CARI

HOME

Sabtu, 23 Januari 2010

DO`A AQIQAH

اَ لدُّ عَاءُ اْلعَقِيْقَةِ
كان رسول يعو ذ الحسن والحسين.

1. أُعِيّذُ كُماَبِكَلِمَاتِ التٌَامَّةِ وَمِنْ كُلِّ شَيْطَانِ وَهَامَّةِ وَمِنْ كُلِّ عَيْنِ لآ مَّةِ . ( ازكار النواوى .ص 111)
2. اَللَّهُمَّ باَ رَ كَ لَكَ (الولد) فِى عُمْرِكَ وَ يَسِّرِ الله ِلَكَ فِىفَهْمِ اْلقُرْاَنِ الْكَرِيْمِ وَسُنَةِ الرَّ سُوْ لِ ، وَاجْعَلِ الله ُ لَكَ مَحْبُوْ باً مَرْزُوْقًا مَعُوْناً مُوَفَقاً لِلْخَيْرَاتِ وَ سَهِّلِ اللهِ لَكَ/كِ فِى حِفْظِ اْلقُرْاَنِ وَ فَهمِْه،ِ وَ قَرِّ بِ اللهُ لَكَ فِى اْلخيَرْاَت ِ كُلِّهاَ وَماَ قَرَّبَ اِ لَيْهاَ وَبعَّدَالله ُ لَكَ مِنْ كُلِّ الشَّرِّ آ جِلِهِ وَعَاجِلِهِ . آ مين { البحا رى جز 8 . ص 94}

MAKALAH

MEMBINGKAI UKHUWWAH DAN MENYATUKAN LANGKAH (Refleksi Konsep Taswiyah al-Manhaj dan Tansiq al-Harakah
Oleh: KH. Ma'ruf Amin


Pendahuluan
Kondisi faktual umat manusia menunjukkan adanya keberagaman, baik dari segi kultur, budaya, ataupun pemahaman keagamaan yang dianutnya. Keberagaman tersebut di satu sisi menjadi suatu kekuatan yang berpotensi untuk mendorong kemajuan, akan tetapi di sisi lain, keberagaman ini juga berpotensi menjadi titik kelemahan dalam membangun kehidupannya yang lebih maju. Ironisnya, fakta sejarah yang dialami oleh umat manusia menunjukkan bahwa kemajemukan lebih banyak menjadi pemicu adanya konflik di antara umat manusia daripada menjadi faktor pengokoh persatuan, walaupun tentu saja ada juga beberapa contoh yang tidak demikian.
Salah satu bukti nyata dari hal tersebut adalah terjadinya berbagai konflik di belahan bumi ini yang disebabkan, setidaknya sebagaimana yang muncul melalui media massa, oleh adanya perbedaan, baik dari sisi etnis, seperti yang terjadi di beberapa negara di Afrika, dan juga disebabkan oleh adanya perbedaan agama. Belum lagi kalau dikaitkan dengan munculnya konflik yang dipicu oleh perbedaan pemahaman keagamaan internal suatu agama. Misalnya dalam kasus Islam, tidak bisa ditutupi bahwa perbedaan pemahaman keagamaan ini sangat potensial memicu timbulnya konflik yang mengarah pada kekerasan, misalnya antara pengikut ajaran Islam sunni dan syiah.
Bahkan apabila mau jujur, terdapat banyak kasus bahwa umat Islam saat ini masih banyak dipusingkan oleh berbagai macam kasus yang muncul karena adanya keberagaman tersebut, terutama keberagaman dalam pemahaman ajaran keagamaan. Ketika umat Islam Indonesia sudah mulai menenggang perbedaan pemahaman ajaran keagamaan yang bersifat furu'iyah, misalnya perbedaan rekaat tarawih, perbedaan penggunaan qunut, perbedaan adzan di shalat jum'at, dsb, saat ini muncul kasus-kasus ajaran keagamaan yang mengarah pada perbedaan ushuliyah.
Memang harus dibedakan antara perbedaan yang bersifat furu'iyah dan yang bersifat ushuliyah. Saya sendiri cenderung untuk mempergunakan istilah keberagaman pada permasalahan perbedaan pemahaman keagamaan yang bersifat furu'iyah. Sedangkan yang bersifat ushuliyah, saya cenderung menganggapnya sebagai penyimpangan. Sehingga keberagaman yang terjadi karena perbedaan pemahaman keagamaan yang bersifat furu'iyah, menurut saya harus dihormati, karena perbedaan yang terjadi pada domain ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dari disyari'atkannya pranata "ijtihad", dan perbedaan di ranah ini apabila dipahami dengan benar merupakan rahmat dari Allah SWT.
Sebaliknya, apabila perbedaan tersebut terjadi di ranah ushuliyah, misalnya perbedaan yang terjadi pada pokok-pokok ajaran agama, ma'lum min ad-din bi ad-dharurah, maka perbedaan tersebut merupakan penyimpangan yang harus segera dihentikan.
Mengingat bahwa keberagaman sebagaimana tersebut di atas tidak dapat terelakkan, maka yang menjadi penting untuk dikembangkan adalah memunculkan upaya-upaya yang bisa mempersatukan persepsi umat manusia tentang pentingnya persatuan, atau paling tidak saling memahami antara satu dan lainnya, terutama oleh internal penganut agama. Di antara upaya penting yang bisa dilakukan antara lain; menyamakan pola pikir, terutama dalam masalah pemahaman keagamaan (taswiyah al-manhaj) dan melakukan koordinasi dalam melakukan aksi nyata (tansiq al-harakah).

TASWIYAH AL-MANHAJ
Melalui media massa saat ini kita mendapati terjadinya berbagai kasus kekerasan, misalnya di Irak, Afrika, Afganistan, dan belahan bumi lainnya. Banyak hal yang menjadi pemantik terjadinya konflik-konflik tersebut. Apabila kita inventarisir pemicu terjadinya konflik tersebut, ada satu penyebab yang sangat fundamental, yakni mulai menggejalanya pemahaman radikal di belahan dunia, baik yang berasal dari kalangan sekuler, maupun dari kalangan pemeluk agama, termasuk Islam.
Disamping itu, saat ini juga sudah mulai nampak adanya distorsi pemahaman keagamaan. Ada yang mendistorsi pemahaman keagamaan dengan liberalisme, sehingga memunculkan pola pikir liberal dalam memahami agama. Ada pula yang mendistorsi pemahaman keagamaan dengan hanya mengambil secara parsial teks-teks keagamaan (an-nushus as-syar’iyah), sehingga memunculkan cara berfikir yang radikal dalam memahami agama. Oleh karenanya, perlu kiranya dilakukan upaya-upaya untuk mengkanalisasi radikalisme dan distorsi tersebut. Salam satu upaya adalah menyamakan pola pikir, terutama dalam masalah keagamaan (taswiyah al-manhaj).
Point penting dari konsep taswitah al-manhaj ini adalah adanya sebuah kesadaran bahwa perbedaan pendapat yang terjadi, terutama di kalangan internal umat Islam merupakan suatu hal yang wajar, sebagai konsekwensi dari pranata “ijtihad” yang memungkinkan terjadinya perbedaan. Oleh karenanya, sikap yang merasa hanya pendapatnya sendiri yang paling benar serta cenderung menyalahkan pendapat pihak lain dan menolak dialog, merupakan sikap yang bertentangan dengan prinsip toleransi (al-tasamuh) dan sikap tersebut merupakan ananiyyah (egoisme) dan ‘ashabiyyah hizbiyyah (fanatisme kelompok) yang berpotensi mengakibatkan saling permusuhan (al-’adawah), pertentangan (al-tanazu’), dan perpecahan (al-insyiqaq), yang semua itu harus dijauhkan dari tatanan sosial antar umat manusia.
Namun begitu, dimungkinkannya perbedaan pendapat tersebut, terutama di kalangan umat Islam, harus tidak diartikan sebagai kebebasan tanpa batas (bila hudud wa bila dlawabith). Perbedaan yang dapat ditoleransi adalah perbedaan yang berada di dalam majal al-ikhtilaf (wilayah perbedaan). Sedangkan perbedaan yang berada di luar majal al-ikhtilaf tidak dikategorikan sebagai perbedaan, melainkan sebagai penyimpangan; seperti munculnya perbedaan terhadap masalah yang sudah jelas dan pasti (ma’lum min al-din bi al-dlarurah). Oleh karenanya, penting juga untuk membangun mekanisme dalam menyikapi hal tersebut. Dalam menyikapi masalah-masalah perbedaan yang masuk dalam majal al-ikhtilaf sebaiknya diupayakan dengan jalan mencari titik temu untuk keluar dari perbedaan (al-khuruj min al-khilaf) dan semaksimal mungkin menemukan persamaan. Selain itu, perbedaan yang dianggap wajar dan harus ditenggang di sini harus juga dilandasi oleh adanya sebuah koridor.
Konsep perbedaan yang masih bisa ditoleransi (Majal al-ikhtilaf) diderifasi dari konsep ma ana alaihi wa ashhaby, yang merupakan landasan berfikir ahlus-sunnah wal jamaah dalam pengertian yang luas, sesuai hadis rasulullah SAW berikut:
"...وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي"
Arti dari “ma ana ‘alaihi wa ashhabi” sebagaimana dalam hadis di atas adalah mengikuti “as-Salaf as-Shaleh”. Yang dimaksudkan dengan mengikuti “as-Salaf as-Shaleh” di sini bukan semata-mata karena mereka hidup di zaman-zaman generasi awal Islam, akan tetapi karena mereka adalah generasi yang paling memahami bagaimana cara memahami nash (al-manhaj fi fahmi an-nushus) secara benar sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah kepada mereka.
Cara memahami nash tersebut telah tersistematisasikan sedemikian rupa oleh para ulama di masa tabi’ at-tabi’in. Para ulama era tersebut yang telah melakukan langkah besar mensistematisasi al-manhaj fi fahmi an-nushus yang terpenting adalah empat imam mazhab, yakni: imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan imam Ahmad Ibnu Hanbal. Keempat imam mazhab ini yang paling monumental karya-karyanya sehingga mempunyai banyak pengikut di masa setelahnya.
Walaupun demikian, bukan artinya hanya keempat imam mazhab tersebut saja yang menjaga al-manhaj fi fahmi an-nushus sebagaimana yang diajarkan Rasulullah kepada para sahabat, ada banyak ulama lainnya yang juga melakukan hal yang sama, akan tetapi karena apa yang dilakukan oleh empat mazhab ini lebih sistematis dan terformulasikan secara lebih baik, maka keempat mazhab inilah yang bisa bertahan pendapatnya hingga sampai saat ini.
Dalam kaitan ini syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani menyatakan:
ويجب على من لم يكن فيه أهلية الإجتهاد المطلق أن يقلد في الفروع واحدا من الأئمة الأربعة المشهورين، وهم: الإمام الشافعي، والإمام أبو حنيفة، والإمام مالك، والإمام أحمد ابن حنبل رضي الله عنهم، والدليل على ذلك قوله تعالى: فاسئلوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون. فأوجب الله السؤال على من لم يعلم، ويلزم عليه الأخذ بقول العالم وذلك تقليد له، ولا يجوز تقليد غير هؤلاء الأربعة من باقي المجتهدين في الفروع، مثل الإمام سفيان الثوري، وسفيان بن عيينة، وعبد الرحمن بن عمر الأوزعي، ولا يجوز أيضا تقليد واحد من أكابر الصحابة لأن مذاهبهم لم تضبط ولم تدوّن.
“Wajib bagi orang yang tidak mmpunyai kompetensi menjadi mujtahid mutlak untuk mengikuti salah satu dari imam mazhab empat, yakni imam Syafi’i, imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan imam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana perintah Allah : “jika kalian tidak tahu bertanyalah kepada ahlinya”. Allah mewajibkan orang yang tidak tahu untuk bertanya, dan mengambil pendapat ulama yang lebih ‘alim (taqlid). Dalam hal ini, terutama dalam masalah furu’, tidak dibenarkan bertaqlid kepada selain keempat imam mazhab tersebut, misalnya mengikuti pendapat imam Sofyan al-Tsauri, Sofyan bin Uyainah, dan Abdurrahman bin Umar al-Auza’i, begitu juga bertaqlid kepada salah satu dari sahabat, dengan alasan karena pendapat (mazhab) mereka belum tersistematisasi dan tidak terbukukan”.
Dengan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa “ma ana ‘alaihi wa ashabi” adalah merupakan paradigma berfikir dalam memahami dalil-dalil keagamaan (manhaj al-fikr fi fahmi an-nushus as-syar’iyah) sebagaimana dikembangkan oleh para sahabat dan tersistematisasi dalam pendapat imam mazhab empat, yakni : imam as-Syafi’i, imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan imam Ahmad bin Hanbal radhiallahu ‘anhum ajma’in.
Salah satu contoh yang bisa dilakukan dalam penerapan konsep taswiyah al-manhaj ini, misalnya melalui revitalisasi ajaran Islam dalam membina hubungan antar pemeluk agama di suatu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia. Relevan kiranya apabila dalam hal membangun hubungan muslim – non muslim ini lebih dikedepankan prinsip mu’ahadah, muwatsaqah dan mushalahah. Bukan prinsip muharabah atau muqatalah. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
...وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ ..... (النساء: 92)
Dan juga sebagaimana sabda rasulullah SAW:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا (رواه البخاري في صحيحه)

TANSIQ AL-HARAKAH
Selain taswiyah al-manhaj, yang juga penting untuk diwujudkan sebagai upaya memperkokoh hubungan antar umat manusia, terutama yang mempunyai satu keyakinan agama, adalah adanya Koordinasi Langkah Strategis, terutama dalam Masalah Keagamaan (tansiq al-harakah). Masalah ini dianggap penting, terutama bagi umat Islam, karena kepentingan-kepentingan umat Islam saat ini di nomor sekiankan dalam aras pengambilan keputusan. Jumlah umat Islam yang mayoritas tidak sebanding dengan kondisi dan perannya. Umat Islam saat ini tidak lebih aktsaru fi al-jumlah tapi qalil fi ad-daurah.

Oleh karenanya, penting juga adanya upaya penyadaran di kalangan umat tentang pentingnya melakukan Koordinasi Langkah Strategis dalam Masalah Keagamaan (tansiq al-harakah).
Umat Islam perlu mengefektifkan gerakan, baik yang sifatnya dakwah Islamiyyah (harakah al-da’wah) maupun gerakan pembelaan bagi Islam dan umatnya (harakah al-difa’). Gerakan umat Islam yang efektif itu adalah gerakan yang bersifat ishlahiyyah, terkoordinasi, tersinergi, saling mendukung, dan tidak kontra-produktif, serta mengedepankan cara-cara (kaifiyat) yang damai, santun, dan berkeadaban, sekalipun aktifitas kegiatan tersebut beragam dan tidak satu model.
Dalam melakukan aktifitas, ormas dan lembaga keagamaan hendaknya selalu mendasarkan diri di atas prinsip; niat yang baik, perencanaan yang terpadu, metode keagamaan (manhaj) yang shahih, serta prinsip kehidupan sosial yang mengedepankan semangat kekeluargaan (al-ukhuwwah), moderasi (a-tawassuth), keseimbangan (al-tawazun), dinamis, dan memanfaatkan segala potensi yang ada.
Selain itu, gerakan keagamaan (harakah diniyyah) harus mencakup segala bidang, seperti aqidah, syari’ah, akhlak, pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya. Untuk tercapainya gerakan yang efektif tersebut, diharapkan adanya sebuah lembaga yang kredibel yang dapat menjalankan fungsi-fungsi koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi sehingga tercapai tujuan gerakan bersama.
Dalam kasus di Indonesia lembaga yang diharapkan dapat menjadi tempat koordinasi gerakan umat Islam adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Materi-materi yang dikoordinasikan biasanya yang bersifat strategis, misalnya pengawalan Rancangan Undang-Undang yang dinilai akan merugikan kepentingan umat Islam, menyikapi kebijakan pemerintah yang dinilai mempunyai dampak negatif terhadap umat, dan melakukan koordinasi terhadap gerakan membendung gerakan sekularisasi, liberalisasi, dsb.

Kesimpulan
Terwujudnya kesadaran tentang wajarnya perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umat manusia, khususnya umat Islam, dapat memunculkan sikap yang toleran (al-tasamuh) dan menjauhkan ananiyyah (egoisme), ‘ashabiyyah hizbiyyah (fanatisme kelompok) yang berpotensi mengakibatkan saling permusuhan (al-’adawah), pertentangan (al-tanazu’), dan perpecahan (al-insyiqaq). Namun begitu, perbedaan pendapat yang ditoleransi harus sesuai dengan koridor yang ada, bukan perbedaan yang mucul dari kebebasan tanpa batas (bila hudud wa bila dlawabith). Perbedaan yang dapat ditoleransi adalah perbedaan yang berada di dalam majal al-ikhtilaf (wilayah perbedaan). Majal al-ikhtilaf yang dimaksud adalah suatu wilayah pemikiran yang masih berada dalam koridor ma ana alaihi wa ashhaby, yaitu faham keagamaan ahlus-sunnah wal jamaah dalam pengertian yang luas. Sedangkan perbedaan yang berada di luar majal al-ikhtilaf tidak dikategorikan sebagai perbedaan, melainkan sebagai penyimpangan; seperti munculnya perbedaan terhadap masalah yang sudah jelas pasti (ma’lum min al-din bi al-dlarurah). Dalam menyikapi masalah-masalah perbedaan yang masuk dalam majal al-ikhtilaf sebaiknya diupayakan dengan jalan mencari titik temu untuk keluar dari perbedaan (al-khuruj min al-khilaf) dan semaksimal mungkin menemukan persamaan.
Umat manusia, khususnya umat Islam perlu mengefektifkan gerakan, baik yang sifatnya dakwah Islamiyyah (harakah al-da’wah) maupun gerakan pembelaan bagi Islam dan umatnya (harakah al-difa’). Gerakan umat Islam yang efektif itu adalah gerakan yang bersifat ishlahiyyah, terkoordinasi, tersinergi, saling mendukung, dan tidak kontra-produktif, serta mengedepankan cara-cara (kaifiyat) yang damai, santun, dan berkeadaban, sekalipun aktifitas kegiatan tersebut beragam dan tidak satu model. Dalam melakukan aktifitas, umat manusia, khususnya umat Islam hendaknya selalu mendasarkan diri di atas prinsip; niat yang baik, perencanaan yang terpadu, metode keagamaan (manhaj) yang shahih, serta prinsip kehidupan sosial yang mengedepankan semangat kekeluargaan (al-ukhuwwah), moderasi (a-tawassuth), keseimbangan (al-tawazun), dinamis, dan memanfaatkan segala potensi yang ada.
Konsep taswiyah al-manhaj dan tansiq al-harakah bukan hanya konsep yang harus diimplementasikan dalam tingkat pusat namun juga harus dilaksanakan di daerah-daerah. Sebab apabila kedua konsep tersebut tidak diimplementasikan dari pusat sampai daerah, maka kedua konsep tersebut tidak akan efektif.

Lampung Utara, 17 November 2008

Khutbah Jumat

BERKARYA UNTUK BANGSA

ان الحمد لله نحمده و نستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور انفسنا وسيئآت اعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له واشهد ان لا اله اللا الله وحده لا شريك له واشهد ان محمدا عبده ورسوله اللهم صل على نبينا محمد وعلى آله وصحبه اجمعين يايها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وانتم مسلمون يايها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء و اتقوا الله الذي تساءلون به والأرحم ان الله كان عليكم رقيبا
ياايها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا يصلح لكم اعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما
أما بعد فان اصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدى النبي صلى الله عليه وسلم وشر الأمور محدثاتها فان كل محدثات بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار
.
Ma’a syiral muslimin rahimakumullah,
Salah satu arti dan makna kehidupan seseorang adalah “apa yang dapat ia berikan kepada orang lain”, dan bagaimana agar pemberian itu bernilai ikhlas sehingga menjadi amal shaleh yang akan diterima di sisi Allah SWT.

Ajaran Islam sangatlah mensuport kepada kaum muslimin dan memberinya apresiasi yang tinggi kepada setiap muslim yang benar-benar beriman dan membuktikan imannya dalam bentuk kerja nyata yang bermanfaat untuk kemaslahatan ummat manusia.
Maka hampir pasti setiap ada kalimat iman didalam Al-Qur’an senantiasa di gandeng dengan kalimat amal shaleh. Karena dengan iman dan amal shaleh itulah derajat dan kemulyaan manusia akan dapat diperolehnya, yaitu derajat Muttaqin.

Sungguh begitu berat untuk mencapai derajat muttaqin tersebut sehingga predikat muttaqin ibarat “Tropi ” yang senantiasa diperebutkan oleh setiap muslim. Adalah hak seluruh kaum muslimin dari suku apapun dan dari bangsa manapun untuk memperolehnya.
Inilah bukti bahwa Islam itu benar-benar rahmatan lil `alamin, rahmat bagi seluruh alam semesta, maka adanya pluralitas atau keragaman dalam kehidupan masyarakat yang terdiri dari berbagai suku bangsa adalah sebagai sebuah realita untuk membuktikan dan mengaplikasikan ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin, risalah Islam datang dari Allah di sampaikan kepada seluruh ummat manusia melalui tugas suci para Nabi dan Rasul-Nya, sedang Nabi Muhammad di suruh menyampaikan risalah ini pada seluruh ummat manusia , masyarakat yang pluralis yang terdiri dari berbagai suku dan bangsa.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٢٨)
“Dan Kami tidaklah mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk seluruh manusia dengan membawa berita gembira dan peringatan, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” Saba:28

Hadirin jama’ah shalat jum’at rahimakumullah.
Untuk mendapatkan nilai “taqwa” maka sangatlah di tentukan oleh kualitas dan produktifitas amal, kualitas itu tentu mencakup makna keikhlasan dan keteladanan kepada Rasulullah saw, serta manfaat dari amal perbuatannya bagi diri dan orang lain. Karenanya Allah SWT memberikan prestasi manusia atas keberhasilannya dengan dasar kualitas kerjanya, bukan semata-mata kuantitasnya.

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (١)الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ (٢)

“Maha suci Allah yang di tangan-Nya seluruh kerajaan dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Allah yang telah menciptakan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu siapa diantara kamu yang paling baik kualitas amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” Al-Muluk :1-2

Demikian pula Rasulullah saw menjelaskan bahwa orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat keberadaannya untuk orang lain.

رَسُولَ اللَّهِ , أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ وَأَيُّ الأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا , وَمَنَ كَفَّ غَضَبَهُ سَتَرَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ , وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ مَلأَ اللَّهُ قَلْبَهُ رَجَاءً يَوْمَ الْقِيَامَةِ .

“Rasulullah saw ditanya tentang siapa orang yang paling dicintai Allah? dan perbuatan-perbuatan apa yang paling dicintai Allah? Nabi saw menjawab : “Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat untuk orang lain, dan perbuatan yang paling dicintai Allah adalah ; memasukkan kegembiraan pada seorang muslim, menghilangkan kesusahannya, melunasi hutangnya, mengusir kelaparannya, bersama menyelesaikan sebuah hajat saudaraku muslim lebih aku sukai dari pada sebulan ber i’tikaf di masjid Nabawi, siapa orang yang dapat mengendalikan amarahnya maka Allah akan menutupi keburukannya, siapa yang mampu meledakkan emosi namun ia mampu mengendalikan emosinya, maka Allah akan memenuhi harapan hatinya di hari kiamat dan orang yang bersamanya.”

Kalau surat Al Muluk di atas menekankan pada kualitas dengan spirit fertikal, sedangkan hadist Nabi menjelaskan kuantitasnya dengan spirit horisontal, artinya kualitas amal perbuatan yang diinginkan oleh Allah adalah amal perbuatan yang bermanfaat bagi seluruh ummat manusia. Jadi semakin banyak manfaat yang diperoleh orang lain atas karya kita, atas amal kita, maka semakin besar pula kebaikan dan makna kesalihan amal kita di mata Allah SWT. Oleh karenanya di manapun kita beramal jadikan niat amal itu sebagai ibadah kita kepada Allah, karena sesunguhnya dimana kita hidup maka di situlah tempat pengabdian kita kepada-Nya, di situ pula Allah memberi amanah dan tanggung jawab kepada kita. Sebagai anak bangsa Indonesia yang lahir dan di besarkan di negeri ini mari kita buktikan kecintaan kita dengan beramal dan berkarya untuk kemaslahatan diri kita, keluarga, masyarakat bangsa dan Negara kita.

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (١٠٥)

“Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. At-Taubah:105

Hadirin Jama’ah shalat jum’at rahimakumullah.
Ajaran Islam menganjurkan kepada kita untuk bekerja dalam semua skill dan lapangan dimana saja, apapun kedudukan kita. Prinsipnya selama pekerjaan itu halal, bermanfaat dan tidak membawa madharat bagi kehidupan, maka kesemuanya memungkinkan untuk menjadi amal shaleh.

Jadi di manapun kita bekerja apapun profesinya di situlah kita beramal shaleh, di situlah berda’wah dan di situ pula beribadah, karena sesungguhnya di manapun kita berada, di situlah bumi Allah SWT. Dan sah-sah saja melalui profesi apapun yang telah kita pilih, di situlah kita senantiasa berusaha untuk meraih pahala sebesar-besarnya serta keridhoan dari Allah SWT. sesuai dengan janji Allah yang akan menilai dan memberi pahala sekecil apapun amal kita.

وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ (١٣٢)

“Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang dia kerjakan” Al-An’am:132

Hadirin jama’ah shalat jum’at rahimakumullah
Sudah cukup lama kemerdekaan negeri ini kita peroleh, namun cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur nyatanya belum terwujud sampai sekarang, bahkan salah satu agenda di era reformasi untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme sampai hari ini masih menjadi agenda bangsa yang tak kunjung terselesaikan.
Maka sangatlah ironis jika kita hanya gencar mengkritik pemerintah sementara kita hanya duduk berpangku tangan tidak mengerjakan apapun, dan tidak memberi solusi ataupun pemecahannya, bahkan bisa jadi ternyata kita adalah bagian dari problema itu sendiri.

Sungguh berat tanggung jawab kita ketika kita mengatakan “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam” sementara realita ummatnya senantiasa terpuruk dan tertinggal dari bangsa bangsa lain.

وَقُلْ لِلَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ اعْمَلُوا عَلَى مَكَانَتِكُمْ إِنَّا عَامِلُونَ (١٢١)وَانْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ (١٢٢)

“Dan katakanlah kepada orang-orang yang tidak beriman: “berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya kami-pun berbuat pula. Dan tunggulah (akibat perbuatanmu ) sesungguhnya kami-pun menunggu pula.” Hud:121-122

Demikianlah ajaran Islam mendorong semangat kepada ummatnya untuk kompetisi di tengah-tengah ummat yang lain untuk bekerja keras meraih prestasi, kemajuan dan kemenangan dalam kehidupannya.

jika kita umat Islam tidak menunjukkan kerja dan prestasinya, maka bersiap-siaplah kita untuk menjadi budak orang atau bangsa lain didalam negeri sendiri, karena sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu mau merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.

Semoga kita tidak menjadi “ayam yang mati diatas lumbung” akan tetapi jadilah “gajah yang mati meninggalkan gading”, di negeri tercinta ini

barakallah....