CARI

HOME

Minggu, 14 Februari 2010

DIKTAT ILMU TAFSIR UN MAN KOTABUMI

Tafsir, dan Ilmu Tasir

A. Pengertian Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah

Secara bahasa kata Tafsir ( ‎تفســير‎ ) berasal dari kata ‎فَسَّرَ‎ yang mengandung ‎arti: menjelaskan, menyingkap dan menampak-kan atau menerangkan makna yang ‎abstrak. Kata ‎الفســر‎ berarti menyingkapkan sesuatu yang tertutup [Al-Qaththan, ‎‎1992: 450 - 451].‎

Menurut istilah, Tafsir berarti Ilmu untuk mengetahui kitab Allah yang diturunkan ‎kepada Nabi Muhammas Saw. dan penjelasan maknanya serta pengambilan ‎hukum dan makna-maknanya [Az-Zarkasyi, 1972: I, 13]. Definisi lain tentang ‎pengertian Tafsir dikemukakan oleh As-Shabuni [1985: 66], bahwa Tafsir adalah ‎Ilmu yang membahas tentang Al-Quranul-Kariem dari segi pengertiannya ‎terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia.‎
PENGERTIAN ILMU TAFSIR ‎

Definisi Ilmu Tafsir

‎ ‎هو علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل علي نبيه محمد (ص) وبيان معانيه وإستخراج أحكامه‎ ‎و ‏حكمه‎ ‎‏.‏

Ilmu yang dengannya diketahui : maksud kitab Allah yang ‎diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw.Makna-makna al-‎Qur’an dapat dijelaskan Hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya ‎dapat diketahui

A.PENGERTIAN ILMU TAFSIR

Menurut Imam As Sayuthy dalam kitabnya "ITMAMUD DIRIYAH" ‎mengemukakan bahwa Ilmu Tafsir adalah Ilmu yang membahas masalah ‎Alquran dari segi masalah turunnya,sanadnya,caramembacanya,macam-‎macam lafadznya dan hukumnya.‎

Sedangkan menurut Abu Hajar dalam kitabnya"AL BAHRUL MUHITH" ‎mengemukakan bahwa Ilmu Tafsir adalah Ilmu yang membahas tentang ‎cara-cara mengucapkan lafadz Alquran dan hukum-hukumnya dalam ‎bentuk kata tunggal.‎
Jadi, Ilmu Tafsir adalah Ilmu tentang cara mengucapkan lafadz-lafadz ‎Alquran dan untuk cara memahami makna kandungannya. para ahli tafsir ‎membagi Ilmu Tafsir menjadi 2 bagian yaitu:‎
‎1.‎ Ilmu Riwayah : Ilmu yang bersumber dari riwayat yakni tempat ‎turun Alquran,Ashabun Nudzu, tertibnya,Qiraatnya dan waktu ‎turunnya.‎
‎2.‎ Ilmu Dirayah : Ilmu yang bersumber dari dirayat yakni dengan jalan ‎pemikiran dan penelitain seperti mengetahui lafadz yang ghaib ‎maknanya dan mengetahui makna-maknanya yang berhubungan ‎dengan hukum serta makna i`rabnya.‎
B.Cabang-cabang Ilmu Tafsir yang pokok yaitu.‎
‎1.‎ ilmu tawarihlkin nuzul yaitu ilmu yang menjelaskan tenteng masa ‎dan tertib turunnya ayat Alquran mulai dari pertama sampai akhir.‎
‎2.‎ ilmu ashabun nuzul yaitu ilmu yang menerangkan tentang sebab-‎sebab turun suatu ayat.kitab"LUBABUN NUZUL" karangan ‎Assayuthy adalah kitab yang memuat masalah Asbabun Nuzul.‎
‎3.‎ Ilmu Qiraat yaitu ilmu menjelaskan tentang rupa-rupa bacaan yang ‎berasal dari Rasulullah.‎
‎4.‎ Ilmu I'rabil quran yaitu ilmu yang menerangkan tentang baris ‎Alquran dan jedudukan lafadz dalam kalimat.‎
‎5.‎ ilmu adabi tilawtil Quran yaitu ilmu yang menerangkan tentang adab ‎membaca Alquran.‎
‎6.‎ ilmu aqsamil quran yatiu ilmu yang menerangkan tentang arti dan ‎maksud sumpah Allah yang terdapat dalam Alquran.‎
‎7.‎ ilmu ma1rafat muhkam wal mutasyabih yaitu ilmu yang ‎menerangkan tentang ayat-ayat yang muhkamat dan mutasyabihat.‎
‎8.‎ ilmu i1jazil Quran yaitu ilmu yang menerangkan tentang kehebatan ‎dan kekuatan susunan Alquran.‎
‎9.‎ ilmu badi`il quran yaitu ilmu yang menerangkan tenteang keindahan ‎dan ketinggian sastra dan balaghah Alquran.‎
‎10.‎ ilmu amtsail quran yaitu ilmu yang menerangkan tentang pepatah-‎pepatah yang menjelaskanperumpamaan yang ada di dalam Alquran.‎
C.AHLI TAFSIR PADA MASA MUTAQADIM SAMPAI ABAD KE IV H. ‎ahli tafsir pada masa sahabat ialah:‎
‎1.‎ Abu Baqar As Shiddik
‎2.‎ Umar bin khatab
‎3.‎ Utsman bin Affan
‎4.‎ Ali bin abu Thalib
‎5.‎ Abdullah bin Mas`ud
‎6.‎ Abdullah bin abbas
‎7.‎ Ubay bin Ka`b
‎8.‎ Said bin Tsabit
‎9.‎ Abu musa Al Asy`ari
‎10.‎ Abdullah binZubair
ahli tafsir pada masa tabi`in ialah:‎
‎1.‎ Mujahid bin jabir
‎2.‎ Said bin Jubair
‎3.‎ Ikrimah
‎4.‎ Atha` bin Abi Rabah
‎5.‎ Iman Malik
‎6.‎ Qatadah bin Di`amah
‎7.‎ Masruq bin Ajda`‎
‎8.‎ Dlahhak bin muzahin
Ahli Tafsir pada abad ke III H ialah: adapun ulama tafsir riwayah
‎1.‎ Al Waqidy
‎2.‎ Ishaq bin Rahawih
‎3.‎ Rawahb bin Ubbadah
‎4.‎ Said bin Manshur
‎5.‎ Yazid bin Harun
adapun ulama tafsir dirayah ialah:‎
‎1.‎ Al Allaf
‎2.‎ Al Jhidah
‎3.‎ Al Nazhzham
ahli tafsir pada abad ke IV ialah:‎
‎1.‎ Abu Bakaar Al Asham
‎2.‎ An Nadhdham
‎3.‎ Al Jubay
‎4.‎ Ubaidillah bin Muhammad
TAFSIR YANG TERKENAL DARI ABAD KE II SAMPAI BABAD ‎MODERN.

Tafsir pada abad ke II adalah:‎
‎1.‎ Tafsir As Suddy
‎2.‎ Tafsir Ibnu Jurajj
‎3.‎ Tafsir Muqatil
‎4.‎ Tafsir Muhammad bin Ishaq
‎5.‎ Tafsir Ibnu Uyainah
‎6.‎ Tafsir Waki` Ibnu I`jarrah
Tafsir pada abad ke III adalah:‎

JAMI`UL BAYAN karangan Ibnu Jarir Ath-Thabari Tafsir pada abad ke ‎IV adalah
kitab Syarif Al Murtatha Tafsir pada abad ke V adalah: kitab tafsir Al ‎Kasysyaf susunan Ja`rullah Az Zumakhsyari Tafsir pada abad ke VII dan ‎VIII H adalah:‎
‎1.‎ Tafsir Mufatihul Ghaibi oleh Fakhudin Ar Razi
‎2.‎ Al Jamili Ahkamil Quran oleh Abu Abdullah Al Qurtuby
‎3.‎ Tafsir Lulabut Takwilfil Ma`anit Tanzil oleh Ali bin Muhammad
‎4.‎ An Nahrul Mad oleh Ibnu Haiyan
‎5.‎ Tafsir Al Hafidh ibn Katsir
Kitab Tafsir pada abad ke IX dan X H adalah;‎
‎1.‎ Turjumanul Quran oleh As Sayuti
‎2.‎ As Sirajul Munir oleh Al Khatib Asy Syarbini
‎3.‎ Al Jalalain oleh Jalaludin Al Mahally dan Jalaludin As Sayuthi
Kitab Tafsir pada abad ke XI.XII danXIII H adalah:‎
‎1.‎ Fathul Qadir oleh Asy Syaukani
‎2.‎ Ruhul Ma`ani oleh Al Lusi
‎3.‎ Fathul Bayan oleh Sidik Hasan Khan
‎4.‎ Ruhul Bayan oleh Ismail Haqqi
‎5.‎ Tafsir Al Munir oleh Muhammad Nawawi Al Jawy
Kitab tafsir pada abad modern adalah:‎
‎1.‎ Al Jawahir oleh Thantawi Jauhari
‎2.‎ Al Manar oleh As Saiyid Muhammad Rasyid Ridla
‎3.‎ Al Maraghy oleh Ahmad Musthafa
‎4.‎ Tafsir Al Wadhih oleh Mahmud Hijazi‎
‎5.‎ Tafsir Fizhilalil Quran oleh Sayid Qutub
Tafsir di Indonesia yang terkenal antara lain adalah:‎
‎1.‎ Tafsir Al Quranul Karim oleh Abdul Haklim Hasan dan Zainal Arifin ‎Abbas
‎2.‎ Tafsir Alquranul Karim oleh Mahmud Yunus dan Karim Bakry
‎3.‎ Tafsir AlFurqan oleh Ahmad Hasan
‎4.‎ Tafsir Al-Azhar oleh Hamka.‎
Sedangkan pengertian Ta’wil, menurut sebagian ulama, sama dengan Tafsir. ‎Namun ulama yang lain membedakannya, bahwa ta’wil adalah mengalihkan ‎makna sebuah lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang ‎dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173]. Sehubungan dengan itu, Asy-‎Syathibi [t.t.: 100] mengharuskan adanya dua syarat untuk melakukan ‎penta’wilan, yaitu: (1) Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang ‎diakui oleh para ahli dalam bidangnya [tidak bertentangan dengan syara’/akal ‎sehat], (2) Makna yang dipilih sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab klasik ‎pada saat turunnya Alquran].‎

Dari pengertian kedua istilah ini dapat disimpulkan, bahwa Tafsir adalah ‎penjelasan terhadap makna lahiriah dari ayat Alquran yang penegrtiannya secara ‎tegas menyatakan maksud yang dikehendaki oleh Allah; sedangkan ta’wil adalah ‎pengertian yang tersirat yang diistimbathkan dari ayat Alquran berdasarkan ‎alasan-alasan tertentu. ‎

Sedangkan Tarjamah, secara bahasa berati memindahkan lafal dari suatu bahasa ‎ke bahasa lain. Dalam hal ini, memindahkan lafal ayat-ayat Alquran yang ‎berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Dalam pelaksanaannya, tarjamah ‎terbagi kepada tiga bentuk: ‎

‎1. Tarjamah Harfiah/Lafzhiah: yaitu memindahkan lafal dari suatu bahasa ke ‎bahasa lain dengan cara memindah bahasakan kata-demi kata, serta tetap ‎mengikuti susunan (uslub) bahasa yang diterjemahkan .‎

‎2. Tarjamah Ma’nawiah/Tafsiriah: Sebagian ulama ada yang membedakan antara ‎tarjamah ma’nawiah dengan tarjamah tafsiriah, sedangkan sebagian lainnya ‎menganggap keduanya adalah sama. ‎
B. Macam-macam tafsir berdasarkan sumbernya
Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi kepada dua bagian: Tafsir Bil-‎Ma’tsur dan Tafsir Bir-Ra’yi. Namun sebagian ulama ada yang menyebutkannya ‎tiga bagian.‎
‎1. Tafsir Bilma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Alquran dan/atau As-‎Sunnah sebagai sumber penafsirannya.‎

‎2. Tafsir Bir-Ra’yi adalah Tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber ‎penafsirannya.‎

‎3. Tafsir Bil Isyarah, Penafsiran Alquran dengan firasat atau kemampuan intuitif ‎yang biasanya dimiliki oleh tokoh-tokoh shufi, sehingga tafsir jenis ini ‎sering juga disebut sebagai tafsir shufi.‎

ad.1. Contoh Kitab-kitab Tafsir Bil-Ma’tsur antara lain:‎

a. Tafsir Al-Qur’anu al-‘Azhim (‎القرآن العظيم‎), karangan Abu al-Fida’ Ismail bin ‎Katsir al-Qarsyi al-Dimasyqy, terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir (w. 774H.)‎

b. Tafsir Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an(‎جامع البيان‎), karangan Abu Ja’far ‎Muhammad bin Jarir al-Thabary, dikenal dengan sebutan Ibnu Jarir At-‎Thabary (225 H. – 310 H.)‎

c. Tafsir Ma’alim al-Tanzi, (‎معالم التنزيل‎), dikenal dengan sebutan al-Tafsir al-‎Manqul, karangan al-imam al-Hafizh al-Syahir Muhyi al-Sunnah Abu ‎Muhammad bin Husein bin Mas’ud bin Muhammad bin al-Farra’ al-Baghawy ‎al-Syafi’iy, dikenal dengan sebutan Imam al-Baghawy (w. 462 H.)‎

d. Tafsir Tanwir al-Miqyas Min Tafsir Ibn ‘Abbas(‎التنوير المقياس من تفسير ابن عباس‎), ‎karangan Majd al-din Abu al-ThahirMuhammad bin Ya’qub bin Muhammad ‎bin Ibrahim bin Umar al-Syairazi al-Fairuzabadi, dikenal dengan sebutan al-‎fairūzâbâdi (Lahir tahun 729 H.)‎

e. Tafsir al-Bahr (‎البحر‎), karangan al-‘Allamah Abu al-Layts al-Samarqandy ‎

ad.2. Contoh kitab-kitab Tafsir Bil-Ra’yi:‎
‎ ‎
C. Macam-macam Tafsir berdasarkan corak penafsirannya ‎

Corak penafsiran yang dimaksud dalam hal ini adalah bidang keilmuan yang ‎mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufassir memiliki latar ‎belakang keilmuan yang berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya pun ‎memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya.‎

Berdasarkan corakm penafsirannya, kitab-kitab tafsir terbagi kepada beberapa ‎macam. Di antara sebagai berikut:‎

‎1. Tafsir Shufi/Isyari, corak penafsiran Ilmu Tashawwuf yang dari segi ‎sumbernya termasuk tafsir Isyariy. Nama-nama kitab tafsir yang termasuk corak ‎shufi ini antara lain:‎

a. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, karya Sahl bin Abdillah al-Tustari. Dikenal dengan ‎Tafsir al-Tustasry.‎

b. Haqaiq al-Tafsir, Abu Abdirrahman al-Silmy, terkenal dengan sebutan Tafsir ‎al-Silmy.‎

c. Al-Kasf Wa al-Bayan, karya Ahmad bin Ibrahim al-Naisabury, terkenal dengan ‎nama Tafsir al-Naisabury.‎

d. Tafsir Ibnu Araby, karya Muhyiddin Ibnu Araby, terkenal dengan nama Tafsir ‎Ibnu ‘Araby.‎

e. Ruh al-Ma’ani, karya Syihabuddin Muhammad al-Alusy, terkenal dengan ‎nama tafsir al-Alusiy. [Ash-Shabuni, 1985: 2001]‎


‎2. Tafsir Fiqhy, corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah ‎fiqih. Dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak fiqhi ini termasuk tafsir ‎bilma’tsur. Kitab-kitab tafsir yang termasuk corak ini antara lain:‎

a. Ahkam al-Qur’an, karya al-Jashshash, yaitu Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Razi, ‎dikenal dengan nama Tafsir al-Jashshash. Tafsir ini merupakan tafsir yang penting ‎dalam fiqh madzhab Hanafi.‎

b. Ahkam al-Qur’an, karya Ibnu ‘Araby, yaitu Abu Bkar Muhammad bin ‎Abdullah bin Ahmad al-Mu’afiri al-Andalusiy al-Isybily. Kitab tafsir ini menjadi ‎rujukan penting dalam Ilmu fiqh bagi pengikut madzhab Maliki.‎

c. Al-Jami’ Li ahkam al-Qur’an, karya Imam al-Qurthuby, yaitu Abdu Abdillah ‎Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Anshary al-Khazrajy al-‎Andalusy. Kitab ini dikenal dengan nama kitab Tafsir al-Qurthuby, yang ‎pendapat-pendapatnya tentang fiqh cendrung pada pemikiran madzhab Maliki.‎

d. Al-Tafsirah al-Ahmadiyyah Fi Bayan al-Ayat al-Sayari’ah, karya Mula Geon

e. Tafsir Ayat al-Ahkam, karya Muhammad al-Sayis,‎

f. Tafsir Ayat al-Ahkam, karya Manna’ al-Qaththan

g. Tafsir Adhwa’ al-Bayan, karya Syeikh Muhammad al-Syinqitiy. [Manna’ al-‎Qaththan, 1992: 511 – 515]‎

‎ 3. Tafsir Falsafi, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan ‎pendekatan filsafat, termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian ‎Ilmu Kalam. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak falsafi ini termasuk ‎tafsir bir-Ra’yi. Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah:‎

a. Mafatih al-Ghaib, karya Imam Fkhruddin al-Razi yang lebih dikenal dengan ‎nama tafsir al-Razi. Tafsir ini bercorak kalam aliran Ahlus-Sunnah.‎

b. Tanzih al-Qur’an ‘An al-Matha’in, karya al-Qadhi Abdul Jabbar. Tafsir ini ‎bercorak kalam aliran Mu’tazilah. Dilihat dari segi metode yang digunakannya, ‎tafsir ini termasuk tafsir Ijmaliy. Sedangkan dari segi sumber penafsirannya ia ‎lebih banyak menggunakan akal, karena itu termasuk Tafsir Bir-Ra’yi.‎

c. Al-Kasysyaf ‘An Haqaiq al-Tanzil Wa ‘Uyun al-Aqawil Fi Wujuh al-Ta’wil, ‎karya al-Zamakhsyary. Kitab ini dikenal dengan nama Tafsir al-Kasysyaf. Corak ‎penafsirannya adalah kalam aliran Mu’tazilah

d. Mir’at al-Anwar Wa Misykat al-Asrar, dikenal dengan Tafsir al-Misykat, karya ‎Abdul Lathif al-Kazarani. Tafsir ini bercorak kalam aliran Syi’ah

e. At-Tibyan al-Jami’ Li Kulli ‘Ulum al-Qur’an, karya Abu Ja’far Muhammad ‎bin al-Hasan bin ‘Ali al-Thusi. Tafsir ini bercorak kalam aliran Syi’ah Itsna ‎‎‘Asyariyah.‎

‎4. Tafsir Ilmiy, yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan ‎pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dari segi sumber penafsirannya tafsir ‎bercorak ‘Ilmiy ini juga termasuk tafsir bir-Ra’yi. Salah satu contoh kitab tafsir ‎yang bercorak ‘ilmiy adalah kitab Tafsir al-Jawahir, karya Thanthawi Jauhari. ‎

‎5. Tafsir al-Adab al-Ijtima’i, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada ‎masalah-masalah sosial kemasyara-katan. Dari segi sumber penafsirannya tafsir ‎bercorak al-Adab al-Ijtima’ ini termasuk tafsir bir-Ra’yi. Namun ada juga ‎sebagian ulama yang mengkategorikannya sebagai tafsir Bil-Izdiwaj (tafsir ‎campuran), karena prosentase atsar dan akal sebagai sumber penafsiran dilihatnya ‎seimbang.‎

‎ Salah satu contoh tafsir yang bercorak demikian ini adalah Tafsir Al-Manar, ‎buah pikiran Syeikh Muhammad Abduh yang dibukukan oleh Muhammad Rasyid ‎Ridha. ‎

D. Macam-macam Tafsir berdasarkan metodenya

Para ulama ahli Ulum al-Qur’an telah membuat klasifikasi tafsir berdasarkan ‎metode penafsirannya menjadi empat macam metode. Yaitu: (1) Metode Tahlily, ‎‎(2) Metode Ijmaliy, (3) Metode Muqaran, dan (4) Metode Maudhu’i. Keempat ‎metode ini dapat dijelaskan sebagai berikut:‎

‎1. Metode Tahlily (metode Analisis)‎

Yaitu metode penafsiran ayat-ayat Alquran secara analitis dengan memaparkan ‎segala aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya sesuai dengan ‎bidang keahlian mufassir tersebut. Uraiannya, antara lain menyangkut pengertian ‎kosa kata (makna mufradat), keserasian redaksi dan keindahan bahasanya ‎‎(fashahah dan balaghah), keterkaitan makna ayat yang sedang ditafsirkan dengan ‎ayuat sebelum maupun sesudahnya (munasabah al-ayat) dan sebab-sebab ‎turunnya ayat (asbab al-nuzul). Demikian pula penafsiran dengan metode ini ‎melihat keterkaitan makna ayat yang ditafsirkannya dengan penjelasan yang ‎pernah diberikan oleh Nabi, para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama sebelumnya ‎yang telah lebih dahulu memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut. ‎Karena itu, kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini pada umumnya ‎memerlukan volume kitab yang sangat besar, berjilid-jilid sampai 30 jilid ‎banyaknya.‎

Penafsiran dengan metode ini dilakukan secara berurutan dan berkesinambungan ‎terhadap ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutannya yang ‎terdapat dalam mushhaf ‘Utsmani yang ada sekarang. Mulai dari awal surat al-‎Fatihah sampai dengan akhir surat an-Nas.‎

‎2. Metode Ijmaly (metode Global)‎

Yaitu penafsiran Alquran secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar, ‎tapi mencakup makna yang dikehendaki dalam ayat. Dalam hal ini mufassir hanya ‎menjelaskan arti dan maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan ‎artinya sebatas makna yang terkait secara langsung, tanpa menyinggung hal-hal ‎tidak terkait secara langsung dengan ayat. Tafsir dengan metode ini sangat praktis ‎untuk mencari makna mufradat kalimat-kalimat yang gharib dalam Alquran. Di ‎antara kitab-kitab tafsir yang termasuk menggunakan metode Ijmali ini antara ‎lain:‎

a) Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, karya Muhammad Farid Wajdi,‎
b) Al-Tafsir al-Wasith, Produk Lembaga Pengkajian Universitas Al-Azhar, ‎Kaero.‎

c) Tafsir al-Jalalain, karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahally,‎

d) Shafwah al-Bayan Li Ma’ani al-Qur’an, karya Syeikh Husanain Muhammad ‎Makhlut,‎

e) Tafsir al-Qur’an, karya Ibnu Abbas yang dihimpun oleh Fayruz Abady,‎

f) At-Tafsir al-Muyassar, karya Syeikh Abdul Jalil Isa,‎

g) Taj al-Tafasir, karya Muhammad Utsman al-Mirghani [al-‘Aridh, 1992: 74; ‎Baidan, 1998: 13].‎

‎3. Metode Muqaran (metode Komparasi/Perbandingan)‎

Tafsir dengan metode muqaran adalah menafsirkan Alquran dengan cara ‎mengambil sejumlah ayat Alquran, kemudian mengemukakan pendapat para ‎ulama tafsir dan membandingkan kecendrungan para ulama tersebut, kemudian ‎mengambil kesimpulan dari hasil perbandingannya [al-‘Aridh, 1992: 75]. Namun ‎menurut Baidan [1998: 65], Metode komparatif (muqaran) ialah:‎

a) Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Alquran yang memiliki persamaan ‎atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih; dan atau memiliki ‎redaksi yang berbeda tentang satu kasus yang sama,‎
b) Membandingkan ayat Alquran dengan Hadits, yang sep-intas terlihat ‎bertentangan,‎
c) Membandingkan pendapat berbagai ulama tafsir dalam menafsirkan suatu ‎ayat.‎

‎ 4. Metode Maudhu’i (metode Tematik)‎

Yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir untuk menjelaskan konsep ‎Alquran tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ‎ayat Alquran yang membicarakan tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat ‎tersebut dikaji secara komprehensif, mendalam dan tuntas dari berbagai aspek ‎kajiannya. Baik dari segi asbabun nuzulnya, munasabahnya, makna kosa katanya, ‎pendapat para mufassir tentang makna masing-masing ayat secara parsial, serta ‎aspek-aspek lainnya yang dipandang penting. Ayat-ayat tersebut dipandang ‎sebagai satu kesatuan yang integral membicarakan suatu tema (maudhu’) tertentu ‎didukung oleh berbagai fakta dan data, dikaji secara ilmiah dan rasional.‎

Demikian luasnya sudut pandang yang digunakan dalam metode tafsir ini, maka ‎sebagian ulama menyebutnya sebagai metode yang paling luas dan lengkap. ‎Bahkan ketiga metode yang disebutkan sebelumnya, semuanya diterapkan secara ‎intensif dalam metode ini.‎
Ciri utama metode ini adalah terfokusnya perhatian pada tema, baik tema yang ‎ada dalam Alquran itu sendiri, maupun tema-tama yang muncul di tengah-tengah ‎kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, metode ini dipandang sebagai metode yang ‎paling tepat untuk mengatasi berbagai masalah dalam kehidupan umat manusia. ‎Karena ia dapat memberikan jawaban dengan konsep Alquran terhadap berbagai ‎persoalan yang dihadapi umat manusia. ‎
Lebih dari itu, jawaban Alquran yang disajikan melalui metode tafsir maudhu’i ini ‎dapat memperkecil kontroversi pemahaman tentang sesuatu masalah. Karena ayat-‎ayat yang ditafsirkannya dipahami secara integral, tidak parsial, sehingga ‎pemahamannya tidak terkotak-kotak pada suatu ayat tertentu dan pendapat ‎mufassir tertentu pula.‎
Kitab-kitab tafsir yang disusun dengan menggunakan metode maudhu’i, tidak ‎didapati dalam bentuk kitab-kitab tafsir dengan metode yang lain. Karena ia ‎sifatnya tematik, maka pemunculannya berupa buku-buku mengenai tema tertentu ‎yang digali dari Alquran. Contohnya seperti:‎

Dhomir dalam ilmu tafsir
اَلضَّمِيْرُ
‎(Kata Ganti Orang)‎

A. Dhomir Munfashil
Dhomir Munfashil adalah dhomir yang penulisannya terpisah dengan kata yang ‎lain.‎

Pembacaan Tabel
هُوَ‎ Dia (Seorang laki-laki)‎
هُمَا‎ Mereka (Dua orang laki-laki/perempuan)‎
هُمْ‎ Mereka (Para lelaki)‎
أَنْتَ‎ Kamu (Seorang laki-laki)‎
أنْتُمْ‎ Kalian (Para lelaki) dst..‎
Contoh:‎
هُوَ أُسْتاَذٌ‎ (Dia adalah seorang Ustadz)‎
أَنَا مسْلِمٌ‎ (Aku adalah seorang muslim)‎
B. Dhomir Muttashil
Dhomir Muttashil adalah dhomir yang penulisannya bersambung dengan kata ‎yang lain.‎

Pembacaan Tabel
كِتَابُهُ‎ Bukunya (Buku milik laki-laki itu)‎
كِتَابُهُنَّ‎ Buku mereka (Buku milik para perempuan itu)‎
كِتَابُُنَا‎ Buku kami dst..‎
C. Dhomir Mustatir
Dhomir Mustatir adalah dhomir yang tidak tertulis dalam kalimat akan tetapi ‎tersembunyi dalam suatu kata.‎
Fa’il Berbentuk Dhomir Dari Fi’il Madhi‎
Mengenal Fa’il Yang Berbentuk Dhomir
‎1. Fi’il Madhi‎

كَتَبَ‎: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya ‎هُوَ
كَتَبَا‎: Fa’ilnya adalah alif
كَتَبُوا‎: Fa’ilnya adalah wawu‎
كتَبَتْ‎: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya ‎هِيَ
كَتَبَتَا‎: Fa’ilnya adalah alif‎
كَتَبْنَ‎: Fa’ilnya adalah nun‎
كَتَبْتَ‎: Fa’ilnya adalah ta’‎
كَتَبْتُمَا‎: Fa’ilnya adalah ta’‎
كَتَبْتُمْ‎: Fa’ilnya adalah ta’‎
كَتَبْتِ‎: Fa’ilnya adalah ta’‎
كَتَبْتُمَا‎: Fa’ilnya adalah ta’‎
كَتَبْتُنَّ‎: Fa’ilnya adalah ta’‎
كَتَبْتُ‎: Fa’ilnya adalah ta’‎
كَتَبْنَا‎: Fa’ilnya adalah ‎نَا
Contoh:‎
مُحَمَّدٌ كَتَبَ الدَّرسَ
Fa’il dari kalimat ini adalah dhomir mustatir yang taqdirnya ‎هُوَ
الْمُسْلِمُوْنَ فَهِمُوْا الدَّرْسَ
Fa’il dari kalimat ini adalah wawu
جَلَسْتُ عَلَى الْكُرْسِيِّ
Fa’il dari kalimat ini adalah ta’‎
Fa’il Berbentuk Dhomir Dari Fi’il Mudhori
‎2. Fi’il Mudhori’‎

يَكْتُبُ‎: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya ‎هُوَ
يَكْتُبَانِ‎: Fa’ilnya adalah alif‎
يَكْتُبُوْنَ‎: Fa’ilnya adalah wawu‎
تَكْتُبُ‎: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya ‎هِيَ
تَكْتُبَانِ‎: Fa’ilnya adalah alif‎
يَكْتُبْنَ‎: Fa’ilnya adalah nun‎
تَكْتُبُ‎: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir taqdirnya ‎أَنْتَ
تَكْتُبَانِ‎: Fa’ilnya adalah alif‎
تَكْتُبُوْنَ‎: Fa’ilnya adalah wawu‎
تَكْتُبِِيْنَ‎: Fa’ilnya adalah ya’‎
تَكْْتُبَانِ‎: Fa’ilnya adalah alif
تَكْتُبْنَ‎: Fa’ilnya adalah nun‎
أَكْتُبُ‎: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya ‎أَنَا
نَكْتُبُ‎: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya ‎نَحْنُ
Contoh:‎
مُحَمَّدٌ يَرْكَبُ الْحِصَانَ
Fa’il dari kalimat ini adalah dhomir mustatir yang taqdirnya ‎هُوَ
الْمُمَرِّضَاتُ يَدْخُلْنَ الْمُسْتَشْفَى
Fa’il dari kalimat ini adalah nun
نَكْتُبُ الرِّسَالَةَ
Fa’il dari kalimat ini adalah dhomir mustatir yang taqdirnya ‎نَحْنُ

‎ Fa’il Berbentuk Dhomir Dari Fi’il Amr‎
‎3. Fi’il Amr
اُكْتُبْ‎: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya ‎أَنْتَ
اُكْتُبَا‎: Fa’ilnya adalah alif
اُكْتُبُوْا‎: Fa’ilnya adalah wawu‎
‎" MUNASABAH ANTAR AYAT"‎
Perkataan "munasabah", menurut bahasa artinya : sesuai, cocok atau patut. ‎
Menurut istilah di kalangan ahli Ilmu Al-Qur'an, ada macam-macam rumusannya ‎atau pengertiannya. ‎
Menurut Dr. Mana' Qathan dalam kitabnya yang bertitel "Mabahis fi Ulumil ‎Qur'an" disebutkan pengertian munasabah sebagai berikut :‎

‎"Segi pertalian antara kalimat dengan kalimat dalam satu ayat atau antara ‎ayat dengan ayat dalam banyak ayat atau antara surat dengan surat.”‎

Menurut definisi tersebut, segi persesuaian pada garis besarnya ada tiga macam :‎

Pertama : Persesuaian antar kalimat (jumlah), yaitu Persesuaian antara kalimat-‎kalimat dalam satu ayat.‎
Kedua : Persesuaian antar ayat. Artinya persesuaian antara satu ayat dengan ‎berikutnya atau dengan ayat sebelumnya.‎
Ketiga : Persesuaian antar surat. Artinya persesuaian antara pembuka surat ‎dengan penutup surat sebelumnya atau antara penutup surat dengan pembuka ‎surat berikutnya. ‎

PEMBAHASAN

Pengertian Munasabah Kata Munasabah secara etimologi, menurut as-Syuyuti ‎berrarti al-Musakalah ‎‏ المشكلة‎(keserupaan) dan al-Muqabarah ‎المقبرة ‏‎ ‎‎(kedekatan). ‎
• ‎
Sedangkan menurut terminologi dapat didefinisikan sebagai berikut:‎
• Menurut az-Zarkasyi.‎

Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan ‎pada akal, pasti akal itu menerimanya.‎

• Menurut Ibnu al-‘Araby‎

Munasabah adalah keterkaitan ayat-ayat al-Qur’an sehingga seolah-‎olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan ‎keteraturan redaksi

• Menurut al-Biqai ‎
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-‎alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian al-Qur’an baik ayat ‎dengan ayat atau surat dengan surat.‎

Jadi untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam al-‎Qur’an diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam.‎
As-Syuyuti menjelaskan beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk ‎menemukan munasabah ini, yaitu:‎
Memperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.‎

Dasar Pemikiran Adanya Munasabah Diantara Ayat-ayat atau Surat-surat al-‎Qur’an.‎
As-Syitibi menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung ‎banyak masalah, namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dan ‎lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan ‎pandangan pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat ‎atau sebaliknya. Karena bila tidak demikian akan terabaikan maksud ayat-ayat ‎yang diturunkan.‎
Mengenai hubungan antara satu ayat atau surat dengan ayat atau surat lain ‎‎(sebelum atau sesudah) tidaklah kalah pentingnya dengan mengetahui sebab ‎Nuzulul Ayat. Sebab mengetahui adanya hubungan antara ayat-ayat dan surat-‎surat itu dapat pula membantu kita memahami dengan tepat surat-surat dan ‎ayat-ayat yang bersangkutan. Ilmu al-Qur’an ini disebut ilmu Tunasabil ‎aayatiwasuwar.‎

Ilmu ini menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat atau beberapa ‎surat al-Qur’an. Apakah hubungan itu berupa ikatan antara ‘umm’ (umum) ‎dan khusus, atau antara abstrak dan konkrit, atau antara sebab akibat atau ‎antara illat dan ma’kulnya ataukah antara rasional dan irrasional bahkan dua ‎hal yang kontardiksi.‎
Macam-macam Munasabah Menurut as-Syuyuti dalam kitab Asror, terdapat ‎tujuh macam munanasabah, yaitu: Munasabah antar surat dengan surat ‎sebelumnya As-Suyuti menyimpulkan bahwa munasabah antar satu surat ‎dengan surat sebelumnya, seperti contoh dalam surat al-Fatikhah ayat 1 ‎terdapat ungkapan Alhamdulillah. Ungkapan ini berkorelasi dengan surat al-‎Baqarah ayat 152 dan 186‎

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ (١٥٢)‏
‎152. karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu[98], dan ‎bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.‎

‎[98] Maksudnya: aku limpahkan rahmat dan ampunan-Ku kepadamu.‎


Munasabah antara nama surat dan tujuan turunnya
Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol dan itu tercermein ‎pada namanya masing-masing. ‎
Umpamanya pada surat al-Baqarah ayat 67-71, yang menceritakan tentang ‎lembu betina yang intinya membicarakan tentang kekuasaan Tuhan ‎membangkitkan orang mati. Dengan kata lain, tujuan surat ini adalah ‎menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan pada hari kemudian.‎

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ ‏مِنَ الْجَاهِلِينَ (٦٧)قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لا فَارِضٌ وَلا بِكْرٌ ‏عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ (٦٨)‏
‎67. dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh ‎kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan ‎Kami buah ejekan?"[62] Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi ‎salah seorang dari orang-orang yang jahil".‎
‎68. mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami, agar Dia menerangkan ‎kepada kami; sapi betina Apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman ‎bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara ‎itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".‎

‎[62] Hikmah Allah menyuruh menyembelih sapi ialah supaya hilang rasa penghormatan ‎mereka terhadap sapi yang pernah mereka sembah.‎


• Munasabah ini sering terlihat jelas tetapi sering pula tidak jelas. ‎Munasabah yang terlihat jelas biasanya menggunakan pola ta’kid ‎‎(penguat), tafsir (penjelas), i’tiradh (bantahan) dan tasdid (penegasan).

Munasabah dengan pola ta’kid yaitu apabila salah satu ayat atau bagian ‎ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat terletak disampingnya ‎seperti contoh, ungkapan ‎‏ ‏‎ ‎رب العالمين‎ pada ayat kedua memperkuat kata ‎الرحمن‎ dan ‎الرحيم ‏‎ pada ayat pertama.‎

Munasabah antara suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat disampingnya
Dalam surat al-Baqarah ayat 1-20, umpama Allah memulai penjelasan-Nya, ‎tentang kebenaran dan fungsi al-Qur’an bagi orang-orang yang bertaqwa. ‎Dalam kelompok ayat berikutnya dibicarakan tentang tiga kelompok manusia ‎dan sifat mereka yang berbeda-beda yakni mukmin, kafir dan munafik.

Munasabah antar fasilah (pemisah) dan isi ayat
Jenis munasabah ini mengandung tujuan tertentu diantaranya tamkin ‎‎(menguatkan) makna yang terkandung dalam suatu ayat. Seperti contoh dalam ‎surat al-Ahzab ayat 25.
Dalam ayat ini Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan ‎bukan karena menganggapnya lemah melainkan karena Allah Maha Kuat dan ‎Maha Perkasa. Jadi adanya Kashilah diantara penggalan ayat di atas ‎dimaksudkan agar pemahaman terhadap ayat tersebut menjadi lurus dan ‎sempurna.

Munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama
Munasabah semacam ini, as-Syuyuti, telah mengarang sebuah kitab yang ‎berjudul Marasyid al-Mathali fi Tanasub al-Maqali wa al-Mathali, seperti ‎contoh yang terdapat dalam surat al-Qashas yang diawali dengan penjelasan ‎perjuangan Nabi Musa ketika berhadapan dengan kekejaman Fir’aun atas ‎perintah dan pertolongan Allah, Nabi Musa berhasil keluar dari Mesir setelah ‎mengalami berbagai tekanan. Pada akhir surat Allah menyampaikan kabar ‎gembira kepada NAbi Muhammad yang menghadapi tekanan dari kaumnya ‎dan janji Allah atas kemenangannya. Munasabah disini terletak dari sisi ‎kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.

Munasabah penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya.
Jika memperhatikan setiap pembukaan surat, kita akan menjumpai munasabah ‎dengan akhir surat sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. ‎Seperti pada permulaan surat al-Hadid yang dimulai dengan tasbih:

Ayat ini bermunasabah dengan ayat sebelumnya yakni surat al-Waqi’ah.
Pendapat Ulama Tentang Munasabah
Syaikh Izuddin Abdus Salam, memberikan alasan beliau berkata: “munasabah ‎adalah ilmu yang baik, tetapi dengan syarat adanya hubungan yang jelas ‎dalam satu persoalan, menyatu antara awal dan akhirnya, keduanya sama-‎sama mempunyai hubungan dan apabila terjadi dalam sebab-sebab yang ‎berbeda maka hal tersebut tidak masuk dalam syarat tersebut”.

Muhammad Izzah Daruzzah, menyatakan, bahwa semula tidak ada hubungan ‎antara satu surat atau ayat dengan ayat atau surat yang lain.
Dr. Shubhi al-Shalik, mengemukakan bahwa mencari hubungan antara satu ‎surat dengan surat yang lainnya adalah sesuatu yang sulait dan sesuatu yang ‎dicari-cari tampa ada pedoman atau petunjuk, kecuali hanya didasarkan atas ‎tertib surat-surat taukifi itu.
Hanya sedikit ulama tafsir yang mengungkapkan adanya munasabah atau ‎relevansi antara surat-surat, mereka cukup mencari-cari adanya dua lafadz ‎yang serupa atau adanya dua ayat yang sebanding didalam kedua surat yang ‎berurutan letaknya, baik dua lafadz dan dua ayat yang serupa atau sebanding ‎itu terdapat permulaan atau pertengahan maupun penghabisan surat.

Kaidah Mempelajari Ilmu Munasabah
Menggali mukjizat al-Qur’an dari segi bahasanya, sehingga kita dapat mengetahui ‎mutu dan tingkat ke Balaghah-an bahasa al-Qur’an, sehingga dapat lebih ‎meyakinkan bahwa al-Qur’an adalah mukjizat Allah bagi Nabi Muhammad SAW.
Memperluas balasan para musyafir untuk memahami makna yang dikandungnya ‎sehingga akan lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap al-‎Qur’an.
Dapat membantu dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga mempermudah ‎penjelasan hukum.‎
SEJARAH TAFSIR DAN PERKEMBANGANNYA


Tafsir Pada Masa Nabi Muhammad Saw.‎

Metode penafsiran Al-Qur’an pada zaman Nabi adalah penjelasan secara langsung ‎oleh beliau sendiri, sebab orang yang paling memahami Al-Qur’an adalah ‎Rasulullah, beliau selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya. ‎

Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir Al-juhani ‎berkata :‎

‎“Saya mendengar Rasulullah berkhutbah di atas mimbar membaca firman Allah: ‎siapkan kekuatan segenap kemampuanmu untuk menghadapi musuhmu lalu ‎beliau bersabda: ‎

‎“Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”. (HR Abu Dawud, no 2516)‎

Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori (4966) Rasulullah bersabda tentang ‎Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadanya (nanti) di surga.‎

Tafsir Pada Masa Shahabat.‎

Metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah melalui tiga macam cara; ‎

a.‎ Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, ‎
b.‎ menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, ‎
c.‎ dengan kemampuan ijtihad.‎

‎2.1 Tafsir Al-Qur’an Dengan Al-Qur’an

Cara penafsirannya adalah melalui metode mujmal ditafsirkan oleh mubaiyin, ‎muthlaq ditafsirkan oleh muqaiyad, Al-Am di tafsirkan oleh Al-Khas dan ‎sebahagian qira-at ditafsirkan oleh qiara-at yang lain.‎

Contoh Al-Am di takhsis dengan Al Khash

وَالْعَصْرِ (١)إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢)إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ‏‏(٣)‏

‎1. demi masa.‎
‎2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,‎
‎3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya ‎mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.‎



Tafsir Al-Qur’an Dengan Sunnah Rasulullah

Cara penafsirannya adalah melalui beberapa metode, antaranya:‎
a.‎ Hadits berfungsi sebagai menyatakan yang mujmal dalam Al-qur'an, ‎taudhihil musykil, takhsihsul Am dan taqyidul Muthlaq.‎
b.‎ Hadits berfungsi sebagai menyatakan makna lafadh atau yang berkaitan ‎ayat dengan ayat dalam Al-Qur’an.‎
c.‎ Hadits berfungsi sebagai menyatakan hukum tersendiri yang belum ‎tersebut dalam Al-Qur’an.‎
d.‎ Hadits berfungsi sebagai menyatakan nasakh ayat tertentu dalam Al-‎Qur’an.‎
e.‎ Hadits berfungsi sebagai menyatakan penguatan ayat dalam Al-Qur’an

Tafsir Al-Qur’an Dengan Kemampuan Ijtihad.‎

Cara penafsiran melalui Ijtihad ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara ‎lain:‎
‎1.Mengetahui kedudukan bahasa Arab dan rahasianya‎
‎2.Mengetahui adat orang Arab‎
‎3.Mengetahui kondisi kaum Yahudi dan Nashrani di kepulauan Arab pada waktu ‎turun Al-Qur’an.‎
‎4.Mampu memahami Al-Qur’an dan mampu bernalar. ‎


Tafsir Al-Qur’an dengan cerita Israiliyat.‎

Cara penafsirannya adalah melalui berita yang berasal dari orang-orang Yahudi ‎dan Nashrani. Rasulullah pernah bersabda "jika dikisahkan padamu tentang Ahlul ‎kitab maka janganlah dibenarkan dan jangan pula dianggap dusta". Maksudnya ‎ialah supaya kaum muslimin menyelidiki dahulu kebenaran hal tersebut, setelah ‎nyata kebenarannya barulah diambil sebagai pegangan.‎

Di antara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, ‎Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, ‎Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak ‎menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan ‎Abdullah bin Abbas7.‎

Tafsir Dan Metodenya Pada Zaman Tabi’in

Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa ‎sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini ‎muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir di antaranya:‎
‎1.Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir ‎terkenal seperti Mujahid bin Jabr, Said bin Jabir, Ikrimah Maula ibnu Abbas, ‎Thawus Al-Yamany dan ‘Atha’ bin Abi Rabah.‎
‎2.Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar ‎tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-‎Quradli.‎
‎3.Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, di antara murid-muridnya yang ‎terkenal adalah Al-Qamah bin Qais, Hasan Al-Basry dan Qatadah bin Di’amah ‎As-Sadusy.‎
Tafsir yang disepakati oleh para tabi’in bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila ‎terjadi perbedaan di antara mereka maka pendapat tersebut tidak bisa dijadikan ‎dalil atas pendapat yang lainnya8.‎

Tafsir Dan Metodenya Pada Zaman tabi' tabi'in

Ahli sejarah berpendapat zaman ini sekitar abad ke 3 Hijriah atau zaman sesudah ‎zaman Tabi'in. di zaman inilah munculnya para imam-imam mazhab dalam fiqh. ‎Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini mulai mencantumkan nama ‎guru tempat mereka mengambil hadits yang sanadnya sampai ke Rasulullah Saw. ‎Penulis tafsir yang terkenal di zaman ini antaranya Al-Waqidi (wafat 207), ‎sesudah itu ibnu Jarir Ath-thabarri (wafat 310)9.‎

Tafsir Dan Metodenya Pada Abad 4 H – 12 H‎

Ahli sejarah berpendapat zaman ini sekitar abad ke 4 Hijriah atau zaman sesudah ‎zaman salaf. Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak hanya ‎mengutip riwayat dari sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in saja tetapi telah mulai ‎bekerja menyelidiki dan membuat perbandingan penafsiran sesuai dengan ‎perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, di mana logika dan ilmu filsafat telah ‎dipelajari. Buku tafsir di periode awal seperti nik wal 'uyun oleh Al-mawardi, ‎bahrul ulum oleh samrqandi, tafsir al-bughawi dan lain-lain. Pada zaman ini ‎banyak sekali melahirkan buku tafsir dengan berbagai gaya penafsiran seperti ‎gaya sastra bahasa, gaya kisah-kisah, gaya filsafat, gaya teologi, gaya penafsiran ‎ilmiah, gaya fiqih atau hukum, gaya tasawuf dan lain-lain.‎

‎1.6 Tafsir Dan Metodenya Pada Zaman Modern (12 H – 14 H)‎
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini sastra budaya kemasyarakatan ‎yang mencakup berbagai hal kemasyarakatan seperti unsur kesehatan dan ‎kejiwaan. Kebanyakan tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-‎Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha ‎untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka ‎berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk ‎tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar10. Di antara ‎tokoh di zaman ini Syaikh Muhammad 'Abduh, Abu A'la Al-Maududi, Sayid Qutb ‎dan lain-lain.‎

Tafsir Ke dalam Bahasa Indonesia

Usaha penafsiran Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia pertama kali oleh ‎A.Hasyim cs tahun 1936 namun tidak lengkap. Tafsir pertama yang paling ‎lengkap dalam bahasa Indonesia oleh Pro. T.M. Hasbi Ash Shidieqy dari Aceh ‎tahun 195611.‎

Terjemahan Al-Qur'an Ke Dalam Bahasa Asing

Setelah umat Islam tersebar di berbagai pelosok dunia maka keinginan untuk ‎mengetahui Al-Qur’an dengan bahasanya sendiri semakin meningkat maka ‎timbullah usaha untuk menterjemahkan Al-Qur’an ke berbagai bahasa dunia.‎

‎4.1 Terjemahan Al-Qur'an Ke Dalam Bahasa Barat
Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Eropa terjadi pada tahun 1135 M untuk ‎keperluan biara Clugny, kemudian menyusul dalam bahasa Jerman oleh Boysen ‎tahun 1773. adapun terjemahan dalam bahasa Inggris pertama kali oleh A. Ross ‎yang merupakan terjemahan dari bahasa Perancis tahun 1647. terjemahan Al-‎Qur'an yang paling terkenal di dunia Barat dan Timur ialah Abdullah Yusuf Ali, ‎The Holy Qur'an Text tahun 1934.‎

‎4.2 Terjemahan Al-Qur'an Ke Dalam Bahasa Indonesia
Seiring perjalanan waktu, Al-Qur'an telah diterjemahkan hampir dalam seluruh ‎bahasa dunia, tidak terkecuali bahasa Indonesia. Al-Qur'an diterjemah ke dalam ‎bahasa Melayu Indonesia pertama kali pada pertengahan abad 17 M oleh Abdul ‎Rauf Fansury, seorang ulama dari singkel Aceh12.‎

C. Sejarah Tafsir Al-Qur’an
Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah SAW masih ‎hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang ‎makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung ‎menanyakan pada Rasulullah SAW. Secara garis besar ada tiga ‎sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan ‎Al-Qur’an : 1. Al-Qur’an itu sendiri karena terkadang satu hal yang ‎dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih ‎terperinci di ayat lain. 2. Rasulullah SAW semasa masih hidup ‎para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang ‎makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka ‎berselisih paham tentangnya. 3. Ijtihad dan Pemahaman mereka ‎sendiri karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat ‎memahami makna perkataan dan mengetahui aspek ‎kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai ‎mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena ‎disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah ‎azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’y ‎maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak ‎disandarkan pada Rasulullah SAW.‎
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur’an ‎antara lain empat khalifah , Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’b, ‎Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada ‎masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih ‎bercampur dengan hadits. Sesudah generasi sahabat, datanglah ‎generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah ‎masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur’an ‎yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab ‎tersendiri yaitu Mekkah dengan madrasah Ibn Abbas dengan ‎murid-murid antara lain Mujahid ibn Jabir, Atha ibn Abi Ribah, ‎Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani dan Said ‎ibn Jabir. Madinah dengan madrasah Ubay ibn Ka’ab dengan ‎murid-murid Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi, Abu al-Aliyah ar-‎Riyahi dan Zaid ibn Aslam dan Irak dengan madrasah Ibn Mas’ud ‎dengan murid-murid al-Hasan al-Bashri, Masruq ibn al-Ajda, ‎Qatadah ibn-Di’amah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan ‎Marah al-Hamdani. Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian ‎dari hadits namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari ‎guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, ‎riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun ‎belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali ‎dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi ‎kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya ‎seperti Ibn Majah, Ibn Jarir at-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir ‎an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang ‎disebut tafis bi al-Matsur.‎
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti ‎Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan ‎memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Mekipun begitu ‎mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode ‎lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan ‎masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir ‎bi al-ray yang memperluas ijtihad dibandingkan masa ‎sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf ‎melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir ‎isyarah.‎
D. Bentuk Tafsir Al-Qur’an
Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur’an yang dihasilkan ‎secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:‎


D.1 Tafsir bi al-Matsur
Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti ‎sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan ‎penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan ‎masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi ‎SAW. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada ‎kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan ‎Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai ‎penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah ‎yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan ‎perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in karena mereka pada ‎umumnya menerimanya dari para sahabat. Contoh tafsir Al ‎Qur’an dengan Al Qur’an antara lain: “wa kuluu wasyrobuu hattaa ‎yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswadi ‎minal fajri….”(QS 2, Al Baqarah:187) Perkataan minal fajri adalah ‎tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat al khaitil abyadhi. ‎Contoh Tafsir Al Qur’an dengan Sunnah antara lain: “alladziina ‎amanuu wa lam yalbisuu iimaanahum bizhulmin……”(QS Al ‎An’am 82) Rasulullah s.a.w.menafsirkan dengan mengacu pada ‎ayat : “innasy syirka lazhulmun ‘azhiim” (QS Luqman 13) Dengan ‎itu Beliau menafsirkan makna zhalim dengan syirik. Tafsir-tafsir ‎bil ma’tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu ‎Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma’tsur fit Tafsiri bil ‎Ma;tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al ‎Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al ‎Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja’far An ‎Nahhas)‎

D.2. Tafsir bi ar-Rayi

Seiring perkembangan zaman yang menuntut ‎pengembangan metoda tafsir karena tumbuhnya ilmu ‎pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini ‎memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan ‎tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu ‎qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih ‎dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan ‎kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan ‎mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu ‎pengetahuan yang ada. Contoh Tafsir bir ra’yi dalam Tafsir ‎Jalalain: “khalaqal insaana min ‘alaq” (QS Al Alaq 2) Kata ‘alaq ‎disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz ‘alaqah yang ‎berarti segumpal darah yang kental. Beberapa tafsir bir ra’yi yang ‎terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin ‎Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur ‎Rahman As Sayuthi),Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Fakhrur Razy, ‎Tafsir Abu Suud, Tafsir An Nasafy, Tafsir Al Khatib, Tafsir Al ‎Khazin.‎
D.3. Tafsir Isyari
menurut kaum sufi setiap ayat mempunyai makna yang ‎zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami ‎oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-‎isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui ‎oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ‎ungkapan-ungkapan Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke ‎dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-‎ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari. Contoh bentuk ‎penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat: ‎‎“…….Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah…..”(QS Al ‎Baqarah 67) yang mempunyai makna zhahir adalah ‎‎“……Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor ‎sapi betina…” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan ‎‎“….Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu ‎hewaniah…” Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: ‎Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, TafsirAt Tastary, Tafsir Ibnu ‎Araby.‎

QIRA’AT AL-QURAN DAN MACAM-MACAMNYA

A.‎ Pengertian

Berdasarkan etimologi (bahasa), qira`at jamak dari qira`ah, yang ‎merupakan isim mashdar dari qara`a. Qiro’ah artinya bacaan. ‎Adapun secara terminologi (istilah): ”Ilmu yang mempelajari tata ‎cara manyampaikan atau membaca kalimat-kalimat al-Qur’an dan ‎perbedaan-perbedaannya yang disandarkan kepada orang yang ‎menukilnya”.‎

Akan tetapi dalam membicarakan definisi konsep qira`at, para ‎ulama’ menggunakan berbagai definisi yang cukup beragam sesuai ‎dengan paradigma yang dipakai. Namun perbedaan cara ‎pendefinisian sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, ‎yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan al-Qur’an walaupun ‎sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Nabi Muhammad. ‎Adapun definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyngkut ‎ruang lingkup pebedaan diantara beberapa qira’at yang ada. ‎Dengan demikian, ada tiga unsur qira`at yang dapat ditangkap ‎dari definisi di atas, yaitu:‎
‎1. Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat al-Qur’an ‎yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara ‎yang dilakukan imam-imam lainnya.‎
‎2. Cara pelafalan ayat-ayat al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat ‎yang bersambung kepada Nabi, sehingga bersifatnya tauqifi, ‎bukan ijtihadi.‎
‎3. Ruang lingkup perbedaan qira`at itu menyangkut persoalan ‎lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl.‎
Menurut Az-Zarqani mengistilahkan qira`at dengan: ”Suatu ‎madzab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurro` ‎yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an ‎al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baiknya ‎itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun ‎pengucapan bentuknya. ‎
B. Macam-Macam Qira’at
Pertama, macam-Macam Qira’at Dari Segi kuantitas/ jumlahnya. ‎Adapun sebutan qira`at dari segi jumlah qira’at ada bernacam-‎macam. Ada yang bernama qira`at tujuh, qira`at delapan, qira`at ‎sepuluh, qira`at sebelas, qira`at tiga belas, dan qira`at empat ‎belas. Tetapi dari sekian macam jumlah qira`at yang dibukukan, ‎hanya tiga macam qira’at yang terkenal yaitu:‎

‎1. Qira`at al-Sab’ah: ialah qira`at yang dinisbatkan kepada para ‎imam qurro` yang tujuh yang masyhur. Mereka adalah: Nafi`, Ibnu ‎Katsir, Abu Amru, Ibnu Amir, Ashim, Hamzah dan Kisa`i.‎
‎2. Qira`at ‘asyroh: ialah qira`at sab’ah diatas ditambah dengan tiga ‎qira`at lagi, yang disandarkan kepada : Abu Ja’far, Ya’qub dan ‎Khalaf Al-‘Asyir.‎
‎3. Qira`at arba’: ialah qira`at ‘asyrah yang lalu ditambah dengan ‎empat qira’ah lagi, yang disandarkan kepada: Ibnu Muhaishin, Al-‎Yazidi, Hasan Al-Bashri dan Al-A’masy.‎

Dari tiga macam qira’at ini, qira’at sab’ah-lah yang paling masyhur ‎dan terkenal, menyusul qira`at ‘asyrah.‎
Kedua, dari segi kualitas, berdasarkan penelitian al-Jazari, qira`at ‎berdasarkan kualitas dapat dikelompokkan dalam lima bagian:‎
‎1. Qira`at Mutawatir, yaitu qira`at yang diriwayatkan oleh ‎orang banyak dari orang banyak yang tidak mungkin terjadi ‎kesepakatan di antara mereka untuk berbohong.‎
‎2. Qira`at Masyhur, yakni qira’at yang memilki sanad sahih, tetapi ‎tidak sampai kepada kualitas mutawatir. Qira`at ini sesuai dengan ‎kaidah bahasa Arab dan tulisan Mushaf ‘Utsmani, masyhur ‎dikalangan qurro`, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ‎ditetapkan al-Jazari, dan tidak termasuk qira`at yang keliru. ‎Umpamanya, qira`at dari imam tujuh yang disampaikan melalui ‎jalur berbeda-beda. Sebagian perawi, misalnya, meriwayatkan dari ‎imam tujuh itu, sementara yang lainnya tidak. Dan qira’at ‎semacam ini, banyak digambarkan dalam kitab-ktab qira`at, ‎misalya At-Taisir karya Ad-Dani, Qashidah karya Asy-Syatibi, ‎Au’iyyah An-Nasyr fi Al-Qira’ah al-‘Asyr, dan An-Nasyr (kedua ‎kitab yang terakhir ditulis Ibn Al-Jazari.‎

‎4.‎ Qira`at Ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi ‎menylahi tulisan Mushaf ‘Utsmani dan kaidah bahasa Arab, ‎tidak memilki kemasyhuran, dan tidak dibaca sebagaimana ‎ketetuan yang telah ditetapkan Al-Jazari. At-Turmudzi ‎dalam kitab Jami’-nya dan Al-Hakim dalam Mustadrak-nya ‎menempatkan qira`at seperti ini dalam bahasa khususnya, ‎diantara riwayat yang dikeluarkan Al-Hakim melalui ‘Ashim ‎Al-Jahdiri, dari Abu Bakah yang menyebutkan bahwa Nabi ‎Saw. membaca ayat:‎

‎“Mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-‎permadani yang indah”.(QS:55:76).‎
Qira’at versi Mushaf ‘Utsmani berbunyi:‎
‎4. Qira’at Syadz (menyimpang): yakni qira’at yang sanadnya tidak ‎sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qira’at ini. ‎Diantaranya adalah:‎
‎”Yang meguasai hari pembalasan.”‎
Qira’at versi Mushaf’ Utsmani berbunyi:‎
‎5.‎ Qira’at Maudhu’(palsu), yaitu qira’at yang dibuat-buat dan ‎disandarkan kepada seorang tanpadasar. Seperti qira’at ‎yang disusun oleh Abu Al-Fadhl Muhammad bin Ja’far dan ‎mensbtkannya kepada Imam Abu Hanifah. Misalnya:‎


Dengan merofa’kan lafdhul jalalah dan menashabkan hamzah dari ‎kalimat (‎العلماء‎). Padahal qiro’qt yang benar adalah sebaliknya. ‎Qira’at seperti ini tidak ada dasarnya. Dan imam Abu Hanifah ‎bersih dari semua itu.‎


Qira’at jenis ini tidak boleh dipakai di dalam da di luar shalat. ‎Bahkan harus ditolakdan diingkari keberadaannya.‎

‎6. Qira’at Syabih bi al-mudroj, yaitu qira’at yang mirip dengan ‎mudroj dari macam-macam hadis. Dia adalah qira’at yang ‎didalamnya ditambah kalimat sebagai tafsir dari ayat tersebut. ‎Seperti qira’at Sa’ad bin Abi Waqqosh yang berbunyi surat an-nisa ‎ayat 12 ‎وَلهُ أَخٌ أوْ أ ُختٌ من أ ُمّ
Qira’at versi Utsmani berbunyi:‎

وَلهُ أَخٌ أوْ أ ُختٌ‎ tanpa adanya penambahan (‎من أ ُمٍّ‎ )‎

Tolak ukur yang dijadikan pegangan para ulama’ dalam ‎menetapkan qira’at yang sahih adalah sebagai berikut:‎

a. Bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab, baik yang fasih atau ‎paling fasih. Sebab, qora`at adalah sunnah yang harus diikuti, ‎diterima apa ‎






adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, ‎bukan pada rasio.‎

b. Bersesuai dengan salah satu kaidah penulisan Mushaf ‘Ustman ‎walaupun hanya kemungkinan (ihtimal) atau mendekati. Misalnya, ‎lafadz maliki yaumi al-din (‎ما لك يوم الدين‎), dituliskan pada semua ‎mushaf dengan membuang alif, sehingga dibaca pendek pada ‎lafadz maliki (‎ملك‎)‎
c. Memiliki sanad yang sahih atau jalan periwayatannya benar, ‎sebab qira`at merupakan sunnah yang diikuti yang didasarkan ‎pada penukilan dan kesahihan riwayat.‎
B.‎ Penyebab Perbedaan Qira’at

Sebab-sebab munculnya beberapa qira’at yang berbeda adalah:‎
‎1. Perbedaan qira’at Nabi: artinya dalam mengajarkan al-Qur’an ‎kepada para sahabatnya, Nabi memakai beberapa versi qira’at. ‎Misalnya, Nabi pernah membaca surat As-Sajdah (32) ayat 17 ‎sebagai berikut:‎
‎2. Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku ‎dikalangan kaum Muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut dialek ‎diantara mereka dalam mengucapkan kata-kata didalam al-‎Qur’an. Contohnya:‎
a. Ketika seorang Hudzail membaca dihadapan Rasul atta hin, ‎pada hal ia menghendaki hatta hin. Rasul pun membolehkannya ‎sebab memang begitulah orang Hudzail mengucapkan dan ‎menggunakannya.‎
b. Ketika orang Asadi membaca di hadapan Rasul tiswaddu wujuh, ‎huruf ta’ pada kata tiswaddu dikasrahkan. Dan alam i’had ‎‎(dikasrahkan), Rasul pun membolehkanya, sebab demikianlah ‎orang Asadi menggunakan dan mengucapkannya.‎
c. Ketika seorang Tamim mangucapkan hamzah pada suatu kata ‎yang tidak diucapkan orang Quraisy, Rasul pun membolehkannya, ‎sebab demikianlah orang Tamim menggunakan dan ‎mengucapkanya.‎
d. Ketika seorang qari’ membawa wa idza qila lahum dan qhidha ‎al-ma’u dengan menggabungkan dhammah kepada kasrah, Rasul ‎pun membolehkannya sebab demikianlah ia menggunakan dan ‎mengucapkanya.‎
‎3. Adanya riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai ‎versi qira’at yang ada.‎
‎4. Adanya lahjah atau dialek kebahasaan dikalanghan bangsa ‎Arab pada masa turunnya al-Qur’an.‎
D. Urgensi Mempelajari Qira`at dan Pengaruhnya dalam ‎Mengistinbath Hukum‎
Perbedaan anatara satu qira`ah dan qira`ah lainnya bisa terjadi ‎perbedaan huruf, bentuk, kata, susunan kalimat, dan lain-lain. ‎Perbedaan ini tentu sedikit atau banyak membawa perbedaan ‎kepada makna yang selanjutnya berpengaruh kepada hokum ‎diistinbath. Urgensi perbedaan qir`at terhadap hukum yaitu:‎
‎1. ilmu qira`at dapat menguatkan ketentuan hokum yang telah ‎disepakati para ‘Ulama. Misalnya, berdasarkan surat al-Nisa` ayat ‎‎12, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki ‎dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-‎laki dan saudara perempuan seibu saja. Namun dalam qira`at ‎syadz, Sa’ad bin Abi Waqash memberi tambahan ungkapan min ‎umm (‎من أم‎), sehingga dapat memperkuat dan mengukuhkan ‎ktetapan hukum yang telah disepakati.‎
‎2. menarjih hukum yang diperselisihkan para ‘Ulama.‎
‎3. menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbea.‎
‎4. menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam ‎kondisi berbeda pula.‎
‎5. dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam al-‎Qur’an yang mungkin sulit dipahami maknanya.‎
Adapun pengaruh perbedaan qira`at dalam istinbath hukum, juga ‎memperlihatkan pengaruh. Sebagaimana dikatakan al-Zarkasyi, ‎bahwa perbedaan dengan qira`at timbullah perbedaan dalam ‎hukum. Beliau menyebutkan masalah batalnya wudhu` orang ‎yang disentuh (lawan jenis) dan tidak batalnya atas dasar ‎perbedaan qira`at pada “kamu sentuh” dan “kamu saling ‎menyentuh”. ‎

D. AL-SAB’AH AHRUFIN DALAM AL-QUR’AN

Ada yang berpendapat bahwa qira`at tujuh identik dengan hadis ‎Nabi SAW. yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam ‎tujuh huruf. Diantara hadis Nabi yang menyatakan hal tersebut ‎adalah
‎”Rasul Allah saw. bersabda: sesungguhnya al-Qur’anini ‎diturunkan dalam tujuh huruf, bacalah apa saja jenis bacaan ‎yang mudah bagimu dari al-Qur’an”. (HR. Bukhari dan Muslim).‎
Menurut Shubhi al-Shalih, bahwa yang dimaksud dengan tujuh ‎huruf dalam kajian ilmu tafsir ialah tujuh macam bacaan yang ‎diajarkan oleh Rasulallah dan tidak identik dengan qira`at al-‎sab’ah yang popular dalam dunia Islam.Istilah tersebut (baca: ‎qira`at al-sab’ah) baru lahir pada penghujunng abad II H, ‎dipelopori Ibn Mujahid.‎
Sedangkan kata “ahruf”, dalam hadis nabi tersebut, secara ‎lughawi merupakan bentuk jamak dari “harf” yang bermakna ‎musytarak (mempunyai banyak arti) dapat berarti puncak, satu ‎ejaan huruf, tepi sesuatu, bentuk, dan sebagainya. Karena itu, ‎sab’ah ahruf bisa diartikan tujuh bahasa, tujuh ilmu, tujuh ‎makna, tujuh bacaan, dan tujuh bentuk . Akan tetapi, pengertian ‎hadis tersebut Hafizh Abu ‘Amr al-Dani mengandung dua ‎kemungkinan. Pertama, berarti “tujuh cara membaca dari berbagai ‎bahasa”. Kedua, berarti “bacaan” sesuai dengan kebiasaan bangsa ‎Arab menamakan sesuatu dengan salah satu bagian terpenting ‎yang terdapat padanya dan bacaan tidak mungkin terjadi tanpa ‎adanya huruf .‎
Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan huruf-huruf ‎yang tujuh ialah segi-segi lafadz yang bermacam-macam di dalam ‎satu kalimat dan satu makna, seperti: halumma, aqbala, ta’aala, ‎‎‘ajal, asri’, fashaddi, dan nahwiyyi . Namun sebagian besar ‘Ulama ‎berpendapat bahwa tujuh huruf itu ialah tujuh bahasa, yang ‎menurut Abu Ubayd terdiri atas bahasa: Quraisy, Hudzayl, Tsaqif, ‎Hawazin, Kinanah, Tamim, dan Yaman. Hal ini menunjukkan ‎banyaknya kemungkinan cara membaca al-Qur’an yang ‎dibolehkan untuk memberi kemudahan bagi kaum muslimin yang ‎pada pokoknya terdiri dari orang-orang arab yang menggunakan ‎lahjah pada masa turunnya al-Qur’an. Untuk mewujudkan ‎kemudahan ini maka terjadilah sebagian perubahan huruf, kata, ‎kalimat, ataupun susunan kalimat dalam sebagian ayat-ayat al-‎Qur’an. Karena itu, ungkapan tentang al-Qur’an diturunkan atas ‎tujuh huruf ini lebih tepat diartikan sebagai tujuh bentuk ‎perbedaan bacaan al-Qur’an. Adapun secara garis besar bentuk ‎perbedaan itu dapat diperhatikan sebagai berikut:‎

KESIMPULAN

Mempelajari qira`at dapat meringankan dan memudahkan bagi ‎umat Islam semuanya. Khususnya kaum arab pada masa-masa ‎awal yang diajak berdialog oleh al-Qur’an, padahal mereka terdiri ‎dari banyak. Selain itu qira`at dapat membantu dalam bidang ‎tafsir. Merupakan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad ‎saw. atas umat-umat pendahulunya. Karena kitab-kitab yang ‎dahulu turun hanya dengan satu segi dan dalam satu qira`ah, ‎berbeda al-Qur’an.‎

A.‎ Pengertian Asbabun Nuzul

Menurut bahasa (etimologi), asbabun nuzul berarti turunnya ayat-ayat ‎al-Qur’an[1] dari kata “asbab” jamak dari “sababa” yang artinya sebab-sebab, ‎nuzul yang artinya turun. Yang dimaksud disini adalah ayat al-Qur’an. ‎Asbabun nuzul adalah suatu peristiwa atau saja yang menyebabkan turunnya ‎ayat-ayat al-Qur’an baik secara langsung atau tidak langsung.‎
Menurut istilah atau secara terminologi asbabun nuzul terdapat banyak ‎pengertian, diantaranya :‎
‎1. Menurut Az-Zarqani
‎“Asbab an-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta ‎hubungan dengan turunnya ayat al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas ‎hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.‎
‎2. Ash-Shabuni
‎“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan ‎turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan ‎peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan ‎kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama”.‎
‎3. Subhi Shalih
ما نزلت الآية اواآيات بسببه متضمنة له او مجيبة عنه او مبينة لحكمه زمن وقوعه
‎“Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau ‎beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa ‎sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ‎ketika peristiwa itu terjadi”‎‏ ‏
‎4. Mana’ al-Qathan
مانزل قرآن بشأنه وقت وقوعه كحادثة او سؤال
‎“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya al-Qur’an ‎berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu ‎kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi”.‎‏ ‏
‎5. Nurcholis Madjid
Menyatakan bahwa asbab al-nuzul adalah konsep, teori atau berita tentang ‎adanya sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari al-Qur’an kepada Nabi ‎saw baik berupa satu ayat, satu rangkaian ayat maupun satu surat. ‎
Kendatipun redaksi pendefinisian di atas sedikit berbeda semua ‎menyimpulkan bahwa asbab an-nuzul adalah kejadian/peristiwa yang ‎melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an dalam rangka menjawab, ‎menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian ‎tersebut.‎
Mengutip pengertian dari Subhi al-Shaleh kita dapat mengetahui ‎bahwa asbabun nuzul ada kalanya berbentuk peristiwa atau juga berupa ‎pertanyaan, kemudian asbabun nuzul yang berupa peristiwa itu sendiri terbagi ‎menjadi 3 macam :‎
‎1. Peristiwa berupa pertengkaran
Seperti kisah turunnya surat Ali Imran : 100 ‎
Yang bermula dari adanya perselisihan oleh kaum Aus dan Khazraj hingga ‎turun ayat 100 dari surat Ali Imran yang menyerukan untuk menjauhi ‎perselisihan.‎
‎2. Peristiwa berupa kesalahan yang serius
Seperti kisah turunnya surat an-Nisa’ : 43‎
Saat itu ada seorang Imam shalat yang sedang dalam keadaan mabuk, ‎sehingga salah mengucapkan surat al-Kafirun, surat An-Nisa’ turun ‎dengan perintah untuk menjauhi shalat dalam keadaan mabuk.‎
‎3. Peristiwa berupa cita-cita/keinginan
Ini dicontohkan dengan cita-cita Umar ibn Khattab yang menginginkan ‎maqam Ibrahim sebagai tempat shalat, lalu turun ayat ‎
والتخذ وامن مقام ابراهيم مصلّى
Sedangkan peristiwa yang berupa pertanyaan dibagi menjadi 3 macam, ‎yaitu :‎
‎1.‎ Pertanyaan tentang masa lalu seperti :‎
وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ ذِي الْقَرْنَيْنِ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُمْ مِنْهُ ذِكْرًا (٨٣)‏
‎“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. ‎Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya". (QS. Al-‎Kahfi: 83)‎
‎2. Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung ‎pada waktu itu seperti ayat:‎
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلا (٨٥)‏
‎“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu ‎termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan ‎melainkan sedikit". (QS. Al-Isra’ : 85)‎
‎3. Pertanyaan tentang masa yang akan datang ‎
‏ ‏‏ ‏‏ ‏¬‏ ‏�‏ ‏‏ ‏
‎“(orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari ‎kebangkitan, kapankah terjadinya?”‎
B. Macam-macam Asbab an-Nuzul
‎1. Dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbab ‎an-nuzul
a. Sarih (jelas)‎
Artinya riwayat yang memang sudah jelas menunjukkan asbabunnuzul ‎dengan indikasi menggunakan lafal (pendahuluan).‎
سبب نزول هذه الآية هذا...‏
Sebab turun ayat ini adalah ‎
حدث هذا... فنزلت الآية
Telah terjadi …… maka turunlah ayat ‎
سئل رسول الله عن كذا... فنزلت الآية
Rasulullah pernah kiranya tentang …… maka turunlah ayat.‎
b. Muhtamilah (masih kemungkinan atau belum pasti)‎
Riwayat belum dipastikan sebagai asbab an-Nuzul karena masih ‎terdapat keraguan.‎
نزلت هذه الآية فى كذا...‏
‎(ayat ini diturunkan berkenaan dengan)‎
احسب هذه الآية نزلت فىكذا...‏
‎(saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan ……)‎
ما احسب نزلت هذه الآية الا فىكذا...‏
‎(saya kira ayat ini tidak diturunkan kecuali berkenaan dengan …)‎
‎2. Dilihat dari sudut pandang terbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat atau ‎terbilangnya ayat untuk satu sebab asbab an-nuzul.‎
a. Beberapa sebab yang hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat
b. Satu sebab yang melatarbelakangi turunnya beberapa ayat. ‎
C. Urgensi Asbabun Nuzul
‎1. Penegasan bahwa al-Qur’an benar-benar dari Allah SWT
‎2. Penegasan bahwa Allah benar-benar memberikan perhatian penuh pada ‎rasulullah saw dalam menjalankan misi risalahnya.‎
‎3. Penegasan bahwa Allah selalu bersama para hambanya dengan ‎menghilangkan duka cita mereka
‎4. Sarana memahami ayat secara tepat. ‎
‎5. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum
‎6. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an
‎7. Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an
‎8. Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat serta untuk ‎memantapkan wahyu di hati orang yang mendengarnya. ‎
‎9. Mengetahui makna serta rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an
‎10. Seorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau ‎umum dan dalam keadaan bagaimana ayat itu mesti diterapkan.‎
D. Cara Mengetahui Riwayat Asbab an-Nuzul
Asbab an-nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah ‎saw. Oleh karena itu, tidak boleh tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya ‎selain berdasarkan periwayatan (pentransmisian) yang benar (naql as-shalih) ‎dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunnya ayat al-‎Qur’an
Al-wahidi berkata :‎
لا يحل القول فى اسباب نزول الكتاب الاّ بالرواية والسماع ممن شاهدواالتنزيل ووقفوا على ‏الاسباب وبحثوا عن علمها
‎“Tidak boleh memperkatakan tentang sebab-sebab turun al-Qur’an melainkan ‎dengan dasar riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan ayat ‎itu diturunkan dengan mengetahui sebab-sebab serta membahas ‎pengertiannya”.‎
Sejalan dengan itu, al-Hakim menjelaskan dalam ilmu hadits bahwa ‎apabila seorang sahabat yang menyaksikan masa wahyu dan al-Qur’an ‎diturunkan, meriwayatkan tentang suatu ayat al-Qur’an bahwa ayat tersebut ‎turun tentang suatu (kejadian). Ibnu al-Salah dan lainnya juga sejalan dengan ‎pandangan ini.‎
Berdasarkan keterangan di atas, maka sebab an-nuzul yang ‎diriwayatkan dari seorang sahabat diterima sekalipun tidak dikuatkan dan ‎didukung riwayat lain. Adapun asbab an-nuzul dengan hadits mursal (hadits ‎yang gugur dari sanadnya seorang sahabat dan mata rantai periwayatnya ‎hanya sampai kepada seorang tabi’in). riwayat seperti ini tidak diterima ‎kecuali sanadnya sahih dan dikuatkan hadits mursal lainnya.‎
Biasanya ulama menggunakan lafadz-lafadz yang tegas dalam ‎penyampaiannya, seperti: “sebab turun ayat ini begini”, atau dikatakan ‎dibelakang suatu riwayat “maka turunlah ayat ini”.‎
Contoh : “beberapa orang dari golongan Bani Tamim mengolok-olok ‎Bilal, maka turunlah ayat Yaa aiyuhal ladzina amanu la yaskhar qouman”.‎
E. Kaidah Penetapan Hukum Dikaitkan dengan Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul sangatlah erat kaitannya dengan kaidah penetapan ‎hukum. Seringkali terdapat kebingungan dan keraguan dalam mengartikan ‎ayat-ayat al-Qur’an karena tidak mengetahui sebab turunnya ayat. Contohnya ‎firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 115 yang artinya :‎
‎“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu ‎menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-‎Nya) lagi Maha Mengetahui”.‎
Firman Allah itu turun berkenaan dengan suatu peristiwa yaitu ‎beberapa orang mukmin menunaikan shalat bersama Rasulullah saw. Pada ‎suatu malam yang gelap gulita sehingga mereka tidak dapat memastikan arah ‎kiblat dan akhirnya masing-masing menunaikan shalat menurut perasaan ‎masing-masing sekalipun tidak menghadap arah kiblat karena tidak ada cara ‎untuk mengenal kiblat.‎
Seandainya tidak ada penjelasan mengenai asbabun nuzul tersebut ‎mungkin masih ada orang yang menunaikan shalat menghadap ke arah sesuka ‎hatinya dengan alasan firman Allah surat al-Baqarah ayat 115. ‎

KESIMPULAN

‎1. Asbabun nuzul adalah sebab turunnya al-Qur’an (berupa peristiwa/pertanyaan) ‎yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an dalam rangka menjawab, ‎menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian ‎tersebut.‎
‎2. Asbabun nuzul terdiri dari kata asbab (jamak dari sababa yang artinya sebab-‎sebab), dan nuzul (artinya turun).‎
‎3. Macam-macam asbabun nuzul ada 2, yaitu :‎
a. Dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbabun ‎nuzul meliputi sharih dan muhtamilah
b. Dari sudut pandang terbilangnya asbab an-nuzul untuk satu ayat atau ‎terbilangnya ayat untuk satu asbab an-nuzul meliputi :‎
‎1) Beberapa sebab yang hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat
‎2) Satu sebab yang melatarbelakangi turunnya beberapa ayat
‎4. Urgensi asbabun nuzul
a. Penegasan bahwa al-Qur’an benar dari Allah
b. Penegasan bahwa Allah benar-benar memperhatikan Rasul dalam ‎menjalankan misi risalahnya
c. Penegasan bahwa Allah selalu bersama para hambanya dengan ‎menghilangkan duka cita mereka
d. Sarana memahami ayat secara tepat
e. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum
f. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an

Al Sual dan Al Jawab dalam Al Quran
Khalid Abd al Rahman al Akk mendefinisikan pengertian al su’al (pertanyaan) ‎sebagai perkataan yang menjadikan permulaan. Sedangkan al jawab (jawaban) ‎merupakan perkataan yang dikembalikan kepada si penanya.‎
A. Pola al-su’al dan al-jawab dalam al-Qur’an
Menurut Khalid ‘Abd al-Rahman al-‘Akk dalam Ushul al-Tafsir wa Qawaiduha ‎bentuk-bentuk pertanyaan dan jawaban dalam al-Qur’an dibagi menjadi bebara ‎pola, diantaranya:‎

a. Jawabannya bersambung (muttashil) dengan pertanyaannya, seperti dalam ‎beberapa firman Allah berikut ini:‎
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا ‏تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (٢١٥)‏
‎“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta ‎yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, ‎anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam ‎perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah ‎Maha mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 215)‎
b. Jawabannya terpisah (munfashil) dengan pertanyaannya, baik yang terdapat ‎dalam satu surah maupun dalam dua surah yang berlainan. Diantara contoh ‎pertanyaan dan jawaban yang terdapat dalam satu surah, seperti ditunjukkan oleh ‎firman Allah berikut ini:‎
وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الأسْوَاقِ لَوْلا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا (٧)‏
‎“Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di ‎pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat ‎itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?” (QS. Al-Furqan: 7)‎

Pertanyaan di atas kemudian dijawab pada surah yang sama tetapi pada ayat yang ‎berbeda, yaitu dalam QS. Al-Furqan: 20‎
‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏
‎“Dan kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh ‎memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. dan kami jadikan sebahagian ‎kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. maukah kamu bersabar?; dan adalah ‎Tuhanmu Maha Melihat.” (QS. Al-Furqan: 20)‎

Sedangkan contoh redaksi pertanyaan dan jawabn yang terdapat dalam dua surah ‎yang berlainan, diantaranya ditunjukkan oleh firman Allah berikut ini:‎
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمَنِ قَالُوا وَمَا الرَّحْمَنُ أَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُورًا (٦٠)‏
‎“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Sujudlah kamu sekalian kepada yang ‎Maha Penyayang", mereka menjawab:"Siapakah yang Maha Penyayang itu? ‎apakah kami akan sujud kepada Tuhan yang kamu perintahkan kami(bersujud ‎kepada-Nya)?", dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh (dari iman).” ‎‎(QS. Al-Furqan: 60)‎


Pertanyaan tersebut dijawab dalam surah yang berbeda, yaitu QS. Al-Rahman: 1-‎‎4:
الرَّحْمَنُ (١)عَلَّمَ الْقُرْآنَ (٢)خَلَقَ الإنْسَانَ (٣)عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (٤)‏
‎ “(Tuhan) yang Maha pemurah, Yang Telah mengajarkan Al Quran. Dia ‎menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (QS. Al-Rahman: 1-4)
c. Dua jawaban dalam surah yang berbeda untuk satu pertanyaan, seperti dalam ‎firman Allah berikut ini:‎
‎“Dan mereka berkata: "Mengapa Al Quran Ini tidak diturunkan kepada seorang ‎besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?" Apakah mereka yang ‎membagi-bagi rahmat Tuhanmu?”... (QS. Zukhruf/ 43: 31-32)‎
Pertanyaan di atas, kemudian dijawab dengan dua jawaban dalam surah berbeda-‎beda, pertama pada surah sama, yaitu:
‎“Kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan ‎dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain ‎beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. ‎dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Zukhruf: ‎‎32)‎
Kedua, pada QS. Al-Qashshash: 68‎
‎“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilihnya. sekali-kali ‎tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang ‎mereka persekutukan (dengan Dia).”(QS. Al-Qashshash: 68)‎
d.‎ Satu pertanyaan yang jawabannya tidak disebutkan, seperti dalam QS. ‎Muhammad: 14:‎
أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ كَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ (١٤)‏
‎14. Maka Apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Rabbnya sama ‎dengan orang yang (shaitan) menjadikan Dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu ‎dan mengikuti hawa nafsunya?‎

‎“Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Rabbnya ‎sama dengan orang yang (shaitan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya ‎yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?” (QS. Muhammad: 14)‎
e. Jawaban yang diberikan mendahului pertanyaannya, seperti pada firman Allah ‎berikut ini:

‎“Shaad, demi Al Quran yang mempunyai keagungan.” (QS. Shad:1)

Ayat di atas sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang terdapat pada QS. Shad:4‎
‎“ Dan mereka heran Karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan ‎‎(rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: "Ini adalah seorang ‎ahli sihir yang banyak berdusta". (QS. Shad:4)‎
B. Kaidah al Su’al dan al jawab dalam al Qur an
Pada dasarnya kaidah umum mengatakan bahwa pertanyaan (al-su’al) harus sesuai ‎dengan jawaban (a-jawab), namun dalam al-Qur’an ditemukan kaidah lain yang ‎menyatakan bahwa nemtuk jawaban yang diberikan tersebut menyimpang dari apa ‎yang dimaksudkan oleh pertanyaan, hal ini dimaksudkan untuk memberikan ‎peringatan kepada si penanya bahwa jawaban itulah yang seharusnya ‎dipertanyakan. Jawaban yang demikian oleh al-Sakaky disebut sebagai al-slub al-‎hakim (Mohammad Nor Ikhwan, Memahami Bahasa Al-Quran, h 74). Dalam al-‎qur’an, kasus semacam ini seperti ditunjukkan dalam QS. Al-Baqarah/2:189:‎

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu ‎adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.‎

Pada ayat diatas, redaksi yang digunakan adalah redaksi tanya-jawab, yaitu ‎dengan menggunakan sighat lafazh sa’ala. Asbab al-nuzul ayat ini berkenaan ‎dengan pertanyaan Mu’adz bin Jabal dan tsa’labah bin Ghunamah kepada ‎Rasulullah saw: “Ya Rasulullah! Mengapa bulan sabit itu mulai timbul kecil ‎sehalus benang, kemudian bertambah besar hingga bundar dan kembali seperti ‎semula, tiada tetap bentuknya?” Sebagai jawabannya turunlah ayat tersebut. ‎‎(K.H.Q Shaleh, Dkk, Asbabun Nuzul, h 56)‎

Secara logika, pertanyaan itu seharusnya dijawab dengan menerangkan proses ‎perubahan yang terjadi pada bulan tersebut. Namun, terhadap pertanyaan yang ‎demikian itu, jawaban yang diberikan al-qur’an kepada mereka adalah berupa ‎penjelasan tentang hikmahnya, dengan alasan untuk mengingatkan mereka bahwa ‎yang lebih penting untuk dipertanyakan adalah hikmah dari bulan sabit, bukan ‎seperti yang mereka pertanyakan.‎

Jawaban al-Qur’an yang demikian itu, bisa jadi karena ada asumsi lain bahwa ‎yang dipertanyakan tidak terpaku pada bulan sabit semata, tapi juga menginginkan ‎manfaat atau hikmah di balik kejadian yang demikian itu. Jika memang demikian ‎halnya, maka jawaban al-Qur’an itu tidak menyalahi kaidah umum yang berlaku. ‎Dengan demikian, ada kesesuaian antara pertanyaan dan jawabannya.‎

Kadang-kadang sebuah jawaban bersifat lebih umum dari apa yang dipertanyakan ‎karena memang demikianlah yang dikehendaki. Seperti dalam QS. Al-an’am: 64:

Katakanlah: "Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam ‎kesusahan, Kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya." QS. Al-an’am: 64

Teks ayat di atas merupakan jawaban dari pertanyaan yang disebutkan pada ayat ‎sebelumnya, yaitu:‎
Katakanlah: "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat ‎dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan rendah diri dengan suara yang ‎Lembut (dengan mengatakan: "Sesungguhnya jika dia menyelamatkan kami dari ‎‎(bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur"". QS. Al-‎an’am: 63.‎

Redaksi teks ayat ini secara eksplisit mempertanyakan tentang siapakah orang ‎yang mampu menyelamatkan dari bencana yang ada di darat dan di laut. Artinya, ‎bahwa teks ayat ini hanya menyebutkan dua bencana, yaitu di darat dan di laut. ‎Namun jawaban yang diberikan al-Qur’an terhadap pertanyaan itu sebagaimana ‎ditunjukkan oleh ayat sesudahnya, bahwa Allahlah yang akan menyelamatkannya ‎dari bencana tersebut, baik di darat maupun di laut, bahkan Allah juga akan ‎menyelamatkannya dari segala macam bentuk kesusahan. Dengan demikian, ‎jawaban yang diberikan al-Qur’an tersebut sifatnya lebih umum dan lebih ‎komprehensif dari yang dipertanyakan.‎

Ayat senada, di antaranya juga ditunjukkan dalam QS Thaha: 18:

Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, Aku bertelekan padanya, dan Aku pukul ‎‎(daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain ‎padanya". (QS Thaha: 18).

Teks ayat di atas merupakan bentuk jawaban dari pertanyaan yang disebutkan ‎pada ayat sebelumnya, yaitu:

Apakah itu yang di tangan kananmu, Hai Musa? (QS Thaha: 17).‎
Dalam teks ayat ini, sebenarnya Allah hanya mempertanyakan kepada Nabi Musa ‎perihal apa yang ada di tangan kanannya. Kemudian, pertanyaan itu oleh Nabi ‎Musa dijawab bahwa yang ada di tangan kanannya adalah tongkat. Dengan ‎jawaban yang demikian, sebenarnya sudah mencukupi bagi si penanya dan sudah ‎dapat dipahami, namun Nabi Musa menambahkan dalam jawabannya sesuatu ‎yang terkait dengan fungsi tongkat tersebut, yaitu untuk bertelekan, memukul ‎daun, dan beberapa fungsi lainnya. Hal yang demikian, dilakukan Nabi Musa ‎karena ia merasa senang dengan pertanyaan yang dilontarkan Allah kepadanya.‎

Ada pula bentuk jawaban terhadap suatu pertanyaan yang diajukan bersifat lebih ‎sempit cakupannya dari yang dipertanyakan, karena memang demikianlah yang ‎dikehendaki. Kasus senacam ini antara lain ditunjukkan dalam QS. Yunus: 15‎
Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri

Ayat ini sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang disebutkan sebelumnya, pada ‎ayat yang sama yaitu:

‎"Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini atau gantilah dia
Dalam teks di atas, setidaknya ada dua pertanyaan pokok, yaitu perintah untuk ‎mendatangkan al-Qur’an lain, selain al-Qur’an yang sudah ada, dan jikalau tidak ‎dapat maka disuruh menggantinya. Terhadap pertanyan ini, jawaban yang ‎diberikan al-Qur’an tidak mencakup kedua hal dimaksud, tetapi hanya terfokus ‎pada satu hal, yaitu yang terkait dengan perintah untuk menggantinya. Jawaban ‎yang dikehendaki al-Qur’an memang demikian. Hal ini mengingat bahwa ‎mengganti itu lebih mudah daripada menciptakan kembali. Jika mengganti saja ‎sudah tidak mampu apalagi untuk menciptakan, pasti akan lebih sulit.‎
Lafazh al-sual (pertanyaan) bila dipergunakan meminta sesuatu pengertian, maka ‎terkadang ia bermuta’addi kepada maf’ul kedua secara langsung dan terkadang ‎dengan menggunakan kata bantu ‘an (‎عن‎). Seperti dalam QS. Al-Isyra’: 85:‎
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk ‎urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. ‎Al-Isyra’: 85)‎
Dan apabila dipergunakan untuk meminta sesuatu benda atau yang sejenis, maka ‎ia bermuta’addi kepada maf’ul kedua secara langsung dengan menggunakan kata ‎bantu min (‎من‎), namun cara yang disebutkan pertama lebih banyak dipakai. Hal ‎ini seperti ditunjukkan dalan firman Allah, sebagai berikut:‎
‎“...dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah ‎mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah ‎yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha ‎Bijaksana” (QS. Al-Mumthahanah: 10).

‎“...dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah ‎Maha mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Nisa: 32)‎



Kedudukan akal dalam Al-Qur`an
‎ Semenjak awal sekali Al-Qur`an telah menjelaskan bahwa Tuhan tak ‎berharap dan tak ingin manusia menjadi malaikat; dengan segenap kekurangan, ‎kompleksitas, dan kontradiksinya manusia mempunyai kemampuan untuk ‎menjadi lebih daripada malaikat, dan disini akal manusia memainkan peran kunci. ‎Al quran juga menyatakan bahwa iman akan ambruk justru ketika akal diabaikan ‎atau dipakai secara tidak tepat. ‎
Kalimat-kalimat Al-Qur`an yang rasional dan kerap kali bernada mendidik ‎merupakan salah satu cirinya yang paling menonjol. Salah satu tema pokoknya ‎adalah bahwa orang-orang mengingkari atau mendustakan ayat-ayat Allah dan ‎merusak agama karena mereka tidak menggunakan akal. “Mereka tidak mengerti” ‎dan “mereka benar-benar kaum yang tidak mau menggunakan akal”.‎
Menurut Al-Qur`an, akal dan iman adalah satu kubu, sebagai mana logika ‎dan kepercayaan yang salah, dan kitab ini menjelaskan perbedaan nyata di antara ‎keduanya : ”Sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dan yang salah”. ‎Orang-orang yang paling beruntung menurut Al Qur`an adalah ”mereka yang ‎berakal”, ”orang-orang yang mendalam ilmunya”, ”mereka yang berpikir”, dan ‎‎”mereka yang mengakui bukti-bukti yang terang”.‎
Dizaman modern, penekanan Al-Qur`an bahwa akal penting sekali bagi ‎agama adalah sebuah konsep yang radikal. Konfilk antara akal dan iman hampir ‎telah menjadi sebuah aksioma dalam ranah pemikiran modern. Secara silogistik ‎tak ”terbukti” bahwa kepercayaan kepada tuhan selalu mengarah pada sebuah ‎kontradiksi logika. Lebih tepatnya, konflik ini merupakan persepsi yang lahir dari ‎pengalaman historis dan pribadi. Disatu pihak, kita mempunyai sejarah yang ‎panjang tentang pembunuhan para filosof dan ilmuwan oleh pemegang otoritas ‎keagamaan. ‎
Dipihak lain, kita menyaksikan kaum rasionalis yang frustasi karena tak ‎mampu menemukan jawaban-jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-‎pertanyaan teologis. Oleh karena itu, lebih pas bila dikatakan bahwa akal dan ‎iman sering kali digunakan secara bertentangan, bukannya pada dasarnya ‎berselisih. Terlepas dari bagaimana cara melakukannya, sekarang ini hanya ada ‎segelintir tokoh dalam tradisi-tradisi monoteistik yang coba memadukan iman dan ‎akal. Juga perlu dikemukan bahwa sebagian besar sarjana agama modern, luar ‎biasa berhati-hati dalam menyikapi pendekatan rasional terhadap islam. Mereka ‎tampaknya bersandar jauh lebih kuat pada hadis dibandingkan pada akal, tetapi ‎tidak selalu demikian, terutama pada beberapa abad pertama zaman islam. Karena ‎penekanan al Qur`an yang besar kepada akal dalam mencari iman cukuplah besar.‎
‎ ‎
‎ ‎
Al Quran mengenai pembinaan masyarakat
Ketika orang-orang Barat membangga-banggakan kemajuan Yunani dan Romawi ‎dimasa lalu, tetap saja mereka tidak dapat menjadika kehidupan masyarakat ‎Yunani dan Rum itu, sebagai contoh tatanan sosial yang baik untuk diterapkan ‎dalam kehidupan bermasyarakat mereka. Seperti apa yang didamba-dambakan ‎oleh umat Islam akan kembalinya masyarakat Madinah dalam kehidupan mereka, ‎yang berdasarkan syari’at islam.
Berbicara tentang masyarakat yang islami , maka kita akan terbayang pada ‎masyarakat Islam pertama di Madinah pada awal-awal perkembangan Islam ‎dibawah bimbingan manusia yang mulia dan lihai dalam membentuk tatanan ‎sosial yang rapi dan sempurna yaitu Rasulullah saw. dimana beliau benar-benar ‎berhasil membangun masyarakat yang madani , yang belum ada duanya di dunia ‎ini. Di Madinah Rasulullah telah mencontohkan dan membuktikan serta ‎memperlihatkan kepada seluruh dunia tatanan masyarakat yang sempurna, dimana ‎seluruh anggota masyarakat yang heterogen itu hidup damai, sejahtra, saling ‎tenggang rasa, aman dan saling mencintai hidup rukun berdampingan walaupun ‎mereka berbeda suku, bangsa, keyakinan dan idiologi.
Perlu ditegaskan, bahwa masyarakat pertama yang terbentuk dalam Islam adalah ‎masyarakat di Madinah, bukan di Makka sebab kaum muslimin di Makkah masih ‎sangat sedikit serta mereka berpencar-pencar ke beberapa daerah untuk ‎menyelamatkan agama mereka, sehingga belum cukup kekuatan dan jumlah untuk ‎membentuk suatu masyarakat, sehingga dalam tulisan ini dipokuskan pada ‎langkah-langkah Rasulullah saw. dalam membina dan membentuk masyarakat ‎Islam yang pertama di kota Madinah.


Sekilas Masyarakat Madinah Sebelum Islam

Secara geografis, kota ini datar yang dikelilingi gunung dan bukit-bukit serta ‎beriklim gurun. Madinah merupakan pusat pemukiman masyarakat Arab yang ‎telah ada sebelum agama Islam datang. Nama pemukiman tersebut adalah Yasrib. ‎Dalam pandangan masyarakat Arab, Yasrib tidak mempunyai kedudukan apa-apa. ‎Ia tidak sepenting kedudukan kota Makkah yang di dalamnya terdapat Baitullah ‎yang disakralkan oleh seluruh masyarakat Arab.
Dilihat dari komunitas sosialnya, penduduk Madinah sangat herterogen. Secara ‎keseluruhan, penduduk Madinah terdiri dari sebelas kelompok. Delapan kelompok ‎itu berasal dari bangsa Arab. Adapun yang paling dominan di antara mereka ada ‎dua suku yaitu klan (suku) Khazraj dan Aus yang berasal dari Arab bagian ‎selatan. Mereka adalah masyarakat yang menguasai lahan pertanian di Madinah. ‎Selain delapan kelompok bangsa Arab tersebut, terdapat juga tiga kelompok asing ‎yang tinggal di Madinah. Mereka adalah orang-orang Yahudi yang berhijrah ke ‎Jazirah Arabia sejak abad pertama Masehi. Mereka lebih menguasai dunia ‎perdagangan karena mereka tinggal di pusat pemukiman Yasrib.
Hanya saja, sangat disayangkan sifat heterogenitas masyarakat Madinah ternyata ‎tidak dapat meredam sifat keangkuhan primordialisme yang melekat pada masing-‎masing kelompok. Akibatnya, hampir setiap hari konflik antar suku senantiasa ‎muncul dalam kehidupan mereka. Bahkan, konflik tersebut sering dianggap ‎sebagai hal yang biasa. Konflik yang terus berkepanjangan membawa dampak ‎lambannya perkembangan tingkat peradaban masyarakat Madinah.
Sebagai contoh permusuhan yang turun temurun dan bahkan sudah menjadi ‎kebencian yang mendarahdaging antara Kabilah Aus dan Khazraj, walaupun pada ‎dasarnya mereka masih dalam satu ikatan kekerabatan. Tetapi karena permusuhan ‎itu sedemikian hebatnya, anak-anak mereka pun sejak lahir hingga dewasa sudah ‎dinyatakan bermusuhan.
Konflik yang paling genting adalah konflik yang terjadi pada tahun 617-8 M yang ‎dikenal dengan nama konflik Bu’ats. Konflik Bu’ats adalah konflik yang ‎melibatkan hampir seluruh kelompok masyarakat Madinah. Konflik ini berawal ‎dari semakin merosotnya peranan orang-orang Yahudi dalam kehidupan ‎perkonomian masyarakat Madinah. Mereka mengalami dinamika kehidupan yang ‎ditandai dengan terjadinya pergeseran peranan di antara kelompok yang ada. ‎Keadaan ini segera dipahami oleh dua suku Arab yang paling berpengaruh, yaitu ‎Khazraj dan Aus. Mereka akhirnya, saling berebut kedudukan untuk ‎menggantikan posisi peranan orang-orang Yahudi dalam dunia perekonomian, ‎perdagangan, dan kontrol terhadap pasar.
Dari segi keadaan kepercayaan penduduk Yasrib sebelum kedatangan Islam ‎adalah sama dengan masyarakat Arab pada umumnya, yang menyembah berhala ‎dengan mengikuti tatacara kaum Quraisy. Hanya saja kepercayaan penduduk ‎Yasrib tidak sekuat penduduk Makkah dalam kepercayaan ini, sebab tidak kita ‎temukan keterangan yang mengatakan bahwa penduduk kota Yasrib mempunyai ‎patung khusus buat mereka saja, seperti Laata, Manat, uzza dan Hubal yang ‎disembah penduduk Makkah. Pada umumnya mereka hanya menyembah patung-‎patung besar di luar kota Yasrib.


Metode Pembinaan Rasulullah Saw Dalam Membentuk Masyarakat Islami

Diketahui bersama bahwa ketika Rasulullah saw tiba di kota Madinah, maka ‎bertemulah beberapa unsur kelompok masyarakat yang berbeda, yang merupakan ‎kewajiban sekaligus tantangan bagi beliau untuk membentuknya menjadi sebuah ‎masyarakat yang bermartabat, dibangun di atas pondasi yang kokoh, dan memiliki ‎tata aturan yang mengatur tingkah laku dan cara pergaulan di antara mereka.
Pembentukan masyarakat Islami untuk pertama kalinya, dikerjakan sendiri oleh ‎Rasulullah saw. Dengan demikian beliau memberi pelajaran kepada kita ‎bagaimana seharusnya masyarakat Islam itu terbentuk, langkah-langkah apa saja ‎yang dilakukan oleh Rasulullah dalam membina masyarakat Madinah yang ‎heterogen itu, menjadi satu keluarga besar, yang memperhatikan seluruh anggota ‎masyakaratnya tanpa memandang asal suku dan kabilahnya. Itulah keluarga Islam ‎‎"masyarakat Islam". Berikut penjelasan beberapa langkah praktis yang dilakukan ‎oleh Rasulullah dalam membentuk masyarakat Islam itu:

‎1. Pembinaan Melalui Masjid
Sesampainya di Madinah, Rasulullah saw. segera menegakkan masyarakat islam ‎yang kokoh dan terpadu, dan sebagai langkah pertama kearah itu, Rasulullah saw ‎membangun masjid. Tidaklah heran kalu masjid merupakan asas utama dan ‎terpenting bagi pembentukan masyarakat Islam, karena masyarakat Islam tidak ‎akan terbentuk kokoh dan rapi kecuali dengan adanya komitmen terhadap sistem, ‎aqidah dan tatanan Islam, hal ini hanya bisa ditumbuhkan melalui semangat ‎masjid.
Di dalam masyarakat Islam masjid berkedudukan sebagai pusat pembinaan mental ‎spiritual dan phisik material, tempat berhubungan dengan Tuhan sepanjang ‎zaman, yang akan melahirkan hubungan yang kokoh antara hamba dengan ‎Tuhannya dan akan menjadi sumber kekuatan individu-individu Muslim. ‎Bagaimana tidak kaum muslimin diwajibkan melakukan kejama'ahan shalat fardu ‎yang lima di masjid-masjid, dan shalat jum'at berjama'ah setiap minggu. ‎Kejam'ahan shalat di masjid inilah yang akan membentuk jama'ah (masyarakat) ‎Islam yang solid, menjadi kultur (adapt istiadat) perkampungan kaum muslimin, ‎sehingga terwujud masyarakat yang "la khaufun 'alaihim walahum yahzanun".
Masjid itu bukan sekedar tempat untuk melaksanakan shalat semata, tetapi juga ‎menjadi sekolah bagi orang-orang Muslim untuk menerima pengajaran dan ‎bimbingan-bimbingan Islam, sebagai balai pertemuan dan tempat untuk ‎mempersatukan berbagai unsur kekabilahan dan sisa-sisa pengaruh perselisihan ‎semasa Jahiliyah, sebagai tempat untuk mengatur segala urusan dan sekaligus ‎sebagai gedung parlemen untuk bermusyawarah dan menjalankan roda ‎pemerintahan.
Kemudian diantara sistem dan prinsip islam adalah tersebarnya mahabba dan ‎ukhuwah sesama kaum muslimin, tetapi ikatan ini tidak akan terjadi kecuali dalam ‎masjid, dengan bertemunya kaum muslimin berkali-kali dalam sehari dimana ‎kedudukan, kekayaan dan status sosial lainnya terhapuskan.
Dan juga sistem islam adalah terpadunya beraneka ragam latar belakang kaum ‎muslimin dalam satu kesatuan yang kokoh diikat oleh tali Allah, ini pun bisa ‎dilakukan bila masjid-masjid telah dibangun ditengah masyarakat muslim, karena ‎masjid adalah tempat kaum muslimin beerkumpul mempelajari ajaran islam.

‎2. Pembinaan Melalui Persaudaraan Sesama Kaum Muslimin
Sebagai langkah selanjutnya, Rasulullah mempersaudarakan para sahabatnya dari ‎kaum Muhajirin dan Anshar. Sebab masyarakat manapun, tidak akan berdiri ‎tegak, kokoh tanpa adanya kesatuan dan dukungan anggota masyarakatnya. ‎Sedangkan dukungan dan kesatuan tidak akan lahir tanpa adanya persaudaraan ‎dan saling mencintai. Suatu masyarakat yang tidak disatukan oleh tali ikatan kasih ‎sayang dan persaudaraan yang sebenarnya, tidak mungkin bersatu pada satu ‎prinsip. Persaudaraan itu harus didasari oleh aqidah yang menjadi idiologi dan ‎faktor pemersatu. Persaudaraan antara dua orang yang berbeda aqidah adalah ‎mimpi dan khurafat. Oleh sebab itu Rasulullah menjadikan aqidah islamiyah yang ‎bersumber dari Allah swt. Sebagai asas persaudaraan yang menghimpun hati para ‎sahabatnya.
Inilah di antara buah yang dihasilkan dari perjalanan hijra yang dilakukan oleh ‎Rasulullah dan para sahabatnya. Pelajaran yang paling berharga bagi nilai ‎kemanusiaan dari peristiwa ini adalah pengorbanan, pembelaan, dan itsar ‎‎(mendahulukan kepentingan orang lain).dasar dari persaudaraan yang dilakukan ‎oleh Rasulullah ini tidak memandang perbedaan suku, ras, dan status social . ‎Rasulullah memandang sama mereka yang merupakan bangsa Arab maupun non-‎Arab. Antara orang yang bebas dan seorang budak. Antara seorang tokoh pada ‎suatu kabilah dengan orang biasa. Dan antara orang kaya dan miskin.
Persaudaraan yang dilakukan oleh Rasulullah diantara kaum muslimin tersebut ‎tidak hanya antara Muhajirin dan Anshar saja, tetapi lebih luas dari itu, yakni ‎dilakukan antara semsama orang-orang Muhajirin, dan sesame orang-orang ‎Anshar. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah dengan maksud merekatkan hubngan ‎antara kabilah-kabilah kaum Muhajirin dan lebih khusus merekatkan hubungan ‎suku Aus dan suku Khazraj yang sering berperang sebelum kedatangan Rasulllah ‎ke Madinah. Menurut Imam Abdur Rahman al-Khats'ami dalam kitabnya Ar-‎Raudhul Unuf menyebutkan: "maksud dari persaudaraan ini adalah untuk ‎menghilangkan kesepian lantaran meninggalkan kampong halaman mereka, dan ‎menghibur karena berpisah dengan keluarga, disamping agar mereka saling ‎membantu satu sama lain".
Praktek persaudaraan sebagaimana telah dijelasakan diatas, telah menghasilkan ‎suatu 'masyarakat Islam' yang terdiri dari bermacam-macam kabilah dan unsure-‎unsur yang berbeda, tetapi masing-masing anggota masyarakat itu telah ‎melupakan asal-usul keturunan dan golongannya. Mereka hanya melihat kepada ‎ikatan Islam yang dijadikan Rasulullah sebagai ikatan persaudaraan di antara ‎mereka.
Untuk melihat gambaran kedekatan dan itsar di antara mereka. Allah SWT ‎menggambarkannya dengan indah dalam al-Qur'an, surat al-hasyr ayat 9:‎

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا ‏أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (٩)‏

‎"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman ‎‎(Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' ‎orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada ‎menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada ‎mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri ‎mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara ‎dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung." (Q.S. Al-‎Hasyr:9)

Rasulullah menjadikan persaudaraan Muhajirin dan Anshar sebagai asas bagi ‎prinsip-prinsip keadilan sosial yang paling baik di dunia. Prinsip-prinsip ini ‎kemudian berkembang dan mengikat menjadi hukum-hukum dan undang-undang ‎syari’at yang tetap, yang berbasis pada ukhuwah islamiyah.‎

‎3. Perjanjian Kaum Muslimin Dengan Orang-orang di Luar Islam
Setelah Rasulullah mengokohkan persatuan kaum Muslimin, dan telah berhasil ‎memancangkan sendi-sendi masyarakat Islam yang baru, dengan menciptakan ‎kesatuan aqidah, politik dan sistem kehidupan di antara orang-orang Muslim, ‎maka langka selanjutnya yang dilakukan oleh Rasulullah adalah menawarkan ‎perjanjian damai kepada golongan atau pihak di luar Islam. Perhatian beliau pada ‎saat itu adalah bagaimana menciptakan keamanan, kebahagiaan dan kebaikan bagi ‎semua manusia, mengatur kehidupan di daerah itu dalam satu kesepakatan.
Secara garis besar perjanjian antara rasulullah dengan golongan di luar Islam yang ‎kemudian dikenal dengan nama Piagam Madinah, dapat disebutkan empat prisip ‎hukum yang terkandung di dalamnya, yaitu :‎

Pertama, pada pasal pertama disebutkan bahwa Islam adalah satu-satunya faktor ‎yang dapat menghimpun kesatuan kaum muslimin dan menjadikan mereka satu ‎ummat. Semua perbedaan akan sirna di dalam kerangka kesatuan yang integral ‎ini. Ini merupakan asas pertama yang harus diwujudkan untuk menegakkan ‎masyarakat Islam yang kokoh dan kuat.‎

Kedua, Pada pasal kedua dan ketiga disebutkan bahwa di ntara ciri khas ‎terpenting dari masyarakat Islam ialah, tumbuhnya nilai solodaritas serta jiwa ‎senasib dan sepenanggungan antar kaum Muslimin. Setiap orang ‎bertanggungjawab kepada yang lainnya baik dalam urusan dunia maupun akhirat.

Ketiga, Pada pasal keenam disebutkan betapa dalamnya asas persamaan sesama ‎kaum muslimin. Ia bungan hanya slogan, tetapi merupakan salah satu rukun ‎syari'at yang terpenting bagi masyarakat islam yang harus diterapkan secara detil ‎dan sempurna. Ini berarti bahwa jaminan seorang Muslim, siapapun orangnya, ‎harus dihormati dan tidak boleh diremehkan.‎

Keempat, Pada pasal kesebelas disebutkan bahwa hakim yang adil bagi kaum ‎Muslimin, dalam segala perselisihan dan urusan mereka, hanyalah syari'at dan ‎hukum Allah swt yaitu apa yang terkandung di dalam kitab Allah swt dan sunnah ‎Rasul-Nya. Jika mereka mencari penyelesaian bagi problematika mereka kepada ‎selain sumber ini maka mereka berdosa dan terancam kesengsaraan di dunia dan ‎siksa Allah swt di akhirat.‎
Dutsur yang dibuat oleh Rasulullah saw ini, berdasarkan wahyu Allah swt dan ‎ditulis para sahabatnya kemudian dijadikan undang-undang dasar yang disepakati ‎kaum muslimin dan tetangganya yaitu Yahudi dan Arab Badui yang belum masuk ‎Islam, merupakan bukti nyata bahwa masyarakat Islam sejak awal ‎pertumbuhannya tegak berdasarkan undang-undang yang sempurna, bahwa ‎masyarakat Islam sejak awal telah ditopang oleh perangkat perundang-undangan ‎dan manajemen yang diperlukan setiap masyarakat atau negara. Dari sini ‎tertolaklah tuduhan orang-orang yang mengatakan bahwa Islam hanya mengataur ‎hubungan manusia dengan Rabbnya.‎
Pembinaan Masyarakat
Manusia adalah makhluq sosial, dia tak bisa hidup seorang diri, atau mengasingkan diri dari ‎kehidupan bermasyarakat. Dengan dasar penciptaan manusia yang memikul amanah berat ‎menjadi khalifah di bumi, maka Islam memerintahkan ummat manusia untuk saling ta’awun, ‎saling tolong-menolong, untuk tersebarnya nilai rahmatan lil alamin ajaran Islam. Maka ‎Islam menganjurkan ummatnya untuk saling ta’awun dalam kebaikan saja dan tidak ‎dibenarkan ta’awun dalam kejahatan ( QS Al Maaidah:2)‎
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلا الْهَدْيَ وَلا الْقَلائِدَ وَلا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ ‏يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ ‏الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ ‏اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٢)‏
‎2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah[389], dan jangan ‎melanggar kehormatan bulan-bulan haram[390], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-‎ya[391], dan binatang-binatang qalaa-id[392], dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang ‎mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya[393] dan ‎apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali ‎kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari ‎Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu ‎dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan ‎pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.‎
‎[389] Syi'ar Allah Ialah: segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadat haji dan tempat-‎tempat mengerjakannya.‎
‎[390] Maksudnya antara lain Ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan ‎Rajab), tanah Haram (Mekah) dan Ihram., Maksudnya Ialah: dilarang melakukan peperangan di ‎bulan-bulan itu.‎
‎[391] Ialah: binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka'bah untuk mendekatkan ‎diri kepada Allah, disembelih ditanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin ‎dalam rangka ibadat haji.‎
‎[392] Ialah: binatang had-ya yang diberi kalung, supaya diketahui orang bahwa binatang itu telah ‎diperuntukkan untuk dibawa ke Ka'bah.‎
‎[393] Dimaksud dengan karunia Ialah: Keuntungan yang diberikan Allah dalam perniagaan. ‎keredhaan dari Allah Ialah: pahala amalan haji.‎
Oleh karena itu manusia selalu memerlukan oranglain untuk terus ‎mengingatkannya, agar tak tersesat dari jalan Islam. Allah SWT mengingatkan ‎bahwa peringatan ini amat penting bagi kaum muslimin.‎
‎“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu ‎bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (Adz Dzariyat: 55)‎
Bahkan Allah SWT menjadikan orang-orang yang selalu ta’awun dalam ‎kebenaran dan kesabaran dalam kelompok orang yang tidak merugi hidupnya. ‎‎(QS: Al Ashr: 1-3). Maka hendaknya ummat Islam mngerahkan segala daya dan ‎upayanya untuk senantiasa mengadakan tashliihul mujtama’, perubahan ke arah ‎kebaikan, pada masyarakat dengan memanfaatkan peluang, momen yang ada.‎
Jika kita berada di bulan Ramadhan maka bisa melakukan ta’awun, misalnya ‎dengan saling membangunkan untuk sahur, mengingatkan pentingnya ‎memanfaatkan waktu selama menjalankan puasa. Mengingatkan agar jangan ‎menyia-nyiakan puasa dengan amalan yang dilarang syari’at, dsb. Di bulan ‎Syawal, lebih ditingkatkan lagi dengan hubungan sosial yang berkelanjutan, ‎mengesankan. Bulan Dzulhijjah juga momen penting untuk merajut kembali ‎benang-benang ukhuwah. Tentu saja hari-hari selain itu perlu kita tegakkan ‎aktivitas-aktivitas sosial yang memang merupakan seruan Islam. ‎
‎1. Silaturahim
Islam menganjurkan silaturahim antar anggota keluarga baik yang dekat maupun ‎yang jauh, apakah mahram ataupun bukan. Apalagi terhadap kedua orang tua. ‎Islam bahkan mengkatagorikan tindak “pemutusan hubungan silaturahim” adalah ‎dalam dosa-dosa besar.‎
‎“Tidak masuk surga orang yang memutuskan hubungan silaturahim” (HR. ‎Bukhari, Muslim)‎
‎2. Memuliakan tamu‎
Tamu dalam Islam mempunyai kedudukan yang amat terhormat. Dan ‎menghormati tamu termasuk dalam indikasi orang beriman.‎
‎“…barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia ‎memuliakan tamunya” (HR. Bukhari, Muslim)‎
‎3. Menghormati tetangga‎
Hal ini juga merupakan indikator apakah seseorang itu beriman atau belum.‎
‎“…Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia ‎memuliakan tetangganya” (HR. Bukhari, Muslim)‎
‎4. Saling menziarahi.‎
Rasulullah SAW, sering menziarahi para sahabatnya. Beliau pernah menziarahi ‎Qois bin Saad bin Ubaidah di rumahnya dan mendoakan: “Ya Allah, ‎limpahkanlah shalawat-Mu serta rahmat-Mu buat keluatga Saad bin Ubadah”. ‎Beliau juga berziarah kepada Abdullah bin Zaid bin Ashim, Jabir bin Abdullah ‎juga sahabat-sahabat lainnya. Ini menunjukkan betapa ziarah memiliki nilai positif ‎dalam mengharmoniskan hidup bermasyarakat.‎
‎“Abu Hurairah RA. Berkata: Bersabda Nabi SAW: Ada seorang berziyaroh pada ‎temannya di suatu dusun, maka Allah menyuruh seorang malaikat (dengan rupa ‎manusia) menghadang di tengah jalannya, dan ketika bertemu, Malaikat bertanya; ‎hendak kemana engkau? Jawabnya; Saya akan pergi berziyaroh kepada seorang ‎teman karena Allah, di dusun itu. Maka ditanya; Apakah kau merasa berhutang ‎budi padanya atau membalas budi kebaikannya? Jawabnya; Tidak, hanya semata-mata ‎kasih sayang kepadanya karena Allah. Berkata Malaikat; Saya utusan Allah kepadamu, bahwa ‎Allah kasih kepadamu sebagaimana kau kasih kepada kawanmu itu karena Allah” (HR. Muslim).‎
‎5. Memberi ucapan selamat.‎
Islam amat menganjurkan amal ini. Ucapan bisa dilakukan di acara pernikahan, ‎kelahiran anak baru, menyambut bulan puasa. Dengan menggunakan sarana yang ‎disesuaikan dengan zamannya. Untuk sekarang bisa menggunakan kartu ucapan ‎selamat, mengirim telegram indah, telepon, internet, dsb.‎
Sesungguhnya ucapan selamat terhadap suatu kebaikan itu merupakan hal yang ‎dilakukan Allah SWT terhadap para Nabinya dan kepada hamba-hamba-Nya yang ‎melakukan amalan surga. Misalnya;‎
‎“Sampaikanlah kabar baik, kepada mereka yang suka mendengarkan nasihat dan ‎mengikuti yang baik daripadanya” (Az Zumar: 17).‎
‎“Maka Kami memberi selamat kepada Ibrahim akan mendapat putra yang sopan ‎santun (sabar)”. (Al Maidah: 101),‎
Rasulullah SAW juga memberikan kabar gembira (surga) kepada para sahabatnya ‎semisal, Abu bakar RA, Umar bin Khaththab RA, Utsman RA, Ali RA, dsb.‎
‎6 Peduli dengan aktivitas sosial.‎
Orang yang peduli dengan aktivitas orang di sekitarnya, serta sabar menghadapi ‎resiko yang mungkin akan dihadapinya, seperti cemoohan, cercaan, serta sikap ‎apatis masyarakat, adalah lebih daripada orang yang pada asalnya sudah enggan ‎untuk berhadapan dengan resiko yang mungkin menghadang, sehingga ia memilih ‎untuk mengisolir diri dan tidak menampakkan wajahnya di muka khalayak.‎
‎“Seorang mukmin yang bergaul dengan orang lain dan sabar dengan gangguan ‎mereka lebih baik dari mukmin yang tidak mau bergaul serta tidak sabar dengan ‎gangguan mereka” (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Ahmad).‎
‎7. Memberi bantuan sosial.‎
Orang-orang lemah mendapat perhatian yang cukup tinggi dalam ajaran Islam. ‎Kita diperintahkan untuk mengentaskannya. Bahkan orang yang tidak terbetik ‎hatinya untuk menolong golongan lemah, atau mendorong orang lain untuk ‎melakukan amal yang mulia ini dikatakan sebagai orang yang mendustakan ‎agama.‎
‎“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik ‎anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (Al Maa’un: ‎‎1-3).‎
BERINTERAKSI DENGAN NON MUSLIM
‎-Muamalah dengan yang setimpal.‎
‎- Tidak mengakui kekufuran mereka‎
‎- Berbuat yang adil terhadap mereka dan menahan diri dari mengganggu mereka.‎
‎- Mengasihani mereka dengan rohamh insaniyah.‎
‎- Menumjukkan kemuliaan akhlaq muslim dan izzah Islam.‎
Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa Islam menuntut ummatnya untuk ‎menerapkan perilaku-perilaku kebaikan sosial. Untuk lebih luas lagi dapat ‎dikatakan bahwa wujud nyata atau buah dari seorang mu’min yang rukuk, sujud, ‎dan ibadah kepada Allah SWT adalah dengan melakukan aktivitas kebaikan. ‎Seorang yang menyatakan diri beriman hendaknya senantiasa menyuguhkan , ‎menyajikan kebaikan-kebaikan di tengah masyarakat. Jika setiap orang yang ‎beriman rajin melakukan hal ini, maka lingkungan kita akan “surplus kebaikan”. ‎Dus, defisit keburukan.‎
Sementara yang terjadi sekarang adalah tata kehidupan sosial masyarakat yang ‎‎“surplus keburukan”. Seseorang tidak akan merasa aman membawa uang dalam ‎jumlah besar di jalan raya, di bus kota. Orang tidak tenang meninggalkan hartanya ‎tanpa adanya sistem keamanan yang ketat. Fenomena seperti orang mudah sekali ‎terprovokasi untuk anarkhi, mudah sekali berkelahi, masalah kecurangan, tipu ‎menipu dalam perdagangan, dan sebagainya yang meliputi di hampir setiap ‎bidang kehidupan kita. Semua membuat sesaknya nafas kehidupan ini. Memang ‎sebenarnya negara ini bukan disesakkan oleh jumlah penduduknya tetapi akhlaq ‎yang buruklah yang menyesakkan dada.‎
Atas dasar inilah harus dibuat arus kebaikan, budaya kebaikan, sehingga orang ‎mudah menemukan kebaikan dimana saja dia berada. Seseorang mudah ‎mendapatkan salam dan senyum ketika bertemu orang lain walaupun belum saling ‎kenal, tidak mudah curiga terhadap yang lain, banyak orang yang mampu ‎menahan marah, mendapati orang suka berbuat baik, menolong dsb. Kondisi ‎kehidupan seperti ini layaknya kehidupan zaman Rasulullah SAW, ataupun para ‎salafush sholeh, dimana banyak orang berbuat baik tanpa disuruh dan diminta, ‎hanya kerena mengharap ridho Allah SWT semata. Kita masih ingat kisah dua ‎orang di zaman salafush shaleh, sedang mengadakan tarnsaksi jual beli sebidang ‎tanah. Tanah telah dibeli oleh seorang pembelinya dan diolah tanah tersebut, ‎ternyata dia mendapatkan sebatang emas dalam timbunan tanah tsb. Lantas ‎dikembalikannya emas itu kepada si penjual, tapi ditolaknya, lantaran dia telah ‎menjual semuanya apapun didalamnya. Namun si penemu emas (pembeli) tak ‎bersedia menerima kembali karena dia hanya bermaksud membeli tanah. ‎Terjadilah cek-cok saling menolak batangan emas. Akhirnya diadukan ke qodli, ‎dan diputuskan dengan adil. Orang yang menemukan emas menikahkan anak laki-‎lakinya dengan anak perempuan si penjual tanah, dengan mahar emas tsb. Maka ‎selesailah masalah.‎
Demikianlah jika setiap kita suka berlomba dalam kebaikan maka dampaknya, ‎yang akan menikmati hasilnya adalah kembali ke kita juga. Yaitu sebuah ‎kehidupan yang kita impikan, surplus kebaikan.‎
Di zaman sekarang ini surplusnya kebaikan hanya terjadi dalam waktu dan tempat ‎yang tertentu saja. Misalnya hanya di bualan Ramadhan saja orang menahan ‎marah, suka shodaqoh, jujur, dsb, dan setelah itu amalan tersebut langka. Di ‎tempat tertentu misalnya hanya di seputar Ka’bah ketika bulan Hajji, di sana ‎sering didapatkan orang memberikan uangnya kepada siapa saja yang ditemuinya, ‎bahkan ada yang menyebarnya. Di Kuwait ketika Ramadhan telah tiba, saat ‎menjelang ifthor, banyak warga yang membuka warung makan dan ‎mempersilakan siapa saja untuk ifthor di sana, gratis!‎
Sungguh nikmat jika adat seperti itu berjalan di sepanjang waktu dan di setiap ‎tempat. Namun yang terjadi setelah bulan itu berlalu, kehidupan berjalan ‎sebagaimana yang sebelumnya.‎
Untuk itu hanya orang-orang mu’minlah satu-satunya manusia harapan untuk ‎menciptakan peradaban seperti itu.‎
‎“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah ‎Tuhanmu dan perbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Al ‎Hajj: 77).‎
BAHAYA MIRAS

Miras atau minuman keras merupakan cairan yang mengandung zat ‎alkohol dalam jumlah besar dan beberapa zat lainnya yang berfungsi ‎menimbulkan efek santai (fly) terhadap otak jika diminum dalam takaran tertentu. ‎Efek santai yang dimaksud adalah timbulnya semacam halusinasi dan perasaan ‎nyaman dan terbebas dari tekanan (stress) dan tanggung jawab. Cairan atau ‎minuman ini telah terbukti merusak fisik berupa ganguan pada pencernaan ‎‎(lambung, liver, dan usus) serta kecanduan (adiktif). Selain itu, kehidupan social ‎seseorang juga akan rusak. Karena ketika mabuk akibat minuman keras, seseorang ‎menjadi kehilangan kendali dan tidak dapat mengontrol diri. Dampak sosialnya ‎dia akan dijauhi dan dianggap berbahaya bagi masyarakat. Di lingkungan ‎masyarakat yang mayoritas muslim, pecandu miras akan mendapat resistensi ‎‎(penolakan) karena dianggap pelaku maksiat.‎

Konsumsi Miras adalah Tindakan Pidana‎

Dalam Islam, minuman keras diwakili oleh istilah khamr. Khamr secara bahasa ‎berarti menutup. Karena itu, minuman khamr akan menutup akal seseorang. ‎Biasanya khamr berupa cairan yang terbuat dari perasan buah anggur atau kurma ‎yang difermentasikan sehingga memberi efek mabuk (sukr) bagi yang ‎meminumnya. Masyarakat Arab, tempat Al Qur’an turun, sangat akrab dengan ‎minuman ini. Bagi mereka, minuman yang memberi efek santai ini hampir ‎menjadi konsumsi sehari-hari. Saat itu, seakan-akan mustahil untuk ‎menghilangkan kebiasaan ini dari kehidupan orang Arab. Inilah yang menjadi ‎salah satu sebab sehingga larangan meminum khamr dalam Al Qur’an turun ‎secara bertahap sebanyak tiga kali.‎
Ayat pertama:‎

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا ‏يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (٢١٩)‏


‎“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: “Pada ‎keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa ‎keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang ‎mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah ‎menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir,” (QS Al Baqarah ‎‎[2]: 219).‎


Dalam ayat ini, tampak bahwa Al Qur’an secara halus merubah paradigma ‎masyarakat pada waktu itu tentang khamr. Ungkapan “pada keduanya terdapat ‎dosa dan beberapa manfaat” merupakan langkah persuasif Al Qur’an yang tidak ‎serta merta melarang khamr sehingga dapat menimbulkan penolakan.

Ayat kedua

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى ‏تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا ‏صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)‏
‎43. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, ‎sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu ‎dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu ‎sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh ‎perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang ‎baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha ‎Pengampun.‎

‎[301] Menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat ini termuat juga larangan untuk bersembahyang ‎bagi orang junub yang belum mandi.‎

Larangan shalat dalam keadaan mabuk sebagaimana dalam ayat ini menampakkan ‎cara Al Qur’an mempersempit ruang bagi para pecandu yang otomatis ‎mengurangi secara bertahap kebiasaan buruk mereka.‎

Ayat ketiga:‎


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ ‏تُفْلِحُونَ (٩٠)‏

‎“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, ‎‎(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji ‎termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu ‎mendapat keberuntungan.” (QS Al Maidah [5]: 90).‎

Larangan pada ayat ini bersifat final. Ketika masyarakat secara mayoritas ‎dianggap sudah mampu menerima larangan dan meninggalan khamr, maka tidak ‎lagi ada dispensasi. Sejak ayat ini turun, minuman khamr atau mabuk karena ‎khamr menjadi tindak pidana (had) yang mendapatkan ancaman hukuman 80 kali ‎dera/cambuk.

Miras dan Budaya Masyarakat

Dalam masyarakat tertentu masih terdapat kebiasaan merayakan suatu ‎keberhasilan dengan berpesata minuman keras. Atas hasil melaut, bertani, panen ‎kebun, dan sebagainya yang seharusnya disyukuri dengan mengeluarkan zakat, ‎justru menjadi ajang pesta pora dengan meminum minuman keras. Untuk ‎mengontrol dan mengendalikan efek negatif dari kebiasaan ini, diperlukan upaya ‎bersama antara pemerintah (ulul amr) dengan ulama. Dari aspek ketertiban umum, ‎pemerintah seharusnya dapat meminimalisir aktivitas seperti ini. Di lain pihak, ‎peran ulama dan dai (juru dakwah) dibutuhkan dalam rangka memahamkan ‎kepada masyarakat mengenai kedudukan atau hukum khamr dalam Islam. Seperti ‎telah disebutkan, khamr merupakan tindak pidana yang diancam dengan hukuman ‎berat (80 kali cambuk). Ancaman ini sesuai dengan efek dan bahaya yang ‎ditimbulkan dari pengaruh minuman tersebut.‎

Miras Oplosan

Perkembangan yang memprihatinkan saat ini adalah kecanduan pada miras ini ‎semakin tinggi. Bahkan beberapa kalangan menganggap pengaruh santai yang ada ‎pada minuman keras standar masih kurang. Mereka menginginkan lebih. Maka ‎muncul ide untuk mencampur miras yang standar dengan bahan dan zat lain yang ‎dianggap dapat lebih “mengeraskan” minuman tersebut. Miras hasil campuran ini ‎populer disebut “miras oplosan”. Akibatnya, minuman oplosan ini telah memakan ‎banyak korban jiwa. Di Manado, Indramayu, dan di Bali sudah puluhan orang ‎meninggal karena miras oplosan ini.‎

Kini dapat direnungkan betapa syariah Islam yang telah membuat rambu-rambu ‎tertentu berupa hudud (tindak-tindak pidana) jika dilanggar benar-benar ‎menimbulkan bahaya besar di kalangan masyarakat. Upaya sistematis untuk ‎menggolkan pelarangan miras secara tegas adalah perjuangan (jihad) yang harus ‎dilakukan oleh para legislator muslim. Mandat yang diperoleh dari rakyat dalam ‎pemilu harusnya benar-benar digunakan untuk melindungi dan memakmurkan ‎kehidupan masyarakat baik dari aspek sosial, budaya, terlebih kegamaan
________________________________________
Memahami Makanan/Minuman Halal ‎
Sehat dan bergizi
Allah Swt. berfirman: ‎
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الأرْضِ حَلالا طَيِّبًا وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (١٦٨)‏
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dan baik dari apa saja yang ‎terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, ‎karena sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata. (QS al-‎Baqarah [2]: 168).‎
Makan adalah kebutuhan jasmani yang harus dipenuhi. Halal dan baik ‎‎(halâl[an] thayyib[an]) merupakan syarat utama saat kita mengkonsumsi ‎makanan. Karena itu, mengetahui makanan halal sangat penting; tidak hanya ‎bagi orangtua, yang bertugas menyediakan makanan untuk anak-anak, tetapi ‎juga bagi anak-anak. Mereka harus mulai dikenalkan dengan makanan halal ‎atau haram agar lebih berhati-hati saat mengkonsumsinya. Bagaimana ‎mengenalkan makanan halal dan haram kepada anak? Tulisan berikut akan ‎memberikan beberapa kiatnya.‎
Beberapa Kiat ‎
‎1. Mengenalkan label halal. ‎
Usahakan untuk selalu membeli makanan yang sudah mendapatkan sertifikat ‎halal dari mulai makanan ringan, jajanan anak-anak sampai memilih rumah ‎makan ketika akan bersantap dengan keluarga. Label halal biasanya ‎berbentuk lingkaran kecil di sudut atas atau bawah kemasan. Di dalamnya ‎terdapat kata halal untuk makanan dalam kemasan dan keterangan (sertifikat ‎halal) dalam bentuk lembaran kertas untuk restoran-restoran atau makanan ‎yang tidak dikemas. Sertifikat halal ini dikeluarkan oleh POM MUI. Meski tidak ‎berarti yang tidak berlabel halal adalah makanan yang haram, mengenalkan ‎label halal penting demi mendidik anak untuk berhati-hati sebelum membeli.

‎2. Mengenalkan kandungan makanan. Ajari anak-anak untuk mengamati ‎setiap kandungan makanan yang tercantum dalam kemasan. Jika di dalamnya ‎mengandung bahan yang meragukan, seperti gelatin, misalnya, pastikan ‎bahwa yang tercantum adalah gelatin yang berasal dari sapi. Gelatin biasanya ‎terdapat pada makanan yang lembut dan sedikit kenyal, seperti permen ‎lunak, es krim, dan puding. Tiga jenis makanan ini termasuk makanan favorit ‎anak-anak. Karena itu, dengan mengenalkan komposisi kandungan, anak-‎anak terdidik untuk berhati-hati sebelum mengkonsumsi makanan.‎
‎3. Memperlihatkan poster barang haram.‎
Poster anti narkoba, misalnya, bisa kita lihat dimana-mana; di berbagai media ‎‎(massa/elektronik) atau di jalan-jalan raya. Gunakan sarana itu untuk ‎mengenalkan kepada anak makanan yang haram, di antaranya narkoba berikut ‎berbagai bahaya yang ditimbulkan. Narkoba dapat mengganggu kesehatan, ‎melemahkan perasaan dan merusak moral serta menghancurkan generasi. Dengan ‎memperlihatkan poster semacam itu, anak-anak telah dididik sedari dini untuk ‎mewaspadai makanan/zat yang haram.‎
‎4. Menunjukkan makanan yang haram saat Berbelanja.‎
Sekali waktu, ajaklah anak berbelanja di pasar atau supermarket. Jika ada ‎makanan haram yang di jual di sana, tunjukkanlah kepada mereka. Amatilah baik-‎baik, misalnya, perbedaan antara daging sapi dan babi; mulai dari warna, tekstur ‎dan sebagainya yang menunjukkan perbedaan itu. Selain daging segar, kepada ‎anak-anak juga bisa diperlihatkan beberapa makanan kaleng yang mengandung ‎bahan babi. Selain makanan, anak juga bisa dikenalkan dengan minuman-‎minuman beralkohol yang haram dikonsumsi, yang biasanya dijual di supermaket ‎besar; seperti macam-macam bir atau minuman haram lainnya. Tekankan kepada ‎anak-anak bahwa semua itu dilarang oleh Islam dan haram untuk dikonsumsi.‎
‎5. Mengunjungi pameran produk halal.‎
Jika ada kesempatan, ajaklah anak-anak mengunjungi pameran produk halal. Di ‎tempat pameran akan disajikan makanan dan minuman yang biasanya sudah ‎mendapat sertifikat halal. Anak akan menjadi lebih tahu, ternyata tidak sedikit ‎makanan halal yang bisa dikonsumsi. Anak juga bisa bertanya langsung kepada ‎orang-orang yang menjaga setiap stand sekaligus meminta penjelasan tentang ‎produk makanan yang dipamerkan. Dengan cara itu, anak-anak terbiasa ‎memperhatikan makanan halal dan makin menyadari betapa pentingya soal ini. ‎
‎6. Membacakan ayat dan hadis.‎
Mengenalkan makanan halal dan haram juga bisa dilakukan dengan mengenalkan ‎dalil-dalil tentang makanan yang bersumber dari al-Quran atau Hadis Rasulullah ‎saw. Ajaklah anak untuk membaca, mengkaji dan kalau mungkin menghapalkan ‎ayat-ayat dan hadis tersebut. Contohnya ayat berikut:‎
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ ‏وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ ‏الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ ‏نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ ‏‏(٣)‏
Ddiharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang ‎disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan ‎diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan ‎bagimu) yang disembelih untuk berhala.. (QS al-Maidah [5]: 3).‎
‎[394] Ialah: darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam surat Al An-aam ayat ‎‎145.‎
‎[395] Maksudnya Ialah: binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan ‎yang diterkam binatang buas adalah halal kalau sempat disembelih sebelum mati.‎
Contoh lain adalah sabda Rasulullah saw. berikut:‎
الْبَحْرُ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
‎“ Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. “‎
‎(HR at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad).‎
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنْ سُحْتٍ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
Tidak akan masuk surga siapa saja yang dagingnya tumbuh dari makanan yang ‎haram. Neraka lebih utama untuknya. (HR Ahmad).‎
‎7. Menanamkan kehalalan melalui cara mendapatkannya.‎
Selain kiat di atas, penting juga diajarkan kepada anak, bahwa makanan yang ‎halal tidak hanya dilihat dari zatnya saja, tetapi juga cara memperolehnya. ‎Makanan yang zatnya halal, tetapi didapat dengan cara yang haram, menjadi ‎haram juga. Misal, ayam goreng yang halal dimakan, jika didapat dengan cara ‎mengambil bekal temannya saat makan siang di sekolah, menjadi haram. Dengan ‎cara ini, anak juga dididik sedari dini untuk mendapatkan rezeki dengan cara yang ‎halal selalu. Dengan begitu, bibit-bibit korupsi dan tindak kejahatan menyangkut ‎harta lain dengan cara ini sesungguhnya sudah dilibas mulai dari akarnya.

‎8. Mengenalkan makanan halal melalui kegiatan makan bersama.‎
Cara lain yang cukup efektif mengenalkan makanan halal kepada anak-anak ‎adalah saat makan bersama. Sebelum acara makan dimulai, ajaklah anak-anak ‎mengamati makanan masing-masing. Selain dari kandungan gizinya dan ‎manfaatnya untuk pertumbuhan anak, jelaskan juga sisi kehalalan. Tanamkan rasa ‎syukur dengan makanan yang sudah tersedia, sekaligus juga ajarkan tentang adab ‎makan dan minum sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.: membaca doa ‎sebelum makan, menggunakan tangan kanan, tidak berbicara saat makan, tidak ‎mencela makanan dan sebagainya.‎
‎9. Menunjukkan makanan haram melalui tivi.‎
Mengenalkan makanan haram kepada anak, selain bisa dilakukan secara langsung ‎juga dapat melalui media, misalnya televisi. Di film-film biasanya terdapat adegan ‎orang yang mabuk karena meminum minuman beralkohol. Sampaikan bahwa ‎khamr (minuman beralkohol) haram diminum. (Lihat: QS al-Maidah [5]: 90).‎
‎10. Mengikuti perkembangan info halal.‎
Ada majalah khusus yang dikeluarkan POM MUI yang bisa kita dapat. Kita juga ‎biasa mengakses langsung melalui internet. Dengan begitu, kita tidak akan ‎tertinggal informasi tentang perkembangan makanan halal, sekaligus kita akan ‎lebih mudah dalam mencari produk halal. Ajaklah anak-anak untuk turut ‎memperhatikan atau membaca media itu. Akan lebih menyenangkan jika anak ‎juga sekali waktu diajak untuk surfing di internet untuk mengetahui makanan ‎yang halal.‎
Kepemimpinan Dalam Al-Qur'an

Itulah ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul, dan kepada Ulil Amri ‎yang beriman dan menjalankan syari’at Allah dan Sunnah Rasul. ‎
إِنَّ‎ ‎اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا‎ ‎وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ‎ ‎اللَّهَ نِعِمَّا ‏يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا‎ (58) ‎يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا‎ ‎الرَّسُولَ وَأُولِي ‏الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ‎ ‎فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ‎ ‎بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ ‏خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59‏‎)‎
‎“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang ‎berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara ‎manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi ‎pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha ‎Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58-59)‎
‎“Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”‎
Itulah ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul, dan kepada Ulil Amri ‎yang beriman dan menjalankan syari’at Allah dan Sunnah Rasul. Lalu perkara-‎perkara yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Allah dan Rasul. Semua ini ‎adalah syarat iman kepada Allah dan Hari Akhir. Sebagaimana ia merupakan ‎tuntutan iman kepada Allah dan Hari Akhir. Jadi, tidak ada iman sama sekali ‎manakala syarat ini tidak terpenuhi. Tidak ada iman, dan pada gilirannya ‎dampaknya yang pasti pun tidak mengikuti.‎
Setelah nash ini meletakkan masalah pada posisi kondisionalnya, maka sekali lagi ‎nash menghadirkannya dalam bentuk “nasihat” dan motivasi, seperti yang ‎dilakukannya terhadap perintah menunaikan amanah dan berlaku adil, yang ‎kemudian disusul dengan nasihat dan motivasi.‎
‎“Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”‎
Yang demikian itu lebih baik bagi Anda, dan lebih baik akibatnya. Lebih baik di ‎dunia, juga lebih baik di akhirat. Lebih baik akibatnya di dunia, juga lebih baik ‎akibatnya di akhirat. Jadi, bukan hanya menggapai ridha Allah dan pahala ‎akhirat—dan itu merupakan berkara yang sangat, tetapi mengikuti manhaj itu juga ‎dapat mewujudkan kebaikan dunia dan akibat yang baik bagi individu dan ‎jama’ah di kehidupan yang dekat ini.‎
Sesungguhnya manhaj ini berarti “seseorang” menikmati kelebihan-kelebihan ‎manhaj yang diletakkan Allah baginya. Allah yang Maha Menciptakan, ‎Mahabijaksana, Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha Mengenal. Manhaj yang ‎terbebas dari kebodohan, hawa nafsu, kelemahan, dan syahwat manusia. Manhaj ‎yang tidak mengandung nepotisme kepada satu individu, satu kelompok, satu ‎bangsa, satu ras, satu generasi. Karena Allah adalah Rabb bagi semua orang. ‎Allah Subhanah tidak terkontaminasi oleh keinginan memihak kepada satu ‎individu, atau satu strata sosial, atau satu bangsa, atau satu ras, atau satu generasi.‎
Inilah manhaj yang di antara keistimewaannya adalah dibuat oleh yang ‎menciptakan manusia, yang mengetahui hakikat fitrahnya dan kebutuhan-‎kebutuhan yang hakiki bagi fitrah ini. Sebagaimana Dia mengetahui seluk-beluk ‎jiwanya, sarana-sarana untuk berbicara kepadanya dan memperbaikinya. Sehingga ‎manusia tidak terjebak dalam kebingunan saat mencari manhaj yang sesuai, dan ‎Allah swt. tidak membebani manusia dengan harga dari uji coba-uji coba yang ‎keras. Sementara mereka terjebak dalam kebingunan tanpa petunjuk! ‎
Cukuplah bagi mereka melakukan uji coba dalam bidang kreasi dan inovasi ‎material sesuka hari, karena bidang tersebut sangat luas bagi akal manusia. Dan ‎cukuplah bagi akal mereka untuk berusaha menerapkan manhaj ini, dan ‎mengetahui letak-letak analogi dan ijtihad mengenai hal-hal yang diperselisihkan ‎akal.‎
Inilah manhaj yang di antara keistimewaan adalah dibuat oleh Pencipta alam ‎semesta tempat manusia tinggal. Jadi, Dia menjamin untuk manusia manhaj yang ‎kaidah-kaidahnya sesuai dengan hukum alam. Sehingga manusia tidak perlu ‎berkonflik dengan hukum alam, tetapi justeru berdampingan dengannya dan ‎memanfaatkannya. Manhaj memberinya petunjuk tentang semua ini dan ‎melindunginya.‎
Inilah manhaj yang di antara keistimewaannya adalah—selain memberinya ‎petunjuk dan melindunginya—manhaj ini juga memuliakannya dan memberi ‎ruang bagi akalnya untuk bekerja di dalam manhaj. Yaitu ruang ijtihad untuk ‎memahami nash-nash yang ada, disusul dengan ijtihad untuk mengembalikan ‎masalah yang tidak diredaksikan kepada nash-nash atau kepada prinsip-prinsip ‎umum agama ini. Dan selain itu ada ruang yang orisinil bagi akal manusia, yaitu ‎ruang penelitian ilmiah terhadap alam semesta dan ruang kreasi dan inovasi ‎material.‎
‎“Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”‎
Sehabis menetapkan kaidah universal ini dalam syarat iman dan batasan Islam, ‎juga dalam aturan pokok umat Islam, dan manhaj penetapan syari’at dan prinsip-‎prinsipnya, maka konteks beralih kepada orang-orang yang menyimpang dari ‎kaidah ini, kemudian sesudah itu mereka mengklaim sebagai orang yang beriman! ‎Padahal mereka melanggar syarat iman dan batasan Islam, karena mereka ingin ‎bermahkamah kepada selain syari’at Allah, yaitu kepada Thaghut, padahal mereka ‎diperintahkan untuk mengingkarinya.‎
Konteks beralih kepada mereka untuk memandang aneh sikap mereka. Juga untuk ‎mengingatkan mereka dan orang-orang seperti mereka tentang keinginan setan ‎untuk menyesatkan mereka. Konteks mendeskripsikan kondisi mereka ketika ‎diajak mengikuti Allah dan Rasul-Nya lalu mereka menolak. Penolakan ini ‎dianggap sebagai sikap hipokrit. Sebagaimana konteks menganggap keinginan ‎mereka untuk bermahkamah kepada thaghut sebagai tindakan keluar dari iman—‎bahkan sejak awal dianggap tidak masuk ke dalamnya. Sebagaimana konteks ‎menjelaskan alasan-alasan mereka yang lemah dan palsu untuk mengikuti langkah ‎yang aneh ini, ketika bencana dan musibah ditimpakan pada mereka. Meski ‎demikian, Rasulullah saw diinstruksikan untuk menasihati mereka. Dan penggal ‎ini ditutup dengan penjelasan tentang tujuan Allah mengutus para Rasul.‎
Pembinaan pribadi
Sisi yang harus dibangun pada pribadi muslim adalah sebagai berikut: ‎
A. Ruhiyah (Ma’nawiyah)‎
Aspek ruhiyah adalah aspek yang harus mendapatkan perhatian khusus oleh setiap ‎muslim. Sebab ruhiyah menjadi motor utama sisi lainnya, hal ini bisa kita simak ‎dalam firman Allah SWT di Surat Asy-Syams : 7-10‎
‎“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan ‎kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sungguh sangat beruntung ‎orang yang mensucikannya dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya,” ‎‎(QS. Asy Syams: 7-10). ‎
Dan dalam surat Al Hadid ayat 16:‎
‎“Belumkah datang waktunya untuk orang-orang yang beriman untuk tunduk hati ‎mereka berdzikir kepada Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada ‎mereka dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah ‎diturunkan Alkitab di dalamnya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas ‎mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan di antara mereka adalah ‎orang-orang yang fasik ” QS. Al-Hadid:16).‎
Ayat-ayat di atas memberikan pelajaran kepada kita akan pentingnya untuk ‎senantiasa menjaga ruhiyah, kerugian yang besar bagi orang yang mengotorinya ‎dan peringatan keras agar kita meninggalkan amalan yang bisa mengeraskan hati. ‎Bahkan tarbiyah ruhiyah adalah dasar dari seluruh bentuk tarbiyah, menjadi ‎pendorong untuk beramal saleh dan dia juga memperkokoh jiwa manusia dalam ‎menyikapi berbagai problematika kehidupan.‎
Aspek-aspek yang sangat terkait dengan ma’nawiyah seseorang adalah:‎
a. Aspek Aqidah. Ruhiyah yang baik akan melahirkan aqidah yang lurus dan ‎kokoh, dan sebaliknya ruhiyah yang lemah bisa menyebabkan lemahnya aqidah. ‎Padahal aqidah adalah suatu keyakinan yang akan mewarnai sikap dan tingkah ‎laku seseorang. Oleh sebab itu kalau ingin aqidahnya terbangun dengan baik maka ‎ruhiyahnya harus dikokohkan. Jadi ruhiyah menempati posisi yang sangat penting ‎dalam kehidupan seorang muslim karena dia akan mempengaruhi bangunan ‎aqidahnya.‎
b. Aspek akhlaq. Akhlaq adalah bukti tingkah laku dari nilai yang diyakini ‎seseorang. Akhlaq merupakan bagian penting dari keimanan. Akhlaq juga salah ‎satu tolok ukur kesempurnaan iman seseorang. Terawatnya ruhiyah akan ‎membuahkan bagusnya akhlaq seseorang. Allah swt dalam beberapa ayat ‎senantiasa menggandengkan antara iman dengan berbuat baik. Rasulullah saw pun ‎ketika ditanya tentang siapakah yang paling baik imannya ternyata jawab ‎Rasulullah saw adalah yang baik akhlaqnya (”ahsanuhum khuluqan”)‎
أي المؤمنين افضل إيمانا ؟ قال احسنهم خلقا. رواه ابو‎ ‎داود والترمذى والنسائ والحاكم‎.‎
‎“Mukmin mana yang paling baik imannya? Jawab Rasulullah ” yang paling baik ‎akhlaqnya” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i)‎
Bahkan diutusnya Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- pun untuk ‎menyempurnakan akhlaq manusia sehingga menjadi akhlaq yang islami
َ‎ ‎إًَِنما بعثت لأتمم مكا‎ ‎رم الأخلاق
Tolok ukur dan patokan baik dan tidaknya akhlaq adalah al-Qur’an. Itulah ‎sebabnya akhlaq keseharian Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- merupakan ‎cerminan dari Al-Qur’an yang beliau yakini. Hal ini terbukti dari jawaban Aisyah ‎ra ketika ditanya tentang bagaimana akhlaq Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa ‎sallam- , jawab beliau “Akhlaq Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- adalah ‎al-Qur’an.‎
كان خلقه القرآن
c. Aspek tingkah laku. Tingkah laku adalah cerminan dari akhlaq yang melekat ‎pada diri seseorang….‎
B. Fikriyah (’Aqliyah)‎
Kepribadian Islami juga ditentukan oleh sejauh mana kokoh dan tidaknya aspek ‎fikriyah. Kejernihan fikrah, kekuatan akal seseorang akan memunculkan amalan, ‎kreativitas dan akan lebih dirasa daya manfaat seseorang untuk orang lain. Fikrah ‎yang dimaksud meliputi:‎
a. Wawasan keislaman. Sebagai seorang muslim menjadi keniscayaan bagi dia ‎untuk memperluas wawasan keislaman. Sebab dengan wawasan keislaman akan ‎memperkokoh keyakinan keimanan dan daya manfaat diri untuk orang lain.‎
b. Pola pikir islami. Pola pikir islami juga harus dibangun dalam diri seorang ‎muslim. Semua alur berpikir seorang muslim harus mengarah dan bersumber pada ‎satu sumber yaitu kebenaran dari Allah swt. Islam sangat menghargai kerja pikir ‎ummatnya. Di dalam al-Qur’an pun sering kita jumpai ayat ayat yang ‎menganjurkan untuk berpikir: “afala ta’qiluun, afala tatafakkaruun, la’allakum ‎ta’qiluun, la’allakum tadzakkaruun,”‎
افلا تعقلون ,أفلا تذكرون, افلا تتفكرون, لعلكم‎ ‎تعقلون,لعلكم تذكرون
Seorang muslim harus senantiasa menggunakan daya pikirnya. Allah mewujudkan ‎fenomena alam untuk dipikirkan, beraneka macamnya tingkah laku manusia ‎sampai adanya aneka pemikiran dan pemahaman manusia hendaknya menjadi ‎pemikiran seorang muslim. Tetapi satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah ‎bahwa tujuan berpikir tidak lain adalah untuk meningkatkan keimanan kita kepada ‎Allah –subhânahu wa ta`âlâ- bukan sebaliknya.‎
c. Disiplin (tepat) dan tetap (tsabat) dalam berislam. Sungguh kehidupan ini tidak ‎terlepas dari ujian, rintangan dan tantangan serta hambatan. Ujian tersebut tidak ‎akan berakhir sebelum nafasnya berakhir. Oleh sebab itulah untuk menghadapinya ‎perlu tsabat dalam berpegang pada syariat Allah swt.‎
‎“dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. ‎Al-Hijr: 99)‎
Di surat Ali Imran: 102 Allah SWT menjelaskan,‎
‎“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu sebenar-benar taqwa. Dan ‎jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. ‎Ali Imran: 102)‎
Begitu pentingnya tsabat dijalan Allah, sampai Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa ‎sallam- mengajarkan do’a kepada ummatnya, sebagai berikut:‎
اللهم يا مقلب القلوب ثبت قلوبنا على دينك‎ (‎رواه‎ ‎الترمذى) ‏
‎“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, kokohkanlah hati-hati kami untuk ‎tetap berada pada agamaMu “‎
C. Amaliyah (Harokiyah)‎
Di antara sisi yang harus dibangun pada pribadi muslim adalah sisi amaliyahnya. ‎Amaliyah harakiah yang merubah kehidupan seorang mukmin menjadi lebih baik. ‎Hal ini penting sebab amaliyah adalah satu di antara tiga tuntutan iman dan Islam ‎seseorang. Tiga tuntutan tersebut adalah: al-iqror bil- lisan (ikrar dengan lisan), ‎at-tashdiq bil-qalb ( meyakini dengan hati), dan al-amal bil jawarih (beramal ‎dengan seluruh anggota badan). Jadi tidak cukup seseorang menyatakan beriman ‎tanpa mewujudkan apa yang diyakininya dalam bentuk amal yang nyata.‎
‎“Maka katakanlah “beramallah kamu niscaya Allah dan RasulNya serta orang-‎orang beriman akan melihat amalanmu itu. Dan kamu akan dikembalikan kepada ‎Allah yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya ‎kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. at-Taubah: 105)‎
Umat Islam dituntut oleh Allah –subhânahu wa ta`âlâ- untuk menunaikan ‎sejumlah amal, baik yang bersifat individual maupun yang kolektif bahkan ‎kewajiban yang sistemik. Kewajiban individual akan lebih khusyu’ dan lebih baik ‎pelaksanaannya jika ditunjang dengan sistem yang kondusif. Shalat, puasa , zakat ‎dan haji misalnya akan lebih baik dan lebih khusyu’ kalau dilaksanakan di tengah ‎suasana yang aman tenteram dan kondusif. Apalagi kewajiban yang bersifat ‎sistemik seperti dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar, jihad dsb, mutlak ‎memerlukan ketersediaan perangkat sistem yang memungkinkan terlaksananya ‎amal tersebut.‎
Pentingnya amaliyah harakiah dalam kehidupan seorang mukmin laksana air. ‎Semakin banyak air bergerak dan mengalir semakin jernih dan semakin sehat air ‎tersebut. Demikian juga seorang muslim semakin banyak amal baiknya, akan ‎semakin banyak daya untuk membersihkan dirinya, sebab amalan yang baik bisa ‎menjadi penghapus dosa. Simaklah QS. Huud: 114‎
‎“Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian ‎permulaan malam, sesungguhnya perbuatan yang baik itu menghapuskan ‎perbuatan yang buruk (dosa), itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”. ‎‎(QS. Huud: 114)‎
Ada sedikitnya tiga alasan kenapa seorang harus beramal:‎
‎1. Kewajiban diri pribadi.‎
Sebagai hamba Allah tentunya harus menyadari bahwa dirinya diciptakan bukan ‎untuk hal yang sia-sia. Baik jin dan manusia Allah ciptakan untuk tujuan yang ‎amat mulia yaitu untuk beribadah, menghamba kepada Allah –subhânahu wa ‎ta`âlâ-. Amalan adalah bentuk refleksi dari rasa penghambaan diri kepada Dzat ‎yang mencipta.‎
‎“Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah” (QS. ‎Adz Dzaariyaat: 56)‎
Di samping itu pertanggungjawaban di depan mahkamah Allah nanti bersifat ‎individu. Setiap individu akan merasakan balasan amalan diri pribadinya.‎
‎“Dan bahwasanya manusia tiada memperoleh selain apa yang telah ‎diusahakannya.Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan ‎kepadanya. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang ‎paling sempurna” (QS. an-Najm: 39-41).‎
‎2. Kewajiban terhadap keluarga.‎
Keluarga adalah lapisan kedua dalam pembentukan ummat. Lapisan ini akan ‎memiliki pengaruh yang kuat baik dan rusaknya sebuah ummat. Oleh sebab itulah ‎seseorang dituntut untuk beramal karena terkait dengan kewajiban dia membentuk ‎keluarga yang Islami, sebab tidak akan terbentuk masyarakat yang baik tanpa ‎melalui pembentukan keluarga yang baik dan islami. ‎
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ‏
‎“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api ‎neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS. At-Tahrim :6)‎
Setiap muslim seharusnya mampu membentuk keluarga yang berkhidmat untuk ‎Islam, seluruh anggota keluarga terlibat dalam amal islami di seluruh bidang ‎kehidupan.‎
‎3. Kewajiban terhadap dakwah. ‎
Beramal haraki bagi seorang muslim bukan hanya atas tuntutan kewajiban diri dan ‎keluarganya saja, akan tetapi juga karena tuntutan dakwah. Islam tidak hanya ‎menuntut seseorang saleh secara individu tapi juga saleh secara sosial.‎
‎“dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka ‎‎(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh ‎‎(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, ‎menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan ‎diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha ‎Bijaksana.” (QS. At-Taubah:71)‎
‎“dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada ‎kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ‎merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)‎
Ma’ruf adalah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan ‎Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.‎
Juga di dalam surat Fushshilat ayat 33:‎
‎“siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada ‎Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku Termasuk ‎orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat: 33)‎
SEJARAH TAFSIR DAN PERKEMBANGANNYA
Secara etimologi tafsir bisa berarti: ‎الايضاح والبيان‎ (penjelasan), ‎الكشف‎ ‎‎(pengungkapan) dan ‎كشف المراد عن اللفظ المشكل‎ (menjabarkan kata yang samar ). 1 ‎Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau ‎menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya. 2 ‎
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, ‎karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk ‎dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman ‎Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Adapun ‎perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat periode yaitu :‎
Pertama, Tafsir Pada Zaman Nabi. ‎
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab ‎mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang ‎masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. ‎Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-‎Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan ‎kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, ‎Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman ‎Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan ‎kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang ‎telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44). ‎Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : ‎‎“Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman Allah :‎
وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة
kemudian Rasulullah bersabda :‎
ألا إن القوة الرمي
‎“Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”. ‎
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda ‎tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga. ‎
‎ Tafsir Pada Zaman Shohabat
Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan ‎Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, ‎atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab ‎‎(Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya.‎
Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, ‎Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, ‎Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak ‎menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan ‎Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah. ‎
Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan ‎hadist marfu’. 3 Atau paling kurang adalah Mauquf. ‎
Tafsir Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa ‎sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini ‎muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya: ‎
‎1)- Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir ‎terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, ‎Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah. ‎
‎2)- Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar ‎tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-‎Qurodli. Dan 3)- Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-‎muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah ‎bin Di’amah As-Sadusy. ‎
Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi ‎perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas ‎pendapat yang lainnya. ‎
‎ Tafsir Pada Masa Pembukuan ‎
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu; ‎
Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah ‎yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan ‎sebelumnya. Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara ‎terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat ‎dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu ‎Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan ‎mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat ‎dan para tabi’in. Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya ‎dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini ‎menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang ‎menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat ‎kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ‎ayat
غير المغضوب عليهم ولاالضالين
ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat ‎tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni. Periode Keempat, pembukuan ‎tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga ‎metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan ‎metode bin naqly ( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi ‎tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-‎Qur’an dari segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut ‎sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya. Periode Kelima, tafsir ‎maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai ‎disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya ‎At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal ‎Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul ‎Qur’annya. ‎
Metode Penafsiran ‎
Metode penafsiran yang banyak dilakukan oleh para mufassir adalah: ‎
‎ Pertama, Tafsir Bil Ma’tsur atau Bir-Riwayah
Metode penafsirannya terfokus pada shohihul manqul (riwayat yang shohih) ‎dengan menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-‎Qur’an dengan sunnah, penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para sahabat dan ‎penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Yang mana sangat teliti dalam ‎menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada. Dan penafsiran seperi inilah ‎yang sangat ideal yang patut dikembangkan. Beberapa contoh kitab tafsir yang ‎menggunakan metode ini adalah : ‎
‎1.‎ Tafsir At-Tobary ((‎جامع البيان في تأويل أى القران‎ terbit 12 jilid‎
‎2.‎ Tafsir Ibnu Katsir (‎تفسير القران العظيم‎ ) dengan 4 jilid‎
‎3.‎ Tafsir Al-Baghowy (‎معالم التنزيل‎ )‎
‎4.‎ Tafsir Imam As-Suyuty (‎الدر المنثور في التفسير بالمأثور‎ ) terbit 6 jilid. ‎
‎ Kedua, Tafsir Bir-Ra’yi (Diroyah). ‎
Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: ‎
Ar-Ro’yu al Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan ‎beberapa syarat diantaranya: ‎
‎1)- Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Qur’an dan as-sunnah
‎2)- Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil ma’tsur, Seorang ‎mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta ‎perangkat-perangkatnya. ‎
Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini diantaranya : ‎
‎1.‎ Tafsir Al-Qurtuby (‎الجامع لأحكام القران‎ )‎
‎2.‎ Tafsir Al-Jalalain (‎تفسير الجلالين‎)‎
‎3.‎ Tafsir Al-Baidhowy (‎أنوارالتنزيل و أسرار التأويل‎). ‎
Ar-Ro’yu Al- mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela / dilarang), karena ‎bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath ‎‎(pegambilan hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai ‎dengan nilai-nilali syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para ahli ‎bid’ah yang sengaja menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan keyakinannya ‎untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak dilakukan oleh ‎ahli tafsir priode sekarang ini. Diantara contoh kitab tafsir yang menggunakan ‎metode ini adalah: ‎
‎1.‎ Tafsir Zamakhsyary (‎الكشاف عن حقائق التنزيل و عيون الأقاويل في وجوه التأويل‎ )‎
‎2.‎ Tafsir syiah “Dua belas” seperti (‎مرأة الأنوار و مشكاة الأسرار للمولي عبد اللطيف ‏الكازاراني‎ ) juga‎مع البيان لعلوم القران لأبي الفضل الطبراسي‎ ‎
‎3.‎ Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah seperti tafsir ‎حقائف التفسير للسلمي و ‏عرائس البيان في حقائق القران لأبي محمد الشيرازي‎ ‎
SYARAT DAN ADAB PENAFSIR AL-QUR’AN ‎
Untuk bisa menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria ‎diantaranya: ‎
‎1)- Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-‎Qur’an. ‎
‎2)- Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan ‎memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan ‎terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau ‎madzhabnya. ‎
‎3)- Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur’an seperti penafsiran dengan ‎al-Qur’an, kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para ‎tabi’in. ‎
‎4)- Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun ‎dengan bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman ‎kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau ‎tidak menguasai bahasa arab“. ‎
‎5)- memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) ‎suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah, ‎
‎6)- Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an ‎seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu ‎kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-‎macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-‎kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya ‎yang dibutuhkan dalam menafsirkan. ‎
Adapun adab yang harus dimiliki seorang mufassir adalah sebagai berikut :‎
‎1.‎ Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. Karena ‎seluruh amalan tergantung dari niatannya (lihat hadist Umar bin Khottob ‎tentang niat yang diriwayatkan oleh bukhori dan muslim diawal kitabnya ‎dan dinukil oleh Imam Nawawy dalam buku Arba’in nya).‎
‎2.‎ Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang ‎lain
‎3.‎ Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang ‎dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang lebih baik. ‎
‎4.‎ Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali ‎setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya. ‎
‎5.‎ Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.‎
‎6.‎ Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan ‎maupun dalam penyampaian. Dengan menggunakan metode yang ‎sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai dari asbabunnuzul, ‎makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari sudut ‎balagho, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri ‎dengan mengistimbat hukum atau faedah yang ada pada ayat tersebut. ‎
‎ CONTOH KITAB TAFSIR DAN METODOLOGI PENULISANNYA
Nama Kitab : ‎جامع البيان في تفسير أي القران‎ atau yang lebih dikenal dengan tafsir al-‎Tabary. Pengarangnya : Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thobary (224 – ‎‎310 H) Jumlah jilid : 12 jilid besar.‎
Keistimewaannya : Tafsir ini merupakan referensi bagi para mufassirin terutama ‎penafsiran binnaqli/biiriwayah. Tafsir bil aqli karena istinbath hukum, ‎penjabaran berbagai pendapat dengan dan mengupasnya secara detail disertai ‎analisa yang tajam. Ia merupakan tafsir tertua dan terbagus. ‎
Metodologi Penulisannya: ‎
Penulis menafsirkan ayat al-Qur’an dengan jelas dan ringkas dengan menukil ‎pendapat para sahabat dan tabi’in disertai sanadnya. Jikalau dalam ayat tersebut ‎ada dua pendapat atau lebih, di sebutkan satu persatu dengan dalil dan riwayat ‎dari sahabat maupun tabi’in yang mendukung dari tiap-tiap pendapat kemudian ‎mentarjih (memilih) diantara pendapat tersebut yang lebih kuat dari segi dalilnya. ‎Beliau juga mengii’rob (menyebut harakat akhir), mengistimbat hukum jikalau ‎ayat tersebut berkaitan dengan masalah hukum. Ad-Dawudy dalam bukunya ‎‎“Thobaqah al-Mufassirin“ mengomentari metode ini dengan ungkapannya:“ Ibnu ‎jarir telah menyempurnakan tafsirnya dengan menjabarkan tentang hukum-‎hukum, nasih wal mansuh, menerangkan mufrodat (kata-kata) sekaligus ‎maknanya, menyebutkan perbedaaan ulama’ tafsir dalam masalah hukum dan ‎tafsir kemudian memilih diantara pendapat yang terkuat, mengi’rob kata-kata, ‎mengkonter pendapat orang-orang sesat, menulis kisah ,berita dan kejadian hari ‎kiamat dan lain-lainnya yang terkandung didalamnya penuh dengan hikmah dan ‎keajaiban tak terkira kata demi kata, ayat demi ayat dari isti’adzah sampai abi jad ‎‎(akhir ayat). Bahkan jikalau seorang ulama’ mengaku mengarang sepuluh kitab ‎yang diambil dari tafsir ini, dan setiap kitab mengandung satu disiplin keilmuan ‎dengan keajaiban yang mengagungkan akan diakuinya (karangan tersebut). ‎
‎ 2. Tafsir Ibnu Katsir ‎
Nama kitab : ‎تفسير القران العظيم‎ lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir. ‎
Jumlah jilid : 4 Jilid ‎
Nama penulis : Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (w 774 H)‎
Keutamaanya : Merupakan tafsir terpopuler setelah tafsir At-Thobary dengan
metode bil ma’tsur. ‎
Metodologi penulisannya: ‎
Penulis sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menukil ‎perkataan para salafus sholeh. Ia menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan ‎mudah dipahami. Menerangkan ayat dengan ayat yang lainnya dan ‎membandingkannya agar lebih jelas maknanya. Beliau juga menyebutkan hadits-‎hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran para ‎sahabat dan para tabi’in. Beliau juga sering mentarjih diantara beberapa pendapat ‎yang berbeda, juga mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif(lemah). ‎mengomentari periwayatan isroiliyyat. Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia ‎menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama’ fiqih) dengan mendiskusikan dalil-‎dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar. Imam Suyuthy dan Zarqoni ‎menyanjung tafsir ini dengan berkomentar ;” Sesungguhnya belum ada ulama’ ‎yang mengarang dalam metode seperti ini “. ‎
‎ 3. Tafsir Al-Qurtuby ‎
Nama kitab : ‎الجامع لأحكام القران‎ ‎
Jumlah jilid : 11 jilid dengan daftar isinya. ‎
Nama penulisnya : Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby (w 671 H). ‎
Keutamaanya : Ibnu Farhun berkata,” tafsir yang paling bagus dan paling banyak ‎manfaatnya, membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat ‎dalil, serta menerangkan I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh”. ‎
Metode penulisannya :‎
Penulis terkenal dengan gaya penulisan ulama’ fiqih., dengan menukil tafsir dan ‎hukum dari para ulama’ salaf dengan menyebutkan pendapatnya masing-masing. ‎Dan membahas suatu permasalahan fiqhiyah dengan mendetil. Membuang kisah ‎dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, juga I’rob, qiroat, nasikh ‎dan mansukh. Beliau tidak ta’assub (panatik) dengan mazhabnya yaitu mazhab ‎Maliki. ‎
‎ 4. Tafsir Syinqithy ‎
Nama kitab : ‎أضواء البيان في إيضاح القران بالقران‎ ‎
Jumlah jilid : 9 jilid. ‎
Nama penulisnya : Muhammad Amin al-Mukhtar As-Syinqithy
Metodologi penulisannya: ‎
Menekankan penafsiran bil-ma’tsur dengan dilengkafi qira’ah as-sab’ah dan ‎qiro’ah syadz (lemah) untuk istisyhad (pelengkap). Menerangkan masalah fiqih ‎dengan terperinci, dengan menyebut pendapat disertai dalil-dalilnya dan mentarjih ‎berdasarkan dalil yang kuat. Pembahasan masalah bahasa dan usul fiqih. Beliau ‎wafat dan belum sempat menyelesaikan tafsirnya yang kemudian dilengkapi oleh ‎murid sekaligus menantunya yaitu Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim.‎
Ta’aruf

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ‏إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (١٣)‏
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan ‎seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku ‎supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia ‎diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. ‎Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.‎
Bila kita mencermati sinetron yang bertaburan di layar kaca akhir-akhir ini, ‎maka urusan pacaran yang dalam bahasa Arab disebut ta'aruf, menjadi ‎tema yang paling dominan. Bahkan urusan pacaran para bintang sinetron ‎diluar peran pun, lewat infotaintment, dijadikan topik yang setiap hari ‎dianggap hotnews.‎
Menyedihkannya, para pesinetron itu ternyata banyak juga yang masih berusia ‎muda, sehingga "pacaran" nya bukan untuk tujuan pernikahan, tapi sekedar jalan ‎bareng. Jadi, jangan heran bila banyak diantara mereka, diberitakan gonta-ganti ‎pacar.‎
Karena kiprah para pemain sinetron ini secara tidak langsung mempengaruhi para ‎pemirsa yang juga para kaula muda, maka rasanya sebagai orangtua, khususnya ‎sebagai Ibu, tidak ada salahnya kita menjelaskan pada anak-anak kita tentang ‎pacaran dilihat dari aturan agama.‎
Kiat Ta'aruf untuk Memilih Jodoh
Ta'aruf sebenarnya memang dianjurkan, tetapi khusus bagi para muda-mudi yang ‎berniat untuk menikah. Sebab ta'aruf ini berkaitan dengan persiapan pra nikah ‎yang harus dilakukan dengan cukup matang.‎
Dia antaranya adalah untuk saling menjajaki kemampuan dan kepercayaan diri ‎untuk memasuki dunia rumah tangga yang baru dan penuh tantangan itu. Selain ‎itu tentu saja kesiapan finansial dan mental, serta kesepenuhan hati dalam memilih ‎pasangan yang sekiranya serasi, cocok dan diyakini bisa abadi seumur hidup.‎
Alhamdulillah dalam Islam, laki-laki dan perempuan menpunyai hak dan ‎kebebasan memilih yang sama. Tidak ada pemaksaan dalam Islam atau yang kita ‎kenal dengan istilah "dijodohin". Namun ruang untuk saran, nasihat dan ‎musyawarah dari pihak lain, baik orang tua maupun keluarga yang dianggap lebih ‎berpengalaman dan bijaksana, tetap dibuka.‎
Jadi ta'aruf dalam Islam merupakan proses untuk mengenal calon pasangan ‎mesing-masing, yang sekiranya kelak akan dijadikan seorang pendamping ‎dalam kehidupan rumahtangganya. ‎
Ada beberapa hal mendasar yang ditekankan oleh agama untuk dikenali dari calon ‎pasangan masing-masing.‎
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ‏رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا ‏وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ‏
Nabi bersabda, "Seseorang dinikahi karena empat hal: Kecantikan dan ‎ketampanannya, keturunannya, kemapanan ekonominya dan komitmen ‎keagamaannya. Namun, prioritaskanlah sisi komitmen keagamaannya maka ‎diharapkan kamu akan mendapatkan ketenangan hidup" (HR. Bukhari-‎Muslim).‎
Dalam hadis lain Nabi juga bersabda, "Menikahlah dengan orang yang ‎berpotensi memiliki keturunan dan yang senantiasa mencurahkan mawaddah ‎atau cinta kasih kepadamu " (HR. Ahmad dan Ibn Hibban)‎
Lalu, bagaimana cara kita mengenali sifat-sifat dari diri calon pasangan yang ‎sekiranya akan kita pilih itu? Dalam hal ini Nabi menasehatkan kepada kita untuk ‎melakukan Nadlar atau melihat dan berjumpa langsung dengan si dia. Nabi ‎bersabda, "Jika kamu berkeinginan mengawini seeorang maka sebaiknya kamu ‎dapat lebih dulu melihat dan bertemu langsung dengannya. Karana hal itu ‎merupakan sarana yang berpotensi lebih untuk dapat menjaga keutuhan ‎rumah tangga keduanya dikemudian hari" (HR. Tirmidzi dan Nasa).‎
Dalam hadis-hadis lain juga dikisahkan tentang keberadaan beberapa Sahabat ‎yang minta pertimbangan kepada Nabi saat akan memilih calon pasangan.‎
Norma-norma Berpacaran
Meski agama tidak membatasi secara ekstrim pola interaksi yang normatif dan ‎wajar antara laki-laki dan perempuan yang tidak mahram, namun hal itu harus ‎dibingkai dalam tatatanan etika dan moralitas agama. Sebab dalam konteks ‎agama, pacaran dilakukan dengan tujuan pasti, yaitu membangun hubungan ‎sosial, termasuk hubungan antara laki-laki dan perempuan, dalam kondisi yang ‎senantiasa bersih, teratur dan tidak membuahkan keresahan atau agar tidak ‎terkotori oleh ekspresi-ekspresi seksualitas yang tidak pada tempatnya.‎
Bukan rahaisa umum banyak kasus pacaran yang seringkali berujung ‎memprihatinkan, Kalau tidak menyebabkan pernikahan dini, maka kasus aborsi ‎pun mencuat. Karena itu perinsip dasar pacaran harus dipahami dengan benar. ‎Yaitu, kedekatan antara laki-laki dan perempuan yang tidak mahram, dengan satu ‎tujuan yaitu untuk terjadinya pernikahan.‎
Dengan demikian kita tahu persis, usia berapa anak-anak kita pantas ‎melakukannya. Namun bila pun usia mereka sudah pansas, sebaiknya kita semua ‎mawas diri bahwa tidak ada yang bisa menjamin kalau mereka akan selaku dapat ‎mengendalikan hawa nafsu dan terhindar dari bisikan-bisikan iblis yang ‎menyesatkan. Peluang-peluang yang bisa membuka lebar kesempatan untuk ‎melakukan maksiat dalam bentuk apapun sebaiknya segera dihindari. Antara lain ‎dengan tidak membiarkan anak-anak kita berpacaran terlalu lama. Segerakan ‎pernikahan bila mereka terlihat sudah saling cocok.‎
Beri info yang Benar
Selain memberi pemahaman mengenai pacaran menurut agama, jangan sungkan ‎untuk membicarakan masalah seks dengan anak-anak sesuai perkembangan usia ‎dan jiwa mereka. Pendidikan seks sangat dibutuhkan agar anak tidak mendapat ‎pemahaman yang keliru. tekankan lah bahwa hubungan seks atau apa saja yang ‎mengarah pada hal itu memiliki tujuan mulia, yaitu meneruskan keberadaan umat ‎manusia di muka bumi ini. Selain itu hubungan seks juga pada dasarnya hanya ‎diperbolehkan oleh agama bagi pasangan yang sudah menikah secara sah. ‎Sementara yang dilakukan di luar pernikahan yang sah, hukumnya adalah haram ‎dan termasuk dosa besar.‎
Pacaran yang sesuai aturan agama pada prinsipnya adalah semata-mata demi ‎menjaga kehormatan dan kebersihan hati umat manusia.‎
Syrat-syarat Pemimpin

Di dalam Islam, kepemimpinan itu biasa dikenal dengan ‎istilah imarah, ri-asah, atau qiyadah. Semuanya bermakna ‎sama. Islam telah melekatkan persoalan kepemimpinan ini ‎atas diri umatnya, sedemikian rupa sehingga tidak boleh ada ‎satu perkara pun dimana di dalamnya melibatkan tiga orang, ‎kecuali harus ada salah seorang diantara mereka yang ‎menjadi pemimpinnya. Rasululullah saw bersabda:

‎“Tidak boleh bagi tiga orang berada dimanapun di bumi ini, ‎tanpa mengambil salah seorang diantara mereka sebagai amir ‎‎(pemimpin). (Musnad Imam Ahmad, Jilid III hal.177)

Ini berarti Islam telah mengajarkan berpolitik dalam perkara ‎apa pun dengan keharusan ada seorang pemimpin di setiap ‎perkara dan kehidupan kaum Muslim. Di dalam kehidupan ‎keluarga ada kepala keluarga (amir al-usrah), di dalam shalat ‎berjamaah ada imamnya, di dalam perjalanan (safar) ada ‎pemimpin perjalanan (amir as-safar), di dalam kafilah ‎haji/umrah ada pemimpinnya (amir al-hajj), di dalam pasukan ‎terdapat komandannya (amir al-jaisy), dan lain-lain termasuk ‎di dalamnya adalah kepala negara, yang di dalam sistem ‎pemerintahan Islam dikenal dengan sebutan Khalifah atau ‎Imam al-A’dham. Ia adalah pemimpin umum bagi seluruh ‎kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum ‎syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh ‎penjuru dunia. Pemimpin seperti inilah yang dinyatakan oleh ‎hukum syariat agar masyarakat tertib dengan institusi ‎Kekhilafahan Islam, dimana diwajibkan atas seluruh kaum ‎Muslim menegakkan dan menjaganya.‎

Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Abu ‎Hurairah r.a.:‎

‎“Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya ‎oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia ‎digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada ‎nabi sesudahku. Akan tetapi, nanti akan ada banyak khalifah. ‎‎“Para sahabat bertanya, “Apakah yang Engkau perintahkan ‎kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang ‎pertama dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada ‎mereka haknya, karena Allah nanti akan menuntut ‎pertanggungjawaban mereka atas rakyat yang dibebankan ‎urusannya kepada mereka.” (HR Muslim).‎

Dari hadis di atas, tampak bahwa Islam memiliki ciri khas ‎tersendiri dalam perkara kepemimpinan. Yaitu keharusan ‎adanya seorang pemimpin dalam seluruh perkara, apalagi ‎perkara besar seperti negara. Sebab, tidak akan ada gunanya ‎pelaksanaan suatu sistem apabila tidak ada orang yang ‎memimpin pelaksanaan sistem tersebut.‎

Jabatan adalah Amanah Kepemimpinan adalah amanat, ‎karena seorang pemimpin adalah pihak yang paling ‎bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Aspek ‎masuliyat (pertanggung jawaban) menjadi unsur yang paling ‎mendasar dalam kepemimpinan. Artinya, jabatan itu adalah ‎amanat yang akan dimintai pertanggung jawaban. Wajar jika ‎jabatan itu dapat menghantarkan pada derajat yang paling ‎tinggi, akan tetapi bisa juga menjerumuskannya pada jurang ‎kehinaan. Rasulullah saw bersabda:‎
Bahwa itu adalah amanat, dan ia di hari Kiamat akan menjadi ‎kerugian dan penyesalan, kecuali bagi orang yang ‎mengambilnya dengan cara yang haq, serta menunaikan ‎kewajiban yang terpikul di atas pundaknya. (HR. Muslim)

Dengan demikian, apabila masyarakat memilih dan ‎menetapkan pemimpinnya terhadap orang yang tidak ‎benar/tepat, ditambah lagi aspek amanat dan pertanggung ‎jawabannya amat lemah, maka kehancuran atas tatanan ‎kehidupan bernegara, bermasyarakat merupakan keniscayaan ‎yang tidak terbantahkan. Rasulullah saw bersabda:

Apabila amanat telah disia-siakan, maka tunggulah ‎kehancurannya. Para sahabat bertanya: ‘Bagaimana menyia-‎nyiakannya? Rasul menjawab: ‘Apabila suatu jabatan ‎diserahkan kepada orang-orang yang bukan ahlinya, maka ‎tunggulah kehancurannya’. (HR. Bukhari)‎

Bukti atas hadits dan peringatan Rasulullah saw dapat ‎dirasakan oleh setiap anggota masyarakat saat ini. Itu karena ‎jabatan telah diposisikan sebagai kursi kekuasaan, ‎kesempatan dan peluang untuk melanggengkan jabatan, ‎tempat untuk mengeruk harta, status sosial maupun ‎keuntungan duniawi, tanpa mempedulikan orang lain maupun ‎masyarakat. Dan karena sikapnya itu mereka terjerumus ‎dalam kehinan dan penderitaan. Padahal hal itu telah ‎diingatkan oleh Rasulullah saw, akan tetapi banyak kaum ‎Muslim yang berpura-pura tidak tahu atau mendengar ‎peringatan tersebut.‎

Syarat-Syarat Pemimpin Ideal

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dicintai dan ‎diridhai oleh rakyatnya. Demikian juga sebaliknya; ia juga ‎mencintai dan meridhai rakyatnya. Kedua belah pihak saling ‎membutuhkan untuk membuat sinergi bagi peningkatan ‎ketakwaan di sisi Allah. Kondisi ini bisa terwujud ketika ‎tidak ada perbedaan tujuan antara pemimpin dan rakyatnya. ‎Mereka berdua sama-sama berharap, dapat menjalankan ‎seluruh sistem hukum Islam secara total. Keduanya sama-‎sama berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan dalam ‎kemungkaran. Dalam hal ini, Nabi saw. bersabda, ‎sebagaimana dituturkan ‘Auf bin Malik:‎

Sebaik-baik pemimpin kalian ialah mereka yang kalian cintai ‎dan mereka pun mencintai kalian; mereka mendoakan kalian ‎dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pemimpin ‎kalian ialah mereka yang kalian benci dan mereka pun ‎membenci kalian; kalian melaknati mereka dan mereka pun ‎melaknati kalian. (HR Muslim).‎

Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemimpin yang ideal, ‎beberapa syarat pokok mutlak harus dipenuhi. Di antaranya: ‎Pertama, pemimpin haruslah Muslim. Jabatan kepala negara ‎‎(khalifah) secara mutlak tidak diberikan kepada orang kafir. ‎Ini adalah suatu hal yang logis adanya. Sebab, Allah sendiri ‎telah melarangnya sebagaimana firman-Nya:‎
Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-‎orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin. (T Q S. ‎an-Nisa’ [4]: 141).‎

الَّذِينَ يَتَرَبَّصُونَ بِكُمْ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِنَ اللَّهِ قَالُوا أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ وَإِنْ كَانَ لِلْكَافِرِينَ نَصِيبٌ قَالُوا أَلَمْ ‏نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى ‏الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا (١٤١)‏
‎141. (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai ‎orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: ‎‎"Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat ‎keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu[363], dan ‎membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu ‎di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk ‎memusnahkan orang-orang yang beriman.‎

‎[363] Yaitu dengan jalan membukakan rahasia-rahasia orang mukmin dan menyampaikan hal ‎ihwal mereka kepada orang-orang kafir atau kalau mereka berperang di pihak orang mukmin ‎mereka berperang dengan tidak sepenuh hati.‎

Pemerintahan atau kekuasaan adalah jalan yang paling mudah ‎bagi seorang pejabat pemerintahan untuk memaksa ‎rakyatnya. Oleh karena itu, kekuasaan mutlak tidak boleh ‎diserahkan kepada kaum kafir. Sebab jika pemimpin kaum ‎Muslim adalah orang kafir akan sangat bisa dimengerti jika ‎kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya pun akan jauh dari ‎nilai-nilai Islam. Keluarnya kebijakan yang mengancam ‎akidah umat dan cenderung tidak proporsional adalah sesuatu ‎yang mungkin terjadi.‎

Kedua, laki-laki. Diriwayatkan oleh Abi Bakrah, bahwa ‎rasulullah saw. pernah bersabda:‎

Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan ‎kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita. ‎‎(HR al-Bukhari).‎

Ikhbâr (pemberitahuan) Rasulullah dengan menafikan ‎keberuntungan bagi kaum manapun yang menyerahkan ‎kekuasaan mereka kepada seorang wanita adalah ‎menunjukkan larangan terhadap kepemimpinan wanita dalam ‎jabatan pemerintahan.‎

Ketiga: adil. Adil artinya secara konsisten menjalankan ‎agamanya (bertakwa). Jadi, tidak sah orang fasik diangkat ‎menjadi seorang kepala negara atau khalifah. Adil adalah ‎syarat yang harus dipenuhi untuk pengangkatan khalifah serta ‎keberlangsungan akad pengangkatannya. Sebab, Allah telah ‎mensyaratkan seorang saksi dengan syarat adil. (lihat QS. at-‎Thalaq [65]: 2).‎
‎…‎‏ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ ‏بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (٢)‏

‎… dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan ‎hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi ‎pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. ‎Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan ‎keluar.‎
Keempat, merdeka. Seorang hamba sahaya tidak sah menjadi ‎khalifah, karena dia adalah milik tuannya sehingga dia tidak ‎memilki wewenang untuk mengatur, bahkan sekadar ‎mengatur dirinya sendiri. Dengan demikian, dia tidak layak ‎untuk mengurusi orang lain, apalagi menjadi penguasa.

Di samping itu, seorang kepala negara tidak berada dalam ‎bayang-bayang kekuasaan pihak lain. Artinya, tatkala ‎khalifah tunduk patuh pada pihak lain, tidak bisa berbuat ‎banyak untuk menolak ataupun mengatur kebijakannya ‎sendiri, atau senantiasa diatur oleh negara lain, maka pada ‎hakikatnya khalifah tersebut sama dengan menjadi ‘hamba’ ‎dari penguasa yang lain. Jika kondisi ini terjadi, seorang ‎kepala negara atau khalifah wajib diberhentikan.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang ‎kepala negara atau khalifah tidak boleh menjadi boneka ‎negara lain dan menjadi operator kepentingan pihak-pihak ‎asing. Ia tidak terpengaruh oleh-atau mengekor pada-negara ‎manapun dalam mengatur, mengurusi, dan melayani ‎masyarakat. Kepala negara atau khalifah berkuasa penuh-‎dengan berlandaskan pada al-Quran dan Sunnah-untuk ‎mengatur dan memelihara seluruh kepentingan rakyatnya.



DAFTAR ISI
Halaman


Halaman Cover.............................................................................................‎
Daftar isi ......................................................................................................‎ ‎ i‎
ii


Tafsir dan Ilmu Tafsir ..................................................................................‎
Tafsir yang terkenal dari abad ke II sampai abad Modern ..........................‎
Dhomir dalam Ilmu Tafsir ............................................................................‎
Munasabah antar ayat ..................................................................................‎
Sejarah Tafsir dan perkembangannya ..........................................................‎
Qira’at al-Quran dan macam-macamnya .....................................................‎
Pengertian Asbabun Nuzul ..........................................................................‎
Al-Sual dan al-Jawab dalam al-Quran..........................................................‎
Kedudukan Akal dalam al-Quran.................................................................‎
Al-Quran mengenai pembinaan masyarakat.................................................‎
Pembinaan masyarakat..................................................................................‎
Bahaya Miras ................................................................................................‎
Memahami makanan/minuman halal, sehat dan bergizi...............................‎
Kepemimpinan dalam al-Quran ...................................................................‎
Pembinaan Pribadi .......................................................................................‎
Sejarah Tafsir dan Perkembangannya ..........................................................‎
Metode Penafsiran .......................................................................................‎
Syarat dan Adab Penfsiran al—Quran .........................................................‎
Taa’aruf.........................................................................................................‎
Syarat-syarat Pemimpin ...............................................................................‎


‎1‎
‎1‎
‎3‎
‎11‎
‎16‎
‎20‎
‎27‎
‎32‎
‎38‎
‎44‎
‎45‎
‎50‎
‎55‎
‎58‎
‎61‎
‎63‎
‎68‎
‎71‎
‎73‎
‎76‎
‎78‎

Tidak ada komentar: