Pergeseran
Konsep Muzakki Dan Mustahiq
PEMBAHASAN
A. Mustahik
Mustahiq
adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat. Orang-orang yang
berhak menerima zakat itu ada delapan golongan,
Para ulama madzhab sependapat bahwa golongan yang
berhak menerima zakat itu ada delapan. Dan semuanya sudah disebutkan dalam
surat Al Taubah ayat 60 yaitu :
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa yang berhak menerima
zakat adalah delapan kategori manusia. Penjelasan mengenai delapan golongan
sebagai mustahiq zakat Orang-orang yang berhak menerima zakat ada delapan
golongan diantaranya yaitu :
1.
Fakir,menurut Hanafi fakir adalah orang yang mempunyai harta
kurang dari nisbah, sekalipun dia sehat dan mempunyai pekerjaan. Kalau
orang yang mempunyai harta sampai senisbah apapun bentuknya yang dapat memenuhi
kebutuhan primer. Kebutuhan primer itu adalah tempat tinggal (rumah), alat-alat
rumah, dan pakaian. Maka orang yang memiliki harta seperti itu atau lebih,
tidak boleh diberikan zakat. Alasannya bahwa orang yang mempunyai harta sampai nisbah
maka ia wajib zakat. Orang yang wajib mengeluarkan zakat berarti ia tidak
wajib menerima zakat.
Madzhab-madzhab lain:
yang diaggap kebutuhan itu bukan berdasarkan yang dimiliki akan tetapi
kebutuhan. Maka barang siapa yang tidak membuntuhkan, diharamkan untuk menerima
zakat, walaupun ia tidak mempunyai sesuatu. Dan orang yang membutuhkan tentu
dibolehkan untuk menerima zakat, sekalipun ia mempunyai harta sampai nisbah,
karena yang dinamakan fakir itu artinya yang membutuhkannya. Allah
berfirman yang artinya:
“wahai manusia, kamu semua adalah orang-orang fakir
dihadapan Allah”
Artinya orang-orang
yang sangat membutuhkan imam syafi’i dan hanbali orang miskin adalah orang yang
mendapatkan separuh dari kebutuhannya, dan tidak diharuskan memberi zakat
padanya.
Walau bagaimanapun
penafsiran tentang fakir dan miskin, sebenarnya secara essensial tidak ada perbedaan
diantara madzhab-madzhab itu, karena yang dimaksud adalah bahwa zakat itu
mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutihan yang sangat mendesak, seperti tempat
tinggal, pangan, pakaina, kesehatan, pengajaran, dan lain-lain yang menjadi
keharusan dalam kehidupannya.
Para ulama madzhab
sepakat bahwa, selain maliki, bahwa orang wajib mengeluarkan zakat tidak boleh
memberikan zakatnya kepada kedua orang tuannya, kakek neneknya, juga pada
anak-anaknya putra-putra mereka (saudara-saudaranya), juga pada istrinya. Maliki
justru membolehkan memberikannya kepada kakeknya dan neneknya, dan juga pada
anak keturunannya, karena memberikan nafkah kepada mereka tidak wajib, menurut
Maliki.
Para ulama madzhab
sepakat bahwa zakat itu boleh diberikan kepada saudara-saudaranya, paman dari
bapak, dan paman dari ibu, zakat itu hanya tidak boleh diberikan kepada ayah
dan anak-anaknya, kalau zakat yang akan diberikan kepada ayah dan anak itu
merupakan bagian untuk fakir dan miskin. Tetapi kalau zakat yang duberikan itu
bukan termasuk bagian untuk fakir miskin, maka bapak dan anaknya boleh menerima
zakat atau mengambilnya, misalnya kalau bapak dan anak tersebut menjadi prang
yang berjuang dijalan Allah, atau termasuk muallaf, atau orang yang banyak
hutang untuk menyelesaikan masalah dan memperbaiki serta mendukung pihak yang
mempunyai bukti, atau merupakan ‘amil zakat karena semuannya itu adalah
orang-orang yang boleh mengambil, baik fakir maupun miskin.
Sekalipun begitu,
memberikan zakat kepada orang yang dekat yang tidak wajib diberikan nafkah bagi
pemberi zakat atas mereka adalah lebih utama.
Para ulama’ madzhab
berbeda pendapat tentang hukum
Syafi’i dan Hambali:
orang yang mempunyai separuh dari kebutuhannya, ia tidak bisa digolongkan
kepada orang fakir dan ia tidak boleh menerima zakat.
Imamiyah dan maliki :
orang fakir menurut syara’ adalah orang yang tidak mempunyai bekal untuk
berbelanja selama satu tahun dan juga tidak mempunyai bekal untuk menghidupi
keluargannya. Orang yang mempunyai rumah dan peralatannya atau binatang ternak,
tetapi tidak mencukupi kebutuhan keluargannya selama satu tahun maka ia boleh
diberi zakat.
Imamiyah, Syafi’i dan
Hambali: orang yang mampu bekerja tidak boleh menerima zakat.
Hanafi dan Maliki: ia
dibolehkan untuk menerimannya tapi juga boleh untuk menolaknya.
Imamiyah: orang yang
mengaku fakir boleh dipercaya menskipun tidak ada bukti dan tanpa sumpah bahwa
ia betul-betul tidak mempunyai harta, serta tidak diketahui kalau ia bohong.
Karena pada masa rasulullah perna datang dua orang kepada beliau pada ketika
itu rasulullah sedang membagi sedekah, lalu kedua orang tersebut meminta kepada
rasulullah, maka beliau melihat dengan penglihatan yang tajam membenarkan
keduannya, dan bersabda kepadanya:
“kalau kamu berdua
mau, maka aku akan memberikannya. Orang yang kaya tidak mempunyai bagian untuk
menerima zaklat, begitu juga orang yang mampu (kuat) ungtuk bekerja”.
Lalu rasulullah
mempercayai keduannya tanpa bukti dan tidak pula dengan sumpah.
2.
Miskin, Orang miskin adalah
orang yang mampu untuk bekerja untuk menutupi kebutuhannya, namun belum
mencukupi. Adapun miskin ialah orang yang mempunyai mata pencaharian tetap,
tetapi penghasilannya belum cukup memenuhi keperluan minimal bagi dirinya
sendiri dan keluarganya. Menurut madzhab Syafi’i orang miskin adalah orang yang
mampu mencari harta kekayaan dan memiliki pekerjaan yang halal yang hasilnya
bias mencukupi setengah biaya kehidupan pada masanya. Sedangkan menurut madzhab
Hambali orang miskin adalah orang yang memperoleh sebagian besar biaya hidupnya
atau setengah dari pekerjaannya atau dari yang lain-lain. Sehubungan dengan beberapa pendapat tersebut,
maka Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddiqi mengatakan bahwa miskin ialah orang-orang fakir yang bersifat
tenang, dan tidak meminta-minta. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, orang
fakir lebih buruk keadaannya dibandingkan dengan orang miskin. Orang fakir
adalah orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan sama sekali atau orang
yang mempunyai harta dan berpenghasilan lebih sedikit dari separoh kebutuhannya
diri sendiri. sedangkan orang miskin adalah orang yang memiliki harta dan
berpenghasilan separoh atau lebih dari kebutuhannya, sekalipun tidak mencapai
kebutuhannya.
Para ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa
orang miskin lebih buruk keadaannya dibandingkan orang fakir, sebagaimana di
nukil dari Imam bahasa dan juga firman Allah yang artinya.
3.
Amil Zakat, Amil zakat atau para pemungut zakat adalah orang yang
ditugaskan oleh imam kepala pemerintahan atau wakilnya untuk mengumpulkan
zakat. Dengan demikian, mereka adalah para pemungut-pemungut zakat, termasuk
para penyimpan, penggembala-penggembala ternak, dan yang mengurus
administrasinya.
Yang boleh dikategorikan sebagai panitia zakat adalah
orang yang ditugasi mengambil zakat sepersepuluh (al-`Asyri): penulis AL-Katib
: pembagi zakat untuk para mustahiqqnya : penjaga harta yang dikumpulkan:
al-hasyri: yaitu orang yang ditugasi untuk mengumpulkan pemilik harta
kekayaan/orang-orang yang diwajibkan mengeluarkan zakat: al-a`rif (orang
ditugasi menaksir orang yang telah memiliki kewajiban untuk zakat): penghitung
binatang ternak : tukang takar, tukang timbang, dan penggembala: dan setiap
orang yang menjadi panitia selain ahli hukum (Islam) atau al-qadhi, dan
penguasa, karena mereka tidak boleh mengambil dari baitul mal. Upah menakar dan
menimbang dilaksanakan pada saat harta itu hendak dikeluarkan zakatnya. Adapun
ongkos pembagiannya kepada penerima zakat dibebankan kepada panitia (al-`amil).
Adapun hadis yang menunjukan bahwa pemimpinlah yang
menugaskan seorang amil :
Hadis Abu Said al
Khudri dan Abu Hurairah :
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم استعمل رجلا على خيبر
فجاءه بتمر جنيب
“Sesungguhnya Rasulullah SAW mengangkat seorang
laki-laki sebagai amil untuk pemungut zakat wilayah Khaibar, lalui ia membawa
kurma janib”.
Hadis
Abu Humaid As-Sa’idi ra.
استعمل النبي صلى الله
عليه وسلم رجلا من الازد يقال له ابن الاتبية على الصدقة
“Nabi SAW mengangkat seorang laki-laki dari Al-Azdi
Ibnu Utbiyah sebagai amil untuk pemungutan zakat. (HR. Bukhari).
Seorang
amil hendaknya memenuhi beberapa syarat diantaranya yaitu:
- Muslim
Zakat merupakan urusan kaum muslimin. Jadi Islam
menjadi syarat utama bagi segala urusan mereka. Akan tetapi menurut Imam Ahmad
dalam salah satu pendapatnya membolehkan seorang amil bukan muslim. Hal
berdasarkan atas ayat “ amil zakat” mempunyai pengertian bahwa ayat
tersebut bersifat umum yang didalamnya termasuk orang kafir dan muslim. Oleh
karena itu tidak ada halangan baginya mengambil upah kerja seperti upah-upah
yang lain.
Adapun menurut Ibnu Qudamah satiap pekerjaan yang
memerlukan sikap amanah (kejujuran) hendaknya disyaratkan Islam bagi pelakunya,
seperti menjadi saksi. Hal ini karena merupakan urusan kaum muslimin sehingga
pengurusannya tidak dapat diberikan kepada orang kafir. Orang yang bukan ahli
zakat tidak boleh diserahi urusan zakat seperti halnya kafir harbi (musuh)
karena orang kafir itu tidak dapat dipercaya.
- Mukallaf
Pengurus zakat harus orang dewasa yang sehat akal
pikirannya.
- Orang yang jujur
Pengurus zakat seharusnya bukan orang yang fasik dan
tidak dapat dipercaya. Misalnya ia akan berbuat dzalim kepada para pemilik
harta atau berbuat sewenag-wenang terhadap hak fakir miskin karena mengikuti
keinginan hawa nafsunya atau untuk mencarai keuntungan.
- Orang yang memahami hukum-hukum zakat
Para ulama mensyaratkan petugas zakat haruslah faham
terhadap hukum zakat. Jika orang yang diserahi zakat tidak mengetahui hukum, ia
tidak mungkin mampu melaksanakannya dan akan lebih banyak kesalahan. Masalah
zakat memberikan pengetahuan tentang harta yang wajib di zakati dan yang tidak
wajib dizakati. Urusan zakat juga memerlukan ijtihad terhadap masalah yang
timbul mengethaui hukumnya.Apabila pekerjaan itu menyangkut bagian tertentu
mengenai urusan pelaksanaan, tidak disyaratkan memiliki pengetahuan tentang
zakat, kecuali sekedar yang menyangkut tugasnya.
- Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas
Pengurus zakat hendaklah mampu melaksanakan tugasnya
dan sanggup memikul tugas itu. Kejujuran saja belum mencukupi jika tidak
disertai kekuatan dan kemampuan untuk bekerja.
Amil diberi zakat karena sebagai ganti upah kerjanya.
Oleh karenanya dia tetap diberi zakat sekalipun dia orang kaya.Adapun yang
dipandang zakat atau sedekah secara murni maka tidak halal diberikan kepada
orang kaya.
4.
Muallaf Yang Dibujuk Hatinya
Orang-orang muallaf yang dibujuk hatinya adalah orang-orang yang cenderung
menganggap sedekah itu untuk kemaslahatan islam.
Para ulama madzhab
berbeda pendapat tentang hukum mereka itu, apakah masih berlaku apakan sudah
mansuh (dihapus). Menurut yang mengatakan tidak mansuh, apakan yang dibujuk
hatinya khusus untuk orang-orang non islam atau untuk orang-orang islam yang
masih lema imannya?
Hanafi: hukum ini
berlaku pada permulaan penyebaran islam, karena lemahnya kaum muslimin. Kalu
dalam situasi saat ini dimana islam sudah kuat, maka hilanglah hukumnya karena
sebab sebabnya tidak ada.
Madzhab-madzhab lain
membahasnya secara panjang lebar tentang terbaginya muallaf itu kedalam
beberapa kelompok, dan alternative yang dijadikan standar atau rujukan adalah
pada satu masalah, yaitu bahwa hukum muallaf itu tetap tidak dinasakh (dihapus),
sekalipun sebagian muallaf teteap diberikan kepada orang islam dan non islam
dengan syarat bahwa pemberian itu dapat menjamin dan mendatangkan kemaslahatan,
kebaikan kepada islam dan kaum muslimin. Rasulullah telah memberikan zakat
kepada Safwan bin Umayyah, padahal dia ketika itu masih musyrik, sebagaimana
beliau telah memberikan kepada Abu Sufyan dan lain-lain, setelah mereka
menampakkan diri menganut agama islam karena sebenarnnya mereka takut disiksa,
dan mereka sebenarnya meniupu kaum muslimin dan agama islam.
5.
Riqab (Budak), Riqab adalah orang (budak) yang
dimerdekakan sayyidnya tetapi harus menebus dengan sejumlah uang. Orang ini
boleh menerima zakat, agar secepatnya menjadi merdeka. Dalam hal ini banyak
dalil yang cukup dan sangat jelas bahwa Islam telah menempuh berbagai jalan
dalam rangka menghapus perbudakan. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa hukum
ini telah tidak berlaku karena perbudakan sekarang ini telah tiada, apalagi
telah dideklarasikannya HAM.
Namun
ternyata dalam masa modern sekarang ini, masih ada saja yang diperbudak
oleh orang lain, misalnya oleh :
1. para rentenir dalam pemberian pinjaman dengan
pengembalian yang tinggi.
2. Menurut pemahaman penulis seorang yang
mempunyai hutang kepada bank itu juga termasuk perbudakan karena adanya unsure
keterpaksaan dan adanya ketakutan penyitaan barang kepemilikan.
6.
Al Gharimun, Al Gharimun ialah orang yang mempunyi hutang dan sulit
untuk membayarnya. Hal ini berdasarkan hadis Nabi dari Abu Said al Khudri r.a.
yang menyatakan bahwa ada seorang laki-laki dizaman Rasulullah mendapat musibah
disebabkan buah-buahan yang dibelinya hingga utangnya menjadi banyak, kemudian Nabi bersabda:
تصدقوا عليه فتصدق
الناس عليه
“Keluarkanlah zakat untuknya, lalu orang-orangpun
berzakat kepadanya. (HR. Muslim)”.
Menurut ulama Hanabilah dan Syafi’iyah seseorang itu
berutang untuk dirinya sendiri maupun
untuk orang lain. Juga baik utangnya digunakan untuk ketaatan maupun
kemaksiatan. Jika dia berutang untuk dirinya sendiri maka dia tidak diberi
zakat, melainkan jika dia adalah orang fakir. Sedangkan jika dia hutang untuk
mendamaikan orang-orang yang berselisih sekalipun terjadi antara orang-orang
ahli dzimmah sebab merusak jiwa, harta atau barang rampasan, maka dia diberi
zakat dari golongan gharim, meskipun dia orang kaya.
Para ulama Hanafiyah berkata, gharim adalah orang yang
mempunyai tanggungan utang dan tidak memiliki satu nisab yang lebih dari
utangnya. Para ulama Malikiyah berpendapat bahwa gharim adalah orang yang
terhimpit utang kepada orang lain yang digunakan bukan untuk perbuatan keji dan
merusak yaitu orang yang tidak mempunyai harta untuk membayar utang.
Golongan gharimin yang diberi zakat untuk membayar
segala utangnya dengan beberpa syarat:
a.
Ia harus mempunyai
kebutuhan untuk memiliki harta yang dapat membayar utangnya.
b.
Orang itu harus
mempunyai utang untuk ketaatan atau mengerjakan suatu urusan yang diperbolehkan
(mubah).
c.
Utangnya dibayar pada
waktu itu.
d.
Keadaan utangnya yang
menimbulkan dipenjara atau ditahan.
Semua syarat-syarat diatas adalah pendapat ulama
Malikiyah sedangkan para fuqaha tidak memberikan syarat apapun.
7.
SABILILLAH, Sabilillah adalah
Orang yang berada dijalan Allah, menurut empat madzhab : orang-orang yang
berperang secara suka rela untuk membela islam.
Imamiyah: orang-orang
yang berda dijalan Allah secara umum, baik orang yang berperang, orang-orang
yang mengurusi masjid, orang-orang yang berdinas dirumah sakit dan
sekolah-sekolah, dan semua bentuk kegiatan untuk kemaslahatan umum.
Ada beberapa contoh yang termasuk sabilillah pada
zaman sekarang yaitu:
a.
Mendirikan pusat
kegiatan bagi kepentingan dakwah Islam yang benar dan menyampaikan risalahnya
kepada orang-orang non muslim disemua benua dari berbagai agama dan aliran.
b.
Mendirikan pusat
kegiatan Islam yang refresentif dinegara Islam itu sendiri untuk pemuda muslim,
menjelaskan ajaran Islam yang benar, memelihara akidah dari kekufuran,
memelihara diri dari perubahan pemikiran, dan tergelincirnya jalan, serta
mempersiapkan diri untuk membela Islam dan melawan musuh-musunya.
c.
Mendirikan percetakan
surat kabar yang baik, termasuk media elektronik, TV, radio.
d.
Menyebarkan buku-buku
tentang Islam yang baik, yang bias menjelaskan maksud Islam, membuka mutiaranya
yang tersimpan, menjelaskan keindahan dan kebenaran serta membuka
kesalahan-kesalahan musuh Islam.
e.
Menurut penulis, yang
termasuk dalam sabilillah juga adalah para pengajar dan penyebar agama seperti
guru, dosen dan lain-lain.
Memperkerjakan orang-orang kuat yang terpercaya,
ikhlas untuk melakukan kegiatan-kegiatan tersebut.
8.
Ibnu Sabil, Ibnu sabil adalah
orang asing yang menempuh perjalanan ke negeri lain dan sudah tidak punya harta
lagi. Zakat boleh diberikan kepadanya sesuai dengan ongkos perjalanan untuk
kembali kenegaranya.[1][1]
Para fuqaha’ selama
ini mengartikan ibn sabil dengan musafir yang kehabisan bekal.
Pengertian ini diajukan oleh jumhur ulama’ dan masih relevan, hanya saja
pengertiannya sempit. Di alam kemajuan tekhnologi informasi saat ini, memang
kondisi ibn sabil yang diilustrasikan pada artian klasik
tampaknya sudah sangat kecil kemungkinannya terjadi, kalaupun kondisi tersebut
terjadi, sangat dimungkinkan karena orang yang bepergian tersebut pada dasarnya
berada pada kondisi ekonomi yang lemah, artinya bepergian atau tidak bepergian
kondisinya memang sudah sangat lemah secara ekonomi. Pendekatan yang banyak
dilakukan oleh sejumlah lembaga amil zakat mengkategorikan para perantau yang
mengalami kegagalan dalam mengais rizki di kota atau para pelajar yang merantau
di kota lain untuk menuntut ilmu dikategorikan termasuk kelompok ibn sabil
B.
Syarat-Syarat Orang Yang Berhak Menerima Zakat Dan
Sifat-Sifatnya.
Para fuqaha memberikan
lima syarat bagi orang yang berhak menerima zakat, yaitu:
1.
Hendaknya dia seorang fakir, kecuali amil. Seorang
amil tetap iberi zakat sekalipun kaya, karena dia berhak menerima upah. Juka,
karena dia menyempatkan diri untuk melakukan pekerjaan ini. Karena, dia
membutuhkan sesuatu yang dapt mencukuoinya. Demikian juga kecuali ibnu sabil
jika dinegerinya dia memiliki harta, maka dia seperti orang fakir, sekalipun
aslinya dia orang kaya. Juga, kecuali orang yang muallaf dan orang yang
berperang (sabilillah) menurut pendapat ulama syafi’iyah dan hanabilah.
2.
Orang yang menerima zakat harus seorang muslim.
Kecuali muallaf, menurut pendapat ulama malikiyyah dan hanabilah. Tidak boleh
memberikan zakat kepada orang fakir, tanpa ada perbedaan pendapat dalam hal
ini, berdasarkan hadits mu’adz r.a. yang telah disebutkan (ambillah zakat-zakat
itu dari orang kaya dan berikanlah kepada orang-orang miskin) merupakan
perintah untuk memberikan zakat kepada kalangan miskin dari kalangan
orang-orang kaya yang diambil zakatnya, yaitu orang-orang muslimin. Maka tidak
boleh memberikan zakat kepada kalangan selain muslimin.
Adapun selain zakat fitrah, kafarat dan nadzhar, maka
tidak diragukan bahwa memberikannya kepada orang-orang fakir kaum muslimin
lebih utama. Karena, memberikannya kepada mereka berarti membantu mereka dalam
menunaikan ibadah. Apakan boleh memberikan zakat kepad ahli dzimmah (kafir dzimmi)?
Abu hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa itu boleh, berdasarkan firman Allah
SWT :
“jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu
baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang
fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian
kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah maha teliti apa yang kamu kerjakan.”
(al-Baqarah:271)
Tanpa membedakan antara orang fakir dengan orang fakir
lainnya. Keumuman teks ini memberikan pengertian bolehnya zakat memberikan
kepada ahli dzimmah. Hanya saja, khususnya dari zakat, berdasarkan hadits
mu’adz dan firman Allah SWT dalam kafarat yang artinya:
فكفارته اطعام عشرة
مساكين
“maka kafaratnya _denda pelanggaran sumpa) ialah
memberimakan sepuluh orang miskin” (al-Maidah: 89)”
Tanpa membedakan
antara orang miskin dan orang miskin lainnya. Hanya saja, pelanggaran untuk
mmeberikan zakat itu dikhususkan atas orang kafir harbi, dengan alas an agar
hal itu tidak membantu mereka untuk memerangi kita. Juga karena memberikan
zakat kepada ahli dzimmah termasuk menyampaikan kebaikan kepada mereka , dan
kita tidak dilarang untuk melakukan hal itu. Allah SWT berfirman yang artinya:
”Allah tidak melarang
kamu berbuat baik dan berlaku adil terhdap orang-orang yang tidak memerangimu
dalam urudan agama dan tidak mengusir kamu dari kampong halamanmu. Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Mumtahana:8)
Abu Yusuf, Zufar,
Syafi’i, dan jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh juga memberikan sedekah
selain zakat kepada ahli dzimmah, sebagaimana halnya zakat. Demikian juga tidak
boleh memberikannya kepada orang kafir harbi.
3.
Penerima bukan dari keturunan bani hasyim:
ahli bait dilarang untuk menerima zakat. Sebab, itu adalah kotoran harta
manusia. Mereka berhak mendapatkan 1/5 dari 1/5 da baitul mal, sekirannya
dapat mencukupi
kebutuhan mereka. Itu berdasarkan sabda Nabi saw:
أن هده الصدقات أنما هي
أوساح الناس وانما لاتحل لمحمد ولا لال محمد.
“sesungguhnya sedekah-sedekah ini hanyalah kotoran
(harta) manusia. Dan ia tidak halal bagi Muhammad dan tidak pula bagi keluarga
Muhammad.”
Bani hasyim yang
diharamkan menerima sedekah (zakat), menurut al-Karkhi dari kalangna hanafiyah
dan hanabilah, adalah keluarga abbas, keluarga ali, keluarga ja’far, keluarga
agil bin abu thalib, dan keluarga harits bin abdul muthalib, berdasarkan
keumuman hadits yang telah disebutkan. Demikian juga para ulama syafi’iyah
berkata, mereka adalah bani hasyim dan bani muthalib, berdasarkan sabda nabi
saw.
أن
بني هاشم وبني المطلب شيئ واحد وشبك بين أصابعه.
“sesungguhnya bani hasyim dan bani muthalib adalah
satu dan ibarat jari jemari yang saling bertautan.
Abu hanifah hanifah
dan ulama malikiyah berkata, “mereka adalah bani hasyim saja,. Adapun bani
muthalib saudarah hasyim, mereka bukan termasuk ahli bait. Oleh karenannya
mereka diberi zakat, menurut pendapat yang masyhur.”
Telah dinukil pendapat
dari abu hanifah, ulama malikiyah dan sebagian ulama syafi’iyah akan bolehnya
memberikan zakat kepada bani hasyim, karena mereka diharamkan mendapatkan bagian
dzawilo qurba dari baitul mal, demi mencegah kerugian dan kebutuhan mereka, dan
mengamalkan kaedah “maslahah mursalah.” Memberi mereka (sebagaimana dikatan
oleh ad-Dasuki al-Maliki) pada saat itu lebih baik dari pada memberi selain
mereka. Sedekah sunnah boleh diberikan kepada mereka menurut kebanyakan ulama.
4.
Hendaknya bukan orang yang wajib dinafkahi oleh orang
yang berzakat, seperti kerabat dan istri-istri, sekalipun dalam
masa iddah. Karena, hal itu mencegah terjadinya pelaksanaan memberi hak milik
bagi orang fakir dari semua sisi. Bahkan dari satu sisi, hal itu merupakan pendistribusian
zakat kepad dirinya sendiri, yaitu mencegah kewajiban zakat atas
dirinya.
Zakat juga tidak boleh
diberikan kepada kedua orang tua dan nasab keatasnnya (kakek-nenek). Juga,
kepada anak turun dan nasab kebawahnya (cucu). Demikian juga tidak boleh
diberikan kepada istri yang fakir atau miskin, sekalipun istri dalam iddah
talak ba’in, menurut madzhab hanafi. Karena, hukum menafkahi meraka bagi orang
yang mnegeluarkan zakat tersebut adalah wajib. Fungsi zakat adalah untuk
memenuhi kebutuhan, maka tidak ada kebutuha jika diberi nafkah. Juga, karena
salah satu dari mereka mengambil manfaat dari harta yang lain. Bahkan menurut
ulama syafi’iyah, tidak boleh memberi zakat kepada seseorang yang bukan dalam
tanggungan nafkah muzakki (orang yang mengeluarkan zakat), tapi tanggungan
orang lain, karena dia ketika membutuhkan, seperti orang yang bekerja setiap
hari dan berkecukupan.
Ulama hanafiyah
membolehkan membayar zakat kepada seorang perempuan fakir, sedang suaminya
kaya. Karena, seorang perempuan tidak berhak atas harta suaminya melainkan
seukuran nafkahnya. Dengan kadar nafkah tersebut, si perempuan tidak dianggap
kaya. Menurut ulama hanafiyah juga, seorang pezina tidak boleh membayar zakat
kepada anak hasil zinannya, kecuali jika anak tersebut dari seorang perempuan
yang mempunyai suami yang dikenal.
Akan tetapi, boleh
membayarkan zakat kepada orang-orang yang telah disebutkan didalam al-qur’an
seperti orang gharim, atau berperang dijalan Allah dan semisalnya. Para ulama
syafi’iyah, sebagaimana dijelaskan didalam al-majmuu’ karya iamam nawawi, ulama
malikiyah, dan ibnu taimiyyah, membolehkan membayar zakat kepada anak atau ayah
yang tidak dapat dinafkahi oleh muzakki, jika anak atau ayah itu fakir. Karena,
saat itu mereka berdua seperti orang asing. Para ulama malikiyah membolehkan
seorang perempuan membayar zakat fitrahnya (bukan zakat wajib) kepada suaminya
yang fakir.
Syekh abu ishak
asy-syairazi berkata didalam al-muhadzdzab: tidak boleh seorang itu membayar
zakat dari bagian-bagian orang fakir kepada orang yang wajib dia nafkahi dari
kalangan kerabat dan istri, karena zakat diperuntukkan untuk sebuah kebutuhan.
Dan mereka yang wajib dinafkahi tidak membutuhkan itu.
5.
Hendaknya sudah baligh, berakal, dan merdeka. Para
ulama sepakat bahwa tidak sah zakat diberikan kepada seorang budak. Menurut
ulama hanafiyah, zakat juga tidak sah diberikan kepada anak kecil sebelum
mencapai usia puber (usia dibawah tujuh tahun), dan orang gila kecuali jika
diterima oleh orang yang boleh menerimanya bagi kedua seperti ayah, orang yang
diwasiati, dan selainnya. Menurut ulama hanafiyah, zakat juga boleh diberikan
kepada anak kecil kerabat yang mumayyiz ketika perayaan ulang tahu atau
selainnya. Tidak boleh membayar zakat keada anak orang kaya jika masih kecil.
Karena, anak kecil tersebut dipandang kaya disebabkan harta bapaknya. Anak
tersebut sebagaimana halnya orang asing, sebagaimana halnya seorang bapak tidak
dianggap kaya dengan harta anaknnya, seorang istri sebab kekayaan suaminya,
seorang anak kecil sebab kekayaan ibunya.[2][2]
C. Muzakki
Muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh
orang Muslim yang bekewajiban menunaikan zakat. Disyaratkan pada orang
yang wajib mengeluarkan zakat hal-hal berikut ini:
1) Balig.
Maka tidak wajib bagi mereka yang belum balig. Yunus Bin Ya’qub berkata. “saya
menulis surat kepada Imam as bahwa saya masih mempunyai saidara-saudara yang
masih kecil. Kapankah nkewajiban zakat berlaku pada harta mereka? Beliau
menjawab jika mereka telah berkewajiban shalat maka zakat pun wajib atas
mereka.” Beliau juga berkata, “tidak ada zakat pada harta anak yatim, dan tidak
ada kewajiban shalat atasnya. Juga tidak ada zakat pada seluruh tumbuhan-tumbuhan
miliknya, seperti kurma, kismis dan gandum. Jika seorang yatim telah mencapai
balig maka dia tidak kewajiban mengeluarkan zakat untuk tahun-tahun yang lalu,
dan tidak untuk tahun-tahun yang akan datang sampai ia balig. Jika dia sudah
balig maka dia berkewajiban satu kali zakat (setahun) sebagimana orang-orang
lain yang berkewajiban zakat.” Kebanyakan fuqaha’ berpegang pada riwayat ini
dan pada riwayat-riwayat lain semacam ini. Riwayat-riwayat tersebut merupakan
dalil yang mematahkan pendapat bahwa zakat adalah wajib pada harta mereka yang
belum balig selain emas dan perak. Benar, disunahkan bagi wali anak yang belum
balig, baik ayah, kakek (dari pihak ayah), atau hakim syar’i, untuk
menzakati harta anak kecil.
2) Berakal.
Penulis jawahir menyatakan bahwa kebanyakan fuqaha’ berpendapat bahwa
hukum orang yang gila sama dengan hukum anak kecil pada semua hal yang
disebutkan diatas (bahwa tidak ada kewajiban zakat atasnya).” Kemudian beliau
berkata, “yang demikian ini adalah sangat sulit. Sebab tidak ada dalil yang
dijadikan sandaran untuk menyamakan hukum keduannya itu, kecuali mushadarat dimana
tidak sepatutnya seorang fakih berpegang padanya.”[3][3]
3) Harta
tersebut harus merupakan hak penuh bagi pemiliknya dimana di dapat
membelanjakannya (mengunakannya). Oleh karena itu tidak ada zakat pada harta
hadiah sebelum diterima oleh penerimanya. Demikian pula harta wasiat, hutang, maghsub
(yang masuh dirampas orang), yang digadaikan, harta yang terhalang
pengunaannya (mahjur), dan harta yang tidak ada ditempat, sampai semua
itu dikuasai secara penuh dan bisa dibelanjakan. Imam Shadiq as berkata, “tidak
ada sedekah pada hutang dan harta yang tidak ada padamu, sampai ia jatuh ke
tanganmu.” Zurarah bertanya kepada beliau tentang seorang yang hartanya tidak
ada bersamanya dan dia tidak mampu mengambilnya. Beliau menjawab, “tidak ada
zakat padanya, sampai dia mendapatkannya kembali. Bila sudah demikian maka dia
menzakatinya untuk satu tahun.”
Zakat tidak dikenakan
pada harta hutang tanpa ada perbedaan apakah pemiliknya mampu mengambil dan
mendapatkannya kapan saja ataukah tidak mampu, sebagaimana yang mashur diantara
fuqaha’ mutakhir menurut kesaksian penulis kitab Hada’iq[4][4]
KESIMPULAN
Mustahiq adalah orang atau badan
yang berhak menerima zakat. Orang-orang yang berhak menerima zakat itu ada
delapan golongan, Fakir, Miskin, Amil, Mu’allaf, Riqab, Ghorim,
Sabilillah, ibnu sabil.
Para ulama madzhab sependapat bahwa golongan yang
berhak menerima zakat itu ada delapan. Dan semuanya sudah disebutkan dalam
surat Al Taubah ayat 60.
Muzakki adalah orang atau badan yang
dimiliki oleh orang Muslim yang bekewajiban menunaikan zakat.
Seluruh ahli fiqih sepakat bahwa
setiap Muslim, merdeka, baligh dan berakal wajib menunaikan zakat. Akan tetapi
mereka berbeda pendapat tentang orang yang belum baligh dan gila.
Menurut madhab imamiyah, harta orang
gila, anak-anak dan budak tidak wajib dizakati dan baru wajib di zakati ketika
pemiliknya sudah baligh, berakal dan merdeka.
DAFTAR PUSTAKA
Mughniyah,
Muhammad Jawad, 2001. fiqih imam
ja’far shadiq. Jakarta :
Lentera.
Zuhaili,Wahbah. 2007. Fiqih Islam
Wa Adillatuhu. Damaskus: Darul Fikr.
Zuhaily,Wahbah. 2005. Zakat:
Kajian Berbagai Madzhab. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Qardawi,Yusuf. 1991. Hukum Zakat.
Jakarta : PT Intermasa.
Hasbi,Al-furqon .2008.125 Masalah
Zakat. Solo : Tiga Serangkai.
Abidin, Slamet Moh Suyono, 1991, Fiqih Ibadah,
Bandung : CV Pustaka Setia.
Rasjid, H. Sulaiman, 1994, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo.
[1][1] Muhammad Jawad Mughniyah FIQH LIMA
MAZHAB Ja’far, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali basrie press Jakarta: 1992
hal 244-249
[2][2] Prof. Dr. Wahba Zuhaili FIQIH ISLAM WA
ADILLATUHU Jilid 3 Gema Insani Darul Fikir Jakarta 2011 hlm: 289-298
[3][3] Tidak benar berdalil untuk meniadakan
zakat dari harta anak kecil dan orang gila dengan hadits, “pena telah diangkat
dari anak kecil sampai dia balig., dan dari orang gila sampai dia sembuh.” Sebab,
hadis ini hanya meniadakan dosa san hukum taklifi, bukan hukum wadh’i,
yakni tetapnya zakat pada harta orang gila dan anak kecil. Dengan demikian,
kita harus menghitung permulaan haul (masa setahun), dari harta mencapai
satu nisab, bukan dari saat balig pada anak kecil atau dari saat sembuh pada
orang gila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar