CARI

HOME

Minggu, 22 Februari 2015

Sujud syukur ala Nahdliyin



Sujud Syukur Syariah
Sujud Syukur Syariah
Allah SWT suka betul terhadap mereka yang mau mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya. Kalau sudah suka, Allah SWT tidak segan menganugerahkan apa saja bahkan yang ganjil atau yang tidak masuk akal sekalipun. Tetapi hati-hati, taqarrub asal taqarrub seperti sujud syukur sembarangan bisa-bisa mendatangkan murka Yang Maha Perkasa.
Syekh Sulaiman dalam karyanya Hasyiyatul Bujairimi alal Khotib menyebutkan sebagai berikut.

ولو تقرب إلى الله بسجدة) أو بركوع (من غير سبب) أي من الأسباب المذكورة وغيرها وهي سجدة التلاوة والشكر والسهو (حرم) أي ولو كانت السجدة بعد الصلاة، ومثل السجدة ركوع منفرد ونحوه فيحرم التقرب به

(Kalau seseorang mendekatkan diri kepada Allah dengan sebuah sujud) atau ruku’ (tanpa sebab)-sebab yang tersebut seperti sujud tilawah, sujud syukur, dan sujud sahwi, (maka haramlah sujudnya) sekalipun sujud itu dilakukan usai sembahyang kelar. Sujud begitu, ruku’ yang dikerjakan secara terpisah dari satu kesatuan rangkaian sembahyang pun demikian. Maka haramlah bertaqarrub dengan itu semua
Pernyataan ini menunjukkan bahwa taqarrub dalam konteks ini sujud syukur tidak bisa dilakukan hanya karena dagangan lagi rame, laris manis, usaha lagi maju, pangkat naik, tambah istri lagi. Dengan semua itu, mana boleh secara syari'ah seseorang langsung turun lalu sujud syukur mencium tanah. Pasalnya nikmat itu semua sudah lazim, tidak bersifat mendadak. Wah bisa habis dong umur kita buat sujud melulu kalau dianjurkan juga sujud syukur atas nikmat yang sudah lazim seperti nikmat iman, nikmat afiyah, dan nikmat lain yang sehari-hari kita terima. Al-khotib dalam Iqna’-nya menyebutkan beberapa sebab sujud syukur.

وسجدة الشكرلا تدخل صلاة وتسن لهجوم نعمة أو اندفاع نقمة أو رؤية مبتلى أو فاسق معلن ويظهرها للفاسق إن لم يخف ضرره لا لمبتلى لئلا يتأذى وهي كسجدة التلاوة

Sujud syukur tidak masuk di dalam sembahyang. Ibadah ini disunahkan karena datangnya nikmat mendadak, terhindar dari bahaya, melihat orang kena musibah (atau orang cacat), atau orang fasiq yang terang-terangan. Seseorang disunahkan menyatakan sujud syukur di hadapan si fasiq jika tidak menimbulkan mudarat. Tetapi jangan di depan orang yang cacat karena melukai perasaan yang bersangkutan. Pelaksanaan sujud syukur sama saja dengan sujud tilawah.
Perihal sujud syukur berjamaah? Wallahu a'lam, belum ada keterangannya. Kalau dikerjakan masing-masing tetapi secara beramai-ramai, ini boleh-boleh saja karena sama saja dengan sujud syukur sendiri.
Sujud syukur mengajarkan umat Islam untuk berbesar hati atas nikmat yang ia terima maupun orang lain. Jangan dikira sujud syukur disunahkan kalau hanya kita yang lagi ketiban nikmat. Lalu dada terasa sesak kalau orang lain dapat nikmat. Pasalnya Allah juga mensyariatkan kita sujud syukur saat diri sendiri, tetangga, atau umat Islam pada umumnya menerima nikmat atau terhindar dari musibah. Artinya, sujud syukur mengajarkan agar kita turut gembira lihat orang lain kejatuhan nikmat tidak terduga.

Lagi pula selain lahir, nikmat juga bisa berbentuk batin. Kalau menerima anugerah makrifatullah, ia atau orang lain yang mengerti patut bersujud syukur. Persis dibilang Syekh Sulaiman dalam Hasyiyatul Bujairimi ala Fathil Wahhab.
والمعتمد أن النعم الباطنة كالظاهرة أي بشرط أن يكون لها وقع

Menurut pendapat mu’tamad, nikmat batin sama saja dengan nikmat lahir tetapi dengan syarat nikmat batin itu benar-benar terjadi.
Syaratnya gampang. Suci di badan, di pakaian, dan di tempat sujud. Perhatikan pula syarat yang diterangkan Hasyiyatul Bujairimi alal Khotib berikut.


وشرطها كصلاة فيعتبر لصحتها ما يعتبر في سجود الصلاة كالطهارة والستر والاستقبال وترك نحو كلام ووضع الجبهة مكشوفة بتحامل على غير ما يتحركك بحركته ووضع جزء من باطن الكفين والقدمين ومن الركبتين وغير ذلك

Syarat sujud syukur ya sama saja dengan sembahyang. Sahnya sujud syukur dii’tibarkan dengan sahnya sujud sembahyang seperti bersuci, menutup aurat, menghadap qiblat, jangan bicara, meletakkan dahi terbuka dengan sedikit tekanan di atas tempat yang tidak ikut bergerak ketika fisiknya bergerak, meletakkan telapak tangan, telapak kaki, lutut, dan syarat sujud lainnya.

Adapun praktiknya, pertama ia harus takbiratul ihrom. Kedua, mengucap takbir turun. Ketiga, turun sujud sambil takbir turun. Keempat, bangun dari sujud lalu diam sejenak sebelum salam. Kelima, salam. Semua dilakukan dengan tuma’ninah. Bacaannya cukup begini.
سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الخَالِقِيْنَ

Bagaimana kalau sebabnya banyak? Ada ini ada itu, cukup sujud sekali. Hasyiyatul Bujairimi alal Fathil Wahhab menyebutkan.

أنها تتكر بتكرر النعمة أو اندفاع النقمة وأنه لو اجتمعا أو تكرر أحدهما أو رأي فاسقا ومبتلى كفا سجدة

Sujud syukur dikerjakan kembali seiring datangnya kembali nikmat tak terduga atau terhindar dari bahaya. Kalau sebab-sebab sujud itu datang berbarengan atau salah satu dari semua itu datang berkali-kali misalnya melihat si fasiq atau orang kena musibah, cukup sujud syukur sekali.

Kalau bisa, sujud syukur diiringi dengan sedekah agar sujudnya tidak tampak polos. Sedekah ini sangat dianjurkan. Demikian keterangan Al-Khotib dalam Iqna’.

ويسن مع سجدة الشكر كما في المجموع الصدقة

Bersamaan dengan sujud syukur, disunahkan bersedekah seperti dikutip dari kitab Al-Majemuk.

Bagaimana kalau alasan untuk sujud syukur ada bahkan beberapa, tetapi keadaan tidak memungkinkan? Tidak perlu memaksakan diri kalau tidak memenuhi syarat. Salah-salah murka Allah turun lantaran sujud sembarangan. Sujud syukur bisa diganti dengan amalan lainnya. Syekh Said bin M Ba’asyin dalam Busyrol Karim menyebutkan.

ولو لم يتمكن من التحية أو سجود التلاوة أو الشكر قال أربع مرات "سُبْحَانَ اللهِ، وَالحَمْدُ لِلهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَا اللهُ، وَاللهَ أَكْبَرُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيْمِ" فإنها تقوم مقامها

Artinya, kalau tidak bisa mengerjakan sembahyang tahiyyatul masjid, sujud tilawah, atau sujud syukur, pihak yang bersangkutan cukup membaca sebanyak 4 kali “Subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illallah, wallahu akbar, wala haula wa la quwwata illa billahil ‘aliyyil azhim”. Karena, kedudukan fadhilah bacaan 4 kali itu setara dengan 3 amal di atas (sembahyang tahiyyatul masjid, sujud tilawah, atau sujud syukur).

Yang penting itu kan ridho-Nya, bukan sujud syukur yang kurang syarat dan rukunnya. Bukankah yang kita maksud adalah ridho-Nya? Terlebih lagi kalau bisa sekalian sujud syukur di tempat yang suci, syarat dan rukun terpenuhi. Tentu bukan main ridho Allah Ta'ala kepadanya. Wallahu A’lam. (Alhafiz K)

Kamis, 19 Februari 2015

Pergeseran Konsep Muzaki dan Mustahik



Pergeseran Konsep Muzakki Dan Mustahiq

PEMBAHASAN
A.    Mustahik
Mustahiq adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat. Orang-orang yang berhak menerima zakat itu ada delapan golongan,
Para ulama madzhab sependapat bahwa golongan yang berhak menerima zakat itu ada delapan. Dan semuanya sudah disebutkan dalam surat Al Taubah ayat 60 yaitu :


“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa yang berhak menerima zakat adalah delapan kategori manusia. Penjelasan mengenai delapan golongan sebagai mustahiq zakat Orang-orang yang berhak menerima zakat ada delapan golongan diantaranya yaitu :
1.      Fakir,menurut Hanafi  fakir adalah orang yang mempunyai harta kurang dari nisbah, sekalipun dia sehat dan mempunyai pekerjaan. Kalau orang yang mempunyai harta sampai senisbah apapun bentuknya yang dapat memenuhi kebutuhan primer. Kebutuhan primer itu adalah tempat tinggal (rumah), alat-alat rumah, dan pakaian. Maka orang yang memiliki harta seperti itu atau lebih, tidak boleh diberikan zakat. Alasannya bahwa orang yang mempunyai harta sampai nisbah maka ia wajib zakat. Orang yang wajib mengeluarkan zakat berarti ia tidak wajib menerima zakat.
Madzhab-madzhab lain: yang diaggap kebutuhan itu bukan berdasarkan yang dimiliki akan tetapi kebutuhan. Maka barang siapa yang tidak membuntuhkan, diharamkan untuk menerima zakat, walaupun ia tidak mempunyai sesuatu. Dan orang yang membutuhkan tentu dibolehkan untuk menerima zakat, sekalipun ia mempunyai harta sampai nisbah, karena yang dinamakan fakir itu artinya yang membutuhkannya. Allah berfirman yang artinya:
“wahai manusia, kamu semua adalah orang-orang fakir dihadapan Allah”
Artinya orang-orang yang sangat membutuhkan imam syafi’i dan hanbali orang miskin adalah orang yang mendapatkan separuh dari kebutuhannya, dan tidak diharuskan memberi zakat padanya.
Walau bagaimanapun penafsiran tentang fakir dan miskin, sebenarnya secara essensial tidak ada perbedaan diantara madzhab-madzhab itu, karena yang dimaksud adalah bahwa zakat itu mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutihan yang sangat mendesak, seperti tempat tinggal, pangan, pakaina, kesehatan, pengajaran, dan lain-lain yang menjadi keharusan dalam kehidupannya.
Para ulama madzhab sepakat bahwa, selain maliki, bahwa orang wajib mengeluarkan zakat tidak boleh memberikan zakatnya kepada kedua orang tuannya, kakek neneknya, juga pada anak-anaknya putra-putra mereka (saudara-saudaranya), juga pada istrinya. Maliki justru membolehkan memberikannya kepada kakeknya dan neneknya, dan juga pada anak keturunannya, karena memberikan nafkah kepada mereka tidak wajib, menurut Maliki.
Para ulama madzhab sepakat bahwa zakat itu boleh diberikan kepada saudara-saudaranya, paman dari bapak, dan paman dari ibu, zakat itu hanya tidak boleh diberikan kepada ayah dan anak-anaknya, kalau zakat yang akan diberikan kepada ayah dan anak itu merupakan bagian untuk fakir dan miskin. Tetapi kalau zakat yang duberikan itu bukan termasuk bagian untuk fakir miskin, maka bapak dan anaknya boleh menerima zakat atau mengambilnya, misalnya kalau bapak dan anak tersebut menjadi prang yang berjuang dijalan Allah, atau termasuk muallaf, atau orang yang banyak hutang untuk menyelesaikan masalah dan memperbaiki serta mendukung pihak yang mempunyai bukti, atau merupakan ‘amil zakat karena semuannya itu adalah orang-orang yang boleh mengambil, baik fakir maupun miskin.
Sekalipun begitu, memberikan zakat kepada orang yang dekat yang tidak wajib diberikan nafkah bagi pemberi zakat atas mereka adalah lebih utama.
Para ulama’ madzhab berbeda pendapat tentang hukum
Syafi’i dan Hambali: orang yang mempunyai separuh dari kebutuhannya, ia tidak bisa digolongkan kepada orang fakir dan ia tidak boleh menerima zakat.
Imamiyah dan maliki : orang fakir menurut syara’ adalah orang yang tidak mempunyai bekal untuk berbelanja selama satu tahun dan juga tidak mempunyai bekal untuk menghidupi keluargannya. Orang yang mempunyai rumah dan peralatannya atau binatang ternak, tetapi tidak mencukupi kebutuhan keluargannya selama satu tahun maka ia boleh diberi zakat.
Imamiyah, Syafi’i dan Hambali: orang yang mampu bekerja tidak boleh menerima zakat.
Hanafi dan Maliki: ia dibolehkan untuk menerimannya tapi juga boleh untuk menolaknya.
Imamiyah: orang yang mengaku fakir boleh dipercaya menskipun tidak ada bukti dan tanpa sumpah bahwa ia betul-betul tidak mempunyai harta, serta tidak diketahui kalau ia bohong. Karena pada masa rasulullah perna datang dua orang kepada beliau pada ketika itu rasulullah sedang membagi sedekah, lalu kedua orang tersebut meminta kepada rasulullah, maka beliau melihat dengan penglihatan yang tajam membenarkan keduannya, dan bersabda kepadanya:
“kalau kamu berdua mau, maka aku akan memberikannya. Orang yang kaya tidak mempunyai bagian untuk menerima zaklat, begitu juga orang yang mampu (kuat) ungtuk bekerja”.
Lalu rasulullah mempercayai keduannya tanpa bukti dan tidak pula dengan sumpah.
2.      Miskin, Orang miskin adalah orang yang mampu untuk bekerja untuk menutupi kebutuhannya, namun belum mencukupi. Adapun miskin ialah orang yang mempunyai mata pencaharian tetap, tetapi penghasilannya belum cukup memenuhi keperluan minimal bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Menurut madzhab Syafi’i orang miskin adalah orang yang mampu mencari harta kekayaan dan memiliki pekerjaan yang halal yang hasilnya bias mencukupi setengah biaya kehidupan pada masanya. Sedangkan menurut madzhab Hambali orang miskin adalah orang yang memperoleh sebagian besar biaya hidupnya atau setengah dari pekerjaannya atau dari yang lain-lain.  Sehubungan dengan beberapa pendapat tersebut, maka Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddiqi mengatakan bahwa  miskin ialah orang-orang fakir yang bersifat tenang, dan tidak meminta-minta. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, orang fakir lebih buruk keadaannya dibandingkan dengan orang miskin. Orang fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan sama sekali atau orang yang mempunyai harta dan berpenghasilan lebih sedikit dari separoh kebutuhannya diri sendiri. sedangkan orang miskin adalah orang yang memiliki harta dan berpenghasilan separoh atau lebih dari kebutuhannya, sekalipun tidak mencapai kebutuhannya.
Para ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa orang miskin lebih buruk keadaannya dibandingkan orang fakir, sebagaimana di nukil dari Imam bahasa dan juga firman Allah yang artinya.
3.      Amil Zakat, Amil zakat atau para pemungut zakat adalah orang yang ditugaskan oleh imam kepala pemerintahan atau wakilnya untuk mengumpulkan zakat. Dengan demikian, mereka adalah para pemungut-pemungut zakat, termasuk para penyimpan, penggembala-penggembala ternak, dan yang mengurus administrasinya.
Yang boleh dikategorikan sebagai panitia zakat adalah orang yang ditugasi mengambil zakat sepersepuluh (al-`Asyri): penulis AL-Katib : pembagi zakat untuk para mustahiqqnya : penjaga harta yang dikumpulkan: al-hasyri: yaitu orang yang ditugasi untuk mengumpulkan pemilik harta kekayaan/orang-orang yang diwajibkan mengeluarkan zakat: al-a`rif (orang ditugasi menaksir orang yang telah memiliki kewajiban untuk zakat): penghitung binatang ternak : tukang takar, tukang timbang, dan penggembala: dan setiap orang yang menjadi panitia selain ahli hukum (Islam) atau al-qadhi, dan penguasa, karena mereka tidak boleh mengambil dari baitul mal. Upah menakar dan menimbang dilaksanakan pada saat harta itu hendak dikeluarkan zakatnya. Adapun ongkos pembagiannya kepada penerima zakat dibebankan kepada panitia (al-`amil).
Adapun hadis yang menunjukan bahwa pemimpinlah yang menugaskan seorang amil :
Hadis Abu Said al Khudri dan Abu Hurairah :

ان رسول الله صلى الله عليه وسلم استعمل رجلا على خيبر فجاءه بتمر جنيب
“Sesungguhnya Rasulullah SAW mengangkat seorang laki-laki sebagai amil untuk pemungut zakat wilayah Khaibar, lalui ia membawa kurma janib”.
            Hadis Abu Humaid As-Sa’idi ra.
استعمل النبي صلى الله عليه وسلم رجلا من الازد يقال له ابن الاتبية على الصدقة
“Nabi SAW mengangkat seorang laki-laki dari Al-Azdi Ibnu Utbiyah sebagai amil untuk pemungutan zakat. (HR. Bukhari).
            Seorang amil hendaknya memenuhi beberapa syarat diantaranya yaitu:
  1. Muslim
Zakat merupakan urusan kaum muslimin. Jadi Islam menjadi syarat utama bagi segala urusan mereka. Akan tetapi menurut Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya membolehkan seorang amil bukan muslim. Hal berdasarkan atas ayat “ amil zakat” mempunyai pengertian bahwa ayat tersebut bersifat umum yang didalamnya termasuk orang kafir dan muslim. Oleh karena itu tidak ada halangan baginya mengambil upah kerja seperti upah-upah yang lain.
Adapun menurut Ibnu Qudamah satiap pekerjaan yang memerlukan sikap amanah (kejujuran) hendaknya disyaratkan Islam bagi pelakunya, seperti menjadi saksi. Hal ini karena merupakan urusan kaum muslimin sehingga pengurusannya tidak dapat diberikan kepada orang kafir. Orang yang bukan ahli zakat tidak boleh diserahi urusan zakat seperti halnya kafir harbi (musuh) karena orang kafir itu tidak dapat dipercaya.

  1. Mukallaf
Pengurus zakat harus orang dewasa yang sehat akal pikirannya.
  1. Orang yang jujur
Pengurus zakat seharusnya bukan orang yang fasik dan tidak dapat dipercaya. Misalnya ia akan berbuat dzalim kepada para pemilik harta atau berbuat sewenag-wenang terhadap hak fakir miskin karena mengikuti keinginan hawa nafsunya atau untuk mencarai keuntungan.
  1. Orang yang memahami hukum-hukum zakat
Para ulama mensyaratkan petugas zakat haruslah faham terhadap hukum zakat. Jika orang yang diserahi zakat tidak mengetahui hukum, ia tidak mungkin mampu melaksanakannya dan akan lebih banyak kesalahan. Masalah zakat memberikan pengetahuan tentang harta yang wajib di zakati dan yang tidak wajib dizakati. Urusan zakat juga memerlukan ijtihad terhadap masalah yang timbul mengethaui hukumnya.Apabila pekerjaan itu menyangkut bagian tertentu mengenai urusan pelaksanaan, tidak disyaratkan memiliki pengetahuan tentang zakat, kecuali sekedar yang menyangkut tugasnya.
  1. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas
Pengurus zakat hendaklah mampu melaksanakan tugasnya dan sanggup memikul tugas itu. Kejujuran saja belum mencukupi jika tidak disertai kekuatan dan kemampuan untuk bekerja.
Amil diberi zakat karena sebagai ganti upah kerjanya. Oleh karenanya dia tetap diberi zakat sekalipun dia orang kaya.Adapun yang dipandang zakat atau sedekah secara murni maka tidak halal diberikan kepada orang kaya.
4.      Muallaf Yang Dibujuk Hatinya Orang-orang muallaf yang dibujuk hatinya adalah orang-orang yang cenderung menganggap sedekah itu untuk kemaslahatan islam.
Para ulama madzhab berbeda pendapat tentang hukum mereka itu, apakah masih berlaku apakan sudah mansuh (dihapus). Menurut yang mengatakan tidak mansuh, apakan yang dibujuk hatinya khusus untuk orang-orang non islam atau untuk orang-orang islam yang masih lema imannya?
Hanafi: hukum ini berlaku pada permulaan penyebaran islam, karena lemahnya kaum muslimin. Kalu dalam situasi saat ini dimana islam sudah kuat, maka hilanglah hukumnya karena sebab sebabnya tidak ada.
Madzhab-madzhab lain membahasnya secara panjang lebar tentang terbaginya muallaf itu kedalam beberapa kelompok, dan alternative yang dijadikan standar atau rujukan adalah pada satu masalah, yaitu bahwa hukum muallaf itu tetap tidak dinasakh (dihapus), sekalipun sebagian muallaf teteap diberikan kepada orang islam dan non islam dengan syarat bahwa pemberian itu dapat menjamin dan mendatangkan kemaslahatan, kebaikan kepada islam dan kaum muslimin. Rasulullah telah memberikan zakat kepada Safwan bin Umayyah, padahal dia ketika itu masih musyrik, sebagaimana beliau telah memberikan kepada Abu Sufyan dan lain-lain, setelah mereka menampakkan diri menganut agama islam karena sebenarnnya mereka takut disiksa, dan mereka sebenarnya meniupu kaum muslimin dan agama islam.
5.      Riqab (Budak), Riqab adalah orang (budak) yang dimerdekakan sayyidnya tetapi harus menebus dengan sejumlah uang. Orang ini boleh menerima zakat, agar secepatnya menjadi merdeka. Dalam hal ini banyak dalil yang cukup dan sangat jelas bahwa Islam telah menempuh berbagai jalan dalam rangka menghapus perbudakan. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa hukum ini telah tidak berlaku karena perbudakan sekarang ini telah tiada, apalagi telah dideklarasikannya HAM.
 Namun ternyata dalam masa modern sekarang ini, masih ada saja yang diperbudak oleh orang lain, misalnya oleh :
1.       para rentenir dalam pemberian pinjaman dengan pengembalian yang tinggi.
2.       Menurut pemahaman penulis seorang yang mempunyai hutang kepada bank itu juga termasuk perbudakan karena adanya unsure keterpaksaan dan adanya ketakutan penyitaan barang kepemilikan.
6.      Al Gharimun, Al Gharimun ialah orang yang mempunyi hutang dan sulit untuk membayarnya. Hal ini berdasarkan hadis Nabi dari Abu Said al Khudri r.a. yang menyatakan bahwa ada seorang laki-laki dizaman Rasulullah mendapat musibah disebabkan buah-buahan yang dibelinya hingga utangnya menjadi  banyak, kemudian Nabi bersabda: 
تصدقوا عليه فتصدق الناس عليه
“Keluarkanlah zakat untuknya, lalu orang-orangpun berzakat kepadanya. (HR.       Muslim)”.
Menurut ulama Hanabilah dan Syafi’iyah seseorang itu berutang untuk dirinya  sendiri maupun untuk orang lain. Juga baik utangnya digunakan untuk ketaatan maupun kemaksiatan. Jika dia berutang untuk dirinya sendiri maka dia tidak diberi zakat, melainkan jika dia adalah orang fakir. Sedangkan jika dia hutang untuk mendamaikan orang-orang yang berselisih sekalipun terjadi antara orang-orang ahli dzimmah sebab merusak jiwa, harta atau barang rampasan, maka dia diberi zakat dari golongan gharim, meskipun dia orang kaya.
Para ulama Hanafiyah berkata, gharim adalah orang yang mempunyai tanggungan utang dan tidak memiliki satu nisab yang lebih dari utangnya. Para ulama Malikiyah berpendapat bahwa gharim adalah orang yang terhimpit utang kepada orang lain yang digunakan bukan untuk perbuatan keji dan merusak yaitu orang yang tidak mempunyai harta untuk membayar utang.
Golongan gharimin yang diberi zakat untuk membayar segala utangnya dengan beberpa syarat:
a.       Ia harus mempunyai kebutuhan untuk memiliki harta yang dapat membayar utangnya.
b.      Orang itu harus mempunyai utang untuk ketaatan atau mengerjakan suatu urusan yang diperbolehkan (mubah).
c.       Utangnya dibayar pada waktu itu.
d.      Keadaan utangnya yang menimbulkan dipenjara atau ditahan.
Semua syarat-syarat diatas adalah pendapat ulama Malikiyah sedangkan para fuqaha tidak memberikan syarat apapun.
 
7.      SABILILLAH, Sabilillah adalah Orang yang berada dijalan Allah, menurut empat madzhab : orang-orang yang berperang secara suka rela untuk membela islam.
Imamiyah: orang-orang yang berda dijalan Allah secara umum, baik orang yang berperang, orang-orang yang mengurusi masjid, orang-orang yang berdinas dirumah sakit dan sekolah-sekolah, dan semua bentuk kegiatan untuk kemaslahatan umum.
Ada beberapa contoh yang termasuk sabilillah pada zaman sekarang  yaitu:
a.       Mendirikan pusat kegiatan bagi kepentingan dakwah Islam yang benar dan menyampaikan risalahnya kepada orang-orang non muslim disemua benua dari berbagai agama dan aliran.
b.      Mendirikan pusat kegiatan Islam yang refresentif dinegara Islam itu sendiri untuk pemuda muslim, menjelaskan ajaran Islam yang benar, memelihara akidah dari kekufuran, memelihara diri dari perubahan pemikiran, dan tergelincirnya jalan, serta mempersiapkan diri untuk membela Islam dan melawan musuh-musunya.
c.       Mendirikan percetakan surat kabar yang baik, termasuk media elektronik, TV, radio.
d.      Menyebarkan buku-buku tentang Islam yang baik, yang bias menjelaskan maksud Islam, membuka mutiaranya yang tersimpan, menjelaskan keindahan dan kebenaran serta membuka kesalahan-kesalahan musuh Islam.
e.       Menurut penulis, yang termasuk dalam sabilillah juga adalah para pengajar dan penyebar agama seperti guru, dosen dan lain-lain.
Memperkerjakan orang-orang kuat yang terpercaya, ikhlas untuk melakukan kegiatan-kegiatan tersebut.
8.      Ibnu Sabil, Ibnu sabil adalah orang asing yang menempuh perjalanan ke negeri lain dan sudah tidak punya harta lagi. Zakat boleh diberikan kepadanya sesuai dengan ongkos perjalanan untuk kembali kenegaranya.[1][1]
Para fuqaha’ selama ini mengartikan ibn sabil dengan musafir yang kehabisan bekal. Pengertian ini diajukan oleh jumhur ulama’ dan masih relevan, hanya saja pengertiannya sempit. Di alam kemajuan tekhnologi informasi saat ini, memang kondisi ibn sabil yang diilustrasikan pada artian klasik tampaknya sudah sangat kecil kemungkinannya terjadi, kalaupun kondisi tersebut terjadi, sangat dimungkinkan karena orang yang bepergian tersebut pada dasarnya berada pada kondisi ekonomi yang lemah, artinya bepergian atau tidak bepergian kondisinya memang sudah sangat lemah secara ekonomi. Pendekatan yang banyak dilakukan oleh sejumlah lembaga amil zakat mengkategorikan para perantau yang mengalami kegagalan dalam mengais rizki di kota atau para pelajar yang merantau di kota lain untuk menuntut ilmu dikategorikan termasuk kelompok ibn sabil


B.     Syarat-Syarat Orang Yang Berhak Menerima Zakat Dan Sifat-Sifatnya.
Para fuqaha memberikan lima syarat bagi orang yang berhak menerima zakat, yaitu:
1.      Hendaknya dia seorang fakir, kecuali amil. Seorang amil tetap iberi zakat sekalipun kaya, karena dia berhak menerima upah. Juka, karena dia menyempatkan diri untuk melakukan pekerjaan ini. Karena, dia membutuhkan sesuatu yang dapt mencukuoinya. Demikian juga kecuali ibnu sabil jika dinegerinya dia memiliki harta, maka dia seperti orang fakir, sekalipun aslinya dia orang kaya. Juga, kecuali orang yang muallaf dan orang yang berperang (sabilillah) menurut pendapat ulama syafi’iyah dan hanabilah.
2.      Orang yang menerima zakat harus seorang muslim. Kecuali muallaf, menurut pendapat ulama malikiyyah dan hanabilah. Tidak boleh memberikan zakat kepada orang fakir, tanpa ada perbedaan pendapat dalam hal ini, berdasarkan hadits mu’adz r.a. yang telah disebutkan (ambillah zakat-zakat itu dari orang kaya dan berikanlah kepada orang-orang miskin) merupakan perintah untuk memberikan zakat kepada kalangan miskin dari kalangan orang-orang kaya yang diambil zakatnya, yaitu orang-orang muslimin. Maka tidak boleh memberikan zakat kepada kalangan selain muslimin.
Adapun selain zakat fitrah, kafarat dan nadzhar, maka tidak diragukan bahwa memberikannya kepada orang-orang fakir kaum muslimin lebih utama. Karena, memberikannya kepada mereka berarti membantu mereka dalam menunaikan ibadah. Apakan boleh memberikan zakat kepad ahli dzimmah (kafir dzimmi)? Abu hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa itu boleh, berdasarkan firman Allah SWT :
“jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah maha teliti apa yang kamu kerjakan.”
(al-Baqarah:271)
Tanpa membedakan antara orang fakir dengan orang fakir lainnya. Keumuman teks ini memberikan pengertian bolehnya zakat memberikan kepada ahli dzimmah. Hanya saja, khususnya dari zakat, berdasarkan hadits mu’adz dan firman Allah SWT dalam kafarat yang artinya:
فكفارته اطعام عشرة مساكين
“maka kafaratnya _denda pelanggaran sumpa) ialah memberimakan sepuluh orang miskin” (al-Maidah: 89)”
Tanpa membedakan antara orang miskin dan orang miskin lainnya. Hanya saja, pelanggaran untuk mmeberikan zakat itu dikhususkan atas orang kafir harbi, dengan alas an agar hal itu tidak membantu mereka untuk memerangi kita. Juga karena memberikan zakat kepada ahli dzimmah termasuk menyampaikan kebaikan kepada mereka , dan kita tidak dilarang untuk melakukan hal itu. Allah SWT berfirman yang artinya:
”Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhdap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urudan agama dan tidak mengusir kamu dari kampong halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Mumtahana:8)
Abu Yusuf, Zufar, Syafi’i, dan jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh juga memberikan sedekah selain zakat kepada ahli dzimmah, sebagaimana halnya zakat. Demikian juga tidak boleh memberikannya kepada orang kafir harbi.
3.      Penerima bukan dari keturunan bani hasyim: ahli bait dilarang untuk menerima zakat. Sebab, itu adalah kotoran harta manusia. Mereka berhak mendapatkan 1/5 dari 1/5 da baitul mal, sekirannya dapat mencukupi kebutuhan mereka. Itu berdasarkan sabda Nabi saw:
أن هده الصدقات أنما هي أوساح الناس وانما لاتحل لمحمد ولا لال محمد.
“sesungguhnya sedekah-sedekah ini hanyalah kotoran (harta) manusia. Dan ia tidak halal bagi Muhammad dan tidak pula bagi keluarga Muhammad.”
Bani hasyim yang diharamkan menerima sedekah (zakat), menurut al-Karkhi dari kalangna hanafiyah dan hanabilah, adalah keluarga abbas, keluarga ali, keluarga ja’far, keluarga agil bin abu thalib, dan keluarga harits bin abdul muthalib, berdasarkan keumuman hadits yang telah disebutkan. Demikian juga para ulama syafi’iyah berkata, mereka adalah bani hasyim dan bani muthalib, berdasarkan sabda nabi saw.
أن بني هاشم وبني المطلب شيئ واحد وشبك بين أصابعه.
“sesungguhnya bani hasyim dan bani muthalib adalah satu dan ibarat jari jemari yang saling bertautan.
Abu hanifah hanifah dan ulama malikiyah berkata, “mereka adalah bani hasyim saja,. Adapun bani muthalib saudarah hasyim, mereka bukan termasuk ahli bait. Oleh karenannya mereka diberi zakat, menurut pendapat yang masyhur.”
Telah dinukil pendapat dari abu hanifah, ulama malikiyah dan sebagian ulama syafi’iyah akan bolehnya memberikan zakat kepada bani hasyim, karena mereka diharamkan mendapatkan bagian dzawilo qurba dari baitul mal, demi mencegah kerugian dan kebutuhan mereka, dan mengamalkan kaedah “maslahah mursalah.” Memberi mereka (sebagaimana dikatan oleh ad-Dasuki al-Maliki) pada saat itu lebih baik dari pada memberi selain mereka. Sedekah sunnah boleh diberikan kepada mereka menurut kebanyakan ulama.
4.      Hendaknya bukan orang yang wajib dinafkahi oleh orang yang berzakat, seperti kerabat dan istri-istri, sekalipun dalam masa iddah. Karena, hal itu mencegah terjadinya pelaksanaan memberi hak milik bagi orang fakir dari semua sisi. Bahkan dari satu sisi, hal itu merupakan pendistribusian zakat kepad dirinya sendiri, yaitu mencegah kewajiban zakat atas dirinya.
Zakat juga tidak boleh diberikan kepada kedua orang tua dan nasab keatasnnya (kakek-nenek). Juga, kepada anak turun dan nasab kebawahnya (cucu). Demikian juga tidak boleh diberikan kepada istri yang fakir atau miskin, sekalipun istri dalam iddah talak ba’in, menurut madzhab hanafi. Karena, hukum menafkahi meraka bagi orang yang mnegeluarkan zakat tersebut adalah wajib. Fungsi zakat adalah untuk memenuhi kebutuhan, maka tidak ada kebutuha jika diberi nafkah. Juga, karena salah satu dari mereka mengambil manfaat dari harta yang lain. Bahkan menurut ulama syafi’iyah, tidak boleh memberi zakat kepada seseorang yang bukan dalam tanggungan nafkah muzakki (orang yang mengeluarkan zakat), tapi tanggungan orang lain, karena dia ketika membutuhkan, seperti orang yang bekerja setiap hari dan berkecukupan.
Ulama hanafiyah membolehkan membayar zakat kepada seorang perempuan fakir, sedang suaminya kaya. Karena, seorang perempuan tidak berhak atas harta suaminya melainkan seukuran nafkahnya. Dengan kadar nafkah tersebut, si perempuan tidak dianggap kaya. Menurut ulama hanafiyah juga, seorang pezina tidak boleh membayar zakat kepada anak hasil zinannya, kecuali jika anak tersebut dari seorang perempuan yang  mempunyai suami yang dikenal.
Akan tetapi, boleh membayarkan zakat kepada orang-orang yang telah disebutkan didalam al-qur’an seperti orang gharim, atau berperang dijalan Allah dan semisalnya. Para ulama syafi’iyah, sebagaimana dijelaskan didalam al-majmuu’ karya iamam nawawi, ulama malikiyah, dan ibnu taimiyyah, membolehkan membayar zakat kepada anak atau ayah yang tidak dapat dinafkahi oleh muzakki, jika anak atau ayah itu fakir. Karena, saat itu mereka berdua seperti orang asing. Para ulama malikiyah membolehkan seorang perempuan membayar zakat fitrahnya (bukan zakat wajib) kepada suaminya yang fakir.
Syekh abu ishak asy-syairazi berkata didalam al-muhadzdzab: tidak boleh seorang itu membayar zakat dari bagian-bagian orang fakir kepada orang yang wajib dia nafkahi dari kalangan kerabat dan istri, karena zakat diperuntukkan untuk sebuah kebutuhan. Dan mereka yang wajib dinafkahi tidak membutuhkan itu.
5.      Hendaknya sudah baligh, berakal, dan merdeka. Para ulama sepakat bahwa tidak sah zakat diberikan kepada seorang budak. Menurut ulama hanafiyah, zakat juga tidak sah diberikan kepada anak kecil sebelum mencapai usia puber (usia dibawah tujuh tahun), dan orang gila kecuali jika diterima oleh orang yang boleh menerimanya bagi kedua seperti ayah, orang yang diwasiati, dan selainnya. Menurut ulama hanafiyah, zakat juga boleh diberikan kepada anak kecil kerabat yang mumayyiz ketika perayaan ulang tahu atau selainnya. Tidak boleh membayar zakat keada anak orang kaya jika masih kecil. Karena, anak kecil tersebut dipandang kaya disebabkan harta bapaknya. Anak tersebut sebagaimana halnya orang asing, sebagaimana halnya seorang bapak tidak dianggap kaya dengan harta anaknnya, seorang istri sebab kekayaan suaminya, seorang anak kecil sebab kekayaan ibunya.[2][2]


C.    Muzakki
Muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim yang bekewajiban menunaikan zakat. Disyaratkan pada orang yang wajib mengeluarkan zakat hal-hal berikut ini:
1)      Balig. Maka tidak wajib bagi mereka yang belum balig. Yunus Bin Ya’qub berkata. “saya menulis surat kepada Imam as bahwa saya masih mempunyai saidara-saudara yang masih kecil. Kapankah nkewajiban zakat berlaku pada harta mereka? Beliau menjawab jika mereka telah berkewajiban shalat maka zakat pun wajib atas mereka.” Beliau juga berkata, “tidak ada zakat pada harta anak yatim, dan tidak ada kewajiban shalat atasnya. Juga tidak ada zakat pada seluruh tumbuhan-tumbuhan miliknya, seperti kurma, kismis dan gandum. Jika seorang yatim telah mencapai balig maka dia tidak kewajiban mengeluarkan zakat untuk tahun-tahun yang lalu, dan tidak untuk tahun-tahun yang akan datang sampai ia balig. Jika dia sudah balig maka dia berkewajiban satu kali zakat (setahun) sebagimana orang-orang lain yang berkewajiban zakat.” Kebanyakan fuqaha’ berpegang pada riwayat ini dan pada riwayat-riwayat lain semacam ini. Riwayat-riwayat tersebut merupakan dalil yang mematahkan pendapat bahwa zakat adalah wajib pada harta mereka yang belum balig selain emas dan perak. Benar, disunahkan bagi wali anak yang belum balig, baik ayah, kakek (dari pihak ayah), atau hakim syar’i, untuk menzakati harta anak kecil.
2)      Berakal. Penulis jawahir menyatakan bahwa kebanyakan fuqaha’ berpendapat bahwa hukum orang yang gila sama dengan hukum anak kecil pada semua hal yang disebutkan diatas (bahwa tidak ada kewajiban zakat atasnya).” Kemudian beliau berkata, “yang demikian ini adalah sangat sulit. Sebab tidak ada dalil yang dijadikan sandaran untuk menyamakan hukum keduannya itu, kecuali mushadarat dimana tidak sepatutnya seorang fakih berpegang padanya.”[3][3]
3)      Harta tersebut harus merupakan hak penuh bagi pemiliknya dimana di dapat membelanjakannya (mengunakannya). Oleh karena itu tidak ada zakat pada harta hadiah sebelum diterima oleh penerimanya. Demikian pula harta wasiat, hutang, maghsub (yang masuh dirampas orang), yang digadaikan, harta yang terhalang pengunaannya (mahjur), dan harta yang tidak ada ditempat, sampai semua itu dikuasai secara penuh dan bisa dibelanjakan. Imam Shadiq as berkata, “tidak ada sedekah pada hutang dan harta yang tidak ada padamu, sampai ia jatuh ke tanganmu.” Zurarah bertanya kepada beliau tentang seorang yang hartanya tidak ada bersamanya dan dia tidak mampu mengambilnya. Beliau menjawab, “tidak ada zakat padanya, sampai dia mendapatkannya kembali. Bila sudah demikian maka dia menzakatinya untuk satu tahun.”
Zakat tidak dikenakan pada harta hutang tanpa ada perbedaan apakah pemiliknya mampu mengambil dan mendapatkannya kapan saja ataukah tidak mampu, sebagaimana yang mashur diantara fuqaha’ mutakhir menurut kesaksian penulis kitab Hada’iq[4][4]











KESIMPULAN

Mustahiq adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat. Orang-orang yang berhak menerima zakat itu ada delapan golongan,  Fakir, Miskin, Amil, Mu’allaf, Riqab, Ghorim, Sabilillah, ibnu sabil.
Para ulama madzhab sependapat bahwa golongan yang berhak menerima zakat itu ada delapan. Dan semuanya sudah disebutkan dalam surat Al Taubah ayat 60.
Muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim yang bekewajiban menunaikan zakat.
Seluruh ahli fiqih sepakat bahwa setiap Muslim, merdeka, baligh dan berakal wajib menunaikan zakat. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang orang yang belum baligh dan gila.
Menurut madhab imamiyah, harta orang gila, anak-anak dan budak tidak wajib dizakati dan baru wajib di zakati ketika pemiliknya sudah baligh, berakal dan merdeka.






DAFTAR PUSTAKA
Mughniyah, Muhammad Jawad, 2001. fiqih imam ja’far shadiq. Jakarta : Lentera.
Zuhaili,Wahbah. 2007. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Damaskus: Darul Fikr.
Zuhaily,Wahbah. 2005. Zakat: Kajian Berbagai Madzhab. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Qardawi,Yusuf. 1991. Hukum Zakat. Jakarta : PT Intermasa.
Hasbi,Al-furqon .2008.125 Masalah Zakat.  Solo : Tiga Serangkai.
Abidin, Slamet Moh Suyono, 1991, Fiqih Ibadah, Bandung : CV Pustaka Setia.
Rasjid, H. Sulaiman, 1994, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo.







[1][1] Muhammad Jawad Mughniyah FIQH LIMA MAZHAB Ja’far, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali basrie press Jakarta: 1992 hal 244-249
[2][2] Prof. Dr. Wahba Zuhaili FIQIH ISLAM WA ADILLATUHU Jilid 3 Gema Insani Darul Fikir Jakarta 2011 hlm: 289-298                                                                                                                                                     
[3][3] Tidak benar berdalil untuk meniadakan zakat dari harta anak kecil dan orang gila dengan hadits, “pena telah diangkat dari anak kecil sampai dia balig., dan dari orang gila sampai dia sembuh.” Sebab, hadis ini hanya meniadakan dosa san hukum taklifi, bukan hukum wadh’i, yakni tetapnya zakat pada harta orang gila dan anak kecil. Dengan demikian, kita harus menghitung permulaan haul (masa setahun), dari harta mencapai satu nisab, bukan dari saat balig pada anak kecil atau dari saat sembuh pada orang gila.
[4][4] Muhammad Jawad Mughniyah FIQIH IMAM JA’FAR SHADIQ Lentera Jakarta: 2001 hlm: 317-318