتنزيل و أسرار التأويل).
Ar-Ro’yu Al- mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela / dilarang), karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pegambilan hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilali syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para ahli bid’ah yang sengaja menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak dilakukan oleh ahli tafsir priode sekarang ini. Diantara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah:
1. Tafsir Zamakhsyary (الكشاف عن حقائق التنزيل و عيون الأقاويل في وجوه التأويل )
2. Tafsir syiah “Dua belas” seperti (مرأة الأنوار و مشكاة الأسرار للمولي عبد اللطيف الكازاراني ) jugaمع البيان لعلوم القران لأبي الفضل الطبراسي
3. Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah seperti tafsir حقائف التفسير للسلمي و عرائس البيان في حقائق القران لأبي محمد الشيرازي
SYARAT DAN ADAB PENAFSIR AL-QUR’AN
Untuk bisa menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:
1)- Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an.
2)- Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
3)- Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an, kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in.
4)- Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa arab“.
5)- memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah,
6)- Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.
Adapun adab yang harus dimiliki seorang mufassir adalah sebagai berikut :
1. Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. Karena seluruh amalan tergantung dari niatannya (lihat hadist Umar bin Khottob tentang niat yang diriwayatkan oleh bukhori dan muslim diawal kitabnya dan dinukil oleh Imam Nawawy dalam buku Arba’in nya).
2. Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
3. Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang lebih baik.
4. Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.
5. Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
6. Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai dari asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari sudut balagho, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri dengan mengistimbat hukum atau faedah yang ada pada ayat tersebut.
CONTOH KITAB TAFSIR DAN METODOLOGI PENULISANNYA
Nama Kitab : جامع البيان في تفسير أي القران atau yang lebih dikenal dengan tafsir al-Tabary. Pengarangnya : Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thobary (224 – 310 H) Jumlah jilid : 12 jilid besar.
Keistimewaannya : Tafsir ini merupakan referensi bagi para mufassirin terutama penafsiran binnaqli/biiriwayah. Tafsir bil aqli karena istinbath hukum, penjabaran berbagai pendapat dengan dan mengupasnya secara detail disertai analisa yang tajam. Ia merupakan tafsir tertua dan terbagus.
Metodologi Penulisannya:
Penulis menafsirkan ayat al-Qur’an dengan jelas dan ringkas dengan menukil pendapat para sahabat dan tabi’in disertai sanadnya. Jikalau dalam ayat tersebut ada dua pendapat atau lebih, di sebutkan satu persatu dengan dalil dan riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang mendukung dari tiap-tiap pendapat kemudian mentarjih (memilih) diantara pendapat tersebut yang lebih kuat dari segi dalilnya. Beliau juga mengii’rob (menyebut harakat akhir), mengistimbat hukum jikalau ayat tersebut berkaitan dengan masalah hukum. Ad-Dawudy dalam bukunya “Thobaqah al-Mufassirin“ mengomentari metode ini dengan ungkapannya:“ Ibnu jarir telah menyempurnakan tafsirnya dengan menjabarkan tentang hukum-hukum, nasih wal mansuh, menerangkan mufrodat (kata-kata) sekaligus maknanya, menyebutkan perbedaaan ulama’ tafsir dalam masalah hukum dan tafsir kemudian memilih diantara pendapat yang terkuat, mengi’rob kata-kata, mengkonter pendapat orang-orang sesat, menulis kisah ,berita dan kejadian hari kiamat dan lain-lainnya yang terkandung didalamnya penuh dengan hikmah dan keajaiban tak terkira kata demi kata, ayat demi ayat dari isti’adzah sampai abi jad (akhir ayat). Bahkan jikalau seorang ulama’ mengaku mengarang sepuluh kitab yang diambil dari tafsir ini, dan setiap kitab mengandung satu disiplin keilmuan dengan keajaiban yang mengagungkan akan diakuinya (karangan tersebut).
2. Tafsir Ibnu Katsir
Nama kitab : تفسير القران العظيم lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir.
Jumlah jilid : 4 Jilid
Nama penulis : Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (w 774 H)
Keutamaanya : Merupakan tafsir terpopuler setelah tafsir At-Thobary dengan
metode bil ma’tsur.
Metodologi penulisannya:
Penulis sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menukil perkataan para salafus sholeh. Ia menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami. Menerangkan ayat dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya. Beliau juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabi’in. Beliau juga sering mentarjih diantara beberapa pendapat yang berbeda, juga mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif(lemah). mengomentari periwayatan isroiliyyat. Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama’ fiqih) dengan mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar. Imam Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar ;” Sesungguhnya belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini “.
3. Tafsir Al-Qurtuby
Nama kitab : الجامع لأحكام القران
Jumlah jilid : 11 jilid dengan daftar isinya.
Nama penulisnya : Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby (w 671 H).
Keutamaanya : Ibnu Farhun berkata,” tafsir yang paling bagus dan paling banyak manfaatnya, membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, serta menerangkan I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh”.
Metode penulisannya :
Penulis terkenal dengan gaya penulisan ulama’ fiqih., dengan menukil tafsir dan hukum dari para ulama’ salaf dengan menyebutkan pendapatnya masing-masing. Dan membahas suatu permasalahan fiqhiyah dengan mendetil. Membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, juga I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh. Beliau tidak ta’assub (panatik) dengan mazhabnya yaitu mazhab Maliki.
4. Tafsir Syinqithy
Nama kitab : أضواء البيان في إيضاح القران بالقران
Jumlah jilid : 9 jilid.
Nama penulisnya : Muhammad Amin al-Mukhtar As-Syinqithy
Metodologi penulisannya:
Menekankan penafsiran bil-ma’tsur dengan dilengkafi qira’ah as-sab’ah dan qiro’ah syadz (lemah) untuk istisyhad (pelengkap). Menerangkan masalah fiqih dengan terperinci, dengan menyebut pendapat disertai dalil-dalilnya dan mentarjih berdasarkan dalil yang kuat. Pembahasan masalah bahasa dan usul fiqih. Beliau wafat dan belum sempat menyelesaikan tafsirnya yang kemudian dilengkapi oleh murid sekaligus menantunya yaitu Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim.
Ta’aruf
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (١٣)
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Bila kita mencermati sinetron yang bertaburan di layar kaca akhir-akhir ini, maka urusan pacaran yang dalam bahasa Arab disebut ta'aruf, menjadi tema yang paling dominan. Bahkan urusan pacaran para bintang sinetron diluar peran pun, lewat infotaintment, dijadikan topik yang setiap hari dianggap hotnews.
Menyedihkannya, para pesinetron itu ternyata banyak juga yang masih berusia muda, sehingga "pacaran" nya bukan untuk tujuan pernikahan, tapi sekedar jalan bareng. Jadi, jangan heran bila banyak diantara mereka, diberitakan gonta-ganti pacar.
Karena kiprah para pemain sinetron ini secara tidak langsung mempengaruhi para pemirsa yang juga para kaula muda, maka rasanya sebagai orangtua, khususnya sebagai Ibu, tidak ada salahnya kita menjelaskan pada anak-anak kita tentang pacaran dilihat dari aturan agama.
Kiat Ta'aruf untuk Memilih Jodoh
Ta'aruf sebenarnya memang dianjurkan, tetapi khusus bagi para muda-mudi yang berniat untuk menikah. Sebab ta'aruf ini berkaitan dengan persiapan pra nikah yang harus dilakukan dengan cukup matang.
Dia antaranya adalah untuk saling menjajaki kemampuan dan kepercayaan diri untuk memasuki dunia rumah tangga yang baru dan penuh tantangan itu. Selain itu tentu saja kesiapan finansial dan mental, serta kesepenuhan hati dalam memilih pasangan yang sekiranya serasi, cocok dan diyakini bisa abadi seumur hidup.
Alhamdulillah dalam Islam, laki-laki dan perempuan menpunyai hak dan kebebasan memilih yang sama. Tidak ada pemaksaan dalam Islam atau yang kita kenal dengan istilah "dijodohin". Namun ruang untuk saran, nasihat dan musyawarah dari pihak lain, baik orang tua maupun keluarga yang dianggap lebih berpengalaman dan bijaksana, tetap dibuka.
Jadi ta'aruf dalam Islam merupakan proses untuk mengenal calon pasangan mesing-masing, yang sekiranya kelak akan dijadikan seorang pendamping dalam kehidupan rumahtangganya.
Ada beberapa hal mendasar yang ditekankan oleh agama untuk dikenali dari calon pasangan masing-masing.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Nabi bersabda, "Seseorang dinikahi karena empat hal: Kecantikan dan ketampanannya, keturunannya, kemapanan ekonominya dan komitmen keagamaannya. Namun, prioritaskanlah sisi komitmen keagamaannya maka diharapkan kamu akan mendapatkan ketenangan hidup" (HR. Bukhari-Muslim).
Dalam hadis lain Nabi juga bersabda, "Menikahlah dengan orang yang berpotensi memiliki keturunan dan yang senantiasa mencurahkan mawaddah atau cinta kasih kepadamu " (HR. Ahmad dan Ibn Hibban)
Lalu, bagaimana cara kita mengenali sifat-sifat dari diri calon pasangan yang sekiranya akan kita pilih itu? Dalam hal ini Nabi menasehatkan kepada kita untuk melakukan Nadlar atau melihat dan berjumpa langsung dengan si dia. Nabi bersabda, "Jika kamu berkeinginan mengawini seeorang maka sebaiknya kamu dapat lebih dulu melihat dan bertemu langsung dengannya. Karana hal itu merupakan sarana yang berpotensi lebih untuk dapat menjaga keutuhan rumah tangga keduanya dikemudian hari" (HR. Tirmidzi dan Nasa).
Dalam hadis-hadis lain juga dikisahkan tentang keberadaan beberapa Sahabat yang minta pertimbangan kepada Nabi saat akan memilih calon pasangan.
Norma-norma Berpacaran
Meski agama tidak membatasi secara ekstrim pola interaksi yang normatif dan wajar antara laki-laki dan perempuan yang tidak mahram, namun hal itu harus dibingkai dalam tatatanan etika dan moralitas agama. Sebab dalam konteks agama, pacaran dilakukan dengan tujuan pasti, yaitu membangun hubungan sosial, termasuk hubungan antara laki-laki dan perempuan, dalam kondisi yang senantiasa bersih, teratur dan tidak membuahkan keresahan atau agar tidak terkotori oleh ekspresi-ekspresi seksualitas yang tidak pada tempatnya.
Bukan rahaisa umum banyak kasus pacaran yang seringkali berujung memprihatinkan, Kalau tidak menyebabkan pernikahan dini, maka kasus aborsi pun mencuat. Karena itu perinsip dasar pacaran harus dipahami dengan benar. Yaitu, kedekatan antara laki-laki dan perempuan yang tidak mahram, dengan satu tujuan yaitu untuk terjadinya pernikahan.
Dengan demikian kita tahu persis, usia berapa anak-anak kita pantas melakukannya. Namun bila pun usia mereka sudah pansas, sebaiknya kita semua mawas diri bahwa tidak ada yang bisa menjamin kalau mereka akan selaku dapat mengendalikan hawa nafsu dan terhindar dari bisikan-bisikan iblis yang menyesatkan. Peluang-peluang yang bisa membuka lebar kesempatan untuk melakukan maksiat dalam bentuk apapun sebaiknya segera dihindari. Antara lain dengan tidak membiarkan anak-anak kita berpacaran terlalu lama. Segerakan pernikahan bila mereka terlihat sudah saling cocok.
Beri info yang Benar
Selain memberi pemahaman mengenai pacaran menurut agama, jangan sungkan untuk membicarakan masalah seks dengan anak-anak sesuai perkembangan usia dan jiwa mereka. Pendidikan seks sangat dibutuhkan agar anak tidak mendapat pemahaman yang keliru. tekankan lah bahwa hubungan seks atau apa saja yang mengarah pada hal itu memiliki tujuan mulia, yaitu meneruskan keberadaan umat manusia di muka bumi ini. Selain itu hubungan seks juga pada dasarnya hanya diperbolehkan oleh agama bagi pasangan yang sudah menikah secara sah. Sementara yang dilakukan di luar pernikahan yang sah, hukumnya adalah haram dan termasuk dosa besar.
Pacaran yang sesuai aturan agama pada prinsipnya adalah semata-mata demi menjaga kehormatan dan kebersihan hati umat manusia.
Syrat-syarat Pemimpin
Di dalam Islam, kepemimpinan itu biasa dikenal dengan istilah imarah, ri-asah, atau qiyadah. Semuanya bermakna sama. Islam telah melekatkan persoalan kepemimpinan ini atas diri umatnya, sedemikian rupa sehingga tidak boleh ada satu perkara pun dimana di dalamnya melibatkan tiga orang, kecuali harus ada salah seorang diantara mereka yang menjadi pemimpinnya. Rasululullah saw bersabda:
“Tidak boleh bagi tiga orang berada dimanapun di bumi ini, tanpa mengambil salah seorang diantara mereka sebagai amir (pemimpin). (Musnad Imam Ahmad, Jilid III hal.177)
Ini berarti Islam telah mengajarkan berpolitik dalam perkara apa pun dengan keharusan ada seorang pemimpin di setiap perkara dan kehidupan kaum Muslim. Di dalam kehidupan keluarga ada kepala keluarga (amir al-usrah), di dalam shalat berjamaah ada imamnya, di dalam perjalanan (safar) ada pemimpin perjalanan (amir as-safar), di dalam kafilah haji/umrah ada pemimpinnya (amir al-hajj), di dalam pasukan terdapat komandannya (amir al-jaisy), dan lain-lain termasuk di dalamnya adalah kepala negara, yang di dalam sistem pemerintahan Islam dikenal dengan sebutan Khalifah atau Imam al-A’dham. Ia adalah pemimpin umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Pemimpin seperti inilah yang dinyatakan oleh hukum syariat agar masyarakat tertib dengan institusi Kekhilafahan Islam, dimana diwajibkan atas seluruh kaum Muslim menegakkan dan menjaganya.
Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah r.a.:
“Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. Akan tetapi, nanti akan ada banyak khalifah. “Para sahabat bertanya, “Apakah yang Engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya, karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka atas rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka.” (HR Muslim).
Dari hadis di atas, tampak bahwa Islam memiliki ciri khas tersendiri dalam perkara kepemimpinan. Yaitu keharusan adanya seorang pemimpin dalam seluruh perkara, apalagi perkara besar seperti negara. Sebab, tidak akan ada gunanya pelaksanaan suatu sistem apabila tidak ada orang yang memimpin pelaksanaan sistem tersebut.
Jabatan adalah Amanah Kepemimpinan adalah amanat, karena seorang pemimpin adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Aspek masuliyat (pertanggung jawaban) menjadi unsur yang paling mendasar dalam kepemimpinan. Artinya, jabatan itu adalah amanat yang akan dimintai pertanggung jawaban. Wajar jika jabatan itu dapat menghantarkan pada derajat yang paling tinggi, akan tetapi bisa juga menjerumuskannya pada jurang kehinaan. Rasulullah saw bersabda:
Bahwa itu adalah amanat, dan ia di hari Kiamat akan menjadi kerugian dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan cara yang haq, serta menunaikan kewajiban yang terpikul di atas pundaknya. (HR. Muslim)
Dengan demikian, apabila masyarakat memilih dan menetapkan pemimpinnya terhadap orang yang tidak benar/tepat, ditambah lagi aspek amanat dan pertanggung jawabannya amat lemah, maka kehancuran atas tatanan kehidupan bernegara, bermasyarakat merupakan keniscayaan yang tidak terbantahkan. Rasulullah saw bersabda:
Apabila amanat telah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Para sahabat bertanya: ‘Bagaimana menyia-nyiakannya? Rasul menjawab: ‘Apabila suatu jabatan diserahkan kepada orang-orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya’. (HR. Bukhari)
Bukti atas hadits dan peringatan Rasulullah saw dapat dirasakan oleh setiap anggota masyarakat saat ini. Itu karena jabatan telah diposisikan sebagai kursi kekuasaan, kesempatan dan peluang untuk melanggengkan jabatan, tempat untuk mengeruk harta, status sosial maupun keuntungan duniawi, tanpa mempedulikan orang lain maupun masyarakat. Dan karena sikapnya itu mereka terjerumus dalam kehinan dan penderitaan. Padahal hal itu telah diingatkan oleh Rasulullah saw, akan tetapi banyak kaum Muslim yang berpura-pura tidak tahu atau mendengar peringatan tersebut.
Syarat-Syarat Pemimpin Ideal
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dicintai dan diridhai oleh rakyatnya. Demikian juga sebaliknya; ia juga mencintai dan meridhai rakyatnya. Kedua belah pihak saling membutuhkan untuk membuat sinergi bagi peningkatan ketakwaan di sisi Allah. Kondisi ini bisa terwujud ketika tidak ada perbedaan tujuan antara pemimpin dan rakyatnya. Mereka berdua sama-sama berharap, dapat menjalankan seluruh sistem hukum Islam secara total. Keduanya sama-sama berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan dalam kemungkaran. Dalam hal ini, Nabi saw. bersabda, sebagaimana dituturkan ‘Auf bin Malik:
Sebaik-baik pemimpin kalian ialah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian ialah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian; kalian melaknati mereka dan mereka pun melaknati kalian. (HR Muslim).
Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemimpin yang ideal, beberapa syarat pokok mutlak harus dipenuhi. Di antaranya: Pertama, pemimpin haruslah Muslim. Jabatan kepala negara (khalifah) secara mutlak tidak diberikan kepada orang kafir. Ini adalah suatu hal yang logis adanya. Sebab, Allah sendiri telah melarangnya sebagaimana firman-Nya:
Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin. (T Q S. an-Nisa’ [4]: 141).
الَّذِينَ يَتَرَبَّصُونَ بِكُمْ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِنَ اللَّهِ قَالُوا أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ وَإِنْ كَانَ لِلْكَافِرِينَ نَصِيبٌ قَالُوا أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا (١٤١)
141. (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu[363], dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
[363] Yaitu dengan jalan membukakan rahasia-rahasia orang mukmin dan menyampaikan hal ihwal mereka kepada orang-orang kafir atau kalau mereka berperang di pihak orang mukmin mereka berperang dengan tidak sepenuh hati.
Pemerintahan atau kekuasaan adalah jalan yang paling mudah bagi seorang pejabat pemerintahan untuk memaksa rakyatnya. Oleh karena itu, kekuasaan mutlak tidak boleh diserahkan kepada kaum kafir. Sebab jika pemimpin kaum Muslim adalah orang kafir akan sangat bisa dimengerti jika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya pun akan jauh dari nilai-nilai Islam. Keluarnya kebijakan yang mengancam akidah umat dan cenderung tidak proporsional adalah sesuatu yang mungkin terjadi.
Kedua, laki-laki. Diriwayatkan oleh Abi Bakrah, bahwa rasulullah saw. pernah bersabda:
Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita. (HR al-Bukhari).
Ikhbâr (pemberitahuan) Rasulullah dengan menafikan keberuntungan bagi kaum manapun yang menyerahkan kekuasaan mereka kepada seorang wanita adalah menunjukkan larangan terhadap kepemimpinan wanita dalam jabatan pemerintahan.
Ketiga: adil. Adil artinya secara konsisten menjalankan agamanya (bertakwa). Jadi, tidak sah orang fasik diangkat menjadi seorang kepala negara atau khalifah. Adil adalah syarat yang harus dipenuhi untuk pengangkatan khalifah serta keberlangsungan akad pengangkatannya. Sebab, Allah telah mensyaratkan seorang saksi dengan syarat adil. (lihat QS. at-Thalaq [65]: 2).
… وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (٢)
… dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.
Keempat, merdeka. Seorang hamba sahaya tidak sah menjadi khalifah, karena dia adalah milik tuannya sehingga dia tidak memilki wewenang untuk mengatur, bahkan sekadar mengatur dirinya sendiri. Dengan demikian, dia tidak layak untuk mengurusi orang lain, apalagi menjadi penguasa.
Di samping itu, seorang kepala negara tidak berada dalam bayang-bayang kekuasaan pihak lain. Artinya, tatkala khalifah tunduk patuh pada pihak lain, tidak bisa berbuat banyak untuk menolak ataupun mengatur kebijakannya sendiri, atau senantiasa diatur oleh negara lain, maka pada hakikatnya khalifah tersebut sama dengan menjadi ‘hamba’ dari penguasa yang lain. Jika kondisi ini terjadi, seorang kepala negara atau khalifah wajib diberhentikan.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang kepala negara atau khalifah tidak boleh menjadi boneka negara lain dan menjadi operator kepentingan pihak-pihak asing. Ia tidak terpengaruh oleh-atau mengekor pada-negara manapun dalam mengatur, mengurusi, dan melayani masyarakat. Kepala negara atau khalifah berkuasa penuh-dengan berlandaskan pada al-Quran dan Sunnah-untuk mengatur dan memelihara seluruh kepentingan rakyatnya.
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Cover.............................................................................................
Daftar isi ...................................................................................................... i
ii
Tafsir dan Ilmu Tafsir ..................................................................................
Tafsir yang terkenal dari abad ke II sampai abad Modern ..........................
Dhomir dalam Ilmu Tafsir ............................................................................
Munasabah antar ayat ..................................................................................
Sejarah Tafsir dan perkembangannya ..........................................................
Qira’at al-Quran dan macam-macamnya .....................................................
Pengertian Asbabun Nuzul ..........................................................................
Al-Sual dan al-Jawab dalam al-Quran..........................................................
Kedudukan Akal dalam al-Quran.................................................................
Al-Quran mengenai pembinaan masyarakat.................................................
Pembinaan masyarakat..................................................................................
Bahaya Miras ................................................................................................
Memahami makanan/minuman halal, sehat dan bergizi...............................
Kepemimpinan dalam al-Quran ...................................................................
Pembinaan Pribadi .......................................................................................
Sejarah Tafsir dan Perkembangannya ..........................................................
Metode Penafsiran .......................................................................................
Syarat dan Adab Penfsiran al—Quran .........................................................
Taa’aruf.........................................................................................................
Syarat-syarat Pemimpin ...............................................................................
1
1
3
11
16
20
27
32
38
44
45
50
55
58
61
63
68
71
73
76
78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar