SENI DALAM PANDANGAN ‘ULAMĀ’ ISLAM
D
I
k
u
m
p
p
u
l
k
a
n
Oleh :
Drs. H. M. MUNZIR, M H I
MADRASAH ALIYAH NEGERI KOTABUMI
LAMPUNG UTARA
2011-2012
http//mmunzir.blogspot.com
Bab I
Muqaddimah
PRAKTEK SENI SUARA DAN SENI TARI DALAM SEJARAH ISLAM
Pada umumnya orang ‘Arab berbakat musik sehingga seni suara telah menjadi suatu keharusan bagi mereka semenjak zamān jāhilliyah. Di Hijāz kita dapati orang menggunakan musik mensural (?????) yang mereka namakan dengan IQA (irama yang berasal dari semacam gendang, berbentuk rithm). Mereka menggunakan berbagai intrusmen (alat musik), antara lain seruling, rebana, gambus, tambur, dan lain-lain.
Setelah bangsa ‘Arab masuk Islam, bakat musiknya berkembang dengan mendapat jiwa dan semangat baru. Pada masa Rasūlullāh, ketika Hijāz menjadi pusat politik, perkembangan musik tidak menjadi berkurang.
Dalam buku-buku Hadīts terdapat nash-nash yang membolehkan seseorang menyanyi, menari, dan memainkan alat-alat musik. Tetapi kebolehan itu disebutkan pada nash-nash tersebut hanya ada pada acara pesta-pesta perkawinan, khitanan, dan ketika menyambut tamu yang baru datang atau memuji-muji orang yang mati syahīd dalam peperangan, atau pula menyambut kedatangan hari raya dan yang sejenisnya.
Dalam tulisan ini kami kutipkan beberapa riwāyat saja, antara lain riwāyat Bukhārī dan Muslim dari ‘Ā’isyah r.a. ia berkata (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 949, 925. Lihat juga SHAHĪH MUSLIM, Hadīts No. 829 dengan tambahan lafazh:
(وَ لَيْسَتَا مُغَنِّيَتَيْنِ") Kedua-duanya (perempuan itu) bukanlah penyannyi"):
"Pada suatu hari Rasūlullāh masuk ke tempatku. Di sampingku ada dua gadis perempuan budak yang sedang mendendangkan nyanyian (tentang hari) Bu‘ats (Bu‘ats adalah nama salah satu benteng untuk Al-AWS yang jaraknya kira-kira dua hari perjalanan dari Madīnah. Di sana pernah terjadi perang dahsyat antara kabilah Aus dan Khazraj tepat 3 tahun sebelum hijrah).(di dalam riwāyat Muslim ditambah dengan menggunakan rebana). (Kulihat) Rasūlullāh s.a.w. berbaring tetapi dengan memalingkan mukanya. Pada sā‘at itulah Abū Bakar masuk dan ia marah kepada saya. Katanya: "Di tempat Nabi ada seruling setan?" Mendengar seruan itu, Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada Abū Bakar seraya bersabda: "Biarkanlah keduanya, hai Abū Bakar!". Tatkala Abū Bakar tidak memperhatikan lagi maka saya suruh kedua budak perempuan itu keluar. Waktu itu adalah hari raya di mana orang-orang Sudan sedang (menari dengan) memainkan alat-alat penangkis dan senjata perangnya (di dalam masjid)....."
Dalam riwāyat lain Imām Bukhārī menambahkan lafazh (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 509, 511):
يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَ هذَا عِيْدُنَا)
"Wahai Abū Bakar, sesungguhnya tiap bangsa punya hari raya. Sekarang ini adalah hari raya kita (umat Islam)."
Hadīts Imām Ahmad dan Bukhārī dari ‘Ā’isyah r.a. (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ Hadīts No. 5162, TARTĪB MUSNAD IMĀM AHMAD, Jilid XVI, hlm. 213. Lihat juga: Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR Jilid VI, hlm. 187):
(أَنَّهَا زَفَّتِ امْرَأَةً إِلى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ النَّبِيُّ (ص): يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ مِنْ لَهْوٍ فَإِنَّ الأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ)
"Bahwa dia pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshār. Maka Nabi s.a.w. bersabda: "Hai ‘Ā’'isyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang Anshār senang dengan hiburan (nyanyian)."
Juga ada lafaz Hadīts riwāyat Imām Ahamd berbunyi (Lihat Asy-Syaukānī, ibidem jilid VI, hlm. 187):
(لَوْ بَعَثْتُمْ مَعَهَا مَنْ يُغَنِّيْهِمْ وَ يَقُوْلُ: أَتَيْنَاكُمْ فَحَيُّوْنَا نُحَيِّيْكُمْ فَإِنَّ الأَنْصَارَ قَوْمٌ فِيْهِمْ هَزْلٌ)
"Bagaimana kalau diikuti pengantin itu oleh (oran-orang) wanita untuk bernayanyi sambil berkata dengan senada: "Kami datang kepadamu. Hormatilah kami dan kami pun menghormati kamu. Sebab kaum Anshār senang menyanyikan (lagu) tentang wanita."
‘Abd-ul-Hayy Al-Kaththānī (Lihat ‘Abd-ul-Hayy Al-Kaththāīi, AT-TARĀTIB-UL-IDĀRIYYAH, Jilid II, hlm. 121-126). mencatat nama-nama penyanyi wanita di masa Rasūlullāh. Mereka ini suka menyanyi di ruang tertutup (rumah) kalangan wanita saja pada pesta perkawinan dan sebagainya. Di antaranya bernama Hammah (Lihat juga Ibnu Al-Asqalany, AN-NISĀ’, AL-'ASHĀBAH FĪ TAMYĪZ ASH-SHAHĀBAH, Jilid IV, hlm. 274 dan 275) dan Arnab (Lihat Ibnu Hajar Al-Asqalany, ibidem, hlm. 226).
Kaum lelaki masa Rasulullah dan sesudahnya suka memanggil penyanyi budak (jawārī) ke rumah mereka jika ada pesta pernikahan. Buktinya Amir bin Sa‘ad (seorang dari Tābi‘īn) pernah meriwayatkan tentang apa yang terjadi dalam suatu pesta pernikahan. Ia berkata (Lihat SUNAN AN-NASĀ’I, Jilid VI, hlm. 135):
(دَخَلْتُ عَلى قُرَظَةَ بْنِ كَعْبٍ وَ أَبِيْ مَسْعُوْدٍ الأَنْصَارِيِّ فِيْ عُرْسٍ وَ إِذَا جَوَارِيْ يُغَنِّيْنَ فَقُلْتُ: أَنْتُمَا صَاحِبَا رَسُوْلِ اللهِ (ص) وَ مِنْ أَهْلِ بَدْرٍ يُفْعَلُ هذَا عِنْدَكُمْ فَقَالَ: اِجْلِسْ إِنْ شِئْتَ فَاسْمَعْ مَعَنَا وَ إِنْ شِئْتَ اذْهَبْ قَدْ رُخِّصَ لَنَا فِي اللَّهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ)
"Saya masuk ke rumah Qurazhah bin Ka‘ab dan Abū Mas‘ūd Al-Anshārī. Ketika itu sedang berlangsung pesta perkawinan. Tiba-tiba beberapa perempuan budak (jawārī) mulai menyanyi-nyanyi. Maka saya bertanya: :Kalian berdua adalah sahabat Rasūlullāh s.a.w. dan pejuang di perang Badar. Kenapa hal yang begini kalian lakukan pula? Quraizhah menjawāb: "Duduklah, kalau engkau mau. Mari kita dengar bersama. Kalau tidak, silakan pergi. Sesungguhnya telah diperbolehkan bagi kita untuk mengadakan hiburan (nyanyian) apabila ada pesta perkawinan." (H.R. An-Nasai, lihat Bab Hiburan dan Nyanyian Pada Pesta Pernikahan).
Imām An-Nasā’i meriwayatkan dalam bāb Mengumumkan Pernikahan Dengan Suara (Nyanyian) dan Rebana yang diriwayatkannya dari M. bin Hathib bahwa Nabi s.a.w. bersabda (Lihat SUNAN AN-NASĀ’I, Jilid VI, hlm. 127):
(فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَ الْحَرَامِ: الدُّفُّ وَ الصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ)
"Tanda pemisah (pembeda) antara yang halāl dengan yang harām (dalam suatu pernikahan) adalah (mengumumkanmua dengan) memainkan rebana dan menyanyi."
1. KEHIDUPAN MASYARAKAT ISLAM PADA MASA RASŪLULLĀH S.A.W.
Walaupun demikian perlu juga diperhatikan, kehidupan masyarakat Islam di masa Rasūlullāh s.a.w. ditandai oleh dua karakteristik, yaitu (1). sederhana; (2). banyak berbuat untuk jihād fī sabīlillāh.
Membela Islam dan meluaskannya menghendaki seluruh pemikiran dan usaha sehingga tidak ada sisa waktu lagi untuk bersenang-senang menciptakan bentuk-bentuk keindahan (seni musik, lagu) apalagi menikmatinya. Orang-orang Islam dengan lagu dan musik. Ini membuktikan bahwa masyarakat Islam di masa Rasūlullāh bukan tanah yang subur untuk kesenian. Tetapi ketika wilayah Islam meluas, kaum Muslimīn berbaur dengan berbagai bangsa yang masing-masing mempunyai kebudayaan dan kesenian sehingga terbukalah mata mereka kepada kesenian suara baru dengan mengambil musik-musik Persia dan Romawi.
2. PENGARANG TEORI MUSIK DARI KALANGAN KAUM MUSLIMĪN.
Pada waktu itu muncullah seorang ahli musik bernama Ibnu Misjah (wafat tahun 705 M.). Setelah itu kaum Muslimin banyak yang mempelajari buku-buku musik yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dan Hindia. Mereka mengarang kitab-kitab musik baru dengan mengadakan penambahan, penyempurnaan, dan pembaharuan, baik dari segi alat-alat instrumen maupun dengan sistem dan teknisnya.Di antara pengarang teori musik Islam yang terkenal ialah:
1. Yunus bin Sulaimān Al-Khatīb (wafat tahun 785 M.). Beliau adalah pengarang musik pertama dalam Islam. Kitāb-kitāb karangannya dalam musik sangat bernilai tinggi sehingga penggarang-penggarang teori musik Eropa banyak yang merujuk ke ahli musik ini.
2. Khalīl bin Ahmad (wafat tahun 791 M.). Beliau telah mengarang buku teori musik mengenai not dan irama.
3. Ishāk bin Ibrāhīm Al-Mausully (wafat tahun 850 M.) telah berhasil memperbaiki musik ‘Arab jāhilliyah dengan sistem baru. Buku musiknya yang terkenal adalah KITĀB-UL-ALHAN WAL-ANGHĀM (Buku Not dan Irama). Beliau sangat terkenal dalam musik sehingga mendapat julukan IMĀM-UL-MUGHANNIYĪN (Raja Penyanyi).
3. PENDIDIKAN MUSIK DI NEGERI-NEGERI ISLAM.
Selain dari penyusunan kitāb musik yang dicurahkan pada akhir masa Daulah Umayyah. Pada masa itu para khalīfah dan para pejabat lainnya memberikan perhatian yang sangat besar dalam pengembangan pendidikan musik. (Lihat Prof. A.Hasmy, Sejarah kebudayaan Islam, hlm. 320-321).
Banyak sekolah musik didirikan oleh negara Islam di berbagai kota dan daerah, baik sekolah tingkat menengah maupun sekolah tingkat tinggi. Sekolah musik yang paling sempurna dan teratur adalah yang didirikan oleh Sa‘id ‘Abd-ul-Mu’mīn (wafat tahun 1294 M.).
Salah satu sebab mengapa dalam Daulah ‘Abbāsiyyah didirikan banyak sekolah musik adalah karena keahlian menyanyi dan bermusik menjadi salah satu syarat bagi pelayan (budak), pengasuh, dayang-dayang di istana dan di rumah pejabat negara atau pun di rumah para hartawan untuk mendapatkan pekerjaan. Karena itu telah menjadi suatu keharusan bagi para pemuda dan pemudi untuk mempelajari musik. (Lihat Prof. A. Hasjmy , ibidem, hlm. 322).
Di antara pelayan (jawārī) atau biduan dan biduanita yang menjadi penyannyi di istana negara tercatat nama-namanya sebagai berikut (Lihat Prof. A. Hasjmy, ibidem, hlm. 324-326):
Yang menjadi biduan antara lain:
1. Ma‘bad.
2. Al-Kharīd.
3. Dua bersaudara Hakam dan ‘Umar Al-Wady.
4. Fulaih bin Abī ‘Aurā,
5. Siyāth.
6. Nasyīth.
7. Ibrāhīm al-Mausully dan puteranya Ishāk al-Mausully.
Adapun biduanitanya anatara lain:
1. Neam (biduanita istana Khalīfah Makmun).
2. Bazel dan Zat-ul-Khal (biduanita istana di masa Khalīfah Hārūn Ar-Rasyīd).
3. Basbas (biduanita istana di masa Khalīfah Al-Mahdi).
4. Habhabah (biduanita kesenangan Khalīfah Yazīd I), dan
5. Sallamah (biduanita istana Khlīfah Yazīd II).
Bab II
Kehidupan masyarakat Islam di masa Rasūlullāh saw diwarnai oleh sikap sederhana (zuhud) dan banyak berbuat untuk jihād fī sabīlillāh. Membela Islam dan meluaskannya, menghendaki seluruh pemikiran dan usaha, sehingga sedikit tersisa waktu untuk menciptakan bentuk-bentuk keindahan (seni) apalagi menikmatinya. Tetapi ketika wilayah Islam meluas, kaum muslimīn pun berbaur dengan berbagai bangsa yang telah memiliki kebudayaan dan kesenian yang mapan, sehingga berinteraksilah mereka dengan kesenian Mesir, Persia, dan Romawi. Berbagai kemenangan pasukan Islam telah membawa pula kekayaan dan waktu luang yang dapat dinikmati. Akibatnya, mulai ada kalangan masyarakat muslim yang memfokuskan diri di bidang seni.
SENI DALAM PANDANGAN ‘ULAMĀ’ ISLAM
Sebelum kita membahas dan mendiskusikan pendapat para fuqahā’, khususnya para imām madzhab yang empat terlebih dahulu kami kutipkan pendapat mereka tentang seni suara beserta dalīl-dalīlnya, baik dari golongan yang mengharāmkan maupun yang membolehkannya.
1. Imām Asy-Syaukānī, dalam kitabnya NAIL-UL-AUTHĀR menyatakan sebagai berikut (Lihat Imām Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR, Jilid VIII, hlm. 100-103):
a. Para ‘ulamā’ berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan alat musik. Menurut mazhab Jumhur adalah harām, sedangkan mazhab Ahl-ul-Madīnah, Azh-Zhāhiriyah dan jamā‘ah Sūfiyah memperbolehkannya.
b. Abū Mansyūr Al-Baghdādī (dari mazhab Asy-Syāfi‘ī) menyatakan: "‘ABDULLĀH BIN JA‘FAR berpendapat bahwa menyanyi dan musik itu tidak menjadi masalah. Dia sendiri pernah menciptakan sebuah lagu untuk dinyanyikan para pelayan (budak) wanita (jawārī) dengan alat musik seperti rebab. Ini terjadi pada masa Amīr-ul-Mu’minīn ‘Alī bin Abī Thālib r.a.
c. Imām Al-Haramain di dalam kitābnya AN-NIHĀYAH menukil dari para ahli sejarah bahwa ‘Abdullāh bin Az-Zubair memiliki beberapa jāriyah (wanita budak) yang biasa memainkan alat gambus. Pada suatu hari Ibnu ‘Umar datang kepadanya dan melihat gambus tersebut berada di sampingnya. Lalu Ibnu ‘Umar bertanya: "Apa ini wahai shahābat Rasūlullāh? " Setelah diamati sejenak, lalu ia berkata: "Oh ini barangkali timbangan buatan negeri Syām," ejeknya. Mendengar itu Ibnu Zubair berkata: "Digunakan untuk menimbang akal manusia."
d. Ar-Ruyānī meriwayatkan dari Al-Qaffāl bahwa mazhab Maliki membolehkan menyanyi dengan ma‘āzif (alat-alat musik yang berdawai).
e. Abū Al-Fadl bin Thāhir mengatakan: "Tidak ada perselisihan pendapat antara ahli Madīnah tentang, menggunakan alat gambus. Mereka berpendapat boleh saja."
Ibnu An Nawawi di dalam kitabnya AL-‘UMDAH mengatakan bahwa para shahābat Rasūlullāh yang membolehkan menyanyi dan mendengarkannya antara lain ‘Umar bin Khattāb, ‘Utsmān bin ‘Affān, ‘Abd-ur-Rahmān bin ‘Auf, Sa‘ad bin Abī Waqqās dan lain-lain. Sedangkan dari tābi‘īn antara lain Sa‘īd bin Musayyab, Salīm bin ‘Umar, Ibnu Hibbān, Khārijah bin Zaid, dan lain-lain.
2. Abū Ishāk Asy-Syirāzī dalam kitābnya AL-MUHAZZAB (Lihat Abū Ishāk Asy-Syirāzī, AL-MUHAZZAB, Jilid II, hlm. 237) berpendapat:
a. Diharāmkan menggunakan alat-alat permainan yang membangkitkan hawa nafsu seperti alat musik gambus, tambur (lute), mi‘zah (sejenis piano), drum dan seruling.
b. Boleh memainkan rebana pada pesta perkawinan dan khitanan. Selain dua acara tersebut tidak boleh.
c. Dibolehkan menyanyi untuk merajinkan unta yang sedang berjalan.
3. Al-Alūsī dalam tafsīrnya RŪH-UL-MA‘ĀNĪ (Lihat Al-Alūsī dalam tafsīrnya RŪH-UL-MA‘ĀNĪ, Jilid XXI, hlm. 67-74).
a. Al-Muhāsibi di dalam kitābnya AR-RISĀLAH berpendapat bahwa menyanyi itu harām seperti harāmnya bangkai.
b. Ath-Thursusi menukil dari kitāb ADAB-UL-QADHA bahwa Imām Syāf‘ī berpendapat menyannyi itu adalah permainan makrūh yang menyerupai pekerjaan bāthil (yang tidak benar). Orang yang banyak mengerjakannya adalah orang yang tidak beres pikirannya dan ia tidak boleh menjadi saksi.
c. Al-Manawi mengatakan dalam kitābnya: ASY-SYARH-UL-KABĪR bahwa menurut mazhab Syāfi‘ī menyanyi adalah makrūh tanzīh yakni lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan agar dirinya lebih terpelihara dan suci. Tetapi perbuatan itu boleh dikerjakan dengan syarat ia tidak khawatir akan terlibat dalam fitnah.
d. Dari murīd-murīd Al-Baghāwī ada yang berpendapat bahwa menyanyi itu harām dikerjakan dan didengar.
e. Ibnu Hajar menukil pendapat Imām Nawawī dan Imām Syāfi‘ī yang mengatakan bahwa harāmnya (menyanyi dan main musik) hendaklah dapat dimengerti karena hāl demikian biasanya disertai dengan minum arak, bergaul dengan wanita, dan semua perkara lain yang membawa kepada maksiat. Adapun nyanyian pada saat bekerja, seperti mengangkut suatu yang berat, nyanyian orang ‘Arab untuk memberikan semangat berjalan unta mereka, nyanyian ibu untuk mendiamkan bayinya, dan nyanyian perang, maka menurut Imām Awzā‘ī adalah sunat.
f. Jamā‘ah Sūfiah berpendapat boleh menyanyi dengan atau tanpa iringan alat-alat musik.
g. Sebagian ‘ulamā’ berpendapat boleh menyanyi dan main alat musik tetapi hanya pada perayaan-perayaan yang memang dibolehkan Islam, seperti pada pesta pernikahan, khitanan, hari raya dan hari-hari lainnya.
h. Al-‘Izzu bin ‘Abd-us-Salām berpendapat, tarian-tarian itu bid‘ah. Tidak ada laki-laki yang mengerjakannya selain orang yang kurang waras dan tidak pantas, kecuali bagi wanita. Adapun nyanyian yang baik dan dapat mengingatkan orang kepada ākhirat tidak mengapa bahkan sunat dinyanyikan.
i. Imām Balqinī berpendapat tari-tarian yang dilakukan di hadapan orang banyak tidak harām dan tidak pula makrūh karena tarian itu hanya merupakan gerakan-gerakan dan belitan serta geliat anggota badan. Ini telah dibolehkan Nabi s.a.w. kepada orang-orang Habsyah di dalam masjid pada hari raya.
j. Imām Al-Mawardī berkata: "Kalau kami mengharamkan nyanyian dan bunyi-bunyian alat-alat permainan itu maka maksud kami adalah dosa kecil bukan dosa besar."
4. ‘ABD-UR-RAHMĀN AL-JAZARĪ di dalam kitabnya AL-FIQH ‘ALĀ AL-MADZĀHIB-IL ARBA‘A (Lihat ‘Abd-ur-Rahmān Al-Jazarī, AL-FIQH ‘ALĀ AL-MADZĀHIB-IL ARBA‘A, Jilid II, hlm. 42-44) mengatakan:
a. ‘Ulamā’-‘ulamā’ Syāfi‘iyah seperti yang diterangkan oleh Al-Ghazali di dalam kitab IHYA ULUMIDDIN. Beliau berkata: "Nash nash syara' telah menunjukkan bahwa menyanyi, menari, memukul rebana sambil bermain dengan perisai dan senjata-senjata perang pada hari raya adalah mubah (boleh) sebab hari seperti itu adalah hari untuk bergembira. Oleh karena itu hari bergembira dikiaskan untuk hari-hari lain, seperti khitanan dan semua hari kegembiraan yang memang dibolehkan syara'.
b. Al-Ghazali mengutip perkataan Imam Syafi'i yang mengatakan bahwa sepanjang pengetahuannya tidak ada seorangpun dari para ulama Hijaz yang benci mendengarkan nyanyian, suara alat-alat musik, kecuali bila di dalamnya mengandung hal-hal yang tidak baik. Maksud ucapan tersebut adalah bahwa macam-macam nyanyian tersebut tidak lain nyanyian yang bercampur dengan hal-hal yang telah dilarang oleh syara'.
c. Para ulama Hanfiyah mengatakan bahwa nyanyian yang diharamkan itu adalah nyanyian yang mengandung kata-kata yang tidak baik (tidak sopan), seperti menyebutkan sifat-sifat jejaka (lelaki bujang dan perempuan dara), atau sifat-sifat wanita yang masih hidup ("menjurus" point, lead in certain direction, etc.). Adapun nyanyian yang memuji keindahan bunga, air terjun, gunung, dan pemandangan alam lainya maka tidak ada larangan sama sekali. Memang ada orang orang yang menukilkan pendapat dari Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa ia benci terhadap nyanyian dan tidak suka mendengarkannya. Baginya orang-orang yang mendengarkan nyanyian dianggapnya telah melakukan perbuatan dosa. Di sini harus dipahami bahwa nyanyian yang dimaksud Imam Hanafi adalah nyanyian yang bercampur dengan hal-hal yang dilarang syara'.
d. Para ulama Malikiyah mengatakan bahwa alat-alat permainan yang digunakan untuk memeriahkan pesta pernikahan hukumnya boleh. Alat musik khusus untuk momen seperti itu misalnya gendang, rebana yang tidak memakai genta, seruling dan terompet.
e. Para ulama Hanbaliyah mengatakan bahwa tidak boleh menggunakan alat-alat musik, seperti gambus, seruling, gendang, rebana, dan yang serupa dengannya. Adapun tentang nyanyian atau lagu, maka hukumnya boleh. Bahkan sunat melagukannya ketika membacakan ayat-ayat Al-Quran asal tidak sampai mengubah aturan-aturan bacaannya.
Bab III
GOLONGAN YANG MENGHARAMKAN MENYANYI DAN MAIN MUSIK
Imam Ibnu Al-Jauzi (Lihat Talbis Iblis, hlm. 2321-?), Imam Qurthubi (Lihat Tafsir Qurtuhbi, Jilid XIV, hlm. 51-54), Asy-Syaukani (Lihat Nail-ul-Authar, Jilid VIII, hlm. 442) telah mencantumkan berbagai dalil tentang haramnya nyanyian dan penggunaan alat-alat musik, antara lain sebagai berikut:
1. Firman Allah s.w.t.:
(وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَ يَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِيْنٌ) (لقمان:6)
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahw-ul-hadis) untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (31:6).
Sebagian sahabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan tabi'in seperti Mujahid, Hasan Al-Basri, Ikrimah, Said bin Zubair, Qatadah dan Ibrahim An-Nakha'i menafsirkan lahw-al-hadis dengan arti nyanyian atau menjualbelikan (menyewakan) biduanita (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, hlm. 442). Begitu juga pendapat sebagian ahli tafsir, antara lain Imam Ibnu Katsir yang berkata (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, hlm. 442): "Orang-orang celaka itu telah berpaling dari mendengarkan Kalamullah dan mengambil manfaatnya. Mereka cenderung mendengarkan suara seruling nyanyian dengan irama alat-alat musik yang melenakan."
2. Firman Allah s.w.t.:
(أَ فَمِنْ هذَا الْحَدِيْثِ تَعْجَبُوْنَ وَ تَضْحَكُوْنَ وَ لاَ تَبْكُوْنَ وَ أَنْتُمْ سَامِدُوْنَ) (النجم:59 - 61)
"Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?. Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?. Sedang kamu melengahkan(nya)?" (53:59-61).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksud SAAMIDUUN ialah AL-GHINA (nyanyian) ((Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, hlm.261). Kata tersebut diambil dari bahasa Kabilah Himyar. Kabilah ini sering berkata: SAMADA LANAA GHANNA LANAA" (mereka bernyanyi untuk kita). Pendapat Ibnu Abbas ini didukung oleh pendapat yang sama dari Mujahid dan Ikrimah (Lihat Ibnu Al-Jauzi, Talbis Iblis hlm. 231; dan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid IV, hlm.261).
3. Firman Allah s.w.t.:
(وَ اسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ....) (الإسراء:64)
"Dan asunglah (kobarkanlah, bujuklah, incite, stir up) siapa yang kamu sanggupi diantara mereka dengan suaramu (shautika)...." (17:64).
Perkataan Shautika (suaramu) yang ditujukan kepada Iblis serta digunakan untuk membujuk manusia. Maksudnya tidak lain adalah agar melakukan perbuatan maksiat, menurut Mujahid ia tidak lain adalah nyanyian dan hiburan. ((Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, hlm. 50; Ibnu Al-Jauzi, Talbis Iblis hlm. 232).
4. Hadis Bukhari yang diriwayatkan dari Abu Malik Al-Asy'ari (Lihat SHAHIH BUKHARI, Hadis No. 5590):
(لِيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَّ وَ الْحَرِيْرَ وَ الْخَمْرَ وَ الْمَعَازِفَ وَ لَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوْحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيْهِمْ يَعْنِي الْفَقِيْرُ لِحَاجَةٍ فَيَقُوْلُوْا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَ يَضَعُ الْعَلَمَ وَ يَمْسَخُ الآخَرِيْنَ قِرَدَةً وَ خَنَازِيْرَ إِلى يَوْمِ الْقِيَامَةِ)
"Sesungguhnya akan terdapat di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutra, arak dan alat permainan (musik). Kemudian segolongan (dari kaum Muslimin) akan pergi ke tebing bukit yang tinggi. Lalu para pengembala dengan ternak kambingnya mengunjungi golongan tersebut. Lalu mereka didatangi oleh seorang fakir untuk meminta sesuatu. Ketika itu mereka kemudian berkata: "Datanglah kepada kami esok hari." Pada malam hari Allah membinasakan mereka, dan menghempaskan bukit itu ke atas mereka. Sisa mereka yang tidak binasa pada malam tersebut ditukar rupanya menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat."
5. Hadis riwayat Imam Ahmad dari Abu Umamah.(Lihat Tartib Musnad Imam Ahmad, Jilid V, hlm. 259; dan Imam Asy-Syaukani, Nail-ul-Authar, Jilid VIII, hlm. 98):
(تَبِيْتُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ عَلى أَكْلٍ وَ شُرْبٍ وَ لَهْوٍ وَ لَعْبٍ ثُمَّ يُصْبِحُوْنَ قِرَدَةً وَ خَنَازِيْرَ وَ تُبْعَثُ عَلى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَائِهِمْ رِيْحٌ فَتَنْسِفُهُمْ كَمَا نُسِفَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِاسْتِحْلاَلِهِمْ الْخَمْرَ وَ ضَرْبِهِمْ بِالدُّفُوْفِ وَ اتِّخَاذِهِمِ الْقَيِّنَاتِ)
"Sekumpulan umatku melewati malam dengan makan, minum, hiburan, dan permainan. Esok harinya mereka ditukar dengan (rupa) monyet dan babi. Lalu kepada orang yang masih hidup di kalangan mereka diutus angin untuk memusnahkan mereka sebagaimana telah memusnahkan orang-orang terdahulu disebabkan karena sikap mereka menghalalkan arak, memukul rebana dan mengambil biduanita (untuk menyanyi) bagi mereka."
6. Hadis riwayat Abu Dawud (Lihat SUNAN ABU DAWUD, Jilid IV, hlm. 282, Hadis No. 4927):
Hadis ini datang melalui Sallam bin Miskin yang didengarnya dari seorang tua yang melihat Abi Wail hadir di suatu pesta pernikahan. Di pesta itu orang-orang asyik bermain, bersenang-senang dan bernyanyi bergembira. Waktu itu timbul hasrat Abu Wail untuk mencegahnya. Sambil melepaskan sorban Abu Wail berkata: "Kudengar dari Abdullah bin Mas'ud bahwa dia pernah mendengar Rasulullah bersabda:
(الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ)
"Lagu atau nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati."
7. Hadis Imam Tirmidzi yang diriwayatkan dengan sanadnya dari Imran bin Husain bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda (Lihat SUNAN TIRMIDZI, Hadis No. 2309; Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm.98):
(فِيْ هذِهِ الأُمَّةِ خَسْفٌ وَ مَسْخٌ وَ قَذْفٌ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ مَتَى ذلِكَ؟ قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ الْقِيَانُ وَ الْمَعَازِفُ وَ شُرِبَتِ الْخُمُوْرُ)
"Pada umat ini berlaku tanah longsor, pertukaran rupa, dan kerusuhan." Bertanya salah seorang di antara kaum Muslimin: " Kapankah yang demikian itu akan terjadi, ya Rasulullah?" Beliau menjawab: "Apabila telah muncul biduanita, alat-alat musik dan minuman arak di tengah kaum Muslimin."
8. Hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Jabir bin Addillah dengan sanad Hasan Shahih (Lihat SUNAN TIRMIDZI. Hadis No. 1011; juga "Musannaf Ibnu Abi Syaibah. Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi, Ishaq bin Rahwi, Sunan Al-Baihaqi, Musnad Al-Bazzar, dan Al-Mushalli; Lihat Abdullah bin Yusuf Az-Zailai, NASHB-UR-RAYAH LI AHADITH-Il-HIDAYAH, Jilid IV, hlm. 84; dan Ibnu Al-Jauzi, Talbis Iblis, hlm. 233).
Pada suatu ketika Rasulullah s.a.w. memegang tangan Abd-ur-Rahman bin Auf. Beliau mengajaknya bersama-sama untuk membesuk (pay visit to patient) Ibrahim (anak beliau) yang sedang sakit. Ketika itu beliau melihat anaknya dalam keadaan sakaratul maut. Lalu Rasulullah s.a.w. mengangkat anaknya dan memangkunya sambil menangis. Melihat hal ini Abd-ur-Rahman bin Auf berkata: Adakah engkau, ya Rasulullah menangis? Padahal engkau melarang kaum Muslimin melakukannya."
Mendengar perkataan tersebut Rasulullah s.a.w. bersabda:
(لاَ وَ لَكِنْ نَهَيْتُ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ: صَوْتٍ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ خَمْشِ وُجُوْهٍ وَ شَقِّ جُيُوْبٍ وَ رَنَّةِ الشَّيْطَانِ) و في الحديث كَلام أكثر من هذا
"Tidak, aku tidak pernah melaramg orang menangis. Tetapi yang aku larang adalah mengenai dua macam suara dari orang tolol: suara ratapan orang yang ditimpa musibah yang disertai dengan mencakar muka dan merobek baju, dan teriakan Setan. (yakni suara suruhan dari setan yang mendorong orang untuk berteriak histeris)."
9. Hadis riwayat Ibnu Jarir Ath-Thabari meriwayatkan dari Abu Umamah Al-Baahily. Katanya : "Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda (Lihat TAFSIR ATH-THABARI, Jilid XXI, hlm. 39; Ibnu Jauzi, TALBIS IBLIS, hlm. 232):
(لاَ يَحِلُّ تَعْلِيْمُ الْمُغَنِّيَاتِ وَ لاَ بَيْعُهُنَّ وَ لاَ شِرَاؤُهُنَّ وَ ثَمَنُهُنَّ حَرَامٌ)
"Tidak boleh mengajari wanita-wanita (untuk menyanyi), tidak halal memperjualbelikan mereka. Harga jual belinya juga haram."
Imam Ath-Thabari kemudian berkata lagi: "Terhadap merekalah ayat enam surat Luqman diturunkan."
10. Hadis riwayat Ibnu Ghailan Al-Bazzaz (dari ???) Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda (Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 100; 'Ala'uddin Al-Burhanfuri, KANZ-UL-UMMAL, Jilid XV, hlm. 226, Hadis No. 40689):
(بُعِثْتُ بِكَسْرِ الْمَزَامِيْرِ)
"Aku diutus untuk menghancurkan seruling-seruling."
Ibnu Ghailan juga meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
(كَسْبُ الْمُغَنِّي وَ الْمُغَنِّيَةِ حَرَامٌ)
"Penghasilan penyanyi lelaki maupun perempuan adalah haram."
BĀB IV
GOLONGAN YANG MEMBOLEHKAN NYANYIAN DAN MAIN MUSIK
Imam Malik, Imam Ja'far, Imam Al-Ghazali, dan Imam Abu Daud Azh-Zhahiri telah mencantumkan berbagai dalil tentang bolehnya nyanyian dan menggunakan alat-alat musik. Alasan-alasan mereka antara lain:
1. Firman Allah Ta'ala:
(...وَ اغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الأَصْوَاتِ لَصَوْتِ الْحَمِيْرِ) (لقمان:19).
"....dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah bunyi kelaedai." (31:19).
Imam Al-Ghazali mengambil pengertian ayat ini dari mafhum mukhalafah. Allah s.w.t. memuji suara yang baik. Dengan demikian dibolehkan mendengarkan nyanyian yang baik. (Lihat Imam AL-Ghazali, IHYA ULUM-ID-DIN, Juz VI, Jilid II, hlm. 141).
2. Hadis Buhkari, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain dari Rubayyi' binti Mu'awwiz 'Afra.
Rubayyi' berkata bahwa Rasulullah s.a.w. datang ke rumah pada pesta pernikahannya (Pesta yang dimaksud di sini adalah pesta pernikahan yang didalamnya ada lelaki dan perempuan, tetapi dipisahkan jaraknya. Di dalam Islam ada tiga pesta, yakni (1) pesta pertunangan, (2) pesta pernikahan, (3) pesta percampuran). Lalu Nabi s.a.w. duduk di atas.tikar. Tak lama kemudian beberapa orang dari jariah (wanita budak)nya segera memukul rebana sambil memuji-muji (dengan menyenandungkan) untuk orang tuanya yang syahid di medan perang Badar. Tiba-tiba salah seorang dari jariah itu berkata: "Di antara kita ini ada Nabi s.a.w. yang dapat mengetahui apa yang akan terjadi pada esok hari." Tetapi Rasulullah s.a.w. segera bersabda (Lihat SEJARAH AL-KARMANI, Jilid IX, hlm. 108-109; SUNAN AT-TIRMIDZI, Jilid III, hlm. 398-399; dan SUNAN AL-MUSTAFA, hlm. 586):
(لاَ تَقُوْلِي هكَذَا وَ قُوْلِيْ كَمَا كُنْتِ تَقُوْلِيْنَ)
"Tinggalkanlah omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.
3. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah r.a. Katanya (Lihat SHAHIH BUKHARI, Hadis No. 949, 952; lihat juga SHAHIH MUSLIM, Hadis No. 892 dengan lafazh lain):
"Pada suatu hari Rasulullah masuk ke tempatku. Ketika itu disampingku ada dua gadis perempuan budak yang sedang mendendangkan nyanyian (tentang hari Bu'ats) (Bu'ats adalah nama salah satu benteng untuk Al-Aws yang jaraknya kira-kira dua hari perjalanan dari Madinah. Di sana pernah terjadi perang dahsyat antara kabilah Aus dan Khazraj tepat 3 tahun sebelum hijrah.) Kulihat Rasulullah s.a.w. berbaring tetapi dengan memalingkan mukanya. Pada saat itulah Abu Bakar masuk dan ia marah kepadaku. Katanya: "Di tempat / rumah Nabi ada seruling setan?". Mendengar seruan itu Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada Abu Bakar seraya berkata:
(دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ)
"Biarkanlah keduanya, hai Abu Bakar."
Tatkala Abu Bakar tidak memperhatikan lagi maka aku suruh kedua budak perempuan itu keluar. Waktu itu adalah hari raya di mana orang-orang Sudan sedang menari dengan memainkan alat-alat penangkis dan senjata perangnya (di dalam masjid)."
4. Hadis riwayat Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah r.a. Katanya: "Aku pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshar. Maka Nabi s.a.w. bersabda:
(يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ مِنْ لَهْو فَإِنَّ الأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ)
"Hai 'Aisyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang Anshar senang dengan hiburan (nyanyian)."
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad terdapat lafaz (Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VI, hlm. 187):
(لَوْ بَعَثْتُمْ مَعَهَا مَنْ يُغَنِّيْهِمْ وَ يَقُوْلُ: أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ فَحَيُّوْنَا نُحَيِّيْكُمْ فَإِنَّ الأَنْصَارَ قَوْمٌ فِيْهِمْ غَزَلٌ)
"Bagaimana kalau diikuti pengantin itu oleh (orang-orang) wanita untuk bernyanyi sambil berkata dengan senada: "Kami datang kepadamu. Hormatilah kami dan kami pun menghormati kamu. Sebab kaum Anshar senang menyanyikan (lagu) tentang wanita."
5. Hadis riwayat Imam Ahmad dan Tirmidzi dari Buraidah yang berkata:
"Suatu hari Rasulullah s.a.w. pergi untuk menghadapi suatu peperangan. Setelah beliau pulang dari medan perang, datanglah seorang jariah kulit hitam seraya berkata: "Ya Rasulallah, aku telah bernazar, yaitu kalau tuan dipulangkan Allah dengan selamat, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di hadapan tuan." Mendengar hal itu Rasulullah s.a.w. bersabda:
(إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِيْ وَ إِلاَّ فَلاَ)
"Jika demikian nazarmu, maka tabuhlah. Tetapi kalau tidak, maka jangan lakukan."
Maka jadilah ia menabuh rebana.Ketika tengah menabuh masklah Abu Bakar. Tapi jariah itu masih terus menabuh rebananya. Tak lama kemudian Utsman juga masuk, dan si penabuh masih asyik dengan rebana. Begitu pula halnya ketika Ali masuk. Namun tatkala Umar masuk, jariah itu cepat-cepat menyembunyikan rebananya di bawah pinggulnya setelah dilemparkan, lalu didudukinya rebana itu. Melihat peristiwa itu Rasulullah s.a.w. berkata:
(إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ إِنِّيْ كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ وَ هِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَ هِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَ هِيَ تَضْرِبُ فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتِ الدُّفَّ)
"Sesungguhnya syaitan pun takut kepadamu, hai Umar. Tadi ketika aku duduk di sini, jariah ini masih memukul rebananya. Begitu pula ketika Abu Bakar, Ali, Utsman masuk, dia masih memukulnya. Tetapi ketika engkau yang masuk hai Umar, dia buru-buru melemparkannya." (Tirmidzi menyebutkan bahwa Hadis ini SHAHIH tingkatannya. Lihat Imam Asy-Syaukani , NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VII, hlm. 119).
6. Hadis riwayat An-Nasai (dari???) Qurazhah bin Sa'ad (seorang tabi'i) yang pernah meriwayatkan tentang apa yang terjadi dalam suatu pesta pernikahan. Ia berkata (Lihat SUNAN AN-NASAI, Jilid VI, hlm. 135):
"Saya masuk ke rumah Qurazhah bin Ka'ab dan Mas'ud Al-Anshari. Tiba-tiba beberapa perempuan budak (jawari) mulai bernyanyi-nyanyi. Maka saya bertanya:
(أَنْتُمَا صَاحِبَا رَسُوْلَ اللهِ (ص) وَ مِنْ أَهْلِ بَدْرٍ وَ يُفْعَلُ هذَا عِنْدَكُمْ فَقَالَ: اِجْلِسْ إِنْ شِئْتَ فَاسْمَعْ مَعَنَا وَ إِنْ شِئْتَ اذْهَبْ قَدْ رُخِّصَ لَنَا فِي اللَّهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ)
"Kalian berdua adalah sahabat Rasulullah s.a.w. dan pejuang di perang Badar. Kenapa hal yang begini kalian lakukan?" Qurazhah menjawab: "Duduklah, kalau engkau mau. Mari kita dengar bersama. Kalau tidak, silahkan pergi. Sesungguhnya telah diperbolehkan bagi kita untuk mengadakan hiburan (nyanyian) apabila ada pesta perkawinan." (Lihat SUNAN AN-NASAI, Jilid VI, hlm.127):
7. Hadis Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari Amr ibnu Yahya Al-Mazini dari datuknya, Abu Hasan yang mengatakan bahwa hadis ini menceritakan kebencian Rasulullah s.a.w. terhadap pernikahan sirri (yang rahasia). Karena Itulah rebana ditabuh seraya didendangkan.(Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VI, hlm. 187):
(كَانَ يَكْرَهُ نِكَاحَ السِّرِّ حَتّى يُضْرَبَ بِدُفٍّ وَ يُقَالُ: أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ فَحَيُّوْنَا نُحَيِّيْكُمْ)
"Kami datang kepadamu, kami datang kapadamu, (karenanya) hormatilah kami. (Sebagai gantinya) kami akan menghormatimu."
8. Hadis riwayat Ibnu Majah dari Anas bin Malik.
Anas bin Malik berkata: "Sesungguhnya Nabi s.a.w. melewati beberapa tempat di Madinah. Tiba-tiba beliau berjumpa dengan beberapa jariah yang sedang memukul rebana sambil menyanyikan: "Kami jariah bani Najjar. Alangkah bahagianya bertetangga dengan Nabi besar." Mendengar dendang mereka, Nabi s.a.w. bersabda (Lihat SUNAN MUSTAFA, hlm. 586):
BĀB V
SANGGAHAN (rebuttal, protest) TERHADAP YANG MENGHARAMKAN NYANYIAN DAN MAIN MUSIK
Apabila diteliti mendalam dalil-dalil syara' maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan manusia seperti melihat, mendengar, bersuara, berjalan, tidur dan menggunakan tangan adalah mubah bila dilihat dari keumuman pengertian dalil. Sebagai contoh, perhatikanlah firman Allah s.w.t.:
(أَ لَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ وَ لِسَانًا وَ شَفَتَيْنِ) (البلد:8,9)
"Bukankah Kami telah berikan kepadamu dua buah mata (untuk melihat), lidah dan dua buah bibir (untuk bersuara, mengecap makanan dan minuman).' (90:8,9).
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ ذَلُوْلاً فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا...) (الملك: 15)
"Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu. Maka, berjalanlah di segala penjurunya...."(67:15).
(وَ جَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا) (النبأ: 9)
"Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat." (78:9).
لِيَأْكُلُوْا مِنْ ثَمَرِهِ وَ مَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيْهِمْ.....) (يس: 35)
"Supaya mereka dapat makan dari buahnya dan dari apa yang diushakan oleh tangan mereka....." (36:35).
Dalil-dalil diatas mengajarkan kepada kita bahwa manusia boleh melihat dan mendengar apa saja. Manusia boleh melihat pemandangan, mendengarkan suara wanita dan nyanyiannya kecuali terhadap apa-apa yang telah dilarang syara' dalam perbuatan itu (Lihat Sauf-ud-Din al-Aamidi, AL-IHKAM FI USHUL-IL-AHKAM, Jilid I, hlm. 130).
Seseorang juga dibolehkan mengeluarkan suara dengan cara apapun, misalnya berbicara, berpidato, berdiskusi, dan bernyanyi, kecuali bila ada suatu dalil syara' yang memang melarangnya. Begitu pula tentang gerakan-gerakan lainnya. Sebagai salah satu contoh adalah sabda Rasulullah s.a.w. (H.R. Muslim, dari Abu Hurairah : Hadis No.2657):
(كُتِبَ عَلى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنى مُدْرِكٌ ذلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانُ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَ الأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَ اللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَ الْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَ الرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَاءُ وَ الْقَلْبُ يَهْوى وَ يَتَمَنّى وَ يُصَدِّقُ ذلِكَ الْفَرْجُ وَ يُكَذِّبُهُ)
"Bani Adam (manusia) tidak dapat menghindar dari perbuatan (yang menghantarkannya kepada) zina, yang pasti akan menimpanya, yaitu zina mata adalah dengan melihat (aurat wanita), zina telinga adalah dengan mendengar (kata-kata porno, cinta asmara dari wanita/lelaki yang bukan suami/istri), zina tangan adalah dengan rayuan dan kata-kata kotor dan porno), zina tangan adalah dengan bertindak kasar (memperkosa, menjawil wanita), zina kaki adalah dengan berjalan (ke tempat maksiat, misalnya ke kompleks WTS). (Dalam hal ini), hati-hatilah yang punya hajat dan cenderung (kepada perbuatan-perbuatan tersebut), dan farji (kelamin) yang menerima dan menolaknya."
Menurut riwayat lain yang diriwayatkan oleh Ats-Tsa'labi melalui Ibnu 'Abbas, ada tambahan lafadz pada hadis tersebut,yakni:
(وَ زِنَى الشَّفَتَيْنِ الْقُبْلَةُ)
"Zina bibir adalah mencium (wanita yang bukan istrinya). (Lihat TAFSIR QURTHBI, Jilid XVII, hal. 106-107).
Bertolak dari dasar hukum inilah maka mendengar atau memainkan alat-alat musik atau menyanyi mubah selama tidak terdapat suatu dalil syar'i yang menunjukkan bahwa pekerjaan tersebut haram atau makruh. Mengenai menyanyi atau memainkan alat musik dengan atau tanpa nyanyian, tidak terdapat satupun nash, baik dari Al-Quran maupun sunnah rasul yang mengharamkannya dengan tegas. Memang ada sebagian dari para sahabat, tabi'in dan ulama yang mengharamkan sebagian atau seluruhnya karena mengartikannya dari beberapa nash tertentu. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa hal tersebut makruh, sedangkan yang lain mengatakan hukumnya mubah.
Adapun nash-nash (dalil-dalil) yang dijadikan alasan oleh mereka yang mengharamkan seni suara dan musik bukanlah dalil-dalil yang kuat. Sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak ada satu dalil pun yang berbicara secara tegas dalam hal ini. Dengan demikian, tidak seorang manusia pun yang wajib diikuti selain daripada Rasulullah s.a.w. Beliau sendiri tidak mengharamkannya. Seluruh riwayat hadis yang dipakai oleh golongan yang mengharamkan alat musik dan nyanyian adalah dha'if atau maudhu' (palsu dan lemah). Oleh karena itu, Imam Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi berkata: "Tidak terdapat satu dalil pun di dalam Al-Quran maupun Sunnah Rasul yang mengharamkan nyanyian. Bahkan hadis Shahih (banyak yang) menunjukkan kebolehan nyanyian itu. Setiap hadis yang diriwayatkan maupun ayat yang dipergunakan untuk menunjukkan keharamannya maka ia adalah bathil dari segi sanad, bathil juga dari segi i'tiqad, baik ia bertolak dari nash maupun dari satu penakwilan." (Lihat Imam Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi, AHKAM-UL-QURAN, Jilid III, hlm. 1053-1054).
Walaupun ada beberapa riwayat yang benar dan bisa diterima tetapi ia tidak dapat dijadikan hujjah. Karena itu, patut kita bertanya, siapa yang patut diikuti, Rasulullah s.a.w. atau ulama?!
Tentang siapa yang harus diikuti, seorang Muslim telah memahami bahwa hanya Rasulullah s.a.w. yang patut dijadikan rujukan atas setiap tindakannya. Bahkan pendapat ini telah diperkuat oleh sikap para sahabat dan tabi'in. Di kalangan mereka tidak terdapat perbedaan pendapat di antara penduduk Madinah yang ketika itu merupakan tempat tinggal para sahabat yang sebelumnya mereka bergaul rapat dengan Rasulullah s.a.w. Misalnya, seperti apa yang dikutip oleh Imam Ibnu An-Nahawi dalam bukunya AL-'UMDAH bahwa (Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 114-115). telah diriwayatkan tentang halalnya nyanyian dan mendengarkannya dari sekelompok sahabat dan tabi'in.
Kemudian Ibnu An-Nahawi mencantumkan nama-nama para sahabat dan tabi'in yang membolehkan menyanyikan nyanyian dan mendengarkannya.
Misalnya, di antara para sahabat adalah 'Umar, 'Utsman, 'Abd-ur-Rahman bin 'Auf, Abu 'Ubaidah Al-Jarrah, Saad bin Abi Waqqash, Bilal bin Rabbah, Al-Bura' bin Malik, Abdullah bin Al-Arqam, Usamah bin Zaid, Hamzah bin 'Umar, Abdullah bin 'Umar, Qurrazhah bin Bakkar, Khawwat bin Jubair, Rabah Al-Mu'tarif, Al-Mughirah bin Syu'bah, 'Amru bin Al-Ash, Aisyah binti Abu Bakar, Ar-Rabi', dan masih banyak lagi dari kalangan sahabat.
Sedangkan dikalangan tabi'in terdapat nama-nama seperti Said bin Al-Musayyab, Salim bin 'Umar, Ibnu Hassan, Kharizah bin Zaid, Syuraih Al-Qadli, Said bin Jubair, 'Amir Asy-Sya'bi, 'Abdullah bin Abi 'Athiq, 'Atha bin Abi Rabah, Muhammad bin Shahab Az-Zuhri, 'Umar bin Abd-ul-'Aziz, Saad bin Ibrahim Az-Zuhri.
Adapun dari kalangan tabi'it tabi'in jumlahnya sangat banyak, di antaranya Imam yang empat, Ibnu 'Uyainah, dan jumhur Syafi'iyah. (Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 114-115).
Agar tidak timbul keraguan lagi maka di sini akan dibahas seluruh dalil yang dipakai oleh golongan yang mengharamkan penggunaan alat-alat musik dan nyanyian.
1. SURAT LUQMAN, AYAT 6.
Ayat ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan nyanyian. Tetapi ayat tersebut berkaitan erat dengan sikap dan perbuatan orang-orang kafir yang berusaha menjadikan ayat-ayat Allah s.w.t. sebagai senda-gurau. Tujuan mereka adalah untuk menghina, merendahkan dan berusaha menyesatkan orang-orang dari jalanNya. Mereka bermaksud menjauhkan orang-orang agar tidak mengikuti agama Islam. Sikap dan perbuatan ayat tersebut di atas terang dan jelas.
Dengan demikian, setiap usaha menakwilkan ayat tersebut dengan arti nyanyian adalah penyimpangan dari makna yang telah ditunjukkan oleh ayat itu sendiri.
Dalam menanggapi pengertian pada ayat tersebut di atas, Imam Ibnu Hazm telah membantah penggunaan dalil tersebut. Beliau berkata: (Lihat Ali bin Ahmad bin Said Ibnu Hazm, AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 60):
"Teks ayat tersebut cukup untuk membatalkan hujjah mereka. Orang-orang yang bertindak demikian, sebagaimana yang diterangkan dalam ayat tersebut, adalah orang-orang yang bila mengerjakannya telah termasuk kafir tanpa ada selisih pendapat (khilaf). Mereka telah menjadikan sabil (agama Allah s.w.t.) sebagai senda gurau.
Andaikan Al-Quran dibeli untuk menyesatkan orang-orang dari Jalan Allah s.w.t. dan dijadikannya sebagai bahan ejekan, maka tentu orang-orang yang melakukan hal tersebut telah menjadi kafir. Inilah yang dicela oleh Allah s.w.t. melalui ayat tersebut. Arti ayat itu bukanlah ditujukan kepada orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan sesuatu untuk menghibur diri tanpa bermaksud menyesatkan orang lain dari jalan Allah s.w.t. Dengan demikian, hujjah mereka telah gugur. Begitu pula dengan orang-orang yang sengaja menyibukkan diri dengan maksud tidak melakukan solat walaupun apa yang dilakukannya itu adalah dengan membaca Al-Quran, buku-buku hadis, mencari bahan untuk pengajian, sibuk memandang banyaknya uang, atau menyibukkan diri dengan nyanyian dan yang serupa dengannya, maka orang tersebut adalah fasiq dan telah berbuat maksiat. Adapun yang tidak meninggalkan sesuatu dari apa yang telah diwajibkan walaupun ia sibuk dengan apa yang telah diwajibkan walaupun ia sibuk dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka orang tersebut adalah muhsin (orang yang tidak salah melangkah).
2. SURAT AN-NAJM, AYAT 59-61.
Ayat ini sama sekali tidal ada kaitannya dengan nyanyian. Ia hanya menjelaskan tentang sikap kafir Quraisy yang merasa heran akan Hari Kebangkitan nanti yang sampai kepada kepada mereka. Karenanya, mereka menganggap hal tersebut merupakan kejadian yang mustahil terjadi. Walaupun ayat Al-Quran yang disampaikan Rasulullah s.a.w. kepada mereka telah memberitahukan tentang adanya Hari Kebangkitan itu, akan tetapi mereka mentertawakan dan merendahkannya. Padahal seharusnya mereka beriman dan menangisi dosa-dosa yang telah mereka perbuat.
Bertolak dari ayat ini, dari manakah para ulama tersebut mengambil pengertian tentang haramnya nyanyian? Kalau mereka bersandarkan kepada kata "SAAMIDUN" yang mempunyai arti "nyanyian" untuk ayat ini, maka samdaran tersebut tidak tepat sama sekali dan tidak sesuai untuk susunan ayat. Oleh karena itu, sebagian besar ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud dengan kata "SAAMIDUN" adalah "MU'RIDHUN" (menghindari daripadanya), dan atau "GHAFILUN" (mengabaikan, melupakan). (Lihat TAFSIR IBNU KATSIR, Jilid IV, hlm. 261; lihat juga TAFSIR ATH-THABARI, Juz XXVII, hlm. 48-49; TAFSIR QURTHUBI, Juz XVII, hlm. 123-124).
3. AYAT 64 SURAT-UL-ISRAA.
Seperti ayat terdahulu, ayat ini juga tidak ada kaitannya dengan nyanyian. Tetapi ayat tersebut ada kaitannya dengan perbuatan Iblis yang dibiarkan (hidup dan berbuat apa saja) oleh Allah s.w.t. untuk menggoda dan menyelewengkan manusia dari jalanNya, Iblis dibiarkan leluasa mengajak manusia ke jalan maksiat. Oleh karena itu, kata "SHAUTIKA" pada ayat tersebut tidak dapat ditakwilkan dengan arti "nyanyian".
Walaupun arti "SHAUTIKA" secara lughawi adalah "suaramu", tetapi arti tersebut berbentuk kiasan. Tidak ada seorang manusia pun yang dapat mendengar suara Iblis. Manusia hanya dapat merasakan bisikan dari Iblis (rasa was-was) yang berbentuk seruan atau ajakan kepada maksiat. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Qatadah, dan Ibnu Jarir Ath-Thabari, serta pendapat ahli tafsir secara umum. (Lihat TAFSIR IBNU KATSIR, Jilid III, ayat 50).
Pengertian inilah yang sesuai dengan susunan ayat tersebut di atas. Sedangkan hukum penggunaan alat-alat musik dan nyanyian, tidak bisa diambil dari ayat ini walaupun terdapat pendapat dari sebagian ulama tabi'in seperti Mujahid, Adh-Dhahaak, dan lain-lain, yang menafsirkan ayat tersebut dengan arti "nyanyian" dan "alat musik". Tetapi ajakan atau seruan Iblis untuk mengajak kepada maksiat kadang-kadang memang dapat saja dikaitkan dengan berbagai jenis hiburan yang kadarnya melebihi takaran (keterlaluan), atau melampaui batas-batas yang dibenarkan syara' seperti main musik dan beryanyi pada waktu solat Juma'at, atau tatkala kaum Muslimin hendak berangkat ke medan jihad. Pada jenis pesta yang bercampur antara kaum lelaki dan perempuan adalah suatu peristiwa yang disenangi syetan, apalagi kalau disertai dengan minuman keras, judi, main perempuan, joget bersama, dan lain-lain. Dengan demikian ayat ini dapat dikaitkan dengan bentuk-bentuk ajakan Iblis yang sarananya berupa nyanyian atau hiburan lain yang tegas keharamannya.
4. HADIS IMAM BUKHARI, No. 5590.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian lima di atas, Hadis ini tidak dapat dipakai sebagai dalil untuk mengharamkan nyanyian dan penggunaan alat-alat musik. Di dalam Hadis ini terdapat "QARINAH" (tanda penunjukan) bahwa mereka telah berani menghalalkan perzinaan, memakai sutera, menenggak (swallow, gulp down) khamr, dan memainkan alat-alat musik. Mengenai perzinaan dan minum khamr, sudah jelas hukumnya. Adapun mengenai pemakaian sutera dan memainkan alat-alat musik maka syara' telah mengaturnya sebagai sebagai berikut:
Mengenai sutera, syara' telah menghalalkannya bagi kaum wanita tetapi haram bagi kaum lelaki kecuali apabila ada alasan yang membolehkannya. Misalnya, bila seseorang menderita penyakit kulit (semisal eksim), maka ia mendapat "rukhshah" (keringanan) dan ia boleh memakainya. Semua keterangan tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud pemakai sutera dalam Hadis tersebut adalah orang-orang yang menghalalkan pemakaian sutera bagi kaum lelaki secara mutlak tanpa kecuali.
Begitu pula tentang penggunaan alat-alat musik, syara' telah membolehkannya dalam acara pesta pernikahan atau pada hari raya dan hari-hari gembira lainnya. Tetapi dalam hal ini, syara' telah mengharamkan menjadikan nyanyian dan memainkan orkes sebagai profesi kaum wanita. Artinya, mereka tidak dibolehkan menerima imbalan dari profesi (pekerjaan) tersebut.
Rasulullah s.a.w. bersabda:
لاَ يَحِلُّ ثَمَنُ الْمُغَنِّيَةِ وَ لاَ بَيْعُهَا وَ لاَ شِرَاءُهَا وَ لاَ الاِسْتَمَاعُ إِلَيْهَا)
"Penghasilan penyanyi wanita (bayaran) adalah tidak halal, begitu juga memperjualkan dan mendengarkan suara (nyanyian) nya."
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan, maksud Hadis Imam Bukhari tersebut jatuh kepada segolongan orang-orang dari kaum Muslimin yang berani menghalalkan penggunaan alat-alat musik di luar batas-batas yang telah digariskan syara'. Misalnya memainkannya di tempat umum (televisi, stadion, atau panggung-panggung pertunjukkan terbuka lainnya), bukan di tempat dan acara khusus, seperti pada acara pesta pernikahan di rumah-rumah. Dengan kata lain, syara' membolehkan biduanita budak menyanyi untuk pemilikinya, dan atau untuk para wanita lainnya dalam acara pernikahan. Boleh saja salah seorang di antara anggota keluarga pengantin ikut bernyanyi, tetapi syara' tidak membolehkan ada penyanyi wanita bayaran sebagaimana yang umum terjadi sekarang ini.
5. HADIS MUSNAD IMAM AHMAD, JILID V, HLM. 259.
Hadis ini tidak dapat dijadikan pegangan karena dari segi sanadnya dha'if. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Sa'id bin Mansur dari Al-Harits bin Nabhan, dari Farqad As-Sabakhi, dari Ashim bin Amru, dari Abu Umamah.
Dalam menanggapi Hadis tersebut, Imam Ibnu Hazm telah menolak sanad Hadis tersebut. Beliau mengatakan bahwa Al-Harits bin Nabhan Hadisnya tidak boleh ditulis, dan Farqad As-Sabakhi Hadisnya lemah. Bahkan Imam Ahmad sendiri mengatakan bahwa Farqad As-Sabakhi riwayat Hadisnya tidak kuat. (Lihat Ibnu Hazm, AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 59). Tetapi Ibnu Mu'in mengatakan bahwa orang ini "tsiqah" (dapat dipercaya). (Lihat Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 111).
Imam Az-Zahabi mengatakan bahwa Al-Harits bin Nabhan riwayatnya menurut Imam Bukhari adalah "munkar-ul-hadits" (Hadis cacat yang diriwayatkan oleh satu riwayat saja dan orang tersebut belum dapat dipercaya). Tetapi menurut Imam An-Nasai, Hadisnya "matruk" (Hadisnya harus ditinggalkan). Sedangkan Ibnu Mu'in berpendapat, Hadis Al-Harits bin Nabhan "Laisa bi syai" (Hadisnya tidak perlu diperhatikan atau tidak perlu ditulis). (Lihat Muhammad bin Ahmad Az-Zahabi, MIZAN-UL-I'TIDALI FI NAQD-IR-RIJAL, Jilid I, hlm.444, No.perawi Hadis 1649).
Adapun Farqad As-Sabakhi walaupun menurut Ibnu Mu'in orang tersebut dapat dipercaya, namun menurut Abu Hatim sanadnya tidak kuat. Sedangkan Imam Bukhari mengatakan bahwa di dalam Hadisnya banyak Hadis yang "munkar". Kemudian menurut Imam An-Nasai, Hadisnya dha'if dan orangnya tidak dapat dipercaya. (Lihat Muhammad bin Ahmad Az-Zahabi, ibidem, Jilid III, hlm. 346, No perawi Hadis 6699).
6. HADITSNYA ABU DAWUD No. 4927.
Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan sanadnya adalah dari Muslim bin Ibrahim, dari Sallam bin Miskin melalui seorang kakek yang tidak disebutkan namanya. Si kakek itu pernah berjumpa dengan Abu Wail yang mendengar sebuah Hadits Rasulullah s.a.w. dari Ibnu Mas'ud yang berbunyi:
(الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ)
"Lagu atau nyanyian adalah sesuatu yang dapat menumbuhkan sifat nifaq di dalam hati manusia."
Pada sanad Hadits tersebut terdapat seseorang yang "majhul" (tidak dikenal), yaitu seorang kakek tua. Menurut kaidah ilmu Hadits bila sanadnya majhul, maka Hadits tersebut harus ditolak. Tetapi di dalam sanad Hadits ini terdapat seseorang yang dapat dipercaya, yaitu Sallam bin Miskin. Namun Imam Abu Dawud mengatakan bahwa perawi tersebut cenderung kepada pendapat golongan Qadariyah (golongan yang menolak adanya takdir). Karena itu sudah cukup bagi kita untuk meolak riwayatnya karena berarti ia telah tergolong ke dalam golongan (Qadariyah) yang berbuat bid'ah. Sedangkan ahli bid'ah tidak boleh diterima riwayatnya.
Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya, juga dari Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Adi, dan Ad-Dailami dengan sanad yang dha'if. Menurut Ibn-ul-Qathan, ia menukilkan pendapat Imam Nawawi yang mengatakan bahwa Hadits ini tidak shahih. Pendapat ini juga didukung oleh Imam As-Sarkhasi dan Imam Al-'Iraqi yang menolak Hadits tersebut karena ada seseorang yang tidak tercatat namanya.
Imam Al-Baihaqi meriwayatkannya juga dalam kitab SYUAB-UL-IMAN dari Jarir dengan sanad yang di dalamnya ada seseorang yang bernama Ali bin Hammad. Orang ini menurut Imam Daruquthni adalah "matruk" (harus ditinggalkan).
Selain itu pada sanadnya ada Abdullah bin Abd-ul-'Aziz bin Ruwat yang menurut Imam Abu Hatim Haditsnya munkar seluruhnya. Akan halnya Ibn-ul-Junaid, beliau berpendapat orang ini "tidak bernilai sesenpun" (Lihat Abd-ur-Rauf Al-Manawi, FAIDH-UL-QADIR, Jilid IV, hlm. 413-414).
7. HADITS IMAM TIRMIDZI, NO. 1011.
Hadits ini walaupun dari segi sanadnya mursal, yang umumnya ditolak oleh sebagian ahli Hadits, tetapi oleh sebagian lainnya dijadikan hujjah dalam pengambilan hukum dan pendapat. Cara seperti inilah yang dapat diterima. Tetapi dari segi matannya (isi Hadits), ia tidak menunjukkan bahwa telah diturunkan azab atas mereka yang berupa tanah longsor (landslide), pertukaran rupa dari manusia ke wajah hewan, terjadinya kerusuhan adalah karena mereka telah menggunakan alat-alat musik atau karena mereka telah mendengar nyanyian seorang biduanita dan menenggak (swallow, gulp down) minuman keras. Tetapi semua malapetaka yang menimpa mereka disebabkan oleh karena mereka telah menghalalkan khamr, perzinaan, memakai sutera (bagi lelaki), dan membolehkan wanita tampil sebagai penyanyi dalam forum yang bercampur antara lelaki dan perempuan. Selain itu mereka menghalalkan menggunakan alat-alat musik di luar batas-batas yang telah ditentukan oleh syara', sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Hadits riwayat lainnya. Salah satu di antara Hadits tersebut adalah riwayat Bukhari Hadits No. 5590 yang berbunyi:
(لِيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَّ وَ الْحَرِيرَ وَ الْخَمْرَ وَ الْمَعَازِفَ وَ لَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ يَعْنِي الْفَقِيرُ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَ يَضَعُ الْعَلَمَ وَ يَمْسَخُ الآخَرِينَ قِرَدَةً وَ خَنَازِيرَ إِلى يَوْمِ الْقِيَامَةِ)
"Sesungguhnya akan terdapat di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak dan alat permainan (musik). Kemudian segolongan (dari kaum Muslimin) akan pergi ke tebing bukit yang tinggi. Lalu para pengembala dengan ternak kambingnya mengunjungi golongan tersebut. Lalu mereka didatangi oleh seorang fakir untuk meminta sesuatu. Ketika itu mereka kemudian berkata: "Datanglah kepada kami esok hari." Pada malam hari Allah membinasakan mereka, dan menghempaskan bukit itu ke atas mereka. Sisa mereka yang tidak binasa pada malam tersebut ditukar rupanya menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat."
Juga riwayat Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Al-Bukhari dalam buku TARIKHnya melalui Abi Malik Al-Asy'ari dari Rasulullah s.a.w. yang bersabda (Lihat Imam Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, FATH-UL-BARI, Jilid X, hlm. 55):
(لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا تَغْدُو عَلَيْهِمِ الْقِيَانُ وَ تَرُوحُ عَلَيْهِمِ الْمَعَازِفُ)
"Segolongan dari umatku akan minum khamr tetapi dengan menyebutkan dengan nama lain, dan mereka akan didatangi oleh para penyannyi wanita keliling beserta pemain musik dengan alat-alat instrumentalnya."
8. HADITS DI DALAM TAFSIR ATH-THABARI, JUZ XXI, HLM. 39.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabari dari Al-Waqi', dari Khallaf Ash-Shaffar, dari 'Ubaidillah bin Zahhar, dari Ali bin Yazid, dari Al-Kasim bin Abd-ur-Rahman, dengan sanad yang lemah. Di dalam Hadits tersebut terdapat sanadnya yang bernama Ali bin Yazid yang menurut Imam Bukhari adalah perawi Hadits yang munkar (Haditsnya harus ditolak). Kemudian Imam An-Nasai juga menilai bahwa orang tersebut tidak dapat dipercaya. Abu Zur'ah berkata bahwa Haditsnya tidak kuat riwayatnya, sedangkan Ad-Daruquthni berkata bahwa orang tersebut "matruk" (Haditsnya harus ditinggalkan). (Lihat Muhammad bin Ahmad Az-Zahabi, MIZAN-UL-I'TIDAL, Jilid III, hlm. 161; No. perawi Hadits 5966).
Walaupun sanad hadits tersebut lemah tetapi dari segi matannya Hadits ini tidak menunjukkan haramnya nyanyian dan penggunaan alat-alat musik. Focus Hadits ini hanya terbatas pada larangan mengajarkan teori musik dan mengarang lagu untuk dinyanyikan kaum wanita. Selain itu, Hadits ini juga melarang melakukan praktek jual-beli penyanyi wanita atau memberikan imbalan kepada mereka atas jasa menyanyi.
Semua larangan tersebut menunjukkan bahwa kaum perempuan lebih layak diajarkan ilmu atau kepandaian yang selain itu, seperti menjahit, merenda, menenun, mengajarkan ilmu fiqih, tafsir, dan ilmu syariat lainnya, atau ilmu-ilmu yang dibutuhkan bagi kaum wanita seperti ilmu kebidanan, dan sebagainya. Hadits ini juga menegaskan bahwa wanita mempunyai kehormatan. Bahkan andaikan ia berstatus wanita budak, tetapi ia tidak boleh diperjualbelikan, khususnya bagi penyanyi budak wanita. Larangan tersebut berlaku pula untuk praktek memberikan imbalan kepada penyanyi wanita yang menjadikan pekerjaan tersebut sebagai profesinya.
9. HADITS RIWAYAT IBNU GHAILAN AL-BAZZAZ.
Hadits ini dari segi sanadnya lemah sebab di dalamnya terdapat dua orang perawi yang tak bisa diterima riwayatnya.
PERTAMA: 'Abbad bin Ya'kub. Mengenai orang ini, Imam Az-Zahabi berkata bahawa orang tersebut adalah salah seorang anggota kelompok ghulat (ekstrimis) dari kalangan kaum Syi'ah dan disebutkan sebagai orang yang terkemuka di antara golongan yang membuat bid'ah, walaupun, kata Imam Az-Zahabi, orang ini jujur dalam meriwayatkan Hadits. Kemudian Imam Ibnu Hibban menilai orang ini sebagai pendakwah untuk kalangan golongan Rafidhah (Syi'ah). Selanjutnya Ibnu Hibban mengatakan bahwa orang ini meriwayatkan Hadits-Hadits munkar dari orang-orang (perawi) terkemuka. Oleh karena itu, kata Ibnu Hibban, riwayatnya harus ditinggalkan. (Lihat Az-Zahabi, MIZAN-UL-I'TIDAL, Jilid II, hlm. 379, No. perawi 4149).
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Abbad bin Ya'kub termasuk salah seorang yang aktif dalam mengembangkan madzhab Syi'ah Rafidhah. Orang ini selalu mencela 'Utsman bin 'Affan dan para sahabat lainnya. Perbuatannya itu menjadi alasan yang kuat untuk menolak semua riwayatnya. Selain itu ia juga seorang ahli bid'ah yang menurut kaidah ilmu musthalah Hadits, tidak bisa diterima riwayatnya.
KEDUA: perawi pada sanad Hadits ini adalah Ja'far bin Muhammad bin 'Abbad Al-Makhzumi. Mengomentari orang tersebut, Imam An-Nasai berkata: "Dia tidak kuat riwayatnya ". Sedangkan Ibnu 'Uyainah mengatakan bahwa orang ini bukan ahli Hadits (tidak bisa diterima riwayatnya). (Lihat Imam Az-Zahabi, MIZAN-UL-I'TIDAL. Jilid I, hlm. 414, No perawi 1518).
Mengenai isi Hadits, dari segi matannya, Hadits tersebut menjelaskan bahwa penghasilan penyanyi lelaki maupun perempuan adalah haram. Yang dimaksud dengan penyanyi di sini adalah biduan dan biduanita yang bernyanyi di tempat-tempat maksiat. Tempat maksiat yang dimaksud adalah tempat yang di dalamnya orang-orang tidak merasa takut menenggak minuman keras. Penjelasan seperti ini diterangkan oleh Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabari dari 'Umar bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda (Lihat Al-Hafizh Ad-Dailami, FIRDAUS-UL-AKHBAR, Jilid II, hlm. 164, No. perawi 2371).
(ثَمَنُ الْقَيْنَةِ سُخْتٌ وَ غِنَاؤُهَا حَرَامٌ وَ النَّطَرُ إِلَيْهَا حَرَامٌ وَ ثَمَنُهَا مِثْلُ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَ ثَمَنُ الْكَلْبِ سُحْتٌ وَ مَنْ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ السُّحْتِ فَالنَّارُ أَوْلى بِهِ)
"Penghasilan wanita budak (Qayinah; yang bernyanyi di arena maksiat) adalah suhtun (haram), dan begitu pula nyanyiannya. Juga melihatnya (wanita itu) adalah haram. Penghasilannya sama dengan hasil dari penjualan anjing. (karenanya) hartanya adalah suhtun (haram) pula. Siapa saja yang daging tubuhnya tumbuh dari yang suhtun itu, maka tempat yang layak baginya adalah nereka jahanam."
Walaupun pada Hadits tersebut ada perawi yang bernama Yazid bin Abd-ul-Malik An-Naufali yang menurut Imam Al-Haitsami telah didha'ifkan oleh jumhur ahli Hadits, namun Imam Al-Haitsami telah menukilkan pendapat Ibnu Mu'in yang mengatakan bahwa riwayatnya tidak ada masalah (bisa diterima). Selain itu, Imam Al-Haitsami mengutip perkataan 'Utsman bin Sa'id: "Aku pernah menanyakan kepada Yahya tentang orang tersebut. Lalu Yahya menyebutkan bahwa riwayat orang tersebut tidak ada masalah (bisa diterima)." Namun dalam riwayat Hadits yang lain, Yahya berkata bahwa orang tersebut tidak bisa diterima riwayatnya. (Lihat Al-Haitsami, MAJMA'-UL-FAWAID, Jilid IV, hlm. 91: Imam Az-Zahabi, MIZAN-UL-I'TIDAL, Jilid IV, hlm. 433).
Berdasarkan Hadits di atas, maka yang dimaksud dengan penyanyi adalah wanita yang menyanyi di hadapan kaum lelaki dalam suatu ruangan tempat bercampur-baurnya lelaki dan perempuan, serta di dalamnya banyak orang bermabuk-mabukan. (Lihat Imam Al-Ghazali, IHYA 'ULUMIDDIN, Juz VI, Jilid II, hlm. 164).
Hadits ini juga tidak ada kaitannya dengan hukum nyanyian, apakah boleh atau tidak. Namun Hadits tersebut ada kaitannya dengan wanita yang menyanyi untuk kaum lelaki yang fasiq, baik di tempat-tempat umum maupun tempat-tempat khusus. Begitu juga penghasilan para pemain musik adalah haram bila pekerjaan tersebut dijadikan sebagai profesi, sebagaimana bunyi Hadits Abu Ya'la Ad-Dailami (Lihat Imam Al-Manawi, FAIDH-UL-QADIR, Jilid IV, hlm. 550):
(كَسْبُ الْمُغَنِّي وَ الْمُغْنِيَّةِ حَرَامٌ)
"Penghasilan para penyanyi dan pemusik adalah haram."
Oleh karena itu Hadits tersebut di atas tidak dapat dijadikan sebagai dalil yang mengharamkan nyanyian.
(اللهُ يَعْلَمُ إِنِّيْ لأُحِبُّكُمْ)
"Allah mengetahui bahwa aku benar-benar sayang kepada kalian."
BAB VI
HALAL ATAU HARAM NYANYIAN DAN MEMAINKAN ALAT MUSIK?
Nyanyian yang bersifat vokal (suara manusia tanpa instrumen musik) tidak diperselisihkan oleh para fuqaha. Mereka mengatakan bahwa nyanyian semacam ini halal atau dibolehkan, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Asy-Syaukani dari berbagai kalangan ulama (Lihat Asy-Syaukani , NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII,hlm. 114-115):
"Nyanyian tanpa instrumen musik, Al-Adhfawi dalam kitabnya AL-IMTA menyebutkan bahwa Imam Al-Ghazali dalam berbagai karangan fiqihnya menegaskan kesepakatan ulama tentang halalnya nyanyian jenis ini. Begitu juga Ibnu Thahir berpendapat ada ijma' sahabat dan tabi'in tentang halalnya nyanyian vokal ini. At-Taj-ul-Fazari dan Ibnu Qutaibah menyebutkan adanya ijma' penduduk Mekah dan Madinah. Ibnu Thahir dan Ibnu Qutaibah juga menyebutkan adanya ijma' penduduk Madinah dalam hal tersebut. Sedangkan Imam Al-Mawardi mengatakan bahwa penduduk Hijaz sejak dulu sampai sekarang (abad 5 H) membolehkan nyanyian jenis ini pada hari-hari yang mulia dalam setahun yang (kaum Muslimin) diperintahkan untuk melakukan nazam-nazam zikir dan ibadah."
Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Umdah berkata:
"Telah diriwayatkan tentang halalnya nyanyian dan mendengarkannya dari sekelompok sahabat dan tabi'in, di antaranya adalah Imam yang empat, Ibnu "Uyainah, dan jumhur Syafi'yah."
Ini mengenai nyanyian vokal tanpa instrumen musik. Adapun nyanyian yang disertai dengan alat musik maka ulama yang menghalalkannya mengatakan bahwa semua Hadits yang membahas masalah ini nilainya tidak sampai ke tingkat shahih maupun hasan. Inilah yang dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi (Lihat Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi, AHKAM-UL-QURAN, Jilid III, hlm. 1053-1054):
"Tidak terdapat satu dalil pun di dalam Al-Quran maupun Sunnah Rasul yang mengharamkan nyanyian. Bahkan ada Hadits yang menunjukkan bolehnya nyanyian. Hadits shahih itu mengatakan bahwa Abu Bakar pernah masuk ke tempat Aisyah yang disampingnya ada dua jariyah penyanyi dari kalangan Anshar yang sedang menyanyikan tentang hari Bu'ats. Kemudian Abu Bakar berkata: "Di rumah Nabi s.a.w. ada seruling syaitan?" Mendengar perkataan itu, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Biarkanlah keduanya, wahai Abu Bakar, sebab sesungguhnya hari ini adalah hari raya."
Ibn-ul-'Arabi berkata: "Jika nyanyian itu haram, tentu di rumah Rasulullah s.a.w. tidak akan ada sama sekali hal tersebut. Tetapi alasan yang diberikan beliau (Nabi s.a.w.) untuk membolehkannya adalah karena nyanyian itu dilakukan pada hari raya, yang hal tersebut menunjukkan bahwa bila nyanyian itu dilakukan secara terus-menerus, maka hukumnya makruh. Sedangkan rukhshah (keringanan) untuk melakukannya terbatas pada saat-saat tertentu seperti hari raya, perkawinan, pulangnya seseorang kekampung halamannya, dan sebagainya. Berkumpulnya orang-orang (dalam acara tersebut) biasanya untuk menyenangkan hati orang-orang yang sejak lama tidak bertemu atau berkumpul, baik berkumpulnya kalangan kaum wanita maupun pria. Jadi, setiap Hadits yang diriwayatkan maupun ayat dipergunakan untuk menunjukkan keharaman nyanyian merupakan pendapat yang bathil atau tidak benar dari segi sanad dan ijtihad, baik bertolak dari nash maupun suatu takwilan."
Imam Ibnu Hazm juga memberikan komentar yang melemahkan semua Hadits riwayat tentang nyanyian. Bahkan menurut beliau, sebagian di antaranya adalah maudhu' (palsu). Inilah komentarnya. (Lihat Ibnu Hazm, AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 59):
"Jika belum ada perincian dari Allah s.w.t. maupun RasulNya tentang haramnya sesuatu yang kita bincangkan di sini (dalam hal ini adalah nyanyian dan menggunakan alat-alat musik), maka telah terbukti bahwa ia adalah halal atau boleh secara mutlak."
Adapun orang yang bertolak dari pendapat Ibnu Mas'ud dan Ibnu 'Abbas tentang firman Allah s.w.t. surat Luqman, ayat 6 tentang arti Lahw-ul-hadits dalam ayat tersebut adalah 'nyanyian". Begitu juga pendapat Ibnu 'Abbas yang mengatakan bahwa memainkan alat musik rebana dan setiap alat musik termasuk seruling, tambur, adalah haram. Maka Ibnu Hazm membantah pendapat ini dengan mengatakan (Lihat Ibnu Hazm, AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 60). bahwa semua pendapat yang semacam ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau bukti dengan sebab-sebab sebagai berikut:
1. Tidak ada hujjah dalam ucapan manusia manapun selain ucapan Rasulullah s.a.w.
2. Pendapat Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud, Ibrahim, Mujahid, dan Ikrimah tentang firman Allah s.w.t. dalam surat Luqman, ayat 6 yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah nyanyian, maka pendapat ini bertentangan senga pendapat yang lainnya dari kalangan sahabat dan tabi'in.
3. Teks ayat tersebut cukup untuk membatalkan hujjah mereka. Orang-orang yang bertindak demikian, sebagaimana yang diterangkan dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang bila mengajarkannya telah termasuk kafir tanpa ada selisih pendapat (khilaf). Mereka telah menjadikan Sabil (Agama Allah s.w.t.) sebagai senda gurau. Andaikan Al-Quran dibeli untuk menyesatkan orang-orang dari jalan Allah s.w.t. dan dijadikannya sebagai bahan ejekan maka tentu orang-orang yang melakukan hal tersebut telah menjadi kafir. Inilah yang dicela oleh Allah s.w.t. melalui ayat tersebut. Arti ayat itu bukan ditujukan kepada orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan sesuatu untuk menghibur diri tanpa bermaksud menyesatkan orang lain dari jalan Allah s.w.t. Dengan demikian, hujjah mereka telah gugur. Begitu pula dengan orang-orang yang sengaja menyibukkan diri dengan maksud tidak melakukan solat walaupun apa yang dilakukannya adalah dengan membaca Al-Quran, buku-buku Hadits, mencari bahan untuk pengajian, sibuk memandang banyaknya uang, atau menyibukkan diri dengan nyanyian dan yang serupa dengannya, maka orang tersebut adalah fasiq dan telah berbuat maksiat. Adapun yang tidak meninggalkan sesuatu dari apa yang telah diwajibkan walaupun ia sibuk dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka orang tersebut adalah muhsin (orang yang tidak salah melangkah).
Kemudian beliau melanjutkan bantahannya terhadap pendapat dari pihak yang menanyakan, apakah nyanyian itu tergolong dalam Al-Haq (sesuatu yang dibenarkan oleh agama) atau tidak? Ini disebabkan karena Allah s.w.t. telah berfirman:
(فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلِ)
"...maka tidak ada sesuatu kebenaran itu melainkan kesesatan." (10:32), dengan mengatakan (Lihat Ibnu Hazm, AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 60).
Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
(إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوى) (متفق عليه)
"Sesungguhnya amal perbuatan (manusia) itu tergantung niatnya. Bahwasanya apa yang diperoleh oleh seseorang adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya...."
Oleh karena itu siapa saja yang niatnya mendengar nyanyian untuk melakukan suatu kemaksiatan kepada Allah, maka ia adalah seorang fasiq. Begitu pula halnya tiap sesuatu (hiburan) selain nyanyian. Sedangkan orang yang berekreasi di kebun atau duduk-duduk di depan pintu rumah sambil melihat orang-orang yang sedang berjalan, mencelup bajunya dengan warna biru atau hijau, dan warna lainnya, atau ingin meluruskan kaki atau menekuknya (fold s.t., bend s.t. over), begitu pula dengan seluruh perbuatan yang serupa dengannya.
Bertolak dari keterangan di atas maka terbukti dengan pasti bathilnya pendapat orang-orang yang meributkan masalah tersebut (yang mengharamkan nyanyian).
Berdasarkan uraian-uraian di atas, ditambah dengan berbagai keterangan sebelumnya maka dapat kita simpulkan bahwa para ulama memang telah berselisih pendapat terhadap masalah nyanyian. Sebagian dari mereka tidak menganggap Hadits-Hadits yang mengharamkan nyanyian adalah shahih. Sedangkan yang lain telah menjadikan Hadits-Hadits tersebut sebagai hujjah atau bukti untuk mengharamkan nyanyian. Masing-masing mengikuti apa yang mereka tentukan sebagai dasar pengambilan hukum sesuai dengan ijtihadnya. Karenanya, siapa saja yang ijtihadnya telah menghasilkan suatu dugaan yang kuat bahwa bernyanyi dan mendengarkannya adalah haram, maka itulah hukum Allah terhadapnya, juga terhadap setiap orang yang mengikutinya.
Sedangkan bagi orang-orang yang belum terbukti baginya keshahihan Hadits-Hadits yang mengharamkan nyanyian yang disertai dengan dugaan kuat dan dengan ijtihad yang benar, maka itulah hukum Allah terhadapnya. Juga terhadap setiap orang yang mengikutinya sebab masalah ini adalah masalah khilafiyah sebagaimana yang telah kami uraikan pada bab-bab sebelumnya.
BAB VII
MENENTUKAN SIKAP DAN PENDIRIAN
Barangkali ada yang bertanya, apa mungkin mengambil salah satu pendapat di antara berbagai pendapat pro dan kontra, lalu menguatkannya agar nash-nash syara' tidak kelihatan kontroversial?
Pertanyaan tersebut memang perlu dijawab untuk menentukan sikap dan pendirian. Hadits yang paling shahih yang mengharamkan nyanyian adalah Hadits Imam Bukhari dari Abd-ur-Rahman bin Ghunam yang mendengar dari Abu Malik Al-'Asya'ari bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
(لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي قَوْمٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَّ وَ الْحَرِيرِ وَ الْخَمْرَ وَ الْمَعَازِفَ)
"Sungguh akan terjadi pada suatu kaum dari umatku yang menghalalkan perzinaan, (memakai) kain sutera, arak, dan alat-alat musik..." (HR. IMAM BUKHARI, No. Hadits 5590).
Juga Hadits Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Al-Bukhari dalam kitab AT-TARIKH-UL-KABIR.dari Malik bin Abi Maryam yang meriwayatkan dari Abd-ur-Rahman bin Ghunam dari Abi Malik Al-'Asy'ari dari Rasulullah s.a.w. (Lihat Ibnu Hajar Al-Asqalani, FATH-UL-BARI, Jilid X, hlm. 55):
(لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا تَغْدُو عَلَيْهِمُ الْقِيَانُ وَ تَرُوحُ عَلَيْهِمُ الْمَعَازِفُ)
"Sekelompok umatku akan minum khamr (minuman keras) dan menyebutkannya dengan nama (baru) selain nama khamr. Para penyanyi wanita akan mendatangi mereka, lalu para pemain musik akan melakukan pertunjukan di hadapan mereka."
TIDAK ADA DUA BENTUK HADITS KONTROVERSIAL.
Memperhatikan nash-nash di atas maupun nash lainnya yang mengharamkan nyanyian menyebabkan seseorang tiba kepada sebuah kesimpulan bahwa ada kontroversial antara nash-nash yang membolehkan dengan nash-nash yang mengharamkan nyanyian. Karena itulah kita perlu kembali kepada suatu kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama, seperti apa yang dikatakan oleh Imam Syafi'i dalam kasus seperti ini. (Lihat Imam Asy-Syaukani, IRSYAD-UL-FUHUL ILA TAHQIQ-IL-HAQ MIN-ILM-IL-USHUL, hlm. 375; Imam Syafi'i, AR-RISALAH, hlm. 352, No. Hadits 925).
Imam Syafi'i berpendapat, tidak dapat dibenarkan ada dua Hadits shahih saling kontroversial yang salah satunya tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Hadits lainnya, bukan karena adanya kekhususan-keumuman lafazhnya, karena ada sesuatu yang tidak jelas maksudnya (mujmal), atau adanya penjelasan (dalam nash lain). Tetapi sifat kontroversial itu hanya boleh terjadi dalam hal penasakhan (penghapusan hukum lama dengan yang baru), walaupun seorang mujtahid tidak menemukan nasakh tersebut."
Imam Al-Khaththabi juga mengemukakan hal serupa, (Imam Al-Khaththabi, MA'ALIM-US-SUNANI, Jilid III, hlm.80). Katanya: "Apabila ada dua Hadits dari segi zhahir lafaznya berbeda, dapat diperkuat oleh salah satu di antara keduanya setelah ditentukan nilainya masing-masing Hadits tersebut. Setelah itu, maka tidak boleh ditolak sama sekali atau dianggap antara keduanya saling bertentangan. Tetapi keduanya dipakai dan ditempatkan pada posisinya masing-masing. Begitulah sikap para ulama terhadap banyak Hadits."
Berdasarkan keterangan di atas maka sikap yang lebih tepat adalah mengambil kedua Hadits tersebut yang kelihatannya saling bertentangan daripada menolak salah satu di antaranya. Bahkan sesungguhnya antara kedua Hadits tersebut dapat dikatakan tidak berlawanan satu dengan lainnya sebab setiap Hadits telah disampaikan pada suatu peristiwa atau di tempat-tempat yang saling berbeda, walaupun obyek pembahasannya sama.
1. BAGAIMANA MENENTUKAN NYANYIAN HALAL DAN HARAM.
Hadits yang melarang nyanyian berkaitan dengan nyanyian secara umum. Sedangkan Hadits-Hadits yang membolehkannya bersifat khusus, yakni terbatas pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertantu. Misalnya, hari raya, pesta pernikahan, pulang kampungnya seseorang ke negeri kelahirannya, dan sebagainya.Kekhususan tersebut ditunjukkan oleh sabda Rasulullah s.a.w. dalam Hadits-Hadits yang membolehkan nyanyian, antara lain sikap beliau terhadap Abu Bakar yang ketika itu menegur dua wanita yang sedang bernyanyi di rumah Rasulullah s.a.w. Nabi s.a.w. berkata kepada Abu Bakar:
"Biarkanlah mereka (melanjutkan nyanyiannya), wahai Abu Bakar, sebab hari ini adalah hari raya." (HR. MUSLIM, Hadits no. 17; dan BUKHARI, Hadits no. 987).
Juga sabda beliau kepada 'Aisyah r.a. yang ketika itu menikahkan seorang perempuan kerabatnya, dengan kata-kata (Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 119):
"Apakah engkau sudah membawa seseorang bersamanya untuk bernyanyi?....(HR. IBNU MAJAH, Hadits no. 1900).
Begitu pula halnya dengan sabda Rasulullah s.a.w. kepada seorang wanita yang telah bernazar untuk memukul rebana di hadapan beliau sambil bernyanyi. Rasulullah s.a.w. berkata wanita itu:
"Jika engkau sudah menetapkan nazarmu, maka lakukanlah (sesuai dengan nazar itu)." (HR. AHMAD, TIRMIDZI, IBNU HIBBAN, dan AL-BAIHAQI).
Semua Hadits tersebut di atas mengkhususkan umumnya nash-nash yang mengharamkan nyanyian serta membatasinya, yakni membolehkannya dalam kondisi dan keadaan tertentu. Kekhususan ini menunjukkan posisi hukumnya, yaitu makruh melakukan nyanyian apabila dilakukan secara terus-menerus. Syaratnya adalah tidak bercampur-baur dengan bentuk kemungkaran. Apabila telah bercampur maka tentu hukumnya haram.
Adapun Hadits yang mengharamkan nyanyian pada awal bab ini adalah sabda Rasulullah s.a.w.:
"Sungguh akan terjadi pada suatu kaum dari umatku yang menghalalkan perzinaan, (memakai) kain sutera (pada kaum lelaki), arak, dan alat-alat musik...." (HR. IMAM BUKHARI).
Dalam lafaz yang lain disebutkan tambahan (وَ الْقِيَانَ) "para penyanyi wanita". Riwayat ini tercantum dalam kitab Imam Bukhari AT-TARIKH-UL-KABIR.
Hadits tersebut dapat ditafsirkan oleh Hadits lainnya yang menjelaskan bagaimana mereka akan menghalalkan minuman khamr, alat-alat musik, dan para penyanyi, yaitu sabda Rusullah s.a.w.(Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 106):
(لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلى رُؤُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَ الْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللهُ بِهِمُ الأَرْضَ وَ يَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَ الْخَنَازِيرَ)
"Sekelompok dari umatku akan minum khamr dan menyebutnya dengan nama (baru) selain nama khamr. Para pemusik bersama penyanyi wanita akan melakukan pertunjukan di hadapan mereka. Kemudian mereka akan dilenyapkan ke dalam tanah dan dijadikan sebagian dari mereka dalam bentuk kera dan babi." (HR. IBNU MAJAH, ABU DAWUD, dan dishahihkan oleh IBNU HIBBAN).
Dari seluruh Hadits di atas yang membolehkan dan mengharamkan nyanyian dapat diambil suatu pengertian bahwa nyanyian itu hukumnya mubah, asal sya'irnya mencantumkan hanya makna-makna yang mubah saja. Kecuali apabila disertai dengan hal-hal lain yang haram, misalnya ada khamr atau bercampurnya lelaki dan perempuan.
Dengan demikian nash Hadits tersebut di atas telah menjelaskan bentuk permainan alat musik dan nyanyian yang dicela oleh syara' yang disebutkan di dalam Hadits yang mengharamkan nyanyian. Bila ia melanggar ketentuan syara' (memainkan musik dan bernyanyi dengan cara ini), maka haram hukumnya karena disertai dengan hal-hal yang haram. Dalam hal ini kita dilarang mendengarkannya atau berada di tempat-tempat pertunjukkan seperti itu, misalnya klub malam, diskotik, dan sejenisnya. Itulah maksud sabda Rasulullah s.a.w.:
Sekelompok dari umatku akan menghalalkan permainan alat-alat musik dan penyanyi wanita (bersama mereka)."
Dengan keterangan di atas maka tidak bisa kita menyamaratakan semua nyanyian itu haram atau mubah karena dalil-dalil syara' telah membolehkan nyanyian dalam pesta pernikahan atau pada hari raya. Dalil-dalil tersebut mengkhususkan umumnya nash-nash yang mengharamkan nyanyian. Sedangkan yang mengharamkannya telah membatasi keharamannya dalam keadaan dan kondisi tertentu. Dari sini dapat ditarik dua macam hal:
1. NYANYIAN YANG HARAM.
Jenis nyanyian ini terbatas pada nyanyian yang disertai dengan perbuatan haram atau mungkar, semisal minuman khamr, menampilkan aurat wanita, atau nyanyiannya berisi sya'ir yang bertentangan dengan aqidah atau melanggar etika kesopanan Islam. Contoh untuk ini adalah sya'ir lagu kerohanian agama selain Islam, lagu asmara, lagu rintihan cinta yang membangkitkan birahi, kotor, dan porno. Tak peduli apakah nyanyian itu berbentuk vokal atau diiringi dengan musik, baik yang dinyanyikan oleh lelaki maupun wanita.
2.NYANYIAN YANG MUBAH.
Kriteria jenis nyanyian ini adalah tidak boleh bercampur dengan sesuatu yang telah disebutkan dalam jenis nyanyian yang haram di atas. Ia tidak disertai dengan kata-kata yang memuji kecantikan wanita, tidak disertai mabuk-mabukan, tidak ada kata-kata yang mengajak pacaran, main cinta, atau senandung asmara. Tidak juga diadakan di tempat-tempat maksiat, misalnya klub malam, diskotik, dan sejenisnya, yang di tempat itu wanita dan lelaki bebas bercampur-baur menari bersama. Kecuali bila diadakan di rumah-rumah dan semua orang yang terlibat baik maupun wanitanya adalah dari keluarga dan kerabat sendiri (muhrim bagi yang lain). Misalnya seorang ibu bernyanyi untuk anaknya di depan suaminya; seorang bibi bernyanyi di depan keponakannya; seorang perempuan bernyanyi untuk saudaranya; seorang istri bernyanyi untuk suaminya dan sebaliknya, baik itu hanya lagu semata (vokal) maupun diiringi dengan instrumen musik.
Status nyanyian seperti di atas sama halnya dengan nyanyian yang membangkitkan semangat perjuangan (jihad), atau nyanyian yang sya'irnya menunjukkan ketinggian ilmu para ulama dan keistimewaan mereka, atau juga nyanyian yang memuji saudara-saudara maupun sesama teman dengan cara menonjolkan sifat-sifat mulia yang mereka miliki, atau juga nyanyian yang melunakkan hati kaum Muslimin terhadap agama, atau yang mendorong mereka untuk berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Islam dan bahaya yang akan menimpa orang yang melanggarnya. Begitu pula macam-macam nyanyian yang membicarakan tentang keindahan alam atau yang membicarakan tentang persoalan ilmu (pandai) menunggang kuda, dan sebagainya.
2. BAGAIMANA SESUNGGUHNYA HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN.
Di atas telah dijelaskan status hukum nyanyian dan menyanyikannya. Adapun hukum mendengarkan nyanyian yang mubah maupun yang haram, jawabnya wallahu a'lam!
Mendengarkan sesuatu hukumnya mubah bila orang tersebut hanya sekadar mendengarkan. Tetapi bila ia ikut duduk di tempat-tempat hiburan sambil mendengarkan suara penyanyi lelaki maupun wanita, maka mendengar dalam keadaan demikian hukumnya juga haram karena kita telah dilarang duduk bersama orang-orang yang melakukan maksiat. Ini sesuai dengan firman Allah s.w.t.:
(فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ (إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ) (النساء: 140)
"Maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka beralih kepada pembicaraan yang lain. (Karena sesungguhnya kalau kamu berbuat demikian, tentulah kamu serupa dengan mereka)...." (4:140).
(فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ) (الأنعَام: 68)
"....maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah (mereka) diberi peringatan." (6:68).
Imam Al-Qurthubi dalam menafsirkan surat An-Nisa 140 menjelaskan (Lihat TAFSIR AL-QURTHUBI, Jilid V, hlm. 418) bahwa ayat tersebut menunjukan wajibnya menjauhi orang-orang yang melakukan maksiat apabila mereka melakukan suatu kemungkaran. Oleh karena itu, setiap orang yang duduk di tempat maksiat dan tidak mengingkari (mengutuk dan mencegahnya), maka ia telah ikut serta bersama mereka dan akan memikul dusa yang sama. Itulah sebabnya seseorang harus mengingkari perbuatan maksiat itu bila mereka membicarakan atau melakukannya. Tetapi bila ia tidak mampu mencegah perbuatan mereka, maka ia harus segera meninggalkan tempat tersebut agar tidak tergolong ke dalam golongan yangdisebutkan pada ayat d atas."
Adapun mengenai surat AL-AN'AM 68, beliau berkata (Lihat TAFSIR AL-QURTHUBI, Jilid VIII, hlm. 12-13): "Ayat ini menunjukkan apabila seseorang mengetahui atau menyaksikan orang lain sedang melakukan suatu kemungkaran, maka hendaklah ia menjauhinya sekaligus menolaknya dan tidak ingin mendatanginya lagi."
Berkata pula Ibn-ul-'Arabi: "Ini merupakan dalil bahwa hidup bersama orang-orang yang mengerjakan dosa besar hukumnya tidak boleh."
Dengan demikian, seseorang yang berada atau duduk di tempat-tempat hiburan untuk mendengarkan nyanyian berarti mereka telah mengakui kemungkaran atau membiarkannya. Inilah jenis mendengar yang diharamkan syara'
Adapun nyanyian yang boleh (mubah) beserta syarat-syarat yang harus dipenuhi dan telah disebutkan di atas berbeda hukumnya. Kita boleh duduk di tempat-tempat pertunjukan (misalnya panggung-panggung terbuka) untuk mendengarkan nyanyian yang mendorong umat untuk berjihad fisabilillah, memupuk perasaan halus kaum Muslimin agar lebih bertaqwa kepada Allah s.w.t., atau membicarakan sifat-sifat orang mukmin dan nilai-nilai keislaman. Juga, nyanyian yang menggambarkan tentang keindahan alam serta nyanyian yang melunakkan hati seseorang fakir miskin dan yatim, nyanyian memuji kebaktian kepada ibu dan bapak, serta kepada keluarganya, atau juga nyanyian yang tujuannya mendidik anak-anak dan sebagainya. Dengan kata lain, nyanyian yang mubah tidak ada kaitannya dengan persoalan cinta dan asmara, kecuali nyanyian dari suami kepada istri dan sebaliknya. Ia tidak disampaikan dengan cara mengeluh yang hal tersebut membangkitkan birahi seksual.
Adapun tentang masalah sya'ir nyanyian, maka sya'ir itu harus sebatas kata-kata yang sopan santun, bukan kata-kata yang berupa romantisme atau membicarakan kisah-kisah tentang malam minggu, malam pertama, dan sejenisnya. Dalam hal ini Ibn-ul-'Arabi berkata (Lihat Imam Ibn-ul-'Arabi, AHKAM-UL-QURAN, Jilid III, hlm. 1494): "Hukum mendengarkan nyanyian seorang biduanita telah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang lelaki boleh saja mendengarkan nyanyian wanita budaknya. Ini disebabkan karena tidak satu bagian pun yang haram padanya, baik bagian luar maupun dalam. Dengan demikian, bagaimana mungkin ia dicegah untuk menikmati suaranya (nyanyiannya)."
3. SUARA WANITA, AURAT ATAUKAH BUKAN?
Ada yang mengatakan bahwa yang boleh didengar adalah nyanyian dari lelaki, sedangkan nyanyian wanita haram untuk didengar. Alasannya, suara wanita itu aurat (hal yang tidak boleh ditampilkan). Jawabannya wallahu a'lam.
Walaupun nyanyian yang memalukan itu haram dikerjakan bila disertai dengan perbuatan haram atau mungkar namun mendengarkannya tidaklah haram. Keharamannya itu terbatas pada mendengarkannya secara langsung dari penyanyinya di tempat maksiat, bukan karena suara penyanyi wanita itu aurat. Keharaman itu terletak pada sikap berdiam diri terhadap nyanyian yang berisi kata-kata mungkar dan si penyanyi wanita menampilkan kecantikannya dengan membuka auratnya, misalnya rambut, leher, dada, betis, paha dan bagian aurat lainnya. Inilah yang diharamkan oleh syara', bukan karena masalah mendengarkan nyanyian wanita itu.
Suara wanita bukan aurat karena jika disebut demikian, ,mengapa Rasulullah s.a.w. mengijinkan dua wanita budak bernyanyi di rumahnya? Salain itu, beliau tidak keberatan berbicara dengan kaum wanita, sebagaimana yang terjadi ketika menerima bai'at dari kaum ibu sebelum dan sesudah hijrah. Bahkan beliau pernah mendengar nyanyian seorang wanita yang bernazar untuk memukul rebana dan bernyanyi di hadapan Rasulullah s.a.w. Semua keterangan tersebut dan keterangan serupa lainnya menunjukkan bahwa suara wanita bukan aurat.
Selain itu, syara' telah memberikan hak dan wewenang kepada kaum wanita untuk melakukan aktifitas jual beli, berdagang, menyampaikan ceramah atau mengajar, mengaji Al-Quran di rumah sendiri, membaca kasidah atau sya'ir, dan sebagainya. Jika suara mereka dianggap aurat atau haram maka tentu syara' akan mencegah mereka melakukan semua aktivitas tersebut. Inilah hujjah yang kuat. Hanya memang syara' telah melarang wanita menampilkan perhiasannya dihadapan kaum lelaki yang bukan muhrimnya, melenggak-lenggok, atau manja dalam berbicara, sebagaimana firman Allah s.w.t.:
(وَ لاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِى الإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الْطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ) (النور: 31)
"dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita...." (24:31).
Syara' tidak melarang wanita berbicara dengan pria dengan syarat ia tidak menampilkan kecantikan atau perhiasannya kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, mendengar suara wanita tidaklah haram sebab bukan aurat. "Tidak ada larangan wanita berbicara dengan kaum lelaki kecuali dengan suara manja, merayu, atau keluhan yang dapat menimbulkan keinginan kaum lelaki untuk berbuat jahat, serong, dan perbuatan dosa besar lainnya terhadap wanita tersebut. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah s.w.t. dalam firmanNya:
(فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَ قُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا) (الأحزاب: 32)
"...maka, janganlah kamu tunduk ketika berbicara (dengan manja, merayu, dan sebagainya). (Sebab), nanti akan timbul keinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya (keinginan nafsu birahinya). Dia ucapkanlah perkataan yang baik (sopan santun)." (33:32).
Apabila wanita sudah melanggar perintah tersebut maka tidak hanya dirinya yang terlibat dalam perbuatan dosa atau haram, tapi juga setiap orang yang membiarkan hal tersebut karena mereka tidak menyeru kepada yang ma'ruf (wajib, sunnah) terhadap wanita itu, dan tidak pula mencegahnya melakukan yang mungkar (haram).
Rasulullah s.a.w.bersabda mengenai hal ini: (Lihat SHAHIH MUSLIM, Hadits No. 49,78; SUNAN ABU DAWUD, Hadits No. 1140; SUNAN TIRMIDZI, Hadits No. 2173; SUNAN AN-NASAI, Jilid VIII, Hadits 111; dan SUNAN IBNU MAJAH, Hadits No. 4013):
(مَنْ رَأى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ)
"Siapa saja di antara kalian yang melihat adanya kemungkaran maka hendaklah ia ubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu melakukannya, maka hendaklah dengan lisannya. Kalau inipun tidak mampu dilakukannya, maka hendaklah dengan menolaknya di dalam hatinya. Tetapi itulah iman yang selemah-lemahnya." (HR. MUSLIM, ABU DAWUD, TIRMIDZI, AN-NASAI, dan IBNU MAJAH).
BAB VIII
HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN DI RADIO DAN RADIO KASET.
Bentuk nyanyian masa kini tidak berubah dari yang sudah pernah ada pada masa lampau, ratusan tahun silam. Yang berubah hanyalah suasana dan tempatnya sekarang. Kini nyanyian digelar di panggung-panggung terbuka, misalnya teater, gedung pertunjukan sandiwara, klub malam, panggung pertunjukkan, dan sebagainya. Pada abad ini orang-orang mulai mendengar nyanyian melalui radio, radio kaset, video, dan audiovisual lainnya. Sekarang hanya sedikit saja yang suka mendengar dan menyaksikan pertunjukkan dan show langsung dari pemain panggung dan penyanyi laki-laki dan wanita. Orang-orang lebih memilih radio dan kaset rekaman, video, film, televisi, dan lain-lain.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah jenis hiburan tersebut boleh didengar atau tidak? Jawabnya: Wallahu a'lam adalah demikian:
Nyanyian yang sajikan demikian status hukumnya sama saja dengan nyanyian-nyanyian lainnya. Tidak peduli apakah penyanyi dapat dilihat di arena pertunjukan atau hanya suaranya saja yang terdengar. Apa yang kami paparkan sebelumnya kini lebih dipertegas lagi. Apabila nyanyian itu bercampur-baur dengan kata-kata atau perbuatan yang ditolak oleh Islam, maka pelaku dan jenis nyanyian itu haram. Selain itu, maka ia halal dan boleh.
Lain halnya dengan mendengarkan nyanyian melalui radio, radiokaset, piringan hitam, dan sejenisnya. Jenis nyanyian yang disajikan demikian mubah dan tidak apa-apa. ????? Tidak peduli apakah nyanyian itu bersifat merayu/menggoda, tak tahu malu, atau melampaui batas etika nyanyian di dalam Islam, misalnyamenyebutkan kata-kata porno, jorok dan kotor. Tidak peduli apakah nyanyian itu disampaikan dengan cara memelas, dibumbui dengan sya'ir jatuh cinta asmara, cerita tentan kecantikan perempuan yang disenangi, rasa rindu dan kasih sayang, dan seterusnya.????? Nyanyian yang sama sekali tidak mengandung hal-hal tersebut di atas hukumnya mubah (boleh).
Untuk menjelaskan perihal tersebut, ada beberapa hal yang perlu dikemukakan di sini, yaitu:
1. ANTARA SUARA ASLI DENGAN REKAMAN.
Suara yang didengar itu adalah rekaman suara di kaset melalui radio dan audiovisual lainnya, bukan suara asli dan langsung dari penyanyinya (lelaki maupun wanita). Dari segi hukum syara', ada perbedaan antara fakta dengan imajinasi. Ada perbedaan antara bentuk asli dengan gambar, rekaman dan sejenisnya. Melihat aurat wanita di telivisi tidak sama hukumnya dengan melihat aurat wanita di hadapan mata kepala sendiri dalam bentuk aslinya. Ia tidak sama dengan bentuk imajinasi yang kita buat atau dibuat orang.
2. SUARA DARI BENDA MATI (TIDAK BERNYAWA).
Lagu di radio dan kaset rekaman bukan suara milik seseorang yang memiliki nyawa. Bukan pula mukallaf agar mampu menerima seruan yang ma'ruf dan dicegah melakukan yang mungkar jika ia menyeleweng dari Islam. Tetapi ia hanya merupakan suara yang keluar dari suatu alat atau benda yang tidak berakal. Alat tersebut juga bukan aurat. Dengan demikian, lagu atau nyanyian melalui televisi, film, video, atau bentuk audiovisual lainnya tentu saja bukan aurat dalam bentuk aslinya. Ia hanya gambar semata.
Sabda Rasulullah s.a.w. yang berkaitan dengan yang mungkar dan ia harus dicegah dengan tangan atau lisan,tidak bisa diterapkan di sini ketika kita mendengarkan lagu di radio, televisi, dan sebagainya. Terkadang kita mendengar suara lagu dari seorang penyanyi lelaki maupun wanita yang sudah lama meninggal dunia. Dari keadaan yang demikian, maka bagaimana mungkin kita bisa menyerukan kepadanya agar berbuat yang ma'ruf (baik dan sesuai dengan ajaran Islam) serta mencegahnya melakukan yang mungkar (buruk menurut hukum Islam)?
Barangkali ada yang membantah hal tersebut dan mengatakan bahwa kita bisa melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar dengan cara mengganti gelombang radio, canel televisi, atau memilih kaset yang sesuai dengan etika hukum Islam. Tetapi kita bisa balik bertanya, apakah dengan begitu selesai masalahnya?
Tentu masalahnya tidak sederhana dan segampang itu. Mengganti gelombang radio atau canel televisi tetap tidak dapat mengubah hal mungkar (sya'ir porno, jorok dan kotor). Paling-paling yang bisa kita lakukan hanya sebatas menghindari diri agar kita tidak mendengar nyanyian dan kata-kata mungkar yang terdapat pada lagu tersebut. Ini sama halnya dengan seseorang yang menutup telinganya sementara ia tetap membiarkan penyanyi itu terus berdendang dengan kemungkaranya. Apakah dengan demikian, perbuatan yang demikian dapat diketegorikan sebagai perbuatan amar ma'ruf nahi mungkar? Tentu tidak. Bahkan ia hanya berupa penolakan mendengarkan bagi dirinya sendiri, dan tidak lebih dari itu. Sedangkan kemungkaran itu tetap ada dan bekembang di tengah-tengah masyarakat. Lalu, untuk mengubah keadaan tersebut, bagaimana caranya?
Perubahan menyeluruh dan mendasar hanyalah melalui suatu kekuasaan dan kekuatan dari suatu negara yang menerapkan Islam secara totalitas. Syariat Islam telah membebankan tugas mencegah kemungkaran dengan kekuatan fisik yang dimilikinya untuk membersihkan masyarakat dari noda-noda dosa dan kemaksiatan yang telah merajalela dan mendarah-daging di dalam tubuh umat.
Oleh karena itu dari keterangan di atas kita mengtahui bahwa mendengarkan nyanyian melalui radio, radiokaset, televisi, dan media audiovisual lainnya, hukumnya tetap mubah. Dasarnya adalah dengan mengambil kaidah syara' yang berbunyi (Lihat Zain-ul-'Abidin Ibrahim Al-Misri, AL-ASYBAH WAN-NAZHAIR, Jilid I, hlm. 97; Mahmud Al-Hamzawi, AL-FAWAID-UL-BAHIYAH FIL-QAWAIDI WAl-FAWAID-IL-FIQHIYYAH, hlm. 284; Ibnu 'Abidin, HASYIYAT-UR RADD-UL-MUKHTAR, Jilid I, hlm 71, Jilid III, hlm. 244,dan Jilid IV, hlm. 176):
(الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيلُ التَّحْرِيمِ)
"Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (boleh dipakai dan dimanfaatkan), kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya."
Hadits Rasulullah s.a.w. tentang kewajiban mencegah kemungkaran dengan tangan, lisan dan hati tidak dapat diterapkan di sini. Begitu juga dengan firman Allah s.w.t. tentang orang-orang zalim, fasik, fasik, kafir, dan orang-orang yang mengucapkan atau melakukan kekufuran dan kemaksiatan:
(فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ) (الأنعَام: 68)
"Maka, janganlah kamu duduk bersama dengan orang-orang zalim itu sesudah (mereka) diberi peringatan." (6:68).
Atau firmanNya:
(فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ (إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ) (النساء: 140)
"Maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka beralih kepada pembicaraan yang lain. (Karena sesungguhnya kalau kamu berbuat demikian, tentulah kamu serupa dengan mereka)...." (4:140).
Dua ayat tersebut di atas tidak bisa diterapkan terhadap si pendengar lagu melalui radio,radio kaset, televisi dan yang sejenisnya karena penyanyinya tidak bersama si pendengar. Pendengar tidak ikut serta bersamanya di tempat-tempat pertunjukan (langsung).
3. BUKAN SUARA YANG BERHADAPAN LANGSUNG.
Mendengarkan nyanyian itu bukanlah mendengarkan suara penyanyi asli yang langsung dan berhadapan. Ia hanya berupa suara rekaman. Ia adalah bentuk mendengarkan yang tidak langsung. Dengan kata lain, suara itu bukan kepunyaan si penyannyi secara langsung berhadapan. Suara itu hanya milik dari suatu alat audio atau visual semisal televisi, radio, film, video, radiokaset, dan lain-lain. Karena kita tidak dapat menerapkan sabda Rasulullah s.a.w. (Lihat SHAHIH MUSLIM, Hadits No. 2654; SUNAN ABU DAWUD, Hadits No. 2154; dan MUSNAD IMAM AHMAD, Jilid II, hlm. 276, 317 dan 329):
(وَ الأُذُنُ تَزْنِي وَ زِنَاهَا الاِسْتِمَاعُ)
"Telinga akan ikut berzina pula. Zinanya adalah mendengarkan (sesuatu yang telah diharamkan untuk mendengarkannya)." (HR. AHMAD, ABU DAWUD dan AHMAD).
Sebab, tidak mungkin menimbulkan dampak (positif maupun negetif), sebagaimana penjelasan Rasulullah s.a.w. berikut ini:
(وَ الْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ)
"Faraj (kemaluan) akan mengakui (apa yang didengarnya); atau menolaknya (sama sekali tidak terpengaruh)."
Bagaimana mungkin bisa terjadi pada seorang pendengar lagu di radio, televisi, video, radiokaset, dan jenisnya, kemudian ia bertindak langsung terhadap penyanyinya, misalnya dengan menodainya? Suatu hal yang mustahil untuk dilakukan!
Barangkali ada yang memberikan komentar sebagai bantahan. Bukankah bisa jadi nyanyian yang didengar melalui alat-alat audiovisual itu tetap saja mampu membangkitkan birahi dan naluri seksual?
Jika komentar itu dijadikan sebab untuk mengharamkan nyanyian tersebut, maka bagaimana kalau ia tidak membangkitkan birahi? Apakah ia berarti mubah (boleh didengar)? Lagi pula, siapa yang berhak menentukan sebab ('illat) untuk mengharamkan sesuatu? Apakah 'illat itu boleh dengan akal?
Sudah diketahui, 'illat tidak boleh berdasarkan aqliyah (berdasarkan akal). Ia hanya semata-mata berdasarkan suatu dalil syar'i sebab masalah halal dan haramnya sesuatu adalah masalah yang haq dan itu otoritas Allah s.w.t. semata. Dalam hal ini tidak terdapat adanya suatu 'illat tentang halal dan haramnya nyanyian. Karenanya, nyanyian tidak bisa diharamkan hanya karena alasan membangkitkan syahwat (nafsu birahi). Bahkan alasan tersebut tidak boleh dijadikan sebagai tolok ukur dalam masalah "tahrim" (menentukan haramnya sesuatu). Cara tersebut bertolak dari pertimbangan akal, bukan syara'. Selain itu, syara' tidak mengharamkan usaha individu manusia untuk membangkitkan syahwatnya karena usaha yang demikian tidak secara otomatis mendorongnya melakukan perzinaan, berpacaran, atau perbuatan haram lainnya.
Ada alasan yang mengatakan bahwa mendengar lagu dapat mengalihkan perhatian seseorang dari zikrullah ketika mendengarkanya melalui alat-alat audiovisual. Alasan tersebut dapat disanggah. Setiap sesuatu yang mengalihkan perhatian orang dari zikrullah adalah bathil, maka kita lantas bertanya, apa itu zikrullah? Apakah ia hanya ucapan dua kalimat syahadat atau melaksanakan ibadah dan perbuatan-perbuatan wajib? Bila yang dimaksud adalah mengucapkan dua kalimat syahadat atau mengucapkan "LAA ILAAHA ILLALLAAH" secara berulang-ulang maka mendengarkan nyanyian dalam hal ini tidak sampai mengalihkan perhatian seorang dari zikrullah tadi.
Namun bila yang dimaksud adalah melakukan solat atau mengerjakan ibadah-ibadah lainnya dan melaksanakan hal-hal yang fardhu, maka harus dipertimbangkan apakah betul nyanyian dari alat-alat audiovisual itu dapat mengalihkan perhatian seseorang dari pelaksanaan fardhu dan kewajiban yang serupa lainnya. Jika "ya", maka mendengar nyanyian atau musik seperti itu adalah haram. Setiap sesuatu yang dapat menyibukkan seseorang sehingga menjauhkannya dari pelaksanaan ibadah-ibadah yang wajib atau fardhu, maka hukumnya haram, tanpa melihat bagaimana bentuk kesibukannya. Tidak peduli apakah ia penting atau tidak. Tidak peduli apakah kesibukannya itu mencari nafkah yang wajib atau mubah, atau sibuk menghibur diri sehingga lupa kepada kewajiban ibadah wajib tadi.
Jual-beli, misalnya, dapat menyibukkan seseorang dan mengalihkan perhatiannya, walaupun dari segi hukum asalnya adalah mubah. Begitu pula pekerjaan kantoran atau pabrik juga dapat menyibukkan dan mengalihkan perhatian seseorang, walaupun hukum mencari nafkah bagi seorang fakir miskin atau mencari uang adalah fardhu. Tetapi semua kegiatan tersebut baik yang fardhu maupun mubah, jika sampai melengahkan atau mengalihkan seseorang dari pelaksanaan solat atau setiap perbuatan yang wajib, maka perbuatan tersebut tidak boleh dikerjakan sampai kewajiban ibadah terlaksana.
Misalnya solat Juma'at. Allah s.w.t. telah melarang kaum Muslimin berjual-beli pada waktu solat Juma'at setelah dikumandangkannya adzan yang kedua atau setelah khatib naik mimbar, sebagaimana firmanNya:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلى ذِكْرِ اللهِ وَ ذَرُوا الْبَيْعَ...) (الجمعة: 9)
"Hai orang-orang yang beriman, apabila ada panggilan (adzan) untuk mengerjakan solat pada hari Juma'at, maka bersegeralah kamu mendatangi (majid) untuk melakukan zikrullah (solat Juma'at) dan tinggalkanlah jual-beli....." (62:9).
Munculnya larangan jual-beli pada waktu mendengar adzan Juma'at adalah karena kegiatan tersebut dapat menyibukkan orang dan mengalihkan perhatiannya dari melaksanakan solat Juma'at. Tetapi di luar waktu itu, setiap sesuatu yang dapat menyibukkan seseorang sehingga solatnya tertinggal adalah haram apabila aktivitas itu dilakukan pada saat pelaksanaan yang fardhu. Dalam hal ini telah ditetapkan dan dibatasi waktu pelaksanaan solat itu. Tetapi sesudah waktu solat lewat dan fardhu sudah dilaksanakan, maka apa yang dilakukan sebelumnya, baik pekerjaan itu wajib maupun mubah, ia boleh dilanjutkan kembali dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas.
Islam membolehkan kaum Muslimin menghibur diri pada waktu-waktu tertentu. Juga dibolehkan menampakkan rasa gembira dengan berbagai cara, dalam hal ini termasuk aktivitas bernyanyi, memainkan alat musik, mendengarkan lagu, dan sebagainya. Kehidupan ini tidak semata-mata digolongkan dalam bentuk aktivitas ibadah secara terus-menerus. Kehidupan juga bukan hanya berusaha mencari rezki dan bekerja dari pagi sampai malam setiap hari tanpa ada waktu sedikit pun untuk menghibur diri, beristirahat, dan menjalankan berbagai kewajiban lain. Sama halnya dengan menuntut ilmu (belajar) dari pagi sampai sore di sekolah, kemudian dilanjutkan di rumah sampai tengah malam dan dilakukan rutin setiap hari. Karena itulah, Islam mengijinkan pemeluknya menghibur diri dengan berbagai cara, di samping juga beribadah, beramal, menuntut ilmu, berjuang untuk Islam, berusaha mencari rezeki, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Tentang hal ini, Rasulullah s.a.w. bersabda: (Lihat FATH-UL-KABIR, Jilid III, hlm.297).
(وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ كُنْتُمْ تَكُونُونَ فِي بُيُوتِكُمْ عَلى الْحَالَةِ الَّتِي عَلَيْهَا عِنْدِي لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَ لأَظَلَّتْكُمْ بِأَجْنِحَتِهَا وَ لَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ: سَاعَةٌ وَ سَاعَةٌ)
"Demi Allah yang jiwaku ada pada gengamanNya , jika kalian di rumahmu masing-masing berzikir dan berada dalam keadaan yang sama seperti kamu berada di sisiKu, maka tentu para malaikat akan berjabatan tangan dengan kalian dan akan melindungi kalian dengan sayapnya. Tetapi, hai Hanzhalah (kehidupan ini) kadang-kadang begini dan begitu (Rasulullah s.a.w. mengulangi-ulangi kata-kata tersebut sebanyak tiga kali) (HR.IMAM AHMAD, TIRMIDZI, dan IBNU MAJAH, dari Hanzhalah Al-Asdi).
Maksud sabda Rasulullah s.a.w. di atas diterangkan pada bagian awal dari Hadits tersebut, yaitu ucapan Hanzhalah:
(نَكُونُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ (ص) يُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَ الْجَنَّةِ حَتّى كَأَنَّا رَأَى عَيْنَ فَإِذَا خَرَجْنَا عِنْدَ رَسُولِ اللهِ (ص) عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَ الأَوْلاَدَ وَ الضَّيْعَاتِ فَنَسِينَا كَثِيرًا)
"Jika kita berada di sisi Rasulullah s.a.w., beliau mengingatkan kita tentang jannah dan jahannam, sampai-sampai kita seakan-akan melihatnya. Tetapi apabila kita meninggalkan Rasulullah s.a.w., lantas kita sibuk denga istri, anak-anak dan usaha-usaha kita dalam mencari nafkah sampai kita banyak yang lupa diri."
Dalam riwayat lain disebutkan:
(ثُمَّ إِذَا عُدْتُ الْبَيْتَ ضَاحَكْتُ الصِّبْيَانَ وَ لاَعَبْتُ الْمَرْأَةَ)
"Jika aku pulang ke rumah, aku tertawa bersama anak-anak dan bergurau dengan istri."
Sehubungan dengan perbuatan yang disebutkan oleh Hanzalah tadi, di antara para sahabat ada yang melakukannya dan ada yang tidak. Tetapi Abu Bakar menganggap Hanzalah telah berbuat nifaq, namun Rasulullah tidak menganggap demikian. Bahkan beliau menjelaskan bahwa kehidupan ini tidak bisa berjalan apabila tidak dinikmati, baik dengan cara bermain bersama anak-anak, istri, teman-teman, atau bekerja bersama anak-anak, istri, teman-teman, atau bekerja untuk menambah kekayaan, menghibur teman atau menghibur diri dengan berekreasi, termasuk di sini bernyanyi, mendengar musik, dan sebagainya.
Rasulullah s.a.w. bersabda:
(رَوِّحُوا الْقُلُوبَ سَاعَةً وَ سَاعَةً)
"Legakanlah hatimu sekali-kali." (HR. ABU DAWUD dari Ibnu Syihak Az-Zuhri dengan sanad mursal dan hasan).
Imam Al-Manawi menjelaskan perihal Hadits ini sebagai berikut (Lihat Imam Al-Manawi, FAIDH-UL-QADIR, Jilid IV, hlm. 40-41):
"Legakanlah hatimu sekali-kali dari kesibukan melaksanakan ibadah dengan cara mengerjakan suatu perbuatan mubah yang tidak beresiko siksaan dan pahala (Allah s.w.t.)."
Imam Al-Manawi melanjutkan. Katanya, pernah dibacakan Al-Quran dan puisi di hadapan Rasulullah s.a.w. Lalu Abu Bakar datang dan menolak perbuatan ini. Ia berkata: "Bagaimana bisa disatukan bacaan Al-Quran dengan puisi di hadapan Rasulullah!" Namun Rasulullah s.a.w. menjawab:
(نَعَمْ سَاعَةٌ هذَا وَ سَاعَةٌ ذَاكَ)
"Ya, bisa, Sekali-sekali untuk ini dan sekali-sekali untuk yang itu."
Semua keterangan di atas menunjukkan bahwa kita boleh melegakan hati dan menghibur diri sesekali dengan musik, lagu atau bentuk kesibukan ringan lainnya, misalnya olahraga, berbagai perlombaan, dan sebagainya. Tetapi bila perbuatan mubah itu menyebabkan ibadah kita tertinggal dan hal-hal fardhu diabaikan, maka yang menjadi haram bukanlah aktivitas menghibur diri dengan nyanyian dan musik. Jika kesibukan mubah itu dianggap sesuatu yang penting dan mengalihkan perhatian kita dari kewajiban-kewajiban hidup yang wajib dilaksanakan maka haram hukumnya.
Terkadang pelaksanaan kewajiban seperti mencari nafkah yang wajib dapat mengalihkan perhatian seseorang dari pelaksanaan solat. Dalam hal ini yang haram bukan menyibukkan diri dalam mencari nafkah tapi bila mencari nafkahnya dilakukan pada waktu solat Juma'at, atau terus-menerus bekerja dari pagi sampai larut malam sehingga tidak sempat menunaikan solat. Begitu juga halnya dengan musik dan nyanyian mubah yang didengar melalui radio, kaset dan sejenisnya. Juga nyanyian yang keluar dari senandang budak perempuan, dari istri, teman, saudara dan kerabat dekat lainnya. Nyanyian ini boleh didengar asalkan tidak sampai kelewat batas yang ditetapkan syara' sehingga sampai menyibukkan diri dan mengalihkan perhatian kita dari melaksanakan solat serta kewajiban-kewajiban hidup lainnya. Jika demikian, maka hukumnya haram. Keharamannya bukan karena nyanyian tetapi akibatnya yang melalaikan. Hanya itu! Kecuali, bila nyanyian itu disertai dengan hal-hal yang haram sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya.
Mendengarkan nyanyian yang mubah, hukumnya mudah sebab termasuk jenis hiburan yang mubah pula. Statusnya sama dengan kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan manusia, seperti naik kuda, berenang, memanah, duduk, berdiri, berjalan, bertamasya, dan sebagainya.
Semua orang boleh melakukanya. Oleh karena itu, jika kita ingin melakukan suatu kegiatan yang mubah untuk menghibur diri maka sebenarnya kita melakukannya bukan untuk menyesatkan diri atau menjauhkan kita dari jalan Allah s.w.t., bahkan sebaliknya. Hal itu dilakukan hanya untuk menghilangkan kejenuhan dengan suatu macam hiburan yang mubah, atau kita melakukannya untuk memperkuat diri agar mampu melaksanakan ibadah dan setiap ketaatan lainnya terhadap Allah s.w.t. Tidak mungkin (sedikit sekali) orang melakukannya untuk menjauhi diri dari ketaatan semacam itu.
Apabila hati kita telah merasa lelah, bosan, dan jemu, untuk mengatasinya maka Abu Darda' (salah seorang sahabat Rasulullah s.a.w.) berkata: "Aku suka melegakan hatiku dengan sebagian dari hal-hal yang tidak bermanfaat, yakni dengan bermacam-hiburan yang mubah agar aku kembali bersemangat untuk mengerjakan yang haq (kewajiban hidup)."
Imam Ali bin Abi Thalib juga berkata (Lihat Yusuf Qardhawi, HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM, hlm. 283): "Sesungguhnya hati manusia bisa bosan dan lelah seperti layaknya badan manusia. Oleh karena itu, carilah berbagai kegiatan yang tepat untuknya (yang melegakan)."
[Mungkin berasal dari ucapan ini:
إِنَّ هذِهِ الْقُلُوْبَ تَمَلُّ كَمَا تَمَلُّ الأَبْدَانُ فَابْتَغُوْا لَهَا طَرَائِفَ الحِكَمِ) (نهج البلاغة.رقم: 91)
"Hati ini menjadi muak ketika tubuh menjadi muak; maka carikan ucapan-ucapan bijaksana yang indah untuknya." (Dari kitab PUNCAK KEFASIHAN, Oleh Penerbit Lantera, No.91, hlm. 753).]
Pengaruh musik dan nyanyian memang berakibat baik terhadap manusia jika nyanyian itu diwarnai dengan nilai-nilai keislaman. Tentang hal ini, Prof. Sidi Gazalba berpendapat: "Musik dapat menimbulkan emosi gejolak di dalam batin pendengarnya. Merangsang mereka kepada gerakan-gerakan liar. Tetapi nada musik dapat pula menimbulkan ketenangan, kerukunan, damai, dan kenikmatan hati. Nada musik yang melahirkan kesan seperti itu selaras dengan kesan yang dikehendaki Islam." (Lihat Prof. Madya Drs. Sidi Gazalba, ISLAM DAN KESENIAN, hlm. 195).
BAB IX.
PANDANGAN ISLAM TERHADAP SENI TARI.
Seni tari dilakukan dengan menggerakkan tubuh secara berirama dan diiringi dengan musik. Gerakannya bisa dinikmati sendiri, merupakan ekspresi gagasan, emosi atau kisah. Pada tarian sufi (darwish), gerakan dipakai untuk mencapai ekskatase (semacam mabuk atau tak sadar diri).
Sejak dahulu, seni tari telah memainkan peranan penting dalam upacara kerajaan dan masyarakat maupun pribadi. Seni tari adalah akar tarian Barat populer masa kini. Bangsa-bangsa primitif percaya pada daya magis dari tari. Dari tarian ini dikenal tari Kesuburan dan Hujan, tari Eksorsisme, dan Kebangkitan, tari Perburuan dan Perang. Tarian Asia Timur hampir seluruhnya bersifat keagamaan, walaupun ada yang bersifat sosial. Selain itu ada tarian rakyat yang komunal (folk dance). Tarian ini dijadikan lambang kekuatan kerjasama kelompok dan perwujūdan saling menghormati, sesuai dengan tradisi masyarakat.
Tarian tradisional seringkali mendapat sentuhan penata tari yang kemudian menjadi tarian kreasi baru. Kita lantas mengenal adanya seni tari modern yang umumnya digali dari tarian traditional. Tarian ini lebih mengutamakan keindahan, irama gerak dan memfokuskan pada hiburan.
Seni sekarang berada halnya dengan tarian abad-abad sebelumnya. Orang mengenal ada tari balet, tapdans, ketoprak atau sendratari Gaya tarian abad XX berkembang dengan irama-irama musik pop singkopik, misalnya dansa cha-cha-cha, togo, soul, twist, dan terakhir adalah disko dan breakdance. Kedua tarian ini gerakannya menggila dan digandrungi anak muda.
1. SENI TARI DALAM LINTASAN SEJARAH ISLAM.
Dalam sejarah Islam terdapat perbedaan pendapat antara yang pro dengan yang kontra tentang seni tari. Seni tari pada permulaan Islam berbentuk sederhana dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang datang dari luar jazīrah ‘Arab, seperti orang-orang Sudan, Ethiopia, dan lain-lain. Menari biasa dilakukan pada hari-hari gembira, seperti hari raya dan hari-hari gembira lainnya.
Salah satu contoh tentang hal ini adalah seperti yang diriwayatkan oleh Abū Dāwūd dari ‘Anas r.a. yang berkata (Lihat SUNAN ABŪ DĀWŪD, Jilid IV, hlm. 281):
(لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ (ص) الْمَدِيْنَةَ لَعِبَتِ الْحَبْشَةُ فَرْحًا بِذلِكَ لَعِبُوْا بِحِرَابِهِمْ)
"Tatkala Rasūlullāh datang ke Madīnah, orang-orang Habsyah (Ethiopia sekarang) menari dengan gembira menyambut kedatangan beliau sambil memainkan senjata mereka."
Imām Ahmad dan Ibnu Hibbān juga meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Anas r.a. Beliau berkata (Lihat MUSNAD IMĀM AHMAD, Jilid III, hlm. 152; lihat juga Al-Qastallanī, IRSYĀD-US-SARI, SYARH-SHAHĪH BUKHĀRĪ, Jilid II, hlm. 204-205):
(كَانَتِ الْحَبَشَةُ يَزْفِنُوْنَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ (ص) وَ يَرْقُصُوْنَ وَ يَقُوْلُوْنَ: مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ)
"Orang-orang Habsyah (pada hari raya ‘Īd-ul-Adhhā) menari (dengan memainkan senjata mereka) di hadapan Rasūlullāh s.a.w. Banyak anak-anak berkumpul di sekitarnya karena ingin menonton tarian mereka. Orang-orang Habsyah bernyanyi (dengan sya‘ir): "MUHAMMAD ADALAH HAMBA YANG SHALEH...." (secara berulang-ulang).
Sesudah jaman Rasūlullāh s.a.w., khususnya di jaman Daulah ‘Abbāsiyyah, seni tari berkembang dengan pesat. Kehidupan mewah yang dicapai kaum Muslimīn pada waktu itu telah mengantarkan mereka kedalam suatu dunia hiburan yang seakan-akan telah menjadi keharusan dalam masyarakat yang ma‘mūr (Hukum mendengarkan alunan lagu adalah mubah, tetapi ketika itu orang-orang telah melakukannya). Namun banyak ‘ulamā’ yang tidak setuju dengan tarian semacam itu, tercatat di antaranya ialah Imām Syaikh-ul-Islam, Ahmad Ibnu Taimiyah (wafat tahun 1328 M). Beliau menentang keras seni tari dalam kitabnya yang berjudul Risālah fī Simā‘i war-Raqs was-Surākh (Risālah tentang Mendengar Musik, Tarian-Tarian dan Nyanyian). Namun ada juga kalangan ‘ulamā’ yang membolehkan seni tari selama tidak melanggar norma-norma Islam. Yang berpendapat begini di antaranya Ibrāhīm Muhammad Al-Halabī (wafat tahun 1545 M.). Beliau mengarang kitāb yang berjudul Ar-Rahs Wal-Waqs Limustahill-ir-Raqs (Benteng yang Kokoh bagi Orang yang Membolehkan Tari-Tarian).
Pengarang kitāb ‘ilmu seni tari yang pertama di dalam Islam adalah Al-Farābī (wafat tahun 950 M.), yang mengarang kitāb AR-RAQSU WAZ-ZAFNU (Kitāb tentang Tari dan Gerak Kaki) (Lihat Prof. A. Hasjmy, Ibidem, hlm. 326). Pengaruh kitāb ini masih dapat kita ketahui, Riau adalah pusat kerajaan Melayu dan pernah memperoleh masa kejayaannya di sana. Berbagai guru serta pelatih tari dan nyanyian dipelihara sultan di istana. Begitu juga dengan perkembangan sya‘ir. Bentuk seni inipun berkembang dengan baik dan mendapatkan perhatian sultan. Tari Zapin sampai sekarang masih hidup subur di kepulauan Riau (Melayu). Bahkan banyak tradisi yang sekarang berkembang di nusantara adalah hasil perkembangan tari rakyat Riau yang diperagakan mulai dari lingkup istana sampai kedai-kedai kopi. Serampang dua belas, misalnya, adalah tarian populer peninggalan karya tersebut. Kata-kata pengiring tarian ini masih menggunakan bahasa ‘Arab yang bercampur dengan bahasa Melayu (Lihat Dr. Oemar A. Hoesin, KULTUR ISLAM, hlm. 466-467).
Dahulu, pada jaman khilafah ‘Abbāsiyah, seni tari telah mendapatkan tempat yang istimewa di tengah masyarakat, baik di kalangan istana, gedung-gedung khusus (rumah pejabat dan hartawan), maupun di tempat-tempat hiburan lainnya (taman ria dan sebagainya). Pada akhir masa khilafah ‘Abbāsiyah, kesenian tari mulai mundur ketika tentara bangsa Mongol menguasai pusat peradaban Islam di Baghdād. Semua hasil karya seni dirusak oleh tentara keji itu karena memang bangsa ini tidak menyukai tarian. Kemudian pada masa khilafah ‘Utsmāniah berikutnya, seni tari berkembang lebih pesat lagi, khususnya tarian sufi yang biasa dilakukan oleh kaum pria saja. Sedangkan penari wanita menarikan tarian di istana dan rumah-rumah para pejabat. Mereka ini adalah penari "berkaliber tinggi".
Namun perlu diperhatikan di sini, dalam sejarah umat Islam yang panjang, tari-tarian itu tidak pernah dilakukan di tempat-tempat terbuka yang penontonnya bercampur-baur antara lelaki dengan wanita. Ini berbeda halnya dengan nyanyian. Pada masa pemerintahan khilafah ‘Abbāsiyah, para penyanyi diijinkan menyanyi menyanyi sambil menari di jalanan atau di atas jembatan serta di tempat-tempat umum lainnya. Rumah-rumah les privat menyanyi dan menari dibuka untuk umum, baik di rumah-rumah orang kaya maupun miskin. (Lihat Abū Al-Farāj Al-Ishfahānī, AL-AGHĀNĪ, Jilid XVIII, hlm. 128, dan Jilid XIII, hlm. 127). Tetapi tidak pernah dilakukan di tempat-tempat khusus, seperti yang dilakukan sekarang ini (khususnya anak-anak muda), misalnya di night club, panggung pertunjukan, dan sebagainya.
Perlu diingat, tari-tarian pada masa lalu hanya dilakukan oleh wanita-wanita budak saja yang bekerja di istana, di rumah para pejabat, atau di rumah-rumah rakyat biasa. Namun ada juga penari dari kalangan pria, misalnya Ibrāhīm Al-Maushili (wafat 235 H.), dan sekelompok penari kawakan yang tercatat di dalam kitāb Al-Aghānī. (Lihat Abū Al-Farāj Al-Ishfahānī, ibidem, Jilid V (Riwayat hidup Ibrāhīm Al-Maushili)).
Sebagaimana kami sebutkan di atas, tari-tarian dimasa permulaan Islam tidak pernah dilakukan dalam keadaan kaum lelaki menari bercampur dengan kaum wanita, kecuali sesudah kebudayaan Barat mulai mewarnai dan mempengaruhi kebudayaan Islam. Sesudah itu baru muncul kebiasaan menari dengan mengikuti para penari Barat dengan gaya merangsang syahwat dan membangkitkan birahi, seperti tari balet, dansa, joget, dangdut, atau tarian yang menimbulkan histeria seperti disko dan break dance.
2. TANGGAPAN UTAMA ISLAM TERHADAP TARIAN.
Imām Al-Ghazālī dalam kitāb IHYĀ’-UL‘ULŪM-ID-DĪN, (Lihat Imam Al-Ghazali, IHYĀ‘-UL-‘ULŪM-ID-DĪN, Jilid VI, hlm. 1141, 1142 dan 1187) beranggapan bahwa mendengar nyanyian dan musik sambil menari hukumnya mubāh. Sebab, kata beliau: "Para sahabat Rasūlullāh s.a.w. pernah melakukan "hajal" (berjinjit) pada saat mereka merasa bahagia. Imām Al-Ghazālī kemudian menyebutkan bahwa ‘Alī bin Abī Thālib pernah berjinjit atau menari tatkala ia mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
(أَنْتَ مِنِّيْ وَ أَنَا مِنْكَ)
"Engkau tergolong ke dalam golonganku, dan aku tergolong ke dalam golonganmu."
Begitu juga Ja‘far bin Abī Thālib. Kata Imām Al-Ghazālī, dia pernah melakukan hal yang sama (berjinjit) ketika mendengar sabda Rasūlullāh s.a.w. :
(أَشْبَهْتَ خَلْقِيْ وَ خُلُقِيْ)
"Engkau adalah orang yang paling mirip dengan corak dan tabiatku".
Juga Zaid bin Hāritsah pernah berjinjit tatkala mendengar sabda Rasūlullāh s.a.w.:
(أَنْتَ أَخُوْنَا وَ مَوْلاَنَا)
"Engkau adalah saudara dan penolong kami."
Dalam kesempatan lain ‘Ā’isyah diijinkan Rasūlullāh s.a.w. untuk menyaksikan penari-penari Habsyah. Kemudian Imām Al-Ghazālī menyimpulkan bahwa menari bahwa menari itu hukumnya boleh pada saat-saat bahagia, seperti hari raya, pesta pernikahan, pulangnya seseorang ke kampung halamannya, saat walīmahan pernikāhan, ‘aqīqahan, lahirnya seorang bayi, atau pada waktu khitanan, dan setelah seseorang hafal Al-Qur’ān. Semua ini hukumnya mubāh yang tujuannya untuk menampakkan rasa gembira. Tetapi tari-tarian itu maupun jenis-jenis hiburan lainnya tidak layak dilakukan para pejabat dan pepimpin yang menjadi panutan masyarakat. Ini bertujuan agar mereka tidak dikecilkan rakyat, tidak dijatuhkan martabatnya, atau tidak dijauhi oleh rakyatnya.
Tentang riwāyat Imām Bukhārī dan Imām Ahmad yang berkaitan dengan menarinya orang-orang Habsyah di hadapan Rasūlullāh s.a.w., Al-Qādhī ‘Iyādh berkata: "Ini merupakan dalīl yang paling kuat tentang bolehnya tarian sebab Rasūlullāh s.a.w. membiarkan mereka melakukannya, bahkan mendorong mereka untuk melanjutkan tariannya."
Akan tetapi Imām Ibnu Hajar menentang pengertian Hadīts yang membolehkan tarian. Beliau berkata: "Sekelompok sufi telah berdalīl kepada Hadīts tersebut untuk membolehkan tari-tarian dan mendengarkan alat-alat musik. Padahal jumhur ulama telah menegur pendapat ini dalam hal perbedaan maksud dan tujuan. Tujuan orang-orang Habsyah yang bermain-main dengan perisai dan tombak merupakan bagian dari latihan yang biasa mereka lakukan untuk berperang. Oleh karenanya, hal ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah untuk membolehkan tari-tarian yang tujuannya untuk menghibur diri." (Lihat Ibnu Hajar Al-Asqalani, FATH-UL-BĀRI, Jilid VI, hlm. 553).
Adapun mengenai nukilan Imām Al-Ghazālī tentang "hajal" (berjinjitnya) ‘Alī, Ja‘far, dan Zaid, maka ditentang keras oleh Imām Ibn-ul-Jauzi (Lihat Imām Ibn-ul-Jauzi TALBĪS IBLĪS, hlm. 258-260). Katanya, hajal tidak lebih dari semacam cara dalam gerak kaki berjalan yang dilakukan pada saat seseorang merasa gembira. Sedangkan tarian tidak demikian! Gerakan Zafarnya orang-orang Habsyah adalah mendorong keras dan menyepak dengan kaki. Maka inipun merupakan salah satu cara dalam berjalan pada saat berhadapan dalam peperangan.
Kemudian Imām Ibn-ul-Jauzi berkata: "Menurut Abū Al Wafā Ibn-ul-‘Aqīl, Al-Qur’ān telah mencantumkan keharaman tarian dengan nash yang tegas seperti firman Allah s.w.t.:
(وَ لاَ تَمْشِيْ فِي الأَرْضِ مَرَحًا) (لقمن:18)
"Dan janganlah kamu berjalan di bumi ini dengan angkuh." (31:18)
Allah s.w.t. juga mencela orang-orang yang sombong dengan firmanNya:
(إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلُّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ) (لقمن:18)
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong lagi membanggakan diri." (31:18).
Karena itulah menurut Abū Wafā Ibnul ‘Aqīl, menari merupakan cara berjalan paling angkuh dan penuh dengan kesombongan. Kemudian Imam Ibn-ul-Jauzi melanjutkan dengan mengomentari tarian orang sufi. Katanya, dapatkah kita membayangkan suatu perbuatan keji yang dapat menjatuhkan nilai akal dan kewibawaan bagi seseorang serta menyebabkan ia terjatuh dari sifat kesopanan dan rendah hati, seperti yang dilakukan oleh seorang (sufi yang ) berjanggot. Apalagi yang melakukannya adalah kakek-kakek yang berjenggot, bertepuk tangan dan mengikuti irama yang dinyanyikan para wanita dan anak-anak muda yang belum tumbuh jenggotnya. Apakah layak bagi seseorang membanggakan diri dengan menari seperti binatang dan menepuk dada seperti wanita (sambil menari), yang sudah gaek dan hampir masuk liang kubur yang nantinya akan diminta pertanggungjawabannya di Padang Mahsyar?
3. MENENTUKAN SIKAP DAN PENDIRIAN.
Keinginan untuk menari sama dengan keinginan manusia untuk berjalan, bermain, dan seterusnya. Semua merupakan perbuatan yang biasa dilakukan secara alami (fitri) dalam rangka menghibur diri atau mencari kesenangan dan kebahagiaan. Syara‘ tidak mengharāmkan seseorang untuk menggerakkan badan, tangan, kaki, perut, dan sebagainya. Bahkan senua perbuatan itu akan muncul secara alami. Hukum asal untuk menari adalah mubāh selama dalīl-dalīl syara‘ tidak mengharāmkan tari-tarian tertentu, baik yang berirama maupun yang tidak diiringi musik.
Telah cukup banyak jenis tarian yang ada di tengah masyarakat saat ini. Ada tarian dari masyarakat primitif yang berbentuk tarian upacara ritual. Tarian ini tetap dilestarikan keberadaannya. Ada tarian modern (daerah) yang ditarikan oleh masyarakat setempat pada berbagai upacara perayaan atau ketika menyambut tamu luar negeri. Biasanya tari-tarian ini tidak terlepas dari iringan musik dan nyanyian khas serta ciptaamn daerah tertentu.
Tarian rakyat itu akhirnya tidak terlepas dari terlepas dari promosi negeri tempat asalnya. Tujuannya adalah untuk menarik wisata mancanegara yang berkunjung ke negeri-negeri tertentu. Bahkan terkadang, tarian dari negara tertentu dapat kita temukan di negeri lain karena perwakilan konsulat bidang kebudayaan negara tersebut dangan sukacita menggelarkannya. Sekarang kita dapat mengenal adanya tarian Fandago dari Spanyol, Polka dari Bohemia, Czardas dari Hongaria, Jig dari Irlandia, atau Fling dari Skotlandia.
Di kepulauan-kepulauan sekitar Pasifik dan negeri-negeri Timur lainnya, terdapat tarian-tarian yang seluruhnya dilakukan dengan sikap duduk. Ada tari perut di Timur Tengah, yang biasanya dilakukan dengan penekanan gerak pada bagian perut, berputar atau menggelepar. Tarian ini adalah jenis tarian hiburan semata. Ada juga tarian yang dilakukan oleh wanita-wanita.
Tarian Barat juga banyak macamnya. Ada tari Balet yang merupakan tarian drama tunggal yang diiringi musik. Tarian ini biasanya dilakukan oleh sepasang manusia (lelaki-perempuan). Ini sama saja dengan dansa Agogo, cha-cha-cha, twist, dan disko. Semua tarian ini sudah lazim dilakukan oleh pasangan penari lelaki dan wanita. Lalu, bagaimana status hukum syara‘ terhadap tari-tarian yang telah disebutkan di atas? Di bawah ini akan di rinci pandangan syara‘ terhadap tarian sebagai berikut:
1. Syara‘ melarang kaum Muslimīn menyerupai orang kafir dalam hal-hal yang menyangkut urusan agama. Dalam hal ini termasuk semua jenis tarian upacara keagamaan dan primitif.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 7319):
(لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتّى تَأْخُذَ أُمَّتِيْ بِأَخْذِ الْقُرُوْنِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَ ذِرَاعًا بِذِرَاعٍ فَقِيْلَ:يَا رَسُوْلَ اللهِ كَفَارِسَ وَ الرُّوْمَ؟ فَقَالَ: وَ مَنْ مِنَ النَّاسِ إِلاَّ أُولئِكَ؟)
"Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku menerima (mengambil) apa-apa yang dilakukan oleh bangsa-bangsa terdahulu (abad-abad silam) sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai ketika mereka masuk ke liang biawak, kalian pun mengikutinya." Para sahabat bertanya: "Ya Rasūlullāh, apakah yang (engkau) maksudkan di sini adalah (seperti) bangsa-bangsa Persia dan Romawi?" Rasūlullāh menjawab: "Siapa lagi kalau bukan mereka." (HR. BUKHĀRĪ).
Dalam riwāyat lain disebutkan bahwa yang diakui oleh kaun Muslimīn adalah orang-orang Nasrānī dan Yahūdī.(Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 7320).
2. Setiap tarian yang berpasangan lelaki wanita yang bercampur-baur dan diiringi dengan instrumen musik, maka harām hukumnya, karena Rasūlullāh s.a.w. bersabda (Lihat ‘Abd-ur-Ra’ūf Al-Manāwī, FAIDH-UL-QĀDIR, Hadīts No. 5824):
(الْغِيْرَةُ مِنَ الإِيْمَانِ وَ الْمِذَاءُ مِنَ النِّفَاقِ)
"Ghīrah (cemburu) itu adalah bagian dari īmān, sedangkan Mizā’ adalah bagian dari nifāq." (HR AL-BAZZĀR, BAIHAQĪ, dari Abū Sa‘īd Al-Khudrī).
Imām Ibnu ‘Atsīr menafsirkan Mizā’ dengan makna sebagai berikut:
a. Lelaki yang membawa sejumlah pria ke rumahnya untuk mencampuri istrinya;
b. Ada yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari "AMDZAIT-UL-FARAS" yang artinya: "Aku telah melepaskan kudaku untuk merumput."(Lihat Ibnul ‘Atsīr, AN-NIHĀYAH, Jilid IV, hlm. 312-313).
Dalam kitāb MUKHTASHAR-USY-SYU‘AB-IL-ĪMĀN, Imām Al-Qazwīnī menukil pendapat Imām Al-Halīmī tentang arti Hadīts tersebut, yaitu (Lihat Imām Al-Halīmī, MUKHTASHAR-USY-SYU‘AB-IL-ĪMĀN, hlm. 238). mengumpulkan lelaki-perempuan agar masing-masing pasangan mencampuri pasangan lainnya, atau membiarkan lelaki pergi bersama kaum wanita.
Berdasarkan keterangan di atas, maka bercampurnya kaum lelaki dengan wanita yang bukan muhrim dalam bentuk apapun adalah harām, baik mereka pergi bertamasya bersama-sama maupun barmain-main seperti layaknya suami-istri. Ternasuk dalam hal ini adalah menari bersama dengan lelaki-perempuan dan mengikuti irama musik pop Barat, dangdut, disko, dan lain-lain. Menurut ketentuan syara', setiap sesuatu yang menghantarkan kepada perbuatan harām maka ia harām pula, sebagaimana kaidah syara‘ yang berbunyi:
(الْوَسِيْلَةُ إِلى الْحَرَامِ حَرَامٌ)
"Sesuatu yang menghantarkan kepada yang harām maka ia harām pula (dikerjakan)."
Tari-tarian masa sekarang sering dilakukan bersama-sama lelaki-wanita. Bahkan acara tersebut tidak terlepas dari perbuatan-perbuatan harām lainnya. Misalnya, berpegangan tangan, berangkulan, badan berdempetan, saling menggeserkan bagian-bagian tubuh tertentu, berrangkulan dan berpelukan, dan perbuatan yang lebih jauh dari itu. Di samping itu, mereka juga menenggak minuman keras sampai teler. Tidak jarang acara sejenis itu menghantarkan mereka kepada perbuatan dosa besar, yaitu bersetubuh dengan pasangannya. Lantas kita mendengar banyak di antara remaja yang berbadan dua.
Ada dalīl lain yang mengharāmkan semua jenis tarian dari semua bangsa-bangsa, yaitu (Lihat ‘Abd-ur-Ra’ūf Al-Manāwī, FAIDH-UL-QĀDIR, Hadīts No. 8593):
(مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ)
"Siapa saja yang menyerupai suatu kaum (dalam pola hidup dan adat istiadat), maka ia (telah) tergolong ke dalam golongan mereka." (HR. ABŪ DĀWŪD, THABRANĪ, dari Ibnu ‘Umar, dan Hudzaifah bin Al-Yaman).
Kata "menyerupai" di dalam Hadīts tersebut adalah bentuk seruan umum yang sama halnya dengan kata "suatu kaum". Inilah adalah larangan menyerupai bangsa manapun dengan apa saja secara mutlak, baik dalam urusan ‘aqīdah, ‘ibādah, nikāh, adat kebiasaan, hidup bebas, dan sebagainya. Termasuk di sini hal-hal yang menyangkut masalah tari-tarian.
3. Seorang wanita atau lelaki boleh bernyanyi dan menari di rumahnya sendiri untuk anggota keluarga atau kerabat yang muhrim. Seorang istri boleh bernyanyi dan menari untuk suami atau sebaliknya, khususnya pada hari gembira, misalnya pesta pernikahan, lahirnya seorang bayi, hari raya, dan sebagainya.
4. Bertolak dari umumnya nash-nash yang membolehkan menggerakan kaki, seperti :
(فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا) (الملك: 15)
"Berjalanlah di segala penjuru (bumi)...." (67:15).
atau:
(اُرْكُضْ بِرِجْلِكَ) (ص:42)
"Hentakkanlah kakimu...." (38:42).
atau Hadīts-Hadīts yang membolehkan seorang lelaki berjinjit, memainkan tombak dan perisai dan senjata tajam lainnya sambil menarikannya sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Maka, hukum asal menari adalah mubāh selama tidak melampaui batas-batas syara‘ yang telah disebutkan pada butir-butir sebelumnya. Walaupun demikian, tidak boleh kaum lelaki muhrim atau suami menari dengan tarian yang biasanya dilakukan oleh kaum wanita, misalnya tari perut dan sejenisnya. Sebaliknya, kaum wanita tidak boleh menarikan tarian lelaki, sebab Rasūlullāh s.a.w. melarang kaum lelaki menyerupai wanita atau sebaliknya:
(لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِالرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ وَ لاَ مَنْ تَشَبَّهَ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ)
"Tidak termasuk golonganku wanita yang menyerupai lelaki, dan lelaki yang menyerupai wanita." (HR. IMĀM AHMAD, dari Ibnu ‘Amru bin Al-‘Āsh).
BĀB X.
SENI MUSIK, SUARA DAN TARI PADA MASA KHILAFAH ISLAM.
Khilafah Islam terdahulu tidak pernah melarang rakyatnya mempelajari seni suara dan musik, Mereka dibiarkan mendirikan sekolah-sekolah musik dan membangun pabrik alat-alat musik. Mereka diberikan ghairah untuk mengarang buku-buku tentang seni suara, musik dan tari. Negara khilafah juga tidak pernah mengambil tindakan hukum terhadap biduan dan biduanita yang bernyanyi di rumah-rumah individu. Bahkan mereka diberi ijin untuk bernyanyi di istana dan di rumah penguasa.
Perhatian ke arah pendidikan musik telah dicurahkan sejak akhir masa Daulah Umawiyah, yang kemudian dilanjutkan pada masa kekhilafahan ‘Abbāsiyah sehingga di berbagai kota banyak berdiri sekolah musik dengan berbagai tingakat pendidikan, mulai dari tingkat menengah sampai ke perguruan tinngi. Pabrik alat-alat musik di bangun di berbagai negeri Islam. Sejarah telah mencatat bahwa pusat pabrik pembuatan alat-alat musik yang sangat terkenal ada di kota Sevilla (Andalusia atau Spanyol).
Catatan tentang kesenian umat Islam begitu banyak disebut orang. Para penemu dan pencipta alat musik Islam juga cukup banyak jumlahnya, yang muncul sejak pertengahan abad kedua hijrah, misalnya Yunus Al-Khatīb yang meninggal tahun 135 H, Khalīl bin Ahmad (170 H.), Ibnu An-Nadīm Al-Maushilli (235 H.), Hunaian Ibnu Ishāq (264 H.), dan lain-lain.
Pada masa itu cakrawala umat Islam juga diramaikan oleh biduan dan biduanita yang status umumnya adalah pelayan. Mereka ini bukan penyanyi bayaran yang disewa untuk setiap pertunjukannya. Merekalah yang bernyanyi untuk menghibur khalīfah dan para penguasa lainnya di istana dan rumah mereka masing-masing. Setiap pelayan menghibur tuannya sendiri-sendiri.
Seni tari berkembang luas pada masa Daulah ‘Abbāsiyah. Berkembangnya seni ini karena ketika itu perbudakan masih berlaku. Para budak wanita bernyanyi untuk menghibur para pejabat maupun rakyat. Tetapi biduanita-biduanita istana pada umumnya adalah dari kalangan sendiri. (Lihat A. Hasjmi, SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM, Cet. 2, hlm. 321, 326; Lihat juga Oemar Amin Hoesein KULTUR ISLAM, hlm. 427-445).
Berkembangnya kesenian di seluruh negeri Islam tidak menyebabkan berkembangannya seni yang dicampuri oleh maksiat dan hal-hal yang dilarang syara‘ Kalau ada hal-hal tersebut maka biasanya khilafah Islam akan mengambil tindakan keras dengan menangkap pelakunya, sekaligus menutup tempat-tempat hiburan yang berselubung kemaksiatan. Tindakan seperti itu dilakukan melalui para hakim Al-Hisbah. Bahkan khalīfah memerintahkan dan membiarkan qādhī (hakim) memusnahkan alat-alat musik apabila negara berpendapat bahwa memainkan alat-alat musik dan bernyanyi dengan diiringi musik adalah harām (Lihat Imām Al-‘Āmidī, AL-AHKĀM-US-SULTHĀNIYAH, hlm. 294-296). Namun Qādhī Al-Hisbah tidak akan bertindak langsung bila suara musik dan nyanyian tersebut muncul dari rumah-rumah penduduk. Ia hanya melarang tanpa mendobrak pintu rumah, apalagi sampai merusak bagian lainnya. (Lihat Imām Al-‘Āmidi, ibidem, hlm. 297).
Namun setelah khilafah Islam diruntuhkan oleh Barat (gabungan negara Eropa), mulailah muncul kembali tempat-tempat hiburan yang terbuka untuk umum. Kita lantas mengenal ada yang namanya klub malam, bar, diskotik, dan panggung-panggung terbuka. Muncul pula nyanyian cabul yang sesungguhnya tidak pantas dinyanyikan. Bahkan kita sudah amat mudah menemukan nyanyian yang disertai dengan acara joget, ajojing, dan dansa yang disertai dengan jeritan histeris. Penyanyi wanitanya pun telah banyak yang tidak punya rasa malu lagi. Mereka lebih suka memamerkan auratnya dengan mengenakan pakaian ketat, tipis dan mini.
Tentu saja semua keadaan itu bukan cermin kebudayaan Islam. Seni yang demikian bertentangan dengan ketentuan Islam. Ia tidak lebih dari jiplakan kebudayaan Barat. Secara pasti ia telah merusak jiwa pemuda Islam. Bahkan di hadapan kepala kita telah tampak nyata bukti kerusakan itu di seluruh negeri Islam.
Keadaan tersebut tentu saja menjadi kewajiban negara khilafah masa depan untuk mengatasi kerusakan yang terjadi di masyarakat pada setiap negeri Islam yang dikuasainya. Dengan kekuatan dan kekuasaannya, negara khilafah pasti mampu membersihkan bentuk seni musik, suara, dan tari dari noda-noda kebudayaan Barat. Khilafah akan dengan mudah melakukan berbagai tindakan dalam hal tersebut. Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Melarang setiap nyanyian, rekaman dan tarian yang mengajak orang untuk minum arak, bergaul bebas, berpacaran, bermain cinta, atau bunuh diri karena putus cinta.
2. Melarang setiap nyanyian dan tarian yang disertai dengan omongan kotor dan cabul yang mengarah kepada perbuatan-perbuatan dosa atau membangkitkan birahi seksual.
3. Melarang setiap nyanyian dan tarian yang disertai dengan perbuatan-perbuatan harām, seperti minum khamr, percampuran antara lelaki dengan wanita.
4. Lagu-lagu dan kaset-kaset Barat dilarang beredar dan para penyanyinya tidak diijinkan melakukan pertunjukkan (show) di negeri-negeri Islam.
5. Setiap tempat pertunjukan untuk menyanyi dan menari, seperti klub malam, bar dan diskotik harus ditutup dan tidak diberi ijin membukanya oleh pemerintah. Begitu pula halnya dengan panggung-panggung terbuka.
6. Para penyanyi wanita tidak diperbolehkan tampil di televisi, film, panggung-panggung umum atau di studio untuk menari atau merekam lagu kaset, video, film dan sebagainya. Untuk nyanyian, hanya di radio yang diperbolehkan.
7. Tidak dilarang beredarnya kaset nyanyian wanita maupun pria asal berupa nyanyian yang mudah dan tidak bertentangan dengan ‘aqīdah Islam.
8. Hanya lagu-lagu atau rekaman yang mengandung nilai-nilai keislaman dan sesuai dengan ‘aqīdah dan akhlak Islam yang boleh beredar di negeri-negeri Islam.
9. Setiap keluarga diijinkan bernyanyi atau mendengarkan rekaman lagu dan menari dalam suasana gembira guna melahirkan perasaan riang dan menghibur hati pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada hari raya, pesta perkawinan, aqiqahan, pulang kampungnya salah seorang anggota keluarga, pada waktu lahirnya seorang bayi, dan sebagainya, dengan syarat tidak melampaui batas-batas syara'.
10. Tidak dibolehkan memberi bayaran kepada penyanyi wanita. Tetapi bagi kaum lelaki boleh. Penyanyi wanita hanya boleh bernyanyi di rumah saja.
11. Menarikan tarian hanya diperkenankan di tempat tertutup dan terbatas pada anggota keluarga serta kerabat yang muhrim.
Demikian kira-kira yang akan dilakukan oleh khilafah Islam pada masa mendatang dengan berpedoman kepada keadaan kaum Muslimīn sekarang ini. Namun demikian, tindakan-tindakan di atas hendaklah merupakan sebuah keputusan pasti yang tidak bisa diubah-ubah lagi sebab khilafah diberikan wewenang untuk bertindak dan menentukan sikap dalam menentukan hukum dan peraturan berdasarkan ijithadnya. Oleh karena itu, bisa jadi khilafah pada periode tertentu membolehkan orang bermain musik dan menyanyikan lagu. Pada periode berikutnya bahkan khilafah mengharāmkan semua jenis lagu dan alat musik, juga mengharamkan menggunakan alat-alat musik dan melagukan nyanyian tertentu yang menurutnya tidak sesuai dengan etika hukum Islam.
Perbedaan sikap seperti itu karena para fuqaha telah memperselisihkan masalah seni ini, Tidak ada kesepakatan pendapat di antara mereka. Namun apapun yang terjadi nanti dan selama masih bertolak dari pandangan hukum Islam, maka kaum Muslimīn wājib menthā‘ati semua ketentuan yang ditetapkan oleh khalifah.
TAMMAT. WAL-HAMDULILLĀH.
والله أعلم بالمرده
Candimas, 9 Maret 2012
http//mmunzir.blogspot.com
Sabtu, 10 Maret 2012
Sabtu, 28 Januari 2012
aDAB kHOTIB jUMAT
Adab Khutbah Jum’at
Khutbah Jum’at merupakan salah satu media yang strategis untuk dakwah Islam, karena ia bersifat rutin dan wajib dihadiri oleh kaum muslimin secara berjamaah. Sayangnya, media ini terkadang kurang dimanfaatkan secara optimal. Para khathib seringkali menyampaikan khutbah yang membosankan yang berputar-putar dan itu-itu saja. Akibatnya, banyak para hadirin yang terkantuk-kantuk dan bahkan tertidur. Bahkan, ada satu anekdot yang menyebutkan, khutbah Jum’at adalah obat yang cukup mujarab untuk insomnia, penyakit sulit tidur. Maksudnya, kalau Anda terkena penyakit itu, hadirilah khutbah Jum’at, niscaya Anda akan dapat tertidur nyenyak !
Di samping itu, para khathib itu juga tak jarang menyampaikan khutbah dengan cara yang kurang sesuai dengan adab khutbah Jum’at yang seharusnya. Misalnya, mereka berkhutbah dengan suara yang lemah lembut. Mungkin dianggapnya itu adalah cara yang penuh “hikmah” dan lebih cocok dengan karakter orang Indonesia yang konon ramah tamah, mencintai harmonisasi kehidupan, serta suka kedamaian dan kelembutan (?). Tentu akibatnya lebih fatal. Sudah materinya membosankan, penyampaiannya malah bikin orang terlena di alam mimpi. Padahal menurut contoh Nabi SAW, beliau berkhutbah secara bersemangat dengan kata-kata yang terucap secara keras dan tegas. Jika para khathib menggunakan cara penyampaian yang diteladankan Nabi ini, dengan materi yang aktual, hangat, dan dinamis, niscaya para hadirin akan bergairah dan penuh semangat, tidak lesu dan mengantuk seperti yang sering kita lihat.
Karena itu, kita harus mempelajari kembali adab-adab khutbah Jumat sebagaimana yang ada dalam tuntunan Syariah Islam yang mulia. Tujuannya adalah agar para khathib dapat menjalankan khutbah Jum’at dengan sebaik-baiknya dan agar khutbah yang disampaikan dapat turut memberikan kontribusi yang lebih positif bagi dinamika dakwah Islam.
Adab Khutbah Jum’at
Adab khutbah Jum’at dapat diartikan sebagai sekumpulan tatacara khutbah Jum’at, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, dan hal-hal yang disunnahkan padanya.
Dengan pengertian tersebut, maka adab-adab khutbah Jum’at di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Disyaratkan bagi khatib pada kedua khutbah untuk berdiri (bagi yang kuasa), dengan sekali duduk di antara keduanya
2. Kedua khutbah itu merupakan syarat sah jum’atan, demikian menurut seluruh imam madzhab
3. Menurut Imam Asy Syafi’i, berdiri dalam dua khutbah dan duduk di antara keduanya adalah wajib
4. Dari Ibnu Umar RA, dia berkata, “Bahwa Nabi SAW berkhutbah pada hari Jum’at dengan berdiri, lalu duduk, lalu berdiri (untuk berkhutbah lagi) seperti yang dikerjakan orang-orang hari ini.” (HR. Jamaah)
2. Disunnahkan bagi khatib untuk memberi salam ketika masuk masjid dan ketika naik mimbar sebelum khutbah. Ibnu Umar RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW jika masuk masjid pada hari Jum’at memberi salam pada orang-orang yang duduk di sisi mimbar dan jika telah naik mimbar beliau menghadap hadirin dan mengucapkan salam. (HR. Ath Thabrani)6
3. Kedua khutbah wajib memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Rukun-rukun khutbah dalam madzhab Syafi’i ada 5 (lima)
: (1) Membaca hamdalah pada kedua khutbah,
(2) Membaca shalawat Nabi pada kedua khutbah,
(3) Wasiat taqwa pada kedua khutbah (meski tidak harus dengan kata “taqwa”, misalnya dengan kata Athiullah/taatilah kepada Allah),
(4) Membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu khutbah (pada khutbah pertama lebih utama),
(5) Membaca do’a untuk kaum muslimin khusus pada khutbah kedua.7
Adapun syarat-syaratnya ada 6 (enam) perkara :
(1) Kedua khutbah dilaksanakan mendahului shalat Jum’at,
(2) Diawali dengan niat, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, niat bukan syarat sah khutbah,
(3) Khutbah disampaikan dalam bahasa Arab. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa bagi kaum berbangsa Arab, rukun-rukun khutbah wajib berbahasa Arab, sedang selain rukun tidak disyaratkan demikian. Adapun bagi kaum ‘ajam (bukan Arab), pelaksanaan rukun-rukun khutbah tidak disyaratkan secara mutlak dengan bahasa Arab, kecuali pada bacaan ayat Al Qur’an
(4) Kedua khutbah dilaksanakan pada waktunya (setelah tergelincir matahari). Jika dilaksanakan sebelum waktunya, lalu dilaksanakan shalat Jum’at pada waktunya, maka khutbahnya tidak sah,
(5) Khatib disyaratkan mengeraskan suaranya pada kedua khutbah. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa rukun-rukun khutbah, khatib disyaratkan mengeraskan suaranya,
(6) Antara khutbah dan shalat Jum’at tidak boleh berselang waktu lama.
Sunnah Khutbah
a. Disunnahkan bagi khatib untuk berkhutbah di atas mimbar, sebab Nabi SAW dahulu berkhutbah di atas mimbar.
b. Disunnahkan bagi khatib untuk duduk pada anak tangga mimbar yang paling atas, sebab Nabi SAW telah mengerjakan yang demikian itu.
c. Disunnahkan bagi khatib untuk mengeraskan suaranya pada khutbahnya (selain rukun-rukun khutbah). Diriwayatkan dari Jabir RA, bahwa jika Rasulullah berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya keras, dan nampak sangat marah, sampai beliau seperti orang yang sedang menghasungkan pasukan (untuk berperang) (HR. Muslim dan Ibnu Majah)13.
d. Disunnahkan bagi khatib untuk bersandar / berpegangan pada tongkat atau busur panah. Ini sesuai riwayat Al Hakam bin Hazan RA yang mengatakan bahwa dia melihat Rasulullah SAW berkhutbah seraya bersandar pada busur panah atau tongkat (HR. Ahmad dan Abu Dawud)15.
e. Disunnahkan bagi khatib untuk memendekkan khutbahnya (tidak berpanjang-panjang atau bertele-tele). Diriwayatkan dari Amar bin Yasir RA, dia mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya lamanya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, adalah pertanda kepahamannya (dalam urusan agama). Maka panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah !” (HR. Ahmad dan Muslim)
f. Dibolehkan bagi khatib untuk memberi isyarat dengan telunjuknya pada saat berdoa mengingat Rasulullah pernah mengerjakannya. Demikian menurut Imam Asy Syaukani
g. Kedua khutbah wajib memperbincangkan salah satu urusan kaum muslimin, yakni peristiwa atau kejadian yang sedang terjadi di kalangan kaum muslim dalam berbagai aspeknya. Hal ini mengingat Rasulullah SAW dan para khalifahnya dahulu –yang senantiasa menjadi khatib– sesungguhnya berkedudukan sebagai pemimpin politik (Al Qaid As Siyasi) bagi kaum muslimin.
Maka dari itu, perkara khatib saat ini pun seharusnya juga mengaitkan khutbahnya dengan realitas atau problem kontemporer yang ada di kalangan kaum muslimin, dan tidak sekedar mengulang-ulang khutbah yang kurang memberi kesadaran bagi hadirin, dengan tema yang itu-itu saja yang tentu akan membuat hadirin jemu, mengantuk, atau bahkan tertidur. Wallahu a’lam.
CATATAN :
Kata “adab” (jamknya “aadaab”) dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna, di antaranya adalah sejumlah tatacara yang selayaknya dilaksanakan oleh orang yang mempunyai pekerjaan / profesi (fan) atau aktivitas/tugas (shina’ah/tashurruf) tertentu. Misalnya, abad-adab Qadly (hakim) atau Khatib (penulis / pengarang). Lihat Al Mu’jamul Wasith, Dr. Ibrahim Anis dkk., hal. 9-10. Lihat Kamus Al Munawwir, Ahmad Warson Munawwir, jal. 14, 115, dan 853.
Makalah ini disampaikan pada Kursus Khatib , yang diselenggarakan oleh ROHIS MAN Kotabumi
Tata Cara Khutbah Jum'at
Membaca basmalah : bismillaahir rahmaanir rahiimi
Mengucapkan salam : assalaamu 'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu
Adzan
Membaca hamdalah :
innalhamdalillaah, nahmaduhuu
wa nasta'iinuhuu wa nastaghfiruhu
wa na'uudzubillaahi min syuruuri 'anfusinaa
wa min syayyi-aati a'maalinaa
man yahdillaahu falaa mudhillalahu
wa man yudhlilhu falaa haadiyalahu
Membaca syahadat :
asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalaahu
wa asyhadu annaa muhammadan 'abduhuu wa rasuuluhuu
laa nabiyya ba'dahu
Membaca shalawat :
allaahumma shalli 'alaa syayyidinaa muhammadin
wa 'alaa aalihii wa shahbihii 'ajma'iin
Membaca ayat alqur'an : yang mengajak bertaqwa kepada allah (biasanya khatib membaca ali imran ayat 102)
fa-uushiikum wa nafsii bit taquullaah
qaalallaahu ta'aala fiil qur'aanil kariim
a'uudzubillaahi minasy syaithoonir rajiim
yaa ayyuhal ladziina 'aamanuu
ittaquullaaha haqqaa tuqaatihi
wa laa tamuutunnaa illaa wa antum muslimuun
wa qaalallahu ta'aalaa fil qur'aanil karim
audzubillaahimina sy syaitoon nirrojiim ...
Membaca ayat alqur'an yang lain sesuai dengan topik khutbah
amma ba'du
Berwasiat : untuk diri sendiri dan jamaah agar selalu dan meningkatkan taqwa kepada Allah SWT
Mulai berkhutbah sesuai topiknya memanggil jamaah bisa dengan panggilan ayyuhal muslimun atau ma'asyiral muslimin rahimakumullah, atau sidang jum'at yang dirahmati allah.
Menutup khutbah pertama dengan do'a untuk seluruh kaum muslimin dan muslimat
barakallahu lii wa lakum fill qur'aanil azhiim
wa nafa'nii wa iyyakum bima fiihimaa minal aayaati wa dzikril hakiim
wa nafa'anaa bi hadii sayyidal mursaliin
wa biqawlihiil qawiim aquulu qawli haadza
wa astaghfirullaahal 'azhiim lii wa lakum
wa lii syaa-iril mu'miniina wal mu'minaat
wal muslimiina wal muslimaat min kulli dzanbii
fastaghfiruuhuu innahuu huwas samii'ul 'aliim
wa innahuu huwal ghafuurur rahiim
Duduk sebentar (tuma'ninah) untuk memberi kesempatan jamaah jum'at untuk beristighfar dan membaca shalawat pelan-pelan
Khutbah kedua aturannya persis sama dengan khutbah pertama semua urutan dari hamdalah, syahadat, shalawat, wasiat taqwa, ayat qur'an, dan do'a untuk seluruh orang muslim/muslimat dan mu'minin/mu'minat harus dipenuhi. Contoh bacaan yang berbeda pada khutbah kedua :
alhamdulillah,
alhamdulillaahi hamdan katsiiraan thayyiban mubaarakan fiihi
kamaa yuhibbu rabbunaa wa yuriidhuu
wa asyhadu an laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalahu
wa asyhadu annaa muhammadan 'abduhuu wa rasuuluhu
shallallaahu 'alaihi wa 'alaa aalihii wa shahbihi wa sallam
tasliiman katsiiran ilaa yaumid diin
amma ba'du
fattaquullaahu haqqut taqwaa kamaa amar
Bacaan penutup wasiat khutbah kedua dan membaca ayat al qur'an yang menyuruh bershalawat (al ahzab 56)
'ibaadallaah innallaaha amarakum bi amri bi da-aafiati binafsihi
wa tsanii bimalaaikatihil musabbihati biqudsihi
wa tsullatsaa bikum ayyuhal mu-minuuna min jannati wa insihi
fa qaalallaahu qawlan kariiman
innallaaha wa malaaikatahuu yushalluuuna 'alan nabii
yaa ayyuhal ladziina 'aamanuu shalluu 'alaihi wa salliimu tasliimaa
allaahumma shalli wa sallim wa baarik 'alaa 'abdukaa wa rusuulikaa muhammad
wa aridhallaahumma 'an khulafaa-ur raasyidiin
abi bakri wa 'umaara wa 'utsmaana wa 'alii
wa 'an syaa-iril aali wash shahaabati ajma'iin
wat taabi'iina wat taabi'it taabi'iina
wa man tabi'ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin
wa 'alaina ma'ahum birahmatika yaa arhamar raahimiin
Membaca do'a
allahummagh fir lil mu'miniina wal mu'minaat wal muslimiina wal muslimaat
al-ahyaa-i minhum wal amwaat innakas samii'un qariibun mujiibud da'wat
wa yaa qaadhiyal haajaat
allahumma inna....
baca do'a yang lain dan ditutup do'a
rabbanaa aatinaa fid dun-yaa hasanah wa fill aakhiraati hasanah wa qinaa 'adzaaban naar
Penutup khutbah kedua (bacaan ini didekritkan oleh khalifah umar bin abdul aziz harus dibaca karena pada masa itu khutbah jum'at sering digunakan untuk menyerang lawan politik oleh para khatib, diambil dari surat an nahl 90)
'ibaadallah
innallaaha ya-muruu bil 'adli wal ihsaan
wa iitaa-i dzil qurbaa
wa yanhaa 'anil fahsyaa-i wal munkari wal baghyi
yaizhzhukum la'allakum tadzakkaruun
fadzkurullaaha 'azhiimi wa yadzkurkum
fastaghfirullaaha yastajib lakum
wasykuruuhu 'alaa ni'matil latii
wa ladzikrullaahu akbaru
wa aqiimish shalah
Iqamat untuk shalat jum'at
MENYUSUN TEKS KHUTBAH AKTUAL DAN IDEOLOGIS
Khutbah aktual tujuannya adalah pencerahan yang bersifat fikriyyah siyasiyah. Tujuan yang hendak diraih adalah PERUBAHAN. Semua perubahan diawali dari konsepsi dan persepsi (mafahim). Dan inilah perubahan yang hakiki. Pilar sebuah perubahan akan sangat lemah bila hanya dilandasi oleh semangat yang tinggi atau sikap emosional dan reaksionaner. Ustad Ahmad Al Qashash menyarankan setiap perubahan harus diawali dengan memberi penyadaran berupa fakta yang ada (rusak) dan fakta ideal sebagai pengganti (al waqi' al badiil). Dan fakta pengganti adalah solusi yang ditawarkan berpijak pada ideologi yang benar. Mengapa ? Karena ideologi adalah sebagai keyakinan prinsip yang dibangun diatasnya berupa cabang pemikiran yang berupa anaeka ragam sistem, metode dan solusi yang bersifat syar'iy dan praktis.
Oleh karena itu langkah yang ditempuh merancang khutbah ideologis adalah:
1. Paparkan fakta yang hendak disoroti
2. Analisis fakta di atas berdasarkan perspektif rasional
3. Solusi Islam yang ditawarkan
Khutbah Jum’at merupakan salah satu media yang strategis untuk dakwah Islam, karena ia bersifat rutin dan wajib dihadiri oleh kaum muslimin secara berjamaah. Sayangnya, media ini terkadang kurang dimanfaatkan secara optimal. Para khathib seringkali menyampaikan khutbah yang membosankan yang berputar-putar dan itu-itu saja. Akibatnya, banyak para hadirin yang terkantuk-kantuk dan bahkan tertidur. Bahkan, ada satu anekdot yang menyebutkan, khutbah Jum’at adalah obat yang cukup mujarab untuk insomnia, penyakit sulit tidur. Maksudnya, kalau Anda terkena penyakit itu, hadirilah khutbah Jum’at, niscaya Anda akan dapat tertidur nyenyak !
Di samping itu, para khathib itu juga tak jarang menyampaikan khutbah dengan cara yang kurang sesuai dengan adab khutbah Jum’at yang seharusnya. Misalnya, mereka berkhutbah dengan suara yang lemah lembut. Mungkin dianggapnya itu adalah cara yang penuh “hikmah” dan lebih cocok dengan karakter orang Indonesia yang konon ramah tamah, mencintai harmonisasi kehidupan, serta suka kedamaian dan kelembutan (?). Tentu akibatnya lebih fatal. Sudah materinya membosankan, penyampaiannya malah bikin orang terlena di alam mimpi. Padahal menurut contoh Nabi SAW, beliau berkhutbah secara bersemangat dengan kata-kata yang terucap secara keras dan tegas. Jika para khathib menggunakan cara penyampaian yang diteladankan Nabi ini, dengan materi yang aktual, hangat, dan dinamis, niscaya para hadirin akan bergairah dan penuh semangat, tidak lesu dan mengantuk seperti yang sering kita lihat.
Karena itu, kita harus mempelajari kembali adab-adab khutbah Jumat sebagaimana yang ada dalam tuntunan Syariah Islam yang mulia. Tujuannya adalah agar para khathib dapat menjalankan khutbah Jum’at dengan sebaik-baiknya dan agar khutbah yang disampaikan dapat turut memberikan kontribusi yang lebih positif bagi dinamika dakwah Islam.
Adab Khutbah Jum’at
Adab khutbah Jum’at dapat diartikan sebagai sekumpulan tatacara khutbah Jum’at, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, dan hal-hal yang disunnahkan padanya.
Dengan pengertian tersebut, maka adab-adab khutbah Jum’at di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Disyaratkan bagi khatib pada kedua khutbah untuk berdiri (bagi yang kuasa), dengan sekali duduk di antara keduanya
2. Kedua khutbah itu merupakan syarat sah jum’atan, demikian menurut seluruh imam madzhab
3. Menurut Imam Asy Syafi’i, berdiri dalam dua khutbah dan duduk di antara keduanya adalah wajib
4. Dari Ibnu Umar RA, dia berkata, “Bahwa Nabi SAW berkhutbah pada hari Jum’at dengan berdiri, lalu duduk, lalu berdiri (untuk berkhutbah lagi) seperti yang dikerjakan orang-orang hari ini.” (HR. Jamaah)
2. Disunnahkan bagi khatib untuk memberi salam ketika masuk masjid dan ketika naik mimbar sebelum khutbah. Ibnu Umar RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW jika masuk masjid pada hari Jum’at memberi salam pada orang-orang yang duduk di sisi mimbar dan jika telah naik mimbar beliau menghadap hadirin dan mengucapkan salam. (HR. Ath Thabrani)6
3. Kedua khutbah wajib memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Rukun-rukun khutbah dalam madzhab Syafi’i ada 5 (lima)
: (1) Membaca hamdalah pada kedua khutbah,
(2) Membaca shalawat Nabi pada kedua khutbah,
(3) Wasiat taqwa pada kedua khutbah (meski tidak harus dengan kata “taqwa”, misalnya dengan kata Athiullah/taatilah kepada Allah),
(4) Membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu khutbah (pada khutbah pertama lebih utama),
(5) Membaca do’a untuk kaum muslimin khusus pada khutbah kedua.7
Adapun syarat-syaratnya ada 6 (enam) perkara :
(1) Kedua khutbah dilaksanakan mendahului shalat Jum’at,
(2) Diawali dengan niat, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, niat bukan syarat sah khutbah,
(3) Khutbah disampaikan dalam bahasa Arab. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa bagi kaum berbangsa Arab, rukun-rukun khutbah wajib berbahasa Arab, sedang selain rukun tidak disyaratkan demikian. Adapun bagi kaum ‘ajam (bukan Arab), pelaksanaan rukun-rukun khutbah tidak disyaratkan secara mutlak dengan bahasa Arab, kecuali pada bacaan ayat Al Qur’an
(4) Kedua khutbah dilaksanakan pada waktunya (setelah tergelincir matahari). Jika dilaksanakan sebelum waktunya, lalu dilaksanakan shalat Jum’at pada waktunya, maka khutbahnya tidak sah,
(5) Khatib disyaratkan mengeraskan suaranya pada kedua khutbah. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa rukun-rukun khutbah, khatib disyaratkan mengeraskan suaranya,
(6) Antara khutbah dan shalat Jum’at tidak boleh berselang waktu lama.
Sunnah Khutbah
a. Disunnahkan bagi khatib untuk berkhutbah di atas mimbar, sebab Nabi SAW dahulu berkhutbah di atas mimbar.
b. Disunnahkan bagi khatib untuk duduk pada anak tangga mimbar yang paling atas, sebab Nabi SAW telah mengerjakan yang demikian itu.
c. Disunnahkan bagi khatib untuk mengeraskan suaranya pada khutbahnya (selain rukun-rukun khutbah). Diriwayatkan dari Jabir RA, bahwa jika Rasulullah berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya keras, dan nampak sangat marah, sampai beliau seperti orang yang sedang menghasungkan pasukan (untuk berperang) (HR. Muslim dan Ibnu Majah)13.
d. Disunnahkan bagi khatib untuk bersandar / berpegangan pada tongkat atau busur panah. Ini sesuai riwayat Al Hakam bin Hazan RA yang mengatakan bahwa dia melihat Rasulullah SAW berkhutbah seraya bersandar pada busur panah atau tongkat (HR. Ahmad dan Abu Dawud)15.
e. Disunnahkan bagi khatib untuk memendekkan khutbahnya (tidak berpanjang-panjang atau bertele-tele). Diriwayatkan dari Amar bin Yasir RA, dia mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya lamanya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, adalah pertanda kepahamannya (dalam urusan agama). Maka panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah !” (HR. Ahmad dan Muslim)
f. Dibolehkan bagi khatib untuk memberi isyarat dengan telunjuknya pada saat berdoa mengingat Rasulullah pernah mengerjakannya. Demikian menurut Imam Asy Syaukani
g. Kedua khutbah wajib memperbincangkan salah satu urusan kaum muslimin, yakni peristiwa atau kejadian yang sedang terjadi di kalangan kaum muslim dalam berbagai aspeknya. Hal ini mengingat Rasulullah SAW dan para khalifahnya dahulu –yang senantiasa menjadi khatib– sesungguhnya berkedudukan sebagai pemimpin politik (Al Qaid As Siyasi) bagi kaum muslimin.
Maka dari itu, perkara khatib saat ini pun seharusnya juga mengaitkan khutbahnya dengan realitas atau problem kontemporer yang ada di kalangan kaum muslimin, dan tidak sekedar mengulang-ulang khutbah yang kurang memberi kesadaran bagi hadirin, dengan tema yang itu-itu saja yang tentu akan membuat hadirin jemu, mengantuk, atau bahkan tertidur. Wallahu a’lam.
CATATAN :
Kata “adab” (jamknya “aadaab”) dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna, di antaranya adalah sejumlah tatacara yang selayaknya dilaksanakan oleh orang yang mempunyai pekerjaan / profesi (fan) atau aktivitas/tugas (shina’ah/tashurruf) tertentu. Misalnya, abad-adab Qadly (hakim) atau Khatib (penulis / pengarang). Lihat Al Mu’jamul Wasith, Dr. Ibrahim Anis dkk., hal. 9-10. Lihat Kamus Al Munawwir, Ahmad Warson Munawwir, jal. 14, 115, dan 853.
Makalah ini disampaikan pada Kursus Khatib , yang diselenggarakan oleh ROHIS MAN Kotabumi
Tata Cara Khutbah Jum'at
Membaca basmalah : bismillaahir rahmaanir rahiimi
Mengucapkan salam : assalaamu 'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu
Adzan
Membaca hamdalah :
innalhamdalillaah, nahmaduhuu
wa nasta'iinuhuu wa nastaghfiruhu
wa na'uudzubillaahi min syuruuri 'anfusinaa
wa min syayyi-aati a'maalinaa
man yahdillaahu falaa mudhillalahu
wa man yudhlilhu falaa haadiyalahu
Membaca syahadat :
asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalaahu
wa asyhadu annaa muhammadan 'abduhuu wa rasuuluhuu
laa nabiyya ba'dahu
Membaca shalawat :
allaahumma shalli 'alaa syayyidinaa muhammadin
wa 'alaa aalihii wa shahbihii 'ajma'iin
Membaca ayat alqur'an : yang mengajak bertaqwa kepada allah (biasanya khatib membaca ali imran ayat 102)
fa-uushiikum wa nafsii bit taquullaah
qaalallaahu ta'aala fiil qur'aanil kariim
a'uudzubillaahi minasy syaithoonir rajiim
yaa ayyuhal ladziina 'aamanuu
ittaquullaaha haqqaa tuqaatihi
wa laa tamuutunnaa illaa wa antum muslimuun
wa qaalallahu ta'aalaa fil qur'aanil karim
audzubillaahimina sy syaitoon nirrojiim ...
Membaca ayat alqur'an yang lain sesuai dengan topik khutbah
amma ba'du
Berwasiat : untuk diri sendiri dan jamaah agar selalu dan meningkatkan taqwa kepada Allah SWT
Mulai berkhutbah sesuai topiknya memanggil jamaah bisa dengan panggilan ayyuhal muslimun atau ma'asyiral muslimin rahimakumullah, atau sidang jum'at yang dirahmati allah.
Menutup khutbah pertama dengan do'a untuk seluruh kaum muslimin dan muslimat
barakallahu lii wa lakum fill qur'aanil azhiim
wa nafa'nii wa iyyakum bima fiihimaa minal aayaati wa dzikril hakiim
wa nafa'anaa bi hadii sayyidal mursaliin
wa biqawlihiil qawiim aquulu qawli haadza
wa astaghfirullaahal 'azhiim lii wa lakum
wa lii syaa-iril mu'miniina wal mu'minaat
wal muslimiina wal muslimaat min kulli dzanbii
fastaghfiruuhuu innahuu huwas samii'ul 'aliim
wa innahuu huwal ghafuurur rahiim
Duduk sebentar (tuma'ninah) untuk memberi kesempatan jamaah jum'at untuk beristighfar dan membaca shalawat pelan-pelan
Khutbah kedua aturannya persis sama dengan khutbah pertama semua urutan dari hamdalah, syahadat, shalawat, wasiat taqwa, ayat qur'an, dan do'a untuk seluruh orang muslim/muslimat dan mu'minin/mu'minat harus dipenuhi. Contoh bacaan yang berbeda pada khutbah kedua :
alhamdulillah,
alhamdulillaahi hamdan katsiiraan thayyiban mubaarakan fiihi
kamaa yuhibbu rabbunaa wa yuriidhuu
wa asyhadu an laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalahu
wa asyhadu annaa muhammadan 'abduhuu wa rasuuluhu
shallallaahu 'alaihi wa 'alaa aalihii wa shahbihi wa sallam
tasliiman katsiiran ilaa yaumid diin
amma ba'du
fattaquullaahu haqqut taqwaa kamaa amar
Bacaan penutup wasiat khutbah kedua dan membaca ayat al qur'an yang menyuruh bershalawat (al ahzab 56)
'ibaadallaah innallaaha amarakum bi amri bi da-aafiati binafsihi
wa tsanii bimalaaikatihil musabbihati biqudsihi
wa tsullatsaa bikum ayyuhal mu-minuuna min jannati wa insihi
fa qaalallaahu qawlan kariiman
innallaaha wa malaaikatahuu yushalluuuna 'alan nabii
yaa ayyuhal ladziina 'aamanuu shalluu 'alaihi wa salliimu tasliimaa
allaahumma shalli wa sallim wa baarik 'alaa 'abdukaa wa rusuulikaa muhammad
wa aridhallaahumma 'an khulafaa-ur raasyidiin
abi bakri wa 'umaara wa 'utsmaana wa 'alii
wa 'an syaa-iril aali wash shahaabati ajma'iin
wat taabi'iina wat taabi'it taabi'iina
wa man tabi'ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin
wa 'alaina ma'ahum birahmatika yaa arhamar raahimiin
Membaca do'a
allahummagh fir lil mu'miniina wal mu'minaat wal muslimiina wal muslimaat
al-ahyaa-i minhum wal amwaat innakas samii'un qariibun mujiibud da'wat
wa yaa qaadhiyal haajaat
allahumma inna....
baca do'a yang lain dan ditutup do'a
rabbanaa aatinaa fid dun-yaa hasanah wa fill aakhiraati hasanah wa qinaa 'adzaaban naar
Penutup khutbah kedua (bacaan ini didekritkan oleh khalifah umar bin abdul aziz harus dibaca karena pada masa itu khutbah jum'at sering digunakan untuk menyerang lawan politik oleh para khatib, diambil dari surat an nahl 90)
'ibaadallah
innallaaha ya-muruu bil 'adli wal ihsaan
wa iitaa-i dzil qurbaa
wa yanhaa 'anil fahsyaa-i wal munkari wal baghyi
yaizhzhukum la'allakum tadzakkaruun
fadzkurullaaha 'azhiimi wa yadzkurkum
fastaghfirullaaha yastajib lakum
wasykuruuhu 'alaa ni'matil latii
wa ladzikrullaahu akbaru
wa aqiimish shalah
Iqamat untuk shalat jum'at
MENYUSUN TEKS KHUTBAH AKTUAL DAN IDEOLOGIS
Khutbah aktual tujuannya adalah pencerahan yang bersifat fikriyyah siyasiyah. Tujuan yang hendak diraih adalah PERUBAHAN. Semua perubahan diawali dari konsepsi dan persepsi (mafahim). Dan inilah perubahan yang hakiki. Pilar sebuah perubahan akan sangat lemah bila hanya dilandasi oleh semangat yang tinggi atau sikap emosional dan reaksionaner. Ustad Ahmad Al Qashash menyarankan setiap perubahan harus diawali dengan memberi penyadaran berupa fakta yang ada (rusak) dan fakta ideal sebagai pengganti (al waqi' al badiil). Dan fakta pengganti adalah solusi yang ditawarkan berpijak pada ideologi yang benar. Mengapa ? Karena ideologi adalah sebagai keyakinan prinsip yang dibangun diatasnya berupa cabang pemikiran yang berupa anaeka ragam sistem, metode dan solusi yang bersifat syar'iy dan praktis.
Oleh karena itu langkah yang ditempuh merancang khutbah ideologis adalah:
1. Paparkan fakta yang hendak disoroti
2. Analisis fakta di atas berdasarkan perspektif rasional
3. Solusi Islam yang ditawarkan
Selasa, 03 Januari 2012
Rabu, 21 Desember 2011
Peringkat Kelas XI IPA 1 MAN Ktb T.P 2011/212
DAFTAR PERINGKAT KELAS XI IPA 1
MAN KOTABUMI TP.2011/2012
NO NAMA KETERANGAN
1 RIZQI FADHILAH 84,44
2 NURHAYATI RAHIM 81,00
3 BAYU HABIBI 79,30
4 FAISAL ZULMI 79,22
5 NUR AFRIYANI 79,19
6 DWI RAHAYU 79,00
7 DESI APRIYANTI 78,96
8 SITI HALIMATUS. S 78,67
9 AGUSTINA 78,44
10 NINA ANDRIANA 78,30
11 NAJJARIA 77,96
12 HUSNI AZIS 77,93
13 ARI JULIANSYAH 77,89
14 SRI WAHYUNI 77,77
15 M.AMMAR SAJID 77,63
16 MERY PURNAMA SARI 77,63
17 ENDANG WIJAYANTI 77,56
18 ANASTASYA RENITA PUTRI 77,52
19 FAJROINI 77,52
20 DIANA SARI 77,48
21 AHMAD FITRA 77,44
22 AHMAD MAKSUM SAIFULLOH 77,41
23 WIDYAWATI 77,37
24 RATNA SARI 77,11
25 SHOPAN ARDY WIGUNA 77,07
26 NETI HANDAYANI 77,04
27 RAHMA DANIA 76,85
28 ZULKARNAEN YUSUF 76,85
29 AYUDINAJAN FITRI 76,78
30 ZULVA MEIDAYANI 76,78
31 WIDYA NURDIYATI 76,70
32 WILDA AGUSTINA 76,63
33 SULASTRI 76,48
34 WIDYA ASTUTI . R 76,41
35 YOSIE BERLIAN AZHARI 76,33
36 FINA ROSYA AGUSTIN 76,19
37 RIKI DARYANTO 76,19
38 NASRUN SIDIK 76,11
39 DIDI KURNIAWAN 75,78
40 SEFI ANGGIANTO 75,74
Kotabumi, 17 DESEMBER 2011
Wali Kelas
Drs.H.M.MUNZIR, MHI
NIP 19550414 1986031001
MAN KOTABUMI TP.2011/2012
NO NAMA KETERANGAN
1 RIZQI FADHILAH 84,44
2 NURHAYATI RAHIM 81,00
3 BAYU HABIBI 79,30
4 FAISAL ZULMI 79,22
5 NUR AFRIYANI 79,19
6 DWI RAHAYU 79,00
7 DESI APRIYANTI 78,96
8 SITI HALIMATUS. S 78,67
9 AGUSTINA 78,44
10 NINA ANDRIANA 78,30
11 NAJJARIA 77,96
12 HUSNI AZIS 77,93
13 ARI JULIANSYAH 77,89
14 SRI WAHYUNI 77,77
15 M.AMMAR SAJID 77,63
16 MERY PURNAMA SARI 77,63
17 ENDANG WIJAYANTI 77,56
18 ANASTASYA RENITA PUTRI 77,52
19 FAJROINI 77,52
20 DIANA SARI 77,48
21 AHMAD FITRA 77,44
22 AHMAD MAKSUM SAIFULLOH 77,41
23 WIDYAWATI 77,37
24 RATNA SARI 77,11
25 SHOPAN ARDY WIGUNA 77,07
26 NETI HANDAYANI 77,04
27 RAHMA DANIA 76,85
28 ZULKARNAEN YUSUF 76,85
29 AYUDINAJAN FITRI 76,78
30 ZULVA MEIDAYANI 76,78
31 WIDYA NURDIYATI 76,70
32 WILDA AGUSTINA 76,63
33 SULASTRI 76,48
34 WIDYA ASTUTI . R 76,41
35 YOSIE BERLIAN AZHARI 76,33
36 FINA ROSYA AGUSTIN 76,19
37 RIKI DARYANTO 76,19
38 NASRUN SIDIK 76,11
39 DIDI KURNIAWAN 75,78
40 SEFI ANGGIANTO 75,74
Kotabumi, 17 DESEMBER 2011
Wali Kelas
Drs.H.M.MUNZIR, MHI
NIP 19550414 1986031001
Senin, 28 November 2011
Keutaman Bulan Muharram dan Puasa Asyura
Keutamaan
Bulan Muharram dan Puasa 'Asyura
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlipah untuk Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya dan seluruh umatnya sampai akhir zaman.
Sesungguhnya syahrullah (bulan Allah) Muharram adalah bulan yang agung dan diberkahi. Bulan pertama dari penanggalan hijriyah. Dan salah satu dari empat bulan haram yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
إنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. Al-Taubah: 36)
Dalam sebuah Hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,bersabda
اَلسَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ: ثَلاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
"Setahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya terdapat empat bulan yang dihormati. Yang tiga berurutan, yaitu Dzul Qa'dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Sedangkan (satunya adalah) Rajab Mudhar yang berada antara Jumadil Tsaniah dan Sya'ban." (HR. Bukhari no. 2958). Dan dinamakan Muharram karena dia termasuk bulan yang diharamkan (dihormati) dan keharamannya tadi diperkuat lagi dengan namanya.
Sedangkan makna firman Allah Ta’ala, “Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu,” maksudnya jangan kamu menzalimi dirimu sendiri pada bulan-bulan haram ini. Karena dosanya lebih besar daripada bulan-bulan selainnya.
. . . jangan kamu menzalimi dirimu sendiri pada bulan-bulan haram ini. Karena dosanya lebih besar daripada bulan-bulan selainnya.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma memahami dari firman Allah Ta’ala “Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu”, bahwa larangan berbuat zalim berlaku pada keseluruhan bulan, lalu Allah menghususkan empat bulan dan menjadikannya sebagai bulan mulia dan lebih mengagungkan kehormatannya. Dia menjadikan dosa di dalamnya lebih besar, begitu juga amal shalih dan pahala lebih besar.
Menurut Imam Qatadah rahimahullaah, bahwa kezaliman pada bulan-bulan haram lebih besar dosanya daripada berbuat zalim di selainnya. Walaupun perbuatan zalim (dosa) secara keseluruhan adalah perkara besar (dosa besar), tapi Allah melebihkan perkara sesuai dengan kehendak-Nya. Sebagimana Allah telah memilih hamba-hamba pilihan dari makhluk-Nya: Dia telah memilih beberapa dari malaikat sebagai rasul, begitu dari antara manusia sebagai rasul (utusan-Nya). Dia memilih dari beberapa kalam-Nya sebagai bahan untuk berdzikir kepada-Nya. Dia juga memilih dari beberapa tanah di bumi ini sebagai masjid. Dia juga telah memilih bulan Ramadhan dan bulan-bulan haram dari beberapa bulan yang ada. Dia telah memilih hari Jum’at dari sejumlah hari dan memilih Lailatul Qadar dari beberapa malam. Maka agungkan apa yang telah Dia agungkan, karena sesungguhnya mulia dan agungnya sesuatu tergantung pada pengagungan Allah terhadapnya pada sisi orang yang paham lagi berakal.” (Ringkasan Tafsir QS. Al-Taubah: 36 dari Tafsir Ibnu Katsir)
Bahwa larangan berbuat zalim berlaku pada keseluruhan bulan, lalu Allah menghususkan empat bulan dan menjadikannya sebagai bulan mulia dan lebih mengagungkan kehormatannya. Dia menjadikan dosa di dalamnya lebih besar, begitu juga amal shalih dan pahala lebih besar. (Ibnu Abbas)
Keutamaan Memperbanyak Puasa Sunnah Pada Bulan Muharram
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
"Puasa yang paling utama sesudah puasa Ramadlan adalah puasa pada Syahrullah (bulan Allah) Muharram. Sedangkan shalat malam merupakan shalat yang paling utama sesudah shalat fardlu." (HR. Muslim, no. 1982)
Sabda beliau, “syahrullah (bulan Allah)” penyandaran kata bulan kepada Allah merupakan penyadaran pengagungan. Imam Al-Qaari berkata, “Secara zahir, maksudnya seluruh (hari-hari pada) bulan muharram.” Tetapi telah disebutkan dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam tidak pernah sama sekali berpuasa sebulan penuh kecuali di Ramadhan. Maka hadits ini dipahami, dianjurkan untuk memperbanyak puasa pada bulan Muharram bukan seluruhnya.
Didapatkan juga keterangan bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban dan boleh jadi belum diwahyukan kepada beliau tentang keutamaan bulam Muharram kecuali pada akhir hayat beliau sebelum diperintahkan berpusa padanya.” (Syarah Shahih Muslim)
Allah Memilih Tempat dan Waktu Sesuai Kehendak-Nya
Al-‘Izz bin Abdissalam rahimahullaah menyebutkan tentang pengutamaan beberapa tempat dan waktu. Dalam hal ini ada dua bentuk: Pertama, duniawi. Kedua, Pengutamaan secara keagamaan yang dikembalikan kepada Allah. Dia memberikan kebaikan kepada para hamba-Nya dengan mengutamakan (meningkatkan) pahala pelakunya sebagaimana pengutamaan puasa pada setiap bulan, begitu juga puasa hari ‘Asyura. Keutamaannya dikembalikan kepada kebaikan Allah kepada para hamba-Nya pada saat itu.” (Disarikan dari Qawaid al-Ahkam: I/38)
8 Asyura Dalam Sejarah
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, berkata: “Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam tiba di Madinah dan melihat orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari baik. Pada hari ini Allah telah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa padanya” Beliau menjawab, “Maka saya lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Lalu beliau berpusa dan memerintahkan agar berpusa padanya.” (HR. Al-Bukhari no. 1865)
Untuk lebih jelasnya kunjungi Blog : http://mmunzir.blogspot.com
dalam riwayat Muslim, “Ini hari yang agung, di mana pada hari itu Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’an dan kaumnya.”
Sedangkankan kalimat “Maka Musa berpuasa padanya,” dalam riwayat muslim dengan redaksi lain, “Sebagai bentuk syukur kepada Allah Ta’ala, maka kami berpuasa padanya.”
Dalam riwayat al-Bukhari, “Dan kami berpuasa padanya untuk mengagungkannya.” Sedangkan dalam riwayat Ahmad dengan tambahan, “Hari itu adalah hari mendaratnya perahu Nuh di atas gukit al-Judiy, maka Nuh 'alaihis salam berpuasa padanya.”
Sedangkan sabda beliau, “Dan memerintahkan berpuasa padanya,” pada riwayat lain dalam shahih al-Bukhari, “Maka beliau bersabda kepada para sahabatnya, ‘Kalian lebih berhak terhadap Musa daripada mereka, maka berpuasalah’.”
Sesungguhnya puasa ‘Asyura sudah dikenal sejak zaman jahiliyah sebelum diutusnya Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Sesungguhnya orang-orang jahiliyah berpuasa ‘Asyura.” Menurut al-Qurthubi, boleh jadi bangsa Quraisy menyandarkan puasa ‘Asyura kepada syariat umat sebelumnya seperti Nabi Ibrahim 'alaihis salam. Dan telah diriwayatkan juga, bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam berpuasa Asyura saat masih di Makkah sebelum hijrah ke Madinah. Maka ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpesta pada hari itu. Lalu beliau bertanya kepada mereka tentang sebabnya. Mereka menjawab sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas. Lalu Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar menyelisihi mereka supaya tidak menjadikannya sebagai hari besar sebagaimana yang diterangkan dalam hadits Abu Musa. Dia berkata, “Adalah hari ‘Asyura dijadikan oleh orang Yahudi sebagai hari besar (hari raya).” Dalam riwayat Muslim, “Adalah hari ‘Asyura diagungkan oleh orang Yahudi dan dijadikan sebagai hari besar (hari raya).” Dalam redaksi lain dalam riwayat Muslim, “Adalah penduduk Khaibar (Yahudi) menjadikannya sebagai hari besar (hari raya). Mereka memakaikan perhiasan dan pakaian indah kepada kaum wanitanya.” Lalu beliau shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Maka berpuasalah kalian padanya.” (HR. al-Bukahri)
Secara zahir, perintah berpuasa pada hari ‘Asyura untuk menyelisihi orang Yahudi sehingga hari yang mereka rayakan untuk bersenang-senang kita diperintahkan untuk berpuasa padanya. Karena pada hari raya tidak boleh berpuasa.” (Ringkasan dari keterangan Ibnul Hajar rahimahullaah dalam Fath al-Baari Syarah Shahih al-Bukhari)
Secara zahir, perintah berpuasa pada hari ‘Asyura untuk menyelisihi orang Yahudi sehingga hari yang mereka rayakan untuk bersenang-senang kita diperintahkan untuk berpuasa padanya.
Keutamaan Hari ‘Asyura
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, berkata, “Aku tidak pernah melihat Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam serius berpuasa sebagaimana berpuasa pada hari yang dimuliakannya atas hari selainnya kecuali hari ini, yakni hari ‘Asyura. Dan juga pada bulan ini, yakni bulan Ramadlan.” (HR. al-Bukahri no. 1867) semangat beliau tersebut dengan menyengaja puasa untuk mendapatkan pahalanya dan sangat-sangat menganjurkannya.
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Puasa hari ‘Asyura, sungguh saya berharap kepada Allah supaya menghapuskan dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim, no. 1976) dan ini merupakan karunia Allah untuk kita dengan menjadikan berpuasa satu hari untuk menghapus dosa setahun penuh, dan sungguh Allah adalah pemilik karunia yang besar.
Kapankah Hari ‘Asyura Itu?
Menurut penjelasan Imam al-Nawawi rahimahullaah, ‘Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram. Sedangkan tasu’a adalah hari kesembilannya. Demikianlah pendapat jumhur ulama dan yang nampak dari zahir hadits berdasarkan kemutlakan lafaznya dan yang sudah ma’ruf menurut ahli bahasa. (Disarikan dari al-Majmu’)
Ibnu Qudamah berkata, ‘Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram. Ini merupakan pendapat Sa’id bin Musayyib dan al-Hasan al-Bashri yang sesuai dengan yang diriwayat dari Ibnu ‘Abbas, “Rasullah shallallaahu 'alaihi wasallam memerintahkan berpuasa pada hari ‘Asyura, hari kesepuluh dari bulan Muharram.” (HR. al-Tirmidzi, beliau menyatakan hadits tersebut hasan shahih)
Disunnahkah berpuasa Tasu’a dan ‘Asyura
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata, “Ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa padanya, mereka menyampaikan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari itu adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nashrani.’ Lalu beliau shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau begitu, pada tahun depan insya Allah kita berpuasa pada hari kesembilan’. Dan belum tiba tahun yang akan datang, namun Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam sudah wafat.” HR. Muslim, no. 1916)
Berkata Imam al-Syafi’i dan para sahabatnya, Ahmad, Ishaq dan selainnya, “Disunnahkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh secara keseluruhan, karena Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah berpuasa pada hari ke sepuluh dan berniat puasa pada hari kesembilan.”
Disunnahkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh secara keseluruhan, karena Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah berpuasa pada hari ke sepuluh dan berniat puasa pada hari kesembilan.
Dari sini, maka puasa ‘Asyura memiliki beberapa tingkatan: Paling rendah, berpuasa pada hari itu saja (hari kesepuluh saja). Di atasnya, berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh. Terakhir, memperbanyak puasa pada bulan Muharram ini dan itulah yang terbaik dan terbagus. Wallahu Ta’ala a’lam.
Bulan Muharram dan Puasa 'Asyura
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlipah untuk Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya dan seluruh umatnya sampai akhir zaman.
Sesungguhnya syahrullah (bulan Allah) Muharram adalah bulan yang agung dan diberkahi. Bulan pertama dari penanggalan hijriyah. Dan salah satu dari empat bulan haram yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
إنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. Al-Taubah: 36)
Dalam sebuah Hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,bersabda
اَلسَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ: ثَلاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
"Setahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya terdapat empat bulan yang dihormati. Yang tiga berurutan, yaitu Dzul Qa'dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Sedangkan (satunya adalah) Rajab Mudhar yang berada antara Jumadil Tsaniah dan Sya'ban." (HR. Bukhari no. 2958). Dan dinamakan Muharram karena dia termasuk bulan yang diharamkan (dihormati) dan keharamannya tadi diperkuat lagi dengan namanya.
Sedangkan makna firman Allah Ta’ala, “Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu,” maksudnya jangan kamu menzalimi dirimu sendiri pada bulan-bulan haram ini. Karena dosanya lebih besar daripada bulan-bulan selainnya.
. . . jangan kamu menzalimi dirimu sendiri pada bulan-bulan haram ini. Karena dosanya lebih besar daripada bulan-bulan selainnya.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma memahami dari firman Allah Ta’ala “Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu”, bahwa larangan berbuat zalim berlaku pada keseluruhan bulan, lalu Allah menghususkan empat bulan dan menjadikannya sebagai bulan mulia dan lebih mengagungkan kehormatannya. Dia menjadikan dosa di dalamnya lebih besar, begitu juga amal shalih dan pahala lebih besar.
Menurut Imam Qatadah rahimahullaah, bahwa kezaliman pada bulan-bulan haram lebih besar dosanya daripada berbuat zalim di selainnya. Walaupun perbuatan zalim (dosa) secara keseluruhan adalah perkara besar (dosa besar), tapi Allah melebihkan perkara sesuai dengan kehendak-Nya. Sebagimana Allah telah memilih hamba-hamba pilihan dari makhluk-Nya: Dia telah memilih beberapa dari malaikat sebagai rasul, begitu dari antara manusia sebagai rasul (utusan-Nya). Dia memilih dari beberapa kalam-Nya sebagai bahan untuk berdzikir kepada-Nya. Dia juga memilih dari beberapa tanah di bumi ini sebagai masjid. Dia juga telah memilih bulan Ramadhan dan bulan-bulan haram dari beberapa bulan yang ada. Dia telah memilih hari Jum’at dari sejumlah hari dan memilih Lailatul Qadar dari beberapa malam. Maka agungkan apa yang telah Dia agungkan, karena sesungguhnya mulia dan agungnya sesuatu tergantung pada pengagungan Allah terhadapnya pada sisi orang yang paham lagi berakal.” (Ringkasan Tafsir QS. Al-Taubah: 36 dari Tafsir Ibnu Katsir)
Bahwa larangan berbuat zalim berlaku pada keseluruhan bulan, lalu Allah menghususkan empat bulan dan menjadikannya sebagai bulan mulia dan lebih mengagungkan kehormatannya. Dia menjadikan dosa di dalamnya lebih besar, begitu juga amal shalih dan pahala lebih besar. (Ibnu Abbas)
Keutamaan Memperbanyak Puasa Sunnah Pada Bulan Muharram
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
"Puasa yang paling utama sesudah puasa Ramadlan adalah puasa pada Syahrullah (bulan Allah) Muharram. Sedangkan shalat malam merupakan shalat yang paling utama sesudah shalat fardlu." (HR. Muslim, no. 1982)
Sabda beliau, “syahrullah (bulan Allah)” penyandaran kata bulan kepada Allah merupakan penyadaran pengagungan. Imam Al-Qaari berkata, “Secara zahir, maksudnya seluruh (hari-hari pada) bulan muharram.” Tetapi telah disebutkan dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam tidak pernah sama sekali berpuasa sebulan penuh kecuali di Ramadhan. Maka hadits ini dipahami, dianjurkan untuk memperbanyak puasa pada bulan Muharram bukan seluruhnya.
Didapatkan juga keterangan bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban dan boleh jadi belum diwahyukan kepada beliau tentang keutamaan bulam Muharram kecuali pada akhir hayat beliau sebelum diperintahkan berpusa padanya.” (Syarah Shahih Muslim)
Allah Memilih Tempat dan Waktu Sesuai Kehendak-Nya
Al-‘Izz bin Abdissalam rahimahullaah menyebutkan tentang pengutamaan beberapa tempat dan waktu. Dalam hal ini ada dua bentuk: Pertama, duniawi. Kedua, Pengutamaan secara keagamaan yang dikembalikan kepada Allah. Dia memberikan kebaikan kepada para hamba-Nya dengan mengutamakan (meningkatkan) pahala pelakunya sebagaimana pengutamaan puasa pada setiap bulan, begitu juga puasa hari ‘Asyura. Keutamaannya dikembalikan kepada kebaikan Allah kepada para hamba-Nya pada saat itu.” (Disarikan dari Qawaid al-Ahkam: I/38)
8 Asyura Dalam Sejarah
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, berkata: “Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam tiba di Madinah dan melihat orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari baik. Pada hari ini Allah telah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa padanya” Beliau menjawab, “Maka saya lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Lalu beliau berpusa dan memerintahkan agar berpusa padanya.” (HR. Al-Bukhari no. 1865)
Untuk lebih jelasnya kunjungi Blog : http://mmunzir.blogspot.com
dalam riwayat Muslim, “Ini hari yang agung, di mana pada hari itu Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’an dan kaumnya.”
Sedangkankan kalimat “Maka Musa berpuasa padanya,” dalam riwayat muslim dengan redaksi lain, “Sebagai bentuk syukur kepada Allah Ta’ala, maka kami berpuasa padanya.”
Dalam riwayat al-Bukhari, “Dan kami berpuasa padanya untuk mengagungkannya.” Sedangkan dalam riwayat Ahmad dengan tambahan, “Hari itu adalah hari mendaratnya perahu Nuh di atas gukit al-Judiy, maka Nuh 'alaihis salam berpuasa padanya.”
Sedangkan sabda beliau, “Dan memerintahkan berpuasa padanya,” pada riwayat lain dalam shahih al-Bukhari, “Maka beliau bersabda kepada para sahabatnya, ‘Kalian lebih berhak terhadap Musa daripada mereka, maka berpuasalah’.”
Sesungguhnya puasa ‘Asyura sudah dikenal sejak zaman jahiliyah sebelum diutusnya Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Sesungguhnya orang-orang jahiliyah berpuasa ‘Asyura.” Menurut al-Qurthubi, boleh jadi bangsa Quraisy menyandarkan puasa ‘Asyura kepada syariat umat sebelumnya seperti Nabi Ibrahim 'alaihis salam. Dan telah diriwayatkan juga, bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam berpuasa Asyura saat masih di Makkah sebelum hijrah ke Madinah. Maka ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpesta pada hari itu. Lalu beliau bertanya kepada mereka tentang sebabnya. Mereka menjawab sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas. Lalu Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar menyelisihi mereka supaya tidak menjadikannya sebagai hari besar sebagaimana yang diterangkan dalam hadits Abu Musa. Dia berkata, “Adalah hari ‘Asyura dijadikan oleh orang Yahudi sebagai hari besar (hari raya).” Dalam riwayat Muslim, “Adalah hari ‘Asyura diagungkan oleh orang Yahudi dan dijadikan sebagai hari besar (hari raya).” Dalam redaksi lain dalam riwayat Muslim, “Adalah penduduk Khaibar (Yahudi) menjadikannya sebagai hari besar (hari raya). Mereka memakaikan perhiasan dan pakaian indah kepada kaum wanitanya.” Lalu beliau shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Maka berpuasalah kalian padanya.” (HR. al-Bukahri)
Secara zahir, perintah berpuasa pada hari ‘Asyura untuk menyelisihi orang Yahudi sehingga hari yang mereka rayakan untuk bersenang-senang kita diperintahkan untuk berpuasa padanya. Karena pada hari raya tidak boleh berpuasa.” (Ringkasan dari keterangan Ibnul Hajar rahimahullaah dalam Fath al-Baari Syarah Shahih al-Bukhari)
Secara zahir, perintah berpuasa pada hari ‘Asyura untuk menyelisihi orang Yahudi sehingga hari yang mereka rayakan untuk bersenang-senang kita diperintahkan untuk berpuasa padanya.
Keutamaan Hari ‘Asyura
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, berkata, “Aku tidak pernah melihat Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam serius berpuasa sebagaimana berpuasa pada hari yang dimuliakannya atas hari selainnya kecuali hari ini, yakni hari ‘Asyura. Dan juga pada bulan ini, yakni bulan Ramadlan.” (HR. al-Bukahri no. 1867) semangat beliau tersebut dengan menyengaja puasa untuk mendapatkan pahalanya dan sangat-sangat menganjurkannya.
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Puasa hari ‘Asyura, sungguh saya berharap kepada Allah supaya menghapuskan dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim, no. 1976) dan ini merupakan karunia Allah untuk kita dengan menjadikan berpuasa satu hari untuk menghapus dosa setahun penuh, dan sungguh Allah adalah pemilik karunia yang besar.
Kapankah Hari ‘Asyura Itu?
Menurut penjelasan Imam al-Nawawi rahimahullaah, ‘Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram. Sedangkan tasu’a adalah hari kesembilannya. Demikianlah pendapat jumhur ulama dan yang nampak dari zahir hadits berdasarkan kemutlakan lafaznya dan yang sudah ma’ruf menurut ahli bahasa. (Disarikan dari al-Majmu’)
Ibnu Qudamah berkata, ‘Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram. Ini merupakan pendapat Sa’id bin Musayyib dan al-Hasan al-Bashri yang sesuai dengan yang diriwayat dari Ibnu ‘Abbas, “Rasullah shallallaahu 'alaihi wasallam memerintahkan berpuasa pada hari ‘Asyura, hari kesepuluh dari bulan Muharram.” (HR. al-Tirmidzi, beliau menyatakan hadits tersebut hasan shahih)
Disunnahkah berpuasa Tasu’a dan ‘Asyura
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata, “Ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa padanya, mereka menyampaikan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari itu adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nashrani.’ Lalu beliau shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau begitu, pada tahun depan insya Allah kita berpuasa pada hari kesembilan’. Dan belum tiba tahun yang akan datang, namun Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam sudah wafat.” HR. Muslim, no. 1916)
Berkata Imam al-Syafi’i dan para sahabatnya, Ahmad, Ishaq dan selainnya, “Disunnahkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh secara keseluruhan, karena Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah berpuasa pada hari ke sepuluh dan berniat puasa pada hari kesembilan.”
Disunnahkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh secara keseluruhan, karena Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah berpuasa pada hari ke sepuluh dan berniat puasa pada hari kesembilan.
Dari sini, maka puasa ‘Asyura memiliki beberapa tingkatan: Paling rendah, berpuasa pada hari itu saja (hari kesepuluh saja). Di atasnya, berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh. Terakhir, memperbanyak puasa pada bulan Muharram ini dan itulah yang terbaik dan terbagus. Wallahu Ta’ala a’lam.
Senin, 14 November 2011
Hukum Arisan
Hukum Arisan
Pertanyaan, “Apa hukum arisan? Arisan adalah sekumpulan orang yang menyerahkan sejumlah uang setiap bulan sehingga ada orang yang secara bergilir mendapatkan uang-uang tersebut setiap bulannya. Apakah ini termasuk transaksi hutang piutang yang membuahkan manfaat tambahan?”
هذا لا بأس به، هذا سبب تعاوني، يعني: يكون الإنسان محتاجًا عشرة أو عشرين، ثم كل واحد يستلم رواتبهم مرّة، يستلم رواتب الجميع مرة، ثم الثاني في الشهر الثاني، ثم الثالث، ليس فيه شيء بهذه المثابة.
“Hal ini hukumnya adalah tidak mengapa. Arisan itu termasuk dalam bagian dari upaya tolong menolong. Ada sepuluh atau dua puluh orang kemudian setiap orang menerima uang yang berasal dari gabungan semua anggota arisan secara bergilir. Kegiatan semacam ini tidaklah masalah”.
Mubah adalah hukum asal arisan menurut pendapat yang paling kuat. Namun hukum asal ini bisa berubah menurut situasi dan kondisi.
Akhir-akhir ini berkembang di tengah- tengah masyarakat macam-macam arisan, ada arisan motor, arisan haji, arisan gula, arisan semen dan lain-lain. Bagaimana sebenarnya hukum arisan dalam Islam, karena ada sebagian kalangan yang mengharamkannya. Apakah semua bentuk arisan dibolehkan atau di dalamnya ada perinciannya ?
Pengertian Arisan
Di dalam beberapa kamus disebutkan bahwa Arisan adalah pengumpulan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang, lalu diundi diantara mereka. Undian tersebut dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya. ( Kamus Umum Bahasa Indonesia, Wjs. Poerwadarminta, PN Balai Pustaka, 1976 hlm : 57 ).
Hukum Arisan Secara Umum.
Arisan secara umum termasuk muamalat yang belum pernah disinggung di dalam Al Qur’an dan as Sunnah secara langsung, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal muamalah, yaitu dibolehkan. Para ulama menyebutkan hal tersebut dengan mengemukakan kaedah fikih yang berbunyi :
الأصل في العقود والمعاملات الحل و الجواز
“ Pada dasarnya hukum transaksi dan muamalah itu adalah halal dan boleh “ ( Sa’dudin Muhammad al Kibyi, al Muamalah al Maliyah al Mua’shirah fi Dhaui al Islam, Beirut, 2002, hlm : 75 )
Berkata Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ al Fatawa ( 29/ 18 ) : “ Tidak boleh mengharamkan muamalah yang dibutuhkan manusia sekarang, kecuali kalau ada dalil dari al Qur’an dan Sunnah tentang pengharamannya “
Para ulama tersebut berdalil dengan al Qur’an dan Sunnah sebagai berikut :
Pertama : Firman Allah swt :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً
“Dialah Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya.” ( Qs. al-Baqarah: 29)
Kedua : Firman Allah swt :
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
“ Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya yang nampak maupun yang tidak nampak.” ( Qs Luqman : 20)
Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa Allah swt memberikan semua yang ada di muka bumi ini untuk kepentingan manusia, para ulama menyebutnya dengan istilah al imtinan ( pemberian ). Oleh karenanya, segala sesuatu yang berhubungan dengan muamalat pada asalnya hukumnya adalah mubah kecuali ada dalil yang menyebutkan tentang keharamannya (Al Qurtubi, al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Beirut, Dar al Kutub Al Ilmiyah, 1993 : 1/174-175 ) . Dalam masalah “ arisan “ tidak kita dapatkan dalil baik dari al Qur’an maupun dari as Sunnah yang melarangnya, berarti hukumnya mubah atau boleh.
Ketiga : Hadist Abu Darda’ ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
ما أحل الله في كتابه فهو حلال وما حرم فهو حرام وما سكت عنه فهو عفو فاقبلوا من الله عافيته فإن الله لم يكن لينسى شيئاً وتلا قوله تعالى :( وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا ) سورة مريم الآية 64
“ Apa yang dihalalkan Allah di dalam kitab-Nya, maka hukumnya halal, dan apa yang diharamkannya, maka hukumnya haram. Adapun sesuatu yang tidak dibicarakannya, maka dianggap sesuatu pemberian, maka terimalah pemberiannya, karena Allah tidaklah lupa terhadap sesuatu. Kemudian beliau membaca firman Allah swt ( Dan tidaklah sekali-kali Rabb-mu itu lupa ) – Qs Maryam : 64- “ ( HR al Hakim, dan beliau mengatakan shahih isnadnya, dan disetujui oleh Imam Adz Dzahabi )
Hadist di atas secara jelas menyebutkan bahwa sesuatu ( dalam muamalah ) yang belum pernah disinggung oleh Al Qur’an dan Sunnah hukumnya adalah “ afwun “ ( pemberian ) dari Allah atau sesuatu yang boleh.
Keempat : Firman Allah swt :
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“ Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran . “ ( Qs Al Maidah : 2 )
Ayat di atas memerintahkan kita untuk saling tolong menolong di dalam kebaikan, sedang tujuan “arisan” itu sendiri adalah menolong orang yang membutuhkan dengan cara iuran secara rutin dan bergiliran untuk mendapatkannya, maka termasuk dalam katagori tolong menolong yang diperintahkan Allah swt.
Kelima : Hadit Aisyah ra, ia berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَطَارَتْ الْقُرْعَةُ عَلَى عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ فَخَرَجَتَا مَعَهُ جَمِيعًا
" Rasullulah SAW apabila pergi, beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya, lalu jatuhlah undian itu pada Aisyah dan Hafsah, maka kami pun bersama beliau." ( HR Muslim, no : 4477)
Hadist di atas menunjukkan kebolehan untuk melakukan undian, tentunya yang tidak mengandung perjudian dan riba. Di dalam arisan juga terdapat undian yang tidak mengandung perjudian dan riba, maka hukumnya boleh.
Keenam : Pendapat para ulama tentang arisan, diantaranya adalah pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syek Ibnu Jibrin serta mayoritas ulama-ulama senior Saudi Arabia. ( Dr. Khalid bin Ali Al Musyaiqih, al Mua’amalah al Maliyah al Mu’ashirah ( Fikh Muamalat Masa Kini ), hlm : 69 ) Syekh Ibnu Utsaimin berkata: “Arisan hukumnya adalah boleh, tidak terlarang. Barangsiapa mengira bahwa arisan termasuk kategori memberikan pinjaman dengan mengambil manfaat maka anggapan tersebut adalah keliru, sebab semua anggota arisan akan mendapatkan bagiannya sesuai dengan gilirannya masing-masing”. (Syarh Riyadhus Sholihin, Ibnu Utsaimin : 1/838)
Ini adalah hukum arisan secara umum, yaitu boleh. Tetapi walaupun begitu, ada sebagian bentuk arisan yang diharamkan dalam Islam, karena mengandung riba, penipuan dan merugikan pihak lain.
Pertanyaan, “Apa hukum arisan? Arisan adalah sekumpulan orang yang menyerahkan sejumlah uang setiap bulan sehingga ada orang yang secara bergilir mendapatkan uang-uang tersebut setiap bulannya. Apakah ini termasuk transaksi hutang piutang yang membuahkan manfaat tambahan?”
هذا لا بأس به، هذا سبب تعاوني، يعني: يكون الإنسان محتاجًا عشرة أو عشرين، ثم كل واحد يستلم رواتبهم مرّة، يستلم رواتب الجميع مرة، ثم الثاني في الشهر الثاني، ثم الثالث، ليس فيه شيء بهذه المثابة.
“Hal ini hukumnya adalah tidak mengapa. Arisan itu termasuk dalam bagian dari upaya tolong menolong. Ada sepuluh atau dua puluh orang kemudian setiap orang menerima uang yang berasal dari gabungan semua anggota arisan secara bergilir. Kegiatan semacam ini tidaklah masalah”.
Mubah adalah hukum asal arisan menurut pendapat yang paling kuat. Namun hukum asal ini bisa berubah menurut situasi dan kondisi.
Akhir-akhir ini berkembang di tengah- tengah masyarakat macam-macam arisan, ada arisan motor, arisan haji, arisan gula, arisan semen dan lain-lain. Bagaimana sebenarnya hukum arisan dalam Islam, karena ada sebagian kalangan yang mengharamkannya. Apakah semua bentuk arisan dibolehkan atau di dalamnya ada perinciannya ?
Pengertian Arisan
Di dalam beberapa kamus disebutkan bahwa Arisan adalah pengumpulan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang, lalu diundi diantara mereka. Undian tersebut dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya. ( Kamus Umum Bahasa Indonesia, Wjs. Poerwadarminta, PN Balai Pustaka, 1976 hlm : 57 ).
Hukum Arisan Secara Umum.
Arisan secara umum termasuk muamalat yang belum pernah disinggung di dalam Al Qur’an dan as Sunnah secara langsung, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal muamalah, yaitu dibolehkan. Para ulama menyebutkan hal tersebut dengan mengemukakan kaedah fikih yang berbunyi :
الأصل في العقود والمعاملات الحل و الجواز
“ Pada dasarnya hukum transaksi dan muamalah itu adalah halal dan boleh “ ( Sa’dudin Muhammad al Kibyi, al Muamalah al Maliyah al Mua’shirah fi Dhaui al Islam, Beirut, 2002, hlm : 75 )
Berkata Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ al Fatawa ( 29/ 18 ) : “ Tidak boleh mengharamkan muamalah yang dibutuhkan manusia sekarang, kecuali kalau ada dalil dari al Qur’an dan Sunnah tentang pengharamannya “
Para ulama tersebut berdalil dengan al Qur’an dan Sunnah sebagai berikut :
Pertama : Firman Allah swt :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً
“Dialah Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya.” ( Qs. al-Baqarah: 29)
Kedua : Firman Allah swt :
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
“ Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya yang nampak maupun yang tidak nampak.” ( Qs Luqman : 20)
Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa Allah swt memberikan semua yang ada di muka bumi ini untuk kepentingan manusia, para ulama menyebutnya dengan istilah al imtinan ( pemberian ). Oleh karenanya, segala sesuatu yang berhubungan dengan muamalat pada asalnya hukumnya adalah mubah kecuali ada dalil yang menyebutkan tentang keharamannya (Al Qurtubi, al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Beirut, Dar al Kutub Al Ilmiyah, 1993 : 1/174-175 ) . Dalam masalah “ arisan “ tidak kita dapatkan dalil baik dari al Qur’an maupun dari as Sunnah yang melarangnya, berarti hukumnya mubah atau boleh.
Ketiga : Hadist Abu Darda’ ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
ما أحل الله في كتابه فهو حلال وما حرم فهو حرام وما سكت عنه فهو عفو فاقبلوا من الله عافيته فإن الله لم يكن لينسى شيئاً وتلا قوله تعالى :( وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا ) سورة مريم الآية 64
“ Apa yang dihalalkan Allah di dalam kitab-Nya, maka hukumnya halal, dan apa yang diharamkannya, maka hukumnya haram. Adapun sesuatu yang tidak dibicarakannya, maka dianggap sesuatu pemberian, maka terimalah pemberiannya, karena Allah tidaklah lupa terhadap sesuatu. Kemudian beliau membaca firman Allah swt ( Dan tidaklah sekali-kali Rabb-mu itu lupa ) – Qs Maryam : 64- “ ( HR al Hakim, dan beliau mengatakan shahih isnadnya, dan disetujui oleh Imam Adz Dzahabi )
Hadist di atas secara jelas menyebutkan bahwa sesuatu ( dalam muamalah ) yang belum pernah disinggung oleh Al Qur’an dan Sunnah hukumnya adalah “ afwun “ ( pemberian ) dari Allah atau sesuatu yang boleh.
Keempat : Firman Allah swt :
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“ Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran . “ ( Qs Al Maidah : 2 )
Ayat di atas memerintahkan kita untuk saling tolong menolong di dalam kebaikan, sedang tujuan “arisan” itu sendiri adalah menolong orang yang membutuhkan dengan cara iuran secara rutin dan bergiliran untuk mendapatkannya, maka termasuk dalam katagori tolong menolong yang diperintahkan Allah swt.
Kelima : Hadit Aisyah ra, ia berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَطَارَتْ الْقُرْعَةُ عَلَى عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ فَخَرَجَتَا مَعَهُ جَمِيعًا
" Rasullulah SAW apabila pergi, beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya, lalu jatuhlah undian itu pada Aisyah dan Hafsah, maka kami pun bersama beliau." ( HR Muslim, no : 4477)
Hadist di atas menunjukkan kebolehan untuk melakukan undian, tentunya yang tidak mengandung perjudian dan riba. Di dalam arisan juga terdapat undian yang tidak mengandung perjudian dan riba, maka hukumnya boleh.
Keenam : Pendapat para ulama tentang arisan, diantaranya adalah pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syek Ibnu Jibrin serta mayoritas ulama-ulama senior Saudi Arabia. ( Dr. Khalid bin Ali Al Musyaiqih, al Mua’amalah al Maliyah al Mu’ashirah ( Fikh Muamalat Masa Kini ), hlm : 69 ) Syekh Ibnu Utsaimin berkata: “Arisan hukumnya adalah boleh, tidak terlarang. Barangsiapa mengira bahwa arisan termasuk kategori memberikan pinjaman dengan mengambil manfaat maka anggapan tersebut adalah keliru, sebab semua anggota arisan akan mendapatkan bagiannya sesuai dengan gilirannya masing-masing”. (Syarh Riyadhus Sholihin, Ibnu Utsaimin : 1/838)
Ini adalah hukum arisan secara umum, yaitu boleh. Tetapi walaupun begitu, ada sebagian bentuk arisan yang diharamkan dalam Islam, karena mengandung riba, penipuan dan merugikan pihak lain.
فتح اقدر
فتح القدير - (ج 1 / ص 1)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1)
اختلف أهل العلم هل هي آية مستقلة في أول كل سورة كتبت في أولها ، أو هي كذلك في الفاتحة فقط دون غيرها ، أو أنها ليست بآية في الجميع وإنما كتبت للفصل؟ والأقوال وأدلتها مبسوطة في موضع الكلام على ذلك . وقد اتفقوا على أنها بعض آية في سورة النمل . وقد جزم قرّاء مكة ، والكوفة بأنها آية من الفاتحة ومن كل سورة . وخالفهم قّراء المدينة ، والبصرة ، والشام ، فلم يجعلوها آية لا من الفاتحة ولا من غيرها من السور ، قالوا : وإنما كتبت للفصل والتبرّك .
وقد أخرج أبو داود بإسناد صحيح عن ابن عباس : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان لا يعرف فصل السورة حتى ينزل عليه { بسم الله الرحمن الرحيم } . وأخرجه الحاكم في المستدرك . وأخرج ابن خزيمة في صحيحه عن أم سلمة : «أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قرأ البسملة في أول الفاتحة في الصلاة وغيرها آية» . وفي إسناده عمرو بن هارون البلخي ، وفيه ضعف ، وروى نحوه الدارقطني مرفوعاً عن أبي هريرة .
وكما وقع الخلاف في إثباتها وقع الخلاف في الجهر بها في الصلاة . وقد أخرج النسائي في سننه ، وابن خزيمة ، وابن حبان في صحيحيهما ، والحاكم في المستدرك عن أبي هريرة : «أنه صلى فجهر في قراءته بالبسملة ، وقال بعد أن فرغ : إني لأشبهكم صلاة برسول الله صلى الله عليه وسلم » ، وصححه الدارقطني ، والخطيب ، والبيهقي ، وغيرهم .
وروى أبو داود ، والترمذي عن ابن عباس : «أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يفتتح الصلاة ب { بسم الله الرحمن الرحيم } قال الترمذي : وليس إسناده بذلك . وقد أخرجه الحاكم في المستدرك عن ابن عباس بلفظ : «كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يجهر ب { بسم الله الرحمن الرحيم } ، ثم قال : صحيح .
وأخرج البخاري في صحيحه عن أنس أنه سئل عن قراءة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : كانت قراءتُه مدّاً ، ثم قرأ { بسم الله الرحمن الرحيم } يمدّ بسم الله ، ويمدّ الرحمن ، ويمدّ الرحيِّم . وأخرج أحمد في المسند ، وأبو داود في السنن ، وابن خزيمة في صحيحه ، والحاكم في مستدركه عن أم سلمة أنها قالت : «كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقطع قراءته { بسم الله الرحمن الرحيِّم الحمد لله ربّ العالمين . الرحمن الرحيِّم . مالك يوم الدين } وقال الدارقطني : إسناده صحيح .
واحتجّ من قال بأنه لا يجهر بالبسملة في الصلاة بما في صحيح مسلم عن عائشة قالت : «كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفتتح الصلاة بالتكبير ، والقراءة ب { الحمد لله ربّ العالمين } . وفي الصحيحين عن أنس قال : «صليت خلف النبيّ صلى الله عليه وسلم ، وأبي بكر ، وعمر ، وعثمان ، فكانوا يستفتحون ب { الحمد لله ربّ العالمين } . فتح القدير - (ج 1 / ص 5)
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
{ الحمد للَّهِ } الحمد : هو الثناء باللسان على الجميل الإختياري ، وبقيد الاختيار فارق المدح ، فإنه يكون على الجميل ، وإن لم يكن الممدوحُ مختاراً كمدح الرجل على جماله ، وقوّته ، وشجاعته . وقال صاحب الكشاف : إنهما أخوان ، والحمد أخصّ من الشكر مَورداً ، وأعمّ منه متعلقاً . فموردُ الحمدُ اللسان فقط ، ومتعلقه النعمةُ ، وغيرها ، ومورد الشكر اللسانُ ، والجَنَانُ ، والأركانُ ، ومتعلقه النعمة وقيل : إن مورد الحمد كمورد الشكر ، لأن كلَّ ثناء باللسان لا يكون من صميم القلب مع موافقة الجوارح ليس بحمدٍ بل سخرية واستهزاء . وأجيب بأن اعتبار موافقة القلب ، والجوارح في الحمد لا يستلزم أن يكون مورداً له بل شرطاً . وفرّق بين الشرط ، والشطر ،
وتعريفه لاستغراق أفراد الحمد ، وأنها مختصة بالربّ سبحانه وتعالى ، على معنى أنَّ حمد غيره لا اعتداد به ، لأن المنعم هو : الله عزّ وجلّ ، أو على أن حمدَه هو : الفرد الكامل ، فيكون الحصر ادّعائياً . ورجح صاحب الكشاف أن التعريف هنا هو : تعريف الجنس لا الاستغراق ، والصواب ما ذكرناه . وقد جاء في الحديث « اللهمّ لك الحمد كله » وهو : مرتفع بالابتداء وخبره الظرف وهو : { لله } . وأصله النصب على المصدرية بإضمار فعله ، كسائر المصادر التي تنصبها العرب ، فعُدِل عنه إلى الرفع لقصد الدلالة على الدوام ، والثبات المستفاد من الجمل الاسمية دون الحدوث ، والتجدد اللذين تفيدهما الجمل الفعلية ، واللام الداخلة على الاسم الشريف هي لام الاختصاص .
قال ابن جرير : الحمد ثناء أثنى به على نفسه ، وفي ضمنه أمر عباده أن يثنوا عليه ، فكأنه قال : قولوا الحمد لله ثم رجح اتحاد الحمد ، والشكر مستدلاً على ذلك بما حاصله : أن جميع أهل المعرفة بلسان العرب يوقعون كلا من الحمد ، والشكر مكان الآخر . قال ابن كثير : وفيه نظر لأنه اشتهر عند كثير من العلماء المتأخرين أن الحمد هو : الثناء بالقول على المحمود بصفاته اللازمة ، والمتعدية . والشكر لا يكون إلا على المتعدية ويكون بالجنان ، واللسان ، والأركان ، انتهى .
ولا يخفى أن المرجع في مثل هذا إلى معنى الحمد في لغة العرب لا إلى ما قاله جماعة من العلماء المتأخرين ، فإن ذلك لا يردّ على ابن جرير ، ولا تقوم به الحجة؛ هذا إذا لم يثبت للحمد حقيقة شرعية ، فإن ثبتت وجب تقديمها .
وقد أخرج ابن أبي حاتم عن ابن عباس قال : قال عمر : قد عَلِمْنا سبحان الله ، ولا إله إلا الله ، فما الحمد لله؟ فقال عليٌّ : كلمةٌ رضيها لنفسه . وروى ابن أبي حاتم أيضاً عن ابن عباس؛ أنه قال : الحمد لله؛ كلمة الشكر ، وإذا قال العبد : الحمد لله قال : شكرني عبدي . وروى هو وابن جرير ، عن ابن عباس أيضاً أنه قال : الحمد لله هو : الشكر لله ، والاستخذاء له ، والإقرار له بنعمه ، وهدايته ، وابتدائه ، وغير ذلك .
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1)
اختلف أهل العلم هل هي آية مستقلة في أول كل سورة كتبت في أولها ، أو هي كذلك في الفاتحة فقط دون غيرها ، أو أنها ليست بآية في الجميع وإنما كتبت للفصل؟ والأقوال وأدلتها مبسوطة في موضع الكلام على ذلك . وقد اتفقوا على أنها بعض آية في سورة النمل . وقد جزم قرّاء مكة ، والكوفة بأنها آية من الفاتحة ومن كل سورة . وخالفهم قّراء المدينة ، والبصرة ، والشام ، فلم يجعلوها آية لا من الفاتحة ولا من غيرها من السور ، قالوا : وإنما كتبت للفصل والتبرّك .
وقد أخرج أبو داود بإسناد صحيح عن ابن عباس : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان لا يعرف فصل السورة حتى ينزل عليه { بسم الله الرحمن الرحيم } . وأخرجه الحاكم في المستدرك . وأخرج ابن خزيمة في صحيحه عن أم سلمة : «أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قرأ البسملة في أول الفاتحة في الصلاة وغيرها آية» . وفي إسناده عمرو بن هارون البلخي ، وفيه ضعف ، وروى نحوه الدارقطني مرفوعاً عن أبي هريرة .
وكما وقع الخلاف في إثباتها وقع الخلاف في الجهر بها في الصلاة . وقد أخرج النسائي في سننه ، وابن خزيمة ، وابن حبان في صحيحيهما ، والحاكم في المستدرك عن أبي هريرة : «أنه صلى فجهر في قراءته بالبسملة ، وقال بعد أن فرغ : إني لأشبهكم صلاة برسول الله صلى الله عليه وسلم » ، وصححه الدارقطني ، والخطيب ، والبيهقي ، وغيرهم .
وروى أبو داود ، والترمذي عن ابن عباس : «أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يفتتح الصلاة ب { بسم الله الرحمن الرحيم } قال الترمذي : وليس إسناده بذلك . وقد أخرجه الحاكم في المستدرك عن ابن عباس بلفظ : «كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يجهر ب { بسم الله الرحمن الرحيم } ، ثم قال : صحيح .
وأخرج البخاري في صحيحه عن أنس أنه سئل عن قراءة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : كانت قراءتُه مدّاً ، ثم قرأ { بسم الله الرحمن الرحيم } يمدّ بسم الله ، ويمدّ الرحمن ، ويمدّ الرحيِّم . وأخرج أحمد في المسند ، وأبو داود في السنن ، وابن خزيمة في صحيحه ، والحاكم في مستدركه عن أم سلمة أنها قالت : «كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقطع قراءته { بسم الله الرحمن الرحيِّم الحمد لله ربّ العالمين . الرحمن الرحيِّم . مالك يوم الدين } وقال الدارقطني : إسناده صحيح .
واحتجّ من قال بأنه لا يجهر بالبسملة في الصلاة بما في صحيح مسلم عن عائشة قالت : «كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفتتح الصلاة بالتكبير ، والقراءة ب { الحمد لله ربّ العالمين } . وفي الصحيحين عن أنس قال : «صليت خلف النبيّ صلى الله عليه وسلم ، وأبي بكر ، وعمر ، وعثمان ، فكانوا يستفتحون ب { الحمد لله ربّ العالمين } . فتح القدير - (ج 1 / ص 5)
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
{ الحمد للَّهِ } الحمد : هو الثناء باللسان على الجميل الإختياري ، وبقيد الاختيار فارق المدح ، فإنه يكون على الجميل ، وإن لم يكن الممدوحُ مختاراً كمدح الرجل على جماله ، وقوّته ، وشجاعته . وقال صاحب الكشاف : إنهما أخوان ، والحمد أخصّ من الشكر مَورداً ، وأعمّ منه متعلقاً . فموردُ الحمدُ اللسان فقط ، ومتعلقه النعمةُ ، وغيرها ، ومورد الشكر اللسانُ ، والجَنَانُ ، والأركانُ ، ومتعلقه النعمة وقيل : إن مورد الحمد كمورد الشكر ، لأن كلَّ ثناء باللسان لا يكون من صميم القلب مع موافقة الجوارح ليس بحمدٍ بل سخرية واستهزاء . وأجيب بأن اعتبار موافقة القلب ، والجوارح في الحمد لا يستلزم أن يكون مورداً له بل شرطاً . وفرّق بين الشرط ، والشطر ،
وتعريفه لاستغراق أفراد الحمد ، وأنها مختصة بالربّ سبحانه وتعالى ، على معنى أنَّ حمد غيره لا اعتداد به ، لأن المنعم هو : الله عزّ وجلّ ، أو على أن حمدَه هو : الفرد الكامل ، فيكون الحصر ادّعائياً . ورجح صاحب الكشاف أن التعريف هنا هو : تعريف الجنس لا الاستغراق ، والصواب ما ذكرناه . وقد جاء في الحديث « اللهمّ لك الحمد كله » وهو : مرتفع بالابتداء وخبره الظرف وهو : { لله } . وأصله النصب على المصدرية بإضمار فعله ، كسائر المصادر التي تنصبها العرب ، فعُدِل عنه إلى الرفع لقصد الدلالة على الدوام ، والثبات المستفاد من الجمل الاسمية دون الحدوث ، والتجدد اللذين تفيدهما الجمل الفعلية ، واللام الداخلة على الاسم الشريف هي لام الاختصاص .
قال ابن جرير : الحمد ثناء أثنى به على نفسه ، وفي ضمنه أمر عباده أن يثنوا عليه ، فكأنه قال : قولوا الحمد لله ثم رجح اتحاد الحمد ، والشكر مستدلاً على ذلك بما حاصله : أن جميع أهل المعرفة بلسان العرب يوقعون كلا من الحمد ، والشكر مكان الآخر . قال ابن كثير : وفيه نظر لأنه اشتهر عند كثير من العلماء المتأخرين أن الحمد هو : الثناء بالقول على المحمود بصفاته اللازمة ، والمتعدية . والشكر لا يكون إلا على المتعدية ويكون بالجنان ، واللسان ، والأركان ، انتهى .
ولا يخفى أن المرجع في مثل هذا إلى معنى الحمد في لغة العرب لا إلى ما قاله جماعة من العلماء المتأخرين ، فإن ذلك لا يردّ على ابن جرير ، ولا تقوم به الحجة؛ هذا إذا لم يثبت للحمد حقيقة شرعية ، فإن ثبتت وجب تقديمها .
وقد أخرج ابن أبي حاتم عن ابن عباس قال : قال عمر : قد عَلِمْنا سبحان الله ، ولا إله إلا الله ، فما الحمد لله؟ فقال عليٌّ : كلمةٌ رضيها لنفسه . وروى ابن أبي حاتم أيضاً عن ابن عباس؛ أنه قال : الحمد لله؛ كلمة الشكر ، وإذا قال العبد : الحمد لله قال : شكرني عبدي . وروى هو وابن جرير ، عن ابن عباس أيضاً أنه قال : الحمد لله هو : الشكر لله ، والاستخذاء له ، والإقرار له بنعمه ، وهدايته ، وابتدائه ، وغير ذلك .
Minggu, 06 November 2011
Meneladani Kepemimpinan Nabi Ibrahim AS
Khutbah Idul Adha 1432H
Meneladani Kepemimpinan Ibrahim AS
{ Masjid Al-Jamik Kotabumi }
الله أكبر (x9) ولله الحمد. الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا.
الحمد لله نحمده ونستعينه ونستهديه، ونستغفره ونتوب إليه، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهد الله فهو المهتد، ومن يضلل فلن تجد له وليا مرشدا، أشهد أن لاإله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. اللهم فصل وسلم على هذا الرسول الكريم وعلى آله وصحبه وأتباعه إلى يوم الدين. أما بعد:
فيا عباد الله، أوصيكم ونفسي بتقوى الله فقد فاز المتقون.
Allahu Akbar 3x waliLlahilhamdu.
Jamaah Shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah.
Segala sanjungan puja dan puji syukur hanyalah kepada Allah SWT., atas segala karunia kenikmatan yang kita terima dalam jumlah yang begitu besar sehingga kita bisa hadir pada pagi hari yang agung ini untuk melaksanakan shalat Idul Adha. Kehadiran kita pagi ini bersamaan dengan kehadiran sekitar empat juta jamaah haji dari segala penjuru dunia yang sedang menyelesaikan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci. Suara mereka bertaut dengan suara kita, sambung-menyambung di angkasa raya dalam pujian, takbir, tahlil dan tahmid. Ini karena kita semua disatukan dalam nikmat terbesar yang diberikan Allah SWT, yakni nikmat Iman dan Islam.
Allahu Akbar 3X WaliLlahilhamdu.
Kaum Muslimin RahimakumuLlah.
Prosesi manasik dalam ibadah haji dan perayaan ‘Idul Adha tidak terlepas dari penapak tilasan dan mengenang kembali seorang Manusia Agung yang diutus oleh Allah SWT. sebagai nabi dan rasul, yakni Nabi Ibrahim AS, yang juga diangkat oleh Allah sebagai Imam/pemimpin untuk menjadi panutan seluruh alam hingga akhir zaman. Keagungan pribadi nabi Ibrahim beserta keluarga dan pengikutnya, serta keteguhannya dalam berjuang menegakkan dakwah tauhid dan pemurnian loyalitas manusia kepada Allah, membuat kita bahkan Nabi Muhammad harus mampu mengambil keteladanan darinya. Allah SWT. berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dengan kamu kebencian dan permusuhan buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja..” (QS 60:4).
Banyak hal yang harus kita teladani dari Nabi Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; dalam khutbah yang singkat ini akan kami sampaikan tiga hal yang menjadi isyarat bagi kaum Muslimin untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan, apalagi bagi kita, kaum muslimin bangsa Indonesia yang masih harus terus berjuang untuk mengatasi berbagai persoalan besar yang menghantui kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pertama, belajar dari profil kehidupan Nabi Ibrahim AS. membuat kita harus memberikan kepedulian yang lebih besar terhadap kesinambungan generasi yang dapat memperjuangkan tegaknya nilai-nilai kebenaran. Hal ini karena ketika usia Nabi Ibrahim sudah semakin tua, kerinduannya pada generasi penerus perjuangan menjadi semakin besar, dan ia pun harus berdo’a agar Allah SWT. menganugerahkan kepadanya keturunan yang shaleh. Beliau mengatakan dalam sebuah do’anya:
(رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ * الصافات: 100)
” Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang termasuk orang-orang yang shaleh”
Kondisi generasi muda kita sekarang boleh dibilang cukup memprihatinkan. Kasus-kasus perzinahan, pemerkosaan, pembunuhan, perkelahian/tawuran, pencurian, narkoba, AIDS, dan berbagai kasus kriminal lainnya adalah kasus-kasus yang banyak dilakukan oleh generasi muda kita.
Satu hal yang harus kita ingat bahwa anak merupakan anugerah sekaligus amanah. Sebagai anugerah dari Allah SWT, maka setiap orang tua harus mensyukuri kehadiran sang anak, apapun jenis kelaminnya dan bagaimanapun keadaan anak itu. Dalam kaitan dengan anak sebagai generasi pelanjut, bahwa anak merupakan amanah dari Allah SWT yang tidak boleh disia-siakan, anak selanjutnya harus dididik dengan sebaik-baiknya sebagaimana Nabi Ibrahim dan Siti Hajar telah mendidik puteranya Ismail dengan sedemikian baik. Sebagai seorang isteri dari seorang suami yang aktif berjuang di jalan Allah dan meninggalkannya di satu lembah yang tandus dan tak berpenghuni, Siti Hajar memberikan perhatian kepada anaknya, Ismail dengan begitu baik, sehingga meskipun ia harus berusaha mencari rezki sendiri yang dalam hal ini adalah mencari air, ia pergi hingga ke bukit Shafa, namun ia khawatir pada anaknya, maka ia pun berjalan kembali untuk melihat anaknya. Ketika dilihat anaknya dalam keadaan baik, ia pun menuju Marwa. Inilah yang kemudian disebut dengan Sa’I dari Shafa ke Marwa sebanyak tujuh kali. Di samping itu Allah SWT juga mengabadikan perhatian dari orang tua yang begitu besar kepada anaknya ini dengan apa yang dikenal dengan Hijir Ismail, alias pangkuan Ismail, suatu tempat yang begitu mulia di Ka’bah yang di situlah dahulu Ismail diasuh, dididik dan dibesarkan dalam pangkuan ibundanya, Siti Hajar.
Untuk bisa melahirkan generasi yang shaleh, yang harus menjadi shaleh terlebih dahulu adalah kita sebagai orang tuanya. Sangat jarang terjadi orang tua mendambakan anaknya menjadi shaleh sementara ia sendiri tidak shaleh. Hal ini karena mendidik anak harus dimulai dengan keteladanan yang baik dari lingkungan keluarganya, karenanya bagaimana mungkin orang tua bisa mendidik anak-anaknya dengan baik kalau ia sendiri tidak bisa memberi contoh yang baik. Perhatian dan kepedulian terhadap kaderisasi generasi muda harus menjadi agenda utama setiap pemimpin dan calon pemimpin bangsa ini, karena di tangan generasi muda lah terletak masa depan yang diharapkan lebih baik dari masa kini.
Allahu Akbar 3X WalilLahilhamdu.
Ma’aasyiral Muslimin RahimakumulLah.
Kedua, yang menjadi pelajaran dari profil Nabi Ibrahim AS. dan keluarganya adalah keharusan mempertahankan dan memperkokoh idealisme sebagai seorang mu’min yang senantiasa berusaha untuk berada pada jalan hidup yang benar, apapun keadaannya dan bagaimanapun situasi dan kondisinya. Begitulah memang, yang telah ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim AS dan keluarganya dalam mempertahankan dan memperjuangkan ideologi Tauhid dengan hujjah, argumentasi atau alasan yang kuat. Dalam sejarah Nabi Ibrahim, kita dapatkan beliau menghancurkan berhala-berhala yang biasa disembah oleh masyarakat di sekitarnya, saat itu Ibrahim adalah seorang anak remaja, sebagaimana yang tercermin dalam firman Allah SWT yang menceritakan hal ini dlm surat al-anbiya 58-60 :
( 58) فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلاَّ كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ
59) قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ
60) قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ
“Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur terpotong-potong, kecuali yang terbesar dari patung-patung yang lain, agar mereka kembali ( untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan sembahan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim. Mereka berkata: Kami dengar ada seorang anak remaja yang mencela tuhan-tuhan ini, namanya Ibrahim”.
Untuk mempertahankan idealismenya ini, Ibrahim bahkan siap untuk terus berjuang sampai mati, meskipun harus berjuang di wilayah lain, ia menyebut dirinya sebagai orang yang pergi (berhijrah) kepada Allah SWT, Tuhannya Yang Esa. Dalam hal ini Nabi Ibrahim menyatakan di hadapan orang-orang kafir: (الصافات: 99) وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ
” Dan Ibrahim berkata: Sesungguhnya aku pergi (berhijrah) kepada Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku”.
Oleh karena itu, idealisme yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim AS tidak hanya saat ia masih muda belia, tapi bandingkan dengan suatu peristiwa yang amat menakjubkan, saat Ibrahim diperintah oleh Allah SWT untuk menyembelih puteranya, Ismail, dalam peristiwa pengorbanan yang sangat terkenal itu, saat itu Ibrahim sudah sangat tua, sedangkan Ismail adalah anak kesayangannya yang sangat didambakan sejak lama. Maka Ibrahim pun melaksanakan perintah Allah SWT yang terasa jauh lebih berat dari sekedar menghancurkan berhala-berhala di masa mudanya. Ini menunjukkan kepada kita bahwa Nabi Ibrahim AS memiliki idealisme sekaligus loyalitas dan totalitas yang tinggi kepada Allah semenjak masih muda sampai ia sudah tua. Dan inilah yang amat dibutuhkan dalam kehidupan di negeri kita, jangan sampai ada generasi yang pada masa mudanya menentang kezaliman, tapi ketika ia berkuasa pada usia yang lebih tua justeru ia sendiri yang melakukan kezaliman yang dahulu ditentangnya itu. Jangan sampai ada generasi yang semasa muda menentang korupsi, tapi saat ia berkuasa di usianya yang sudah semakin tua justeru ia sendiri yang melakukan korupsi padahal dahulu sangat ditentangnya. Dalam kehidupan sekarang, kita dapati banyak orang yang tidak mampu mempertahankan idealisme atau dengan kata lain tidak istiqomah sehingga apa yang dahulu diucapkan dan diperjuangkan tidak tercermin dalam langkah dan kebijakan hidup yang ditempuhnya, apalagi hal itu dilakukan karena terpengaruh oleh sikap dan prilaku orang lain, teman sejawat atau kelompoknya yang tidak baik. Karena itu, Rasulullah SAW, mengingatkan dalam haditsnya:
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَا تَظْلِمُوا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ رواه الترمذي
Janganlah kamu menjadi orang yang ikut-ikutan dengan mengatakan, kalau orang lain berbuat baik kami pun berbuat baik dan kalau mereka berbuat zalim kami pun akan berbuat zalim. Tetapi teguhkanlah dirimu dengan berperinsip: jika orang lain berbuat kebaikan kami berbuat kebaikan pula dan kalau orang lain berbuat kejahatan maka janganlah kamu berbuat zalim (seperti mereka).
Allahu Akbar 3X WaliLlahilhamdu.
Jamaah Shalat ‘Ied yang dimuliakan Allah.
Ketiga, dari sekian banyak ‘Ibrah dari pribadi Nabi Ibrahim dan keluarganya adalah pelajaran tentang kepemimpinan (Imamah). Di mana Allah telah memilih Nabi Ibrahim sebagai pemimpin bagi umat manusia atas berbagai prestasinya yang gemilang dalam banyak ujian yang telah dilaluinya. Dalam hal ini Allah menyebutkan dalam Al Qur’an:
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ (البقرة: 124).
” Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya secara sempurna. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu pemimpin bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: ” Janjiku ini tidak mencakup orang-orang yang zalim”.
Ujian Allah terhadap Nabi Ibrahim AS. cukup banyak, diantaranya, perintah untuk berdakwah memurnikan ketauhidan ummat manusia yang telah terkontaminasi oleh perbuatan syirik (menyekutukan Allah), perintah menyembelih puteranya Ismail, membangun Ka’bah dan membersihkan Ka’bah dari kemusyrikan, menghadapi raja Namrudz dan lain-lain. Selanjutnya Allah mengangkat Ibrahim sebagai pemimpin bagi manusia. Pemimpin yang menjadi tauladan yang baik dan berlaku bijak dan adil terhadap rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin manusia di bidang misi risalah yang diembannya dari Allah SWT, di bidang kehidupan beragama, politik, hukum, ekonomi dan lain-lain. Pemimpin yang berjuang untuk mengangkat martabat rakyatnya agar menjadi bangsa yang punya ‘izzah, berwibawa di mata Allah dan di dalam percaturan dunia. Tetapi Nabi Ibrahim berharap agar kepemimpinannya itu kelak akan diwariskan kepada anak cucunya, tetapi Allah memberikan ketentuan bahwa Imamah atau kepemimpinan ini tidak akan diberikan-Nya kepada orang-orang yang berbuat zalim; zalim terhadap dirinya dengan berbuat syirik (menyekutukan) kepada Allah, atau berbuat zalim kepada umat manusia dengan cara mengkhianati amanah yang telah dipercayakan kepadanya. Di dalam sejarah, kita mengenal banyak nabi dan rasul yang diutus oleh Allah untuk menjadi pemimpin manusia dari anak keturunan Nabi Ibrahim AS, dan yang terakhir adalah Nabi kita Muhammad SAW. Tapi tidak jarang dari anak keturunan Ibrahim yang berlaku zalim seperti orang-orang Yahudi dan bangsa Arab Jahiliyah yang tidak mampu mewarisi misi dakwah yang dibawa oleh Nabi Ibrahim AS, yang akhirnya Allah menghinakan mereka.
Di dalam kehidupan kekinian, cukup relevan untuk dikemukakan bahwa di dalam memilih pemimpin haruslah kita berhati-hati, jangan sampai kita memilih orang yang zalim sebagai pemimpin kita; karena sudah dapat dipastikan Allah akan menghancurkan orang-orang yang zhalim, dan kita yang memilihnya pun akan ikut binasa. Allah berfirman:
فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ لَنُهْلِكَنَّ الظَّالِمِينَ
(إبراهيم: 13).
“..maka Tuhan mewahyukan kepada para rasul: Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zhalim”. (Ibrahim:13).
Dan di akhirat, para pemimpin yang zalim dan para pemilih dan pengikutnya akan sama-sama disiksa di neraka dengan azab yang sangat pedih. Mari kita simak firman Allah berikut ini:
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَالَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولاَ
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلاَ
رَبَّنَا ءَاتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan (atau disate) di neraka, mereka berkata, ‘alangkah baiknya seandainya kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul. Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan kebenaran. Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”.
Kepemimpinan di dunia ini memang terkadang jatuh ke tangan orang-orang yang zalim akibat lemahnya orang-orang yang shaleh, padahal orang-orang shalehlah yang paling berhak menjadi pemimpin di muka bumi ini. Allah berfirman:
أن الأرض يرثها عبادي الصالحون الأنبياء: 105)
“..Sesungguhnya bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shaleh“.
Berbagai prilaku arogan yang dipertontonkan oleh orang-orang zalim di dunia kini adalah akibat dari kelemahan orang-orang shaleh, praktek-praktek buruk seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan berbagai ketidak adilan dalam pemerintahan yang dilakukan orang-orang yang zalim adalah akibat dari lemahnya orang-orang yang shaleh. Karena itu orang-orang yang beriman haruslah memilih orang yang shaleh yang memiliki visi dan misi kepemimpinan sebagaimana misi kepemimpinan nabi Ibrahim, yakni misi dakwah dan reformasi di semua sektor kehidupan. Barangsiapa yang memilih orang zalim sebagai pemimpinnya, maka ia ikut bertanggung jawab atas semua kezalimannya di hadapan mahkamah Allah SWT dan bertanggung jawab juga kepada rakyat.
Untuk memilih pemimpin yang shaleh, kita dapat melihat track record kepribadiannya di masa lalunya, secara vertikal ia harus baik hubungan ibadahnya kepada Allah SWT, dan secara horisontal ia selalu berbuat adil dan bijaksana serta penuh kasih sayang dan berakhlak baik kepada sesama manusia. Kondisi akhlak dan pendidikan keluarga dan anak-anaknya. Karena atas dasar inilah Nabi Ibrahim dipilih oleh Allah SWT. sebagai imam (pemimpin) bagi semua manusia. Hanya dengan kejelian dan penuh rasa tanggung jawab kita dalam memilih pemimpin yang shalih, beriman dan bertakwa serta memiliki dedikasi yang tinggi kepada Sang Khalik, di samping berakhlak mulia dan penuh kepedulian kepada sesamanya, negeri ini diharapkan dapat keluar dari krisis multidimensi, dan menjadi negeri yang penuh berkah dan maghfirah dari Allah SWT. “Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofuur”.
Ma’aasyiral Muslimin RohimakumuLlah.
Dari uraian khutbah kita yang singkat pada pagi ini, dapat kita simpulkan bahwa sebagai seorang Muslim kita sangat dituntut untuk menunjukkan komitmen atau keterikatan dan loyalitas kita kepada Allah SWT. dengan menegakkan nilai-nilai Islam yang telah diturunkan-Nya, sebagai apapun kita dan di manapun posisi kita, baik dalam kehidupan berkeluarga, atau bermasyarakat dan berbangsa. Karenanya, Rasulullah SAW berpesan kepada kita agar selalu bertaqwa kepada Allah SWT di manapun kita berada.
فاتقوا الله يا عبادالله، وصلوا وسلموا على نبيكم كما أمركم الله في محكم كتابه: “إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما”. اللهم صل على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه ومن دعا بدعوته ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين وعلينا معهم برحمتك يا أرحم الراحمين.
اللهم اغفرلنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم. ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين .
اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه. اللهم ادفع عنا الغلاء والوباء والبلاء والفحشاء والمنكر والبغي والسيوف المختلفة والشدائد والمحن ما ظهر منها وما بطن من بلدنا هذا خاصة ومن بلدان المسلمين عامة إنك على كل شيء قدير.
اللهم أعز الإسلام والمسلمين وأذل الشرك والمشركين ودمر أعداءك أعداء الدين. اللهم من أراد بنا وبديننا وأمتنا سوءا فاجعل دائرة السوء تدورعليه ، ومن أرادنا وأراد المسلمين بسوء فأشغله في نفسه.
اللهم اجعل لإخواننا الحجاج حجا مبرورا وسعيا مشكورا وذنبا مغفورا وعملا صالحا مقبولا وتجارة لن تبور، وأعدهم إلى بلادهم سالمين غانمين مرحومين يا أرحم الراحمين.
ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار. عبادالله، إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر ولذكر الله أكبر. الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر ولله الحمد. والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Meneladani Kepemimpinan Ibrahim AS
{ Masjid Al-Jamik Kotabumi }
الله أكبر (x9) ولله الحمد. الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا.
الحمد لله نحمده ونستعينه ونستهديه، ونستغفره ونتوب إليه، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهد الله فهو المهتد، ومن يضلل فلن تجد له وليا مرشدا، أشهد أن لاإله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. اللهم فصل وسلم على هذا الرسول الكريم وعلى آله وصحبه وأتباعه إلى يوم الدين. أما بعد:
فيا عباد الله، أوصيكم ونفسي بتقوى الله فقد فاز المتقون.
Allahu Akbar 3x waliLlahilhamdu.
Jamaah Shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah.
Segala sanjungan puja dan puji syukur hanyalah kepada Allah SWT., atas segala karunia kenikmatan yang kita terima dalam jumlah yang begitu besar sehingga kita bisa hadir pada pagi hari yang agung ini untuk melaksanakan shalat Idul Adha. Kehadiran kita pagi ini bersamaan dengan kehadiran sekitar empat juta jamaah haji dari segala penjuru dunia yang sedang menyelesaikan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci. Suara mereka bertaut dengan suara kita, sambung-menyambung di angkasa raya dalam pujian, takbir, tahlil dan tahmid. Ini karena kita semua disatukan dalam nikmat terbesar yang diberikan Allah SWT, yakni nikmat Iman dan Islam.
Allahu Akbar 3X WaliLlahilhamdu.
Kaum Muslimin RahimakumuLlah.
Prosesi manasik dalam ibadah haji dan perayaan ‘Idul Adha tidak terlepas dari penapak tilasan dan mengenang kembali seorang Manusia Agung yang diutus oleh Allah SWT. sebagai nabi dan rasul, yakni Nabi Ibrahim AS, yang juga diangkat oleh Allah sebagai Imam/pemimpin untuk menjadi panutan seluruh alam hingga akhir zaman. Keagungan pribadi nabi Ibrahim beserta keluarga dan pengikutnya, serta keteguhannya dalam berjuang menegakkan dakwah tauhid dan pemurnian loyalitas manusia kepada Allah, membuat kita bahkan Nabi Muhammad harus mampu mengambil keteladanan darinya. Allah SWT. berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dengan kamu kebencian dan permusuhan buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja..” (QS 60:4).
Banyak hal yang harus kita teladani dari Nabi Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; dalam khutbah yang singkat ini akan kami sampaikan tiga hal yang menjadi isyarat bagi kaum Muslimin untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan, apalagi bagi kita, kaum muslimin bangsa Indonesia yang masih harus terus berjuang untuk mengatasi berbagai persoalan besar yang menghantui kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pertama, belajar dari profil kehidupan Nabi Ibrahim AS. membuat kita harus memberikan kepedulian yang lebih besar terhadap kesinambungan generasi yang dapat memperjuangkan tegaknya nilai-nilai kebenaran. Hal ini karena ketika usia Nabi Ibrahim sudah semakin tua, kerinduannya pada generasi penerus perjuangan menjadi semakin besar, dan ia pun harus berdo’a agar Allah SWT. menganugerahkan kepadanya keturunan yang shaleh. Beliau mengatakan dalam sebuah do’anya:
(رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ * الصافات: 100)
” Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang termasuk orang-orang yang shaleh”
Kondisi generasi muda kita sekarang boleh dibilang cukup memprihatinkan. Kasus-kasus perzinahan, pemerkosaan, pembunuhan, perkelahian/tawuran, pencurian, narkoba, AIDS, dan berbagai kasus kriminal lainnya adalah kasus-kasus yang banyak dilakukan oleh generasi muda kita.
Satu hal yang harus kita ingat bahwa anak merupakan anugerah sekaligus amanah. Sebagai anugerah dari Allah SWT, maka setiap orang tua harus mensyukuri kehadiran sang anak, apapun jenis kelaminnya dan bagaimanapun keadaan anak itu. Dalam kaitan dengan anak sebagai generasi pelanjut, bahwa anak merupakan amanah dari Allah SWT yang tidak boleh disia-siakan, anak selanjutnya harus dididik dengan sebaik-baiknya sebagaimana Nabi Ibrahim dan Siti Hajar telah mendidik puteranya Ismail dengan sedemikian baik. Sebagai seorang isteri dari seorang suami yang aktif berjuang di jalan Allah dan meninggalkannya di satu lembah yang tandus dan tak berpenghuni, Siti Hajar memberikan perhatian kepada anaknya, Ismail dengan begitu baik, sehingga meskipun ia harus berusaha mencari rezki sendiri yang dalam hal ini adalah mencari air, ia pergi hingga ke bukit Shafa, namun ia khawatir pada anaknya, maka ia pun berjalan kembali untuk melihat anaknya. Ketika dilihat anaknya dalam keadaan baik, ia pun menuju Marwa. Inilah yang kemudian disebut dengan Sa’I dari Shafa ke Marwa sebanyak tujuh kali. Di samping itu Allah SWT juga mengabadikan perhatian dari orang tua yang begitu besar kepada anaknya ini dengan apa yang dikenal dengan Hijir Ismail, alias pangkuan Ismail, suatu tempat yang begitu mulia di Ka’bah yang di situlah dahulu Ismail diasuh, dididik dan dibesarkan dalam pangkuan ibundanya, Siti Hajar.
Untuk bisa melahirkan generasi yang shaleh, yang harus menjadi shaleh terlebih dahulu adalah kita sebagai orang tuanya. Sangat jarang terjadi orang tua mendambakan anaknya menjadi shaleh sementara ia sendiri tidak shaleh. Hal ini karena mendidik anak harus dimulai dengan keteladanan yang baik dari lingkungan keluarganya, karenanya bagaimana mungkin orang tua bisa mendidik anak-anaknya dengan baik kalau ia sendiri tidak bisa memberi contoh yang baik. Perhatian dan kepedulian terhadap kaderisasi generasi muda harus menjadi agenda utama setiap pemimpin dan calon pemimpin bangsa ini, karena di tangan generasi muda lah terletak masa depan yang diharapkan lebih baik dari masa kini.
Allahu Akbar 3X WalilLahilhamdu.
Ma’aasyiral Muslimin RahimakumulLah.
Kedua, yang menjadi pelajaran dari profil Nabi Ibrahim AS. dan keluarganya adalah keharusan mempertahankan dan memperkokoh idealisme sebagai seorang mu’min yang senantiasa berusaha untuk berada pada jalan hidup yang benar, apapun keadaannya dan bagaimanapun situasi dan kondisinya. Begitulah memang, yang telah ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim AS dan keluarganya dalam mempertahankan dan memperjuangkan ideologi Tauhid dengan hujjah, argumentasi atau alasan yang kuat. Dalam sejarah Nabi Ibrahim, kita dapatkan beliau menghancurkan berhala-berhala yang biasa disembah oleh masyarakat di sekitarnya, saat itu Ibrahim adalah seorang anak remaja, sebagaimana yang tercermin dalam firman Allah SWT yang menceritakan hal ini dlm surat al-anbiya 58-60 :
( 58) فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلاَّ كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ
59) قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ
60) قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ
“Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur terpotong-potong, kecuali yang terbesar dari patung-patung yang lain, agar mereka kembali ( untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan sembahan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim. Mereka berkata: Kami dengar ada seorang anak remaja yang mencela tuhan-tuhan ini, namanya Ibrahim”.
Untuk mempertahankan idealismenya ini, Ibrahim bahkan siap untuk terus berjuang sampai mati, meskipun harus berjuang di wilayah lain, ia menyebut dirinya sebagai orang yang pergi (berhijrah) kepada Allah SWT, Tuhannya Yang Esa. Dalam hal ini Nabi Ibrahim menyatakan di hadapan orang-orang kafir: (الصافات: 99) وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ
” Dan Ibrahim berkata: Sesungguhnya aku pergi (berhijrah) kepada Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku”.
Oleh karena itu, idealisme yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim AS tidak hanya saat ia masih muda belia, tapi bandingkan dengan suatu peristiwa yang amat menakjubkan, saat Ibrahim diperintah oleh Allah SWT untuk menyembelih puteranya, Ismail, dalam peristiwa pengorbanan yang sangat terkenal itu, saat itu Ibrahim sudah sangat tua, sedangkan Ismail adalah anak kesayangannya yang sangat didambakan sejak lama. Maka Ibrahim pun melaksanakan perintah Allah SWT yang terasa jauh lebih berat dari sekedar menghancurkan berhala-berhala di masa mudanya. Ini menunjukkan kepada kita bahwa Nabi Ibrahim AS memiliki idealisme sekaligus loyalitas dan totalitas yang tinggi kepada Allah semenjak masih muda sampai ia sudah tua. Dan inilah yang amat dibutuhkan dalam kehidupan di negeri kita, jangan sampai ada generasi yang pada masa mudanya menentang kezaliman, tapi ketika ia berkuasa pada usia yang lebih tua justeru ia sendiri yang melakukan kezaliman yang dahulu ditentangnya itu. Jangan sampai ada generasi yang semasa muda menentang korupsi, tapi saat ia berkuasa di usianya yang sudah semakin tua justeru ia sendiri yang melakukan korupsi padahal dahulu sangat ditentangnya. Dalam kehidupan sekarang, kita dapati banyak orang yang tidak mampu mempertahankan idealisme atau dengan kata lain tidak istiqomah sehingga apa yang dahulu diucapkan dan diperjuangkan tidak tercermin dalam langkah dan kebijakan hidup yang ditempuhnya, apalagi hal itu dilakukan karena terpengaruh oleh sikap dan prilaku orang lain, teman sejawat atau kelompoknya yang tidak baik. Karena itu, Rasulullah SAW, mengingatkan dalam haditsnya:
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَا تَظْلِمُوا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ رواه الترمذي
Janganlah kamu menjadi orang yang ikut-ikutan dengan mengatakan, kalau orang lain berbuat baik kami pun berbuat baik dan kalau mereka berbuat zalim kami pun akan berbuat zalim. Tetapi teguhkanlah dirimu dengan berperinsip: jika orang lain berbuat kebaikan kami berbuat kebaikan pula dan kalau orang lain berbuat kejahatan maka janganlah kamu berbuat zalim (seperti mereka).
Allahu Akbar 3X WaliLlahilhamdu.
Jamaah Shalat ‘Ied yang dimuliakan Allah.
Ketiga, dari sekian banyak ‘Ibrah dari pribadi Nabi Ibrahim dan keluarganya adalah pelajaran tentang kepemimpinan (Imamah). Di mana Allah telah memilih Nabi Ibrahim sebagai pemimpin bagi umat manusia atas berbagai prestasinya yang gemilang dalam banyak ujian yang telah dilaluinya. Dalam hal ini Allah menyebutkan dalam Al Qur’an:
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ (البقرة: 124).
” Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya secara sempurna. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu pemimpin bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: ” Janjiku ini tidak mencakup orang-orang yang zalim”.
Ujian Allah terhadap Nabi Ibrahim AS. cukup banyak, diantaranya, perintah untuk berdakwah memurnikan ketauhidan ummat manusia yang telah terkontaminasi oleh perbuatan syirik (menyekutukan Allah), perintah menyembelih puteranya Ismail, membangun Ka’bah dan membersihkan Ka’bah dari kemusyrikan, menghadapi raja Namrudz dan lain-lain. Selanjutnya Allah mengangkat Ibrahim sebagai pemimpin bagi manusia. Pemimpin yang menjadi tauladan yang baik dan berlaku bijak dan adil terhadap rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin manusia di bidang misi risalah yang diembannya dari Allah SWT, di bidang kehidupan beragama, politik, hukum, ekonomi dan lain-lain. Pemimpin yang berjuang untuk mengangkat martabat rakyatnya agar menjadi bangsa yang punya ‘izzah, berwibawa di mata Allah dan di dalam percaturan dunia. Tetapi Nabi Ibrahim berharap agar kepemimpinannya itu kelak akan diwariskan kepada anak cucunya, tetapi Allah memberikan ketentuan bahwa Imamah atau kepemimpinan ini tidak akan diberikan-Nya kepada orang-orang yang berbuat zalim; zalim terhadap dirinya dengan berbuat syirik (menyekutukan) kepada Allah, atau berbuat zalim kepada umat manusia dengan cara mengkhianati amanah yang telah dipercayakan kepadanya. Di dalam sejarah, kita mengenal banyak nabi dan rasul yang diutus oleh Allah untuk menjadi pemimpin manusia dari anak keturunan Nabi Ibrahim AS, dan yang terakhir adalah Nabi kita Muhammad SAW. Tapi tidak jarang dari anak keturunan Ibrahim yang berlaku zalim seperti orang-orang Yahudi dan bangsa Arab Jahiliyah yang tidak mampu mewarisi misi dakwah yang dibawa oleh Nabi Ibrahim AS, yang akhirnya Allah menghinakan mereka.
Di dalam kehidupan kekinian, cukup relevan untuk dikemukakan bahwa di dalam memilih pemimpin haruslah kita berhati-hati, jangan sampai kita memilih orang yang zalim sebagai pemimpin kita; karena sudah dapat dipastikan Allah akan menghancurkan orang-orang yang zhalim, dan kita yang memilihnya pun akan ikut binasa. Allah berfirman:
فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ لَنُهْلِكَنَّ الظَّالِمِينَ
(إبراهيم: 13).
“..maka Tuhan mewahyukan kepada para rasul: Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zhalim”. (Ibrahim:13).
Dan di akhirat, para pemimpin yang zalim dan para pemilih dan pengikutnya akan sama-sama disiksa di neraka dengan azab yang sangat pedih. Mari kita simak firman Allah berikut ini:
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَالَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولاَ
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلاَ
رَبَّنَا ءَاتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan (atau disate) di neraka, mereka berkata, ‘alangkah baiknya seandainya kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul. Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan kebenaran. Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”.
Kepemimpinan di dunia ini memang terkadang jatuh ke tangan orang-orang yang zalim akibat lemahnya orang-orang yang shaleh, padahal orang-orang shalehlah yang paling berhak menjadi pemimpin di muka bumi ini. Allah berfirman:
أن الأرض يرثها عبادي الصالحون الأنبياء: 105)
“..Sesungguhnya bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shaleh“.
Berbagai prilaku arogan yang dipertontonkan oleh orang-orang zalim di dunia kini adalah akibat dari kelemahan orang-orang shaleh, praktek-praktek buruk seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan berbagai ketidak adilan dalam pemerintahan yang dilakukan orang-orang yang zalim adalah akibat dari lemahnya orang-orang yang shaleh. Karena itu orang-orang yang beriman haruslah memilih orang yang shaleh yang memiliki visi dan misi kepemimpinan sebagaimana misi kepemimpinan nabi Ibrahim, yakni misi dakwah dan reformasi di semua sektor kehidupan. Barangsiapa yang memilih orang zalim sebagai pemimpinnya, maka ia ikut bertanggung jawab atas semua kezalimannya di hadapan mahkamah Allah SWT dan bertanggung jawab juga kepada rakyat.
Untuk memilih pemimpin yang shaleh, kita dapat melihat track record kepribadiannya di masa lalunya, secara vertikal ia harus baik hubungan ibadahnya kepada Allah SWT, dan secara horisontal ia selalu berbuat adil dan bijaksana serta penuh kasih sayang dan berakhlak baik kepada sesama manusia. Kondisi akhlak dan pendidikan keluarga dan anak-anaknya. Karena atas dasar inilah Nabi Ibrahim dipilih oleh Allah SWT. sebagai imam (pemimpin) bagi semua manusia. Hanya dengan kejelian dan penuh rasa tanggung jawab kita dalam memilih pemimpin yang shalih, beriman dan bertakwa serta memiliki dedikasi yang tinggi kepada Sang Khalik, di samping berakhlak mulia dan penuh kepedulian kepada sesamanya, negeri ini diharapkan dapat keluar dari krisis multidimensi, dan menjadi negeri yang penuh berkah dan maghfirah dari Allah SWT. “Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofuur”.
Ma’aasyiral Muslimin RohimakumuLlah.
Dari uraian khutbah kita yang singkat pada pagi ini, dapat kita simpulkan bahwa sebagai seorang Muslim kita sangat dituntut untuk menunjukkan komitmen atau keterikatan dan loyalitas kita kepada Allah SWT. dengan menegakkan nilai-nilai Islam yang telah diturunkan-Nya, sebagai apapun kita dan di manapun posisi kita, baik dalam kehidupan berkeluarga, atau bermasyarakat dan berbangsa. Karenanya, Rasulullah SAW berpesan kepada kita agar selalu bertaqwa kepada Allah SWT di manapun kita berada.
فاتقوا الله يا عبادالله، وصلوا وسلموا على نبيكم كما أمركم الله في محكم كتابه: “إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما”. اللهم صل على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه ومن دعا بدعوته ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين وعلينا معهم برحمتك يا أرحم الراحمين.
اللهم اغفرلنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم. ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين .
اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه. اللهم ادفع عنا الغلاء والوباء والبلاء والفحشاء والمنكر والبغي والسيوف المختلفة والشدائد والمحن ما ظهر منها وما بطن من بلدنا هذا خاصة ومن بلدان المسلمين عامة إنك على كل شيء قدير.
اللهم أعز الإسلام والمسلمين وأذل الشرك والمشركين ودمر أعداءك أعداء الدين. اللهم من أراد بنا وبديننا وأمتنا سوءا فاجعل دائرة السوء تدورعليه ، ومن أرادنا وأراد المسلمين بسوء فأشغله في نفسه.
اللهم اجعل لإخواننا الحجاج حجا مبرورا وسعيا مشكورا وذنبا مغفورا وعملا صالحا مقبولا وتجارة لن تبور، وأعدهم إلى بلادهم سالمين غانمين مرحومين يا أرحم الراحمين.
ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار. عبادالله، إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر ولذكر الله أكبر. الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر ولله الحمد. والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Minggu, 23 Oktober 2011
kHUTBAH
KHUTBAH ‘IDUL ADHA 1432 H.
Bersikap Memerlukan Pengorbanan
Oleh : Drs.H.M.Munzir, MHI
َالسَّلاَمُ عَلَيـْكُـمْ وَ رَحـْمـَةُ اللهِ وَ بــَرَ كــَاتـُهُ
اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ. اَللهُ أَكْــبَرُ كَـبِــيْرًا وَالحْـَمْدُ للهِ كَـثِـيْرًا وَ سُبْحَانَ اللهِ بُكْرَ ةً وَأَصِيْلاً.اَ لْحَمْدُللهِ الَّذِى جَعَلَ هَذَااْلـيَوْمَ عِيـْدًا لـِعِـبَادِهِ اْلـمُؤْ مِنـِيـْنَ, ، وَجَعَلَ فِى طَـاعَتِهِ عِزَّ الدُّ نْـيَــا وَاْلأَخِرَةِ لِلـطَّـا ئِعِـينَ، وَفِى مَعْصِيـَتـِهِ ذُلَّ الدَّارَ يـْنِ لـِلْـعَـا صِيـْنَ . اَشْـهـَدُاَنْ َلااِلــهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ َلا شَرِ يـْكَ لــَهُ شَهَا دَ ةً تـُطَـهِّرُ اْلـقُـلُـوْبَ مِـنَ اْلغِـشِّ اللّـعِـنِـيْنَ.وَأ َشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدً ا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَطْوَعُ اْلخَلْقِ لِرَبِّ اْلـعـَا لَمِيـْنَ. أَ للّهُمَّ صَلِّ وَسلِّمْ وَبـَارِكْ عَلــَى سَيِّــدِنــَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلـِهِ وَاَصْحَابـِـهِ اْلمُجَـا هِــدِيــْنَ. اَمَّا بــَعـْدُ، فـَيــَا عـِبَادَاللهِ اُوْصِيْكُمْ وَنــََفْسِى بِتَقْوََىاللهِ لـَعَلَكُمْ تـُـفْـلِـحُوْن .
اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ وَللهِ اْلَحَمْدُ.
Allahu Akbar, Allahu Akbar Walilaahilhamd
Hadirin yang dirahmati Allah swt.
Bapak-bapak, ibu-ibu serta hadirin jama’ah shalat Idul Adha Rahimakumullah,
Pada hari yang mulia ini, 10 Dzulhijah 1430 H seluruh umat Islam di seantero dunia memperingati hari raya Idul Adha atau hari raya qurban. Sehari sebelumnya, 9 Dzulhijah 1430 H, jutaan umat Islam yang menunaikan ibadah haji wukuf di Arafah, berkumpul di Arafah dengan memakai ihram putih sebagai lambang kesetaraan derajat manusia di sisi Allah, tidak ada keistimewaan antar satu bangsa dengan bangsa yang lainnya kecuali takwa kepada Allah.
•• • •
“ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. QS Al-Hujaraat (49):13
Peringatan hari raya ini tak bisa dilepaskan dari peristiwa bersejarah ribuan tahun silam ketika Nabi Ibrahim as, dengan penuh ketaqwaan, memenuhi perintah Allah untuk menyembelih anak yang dicintai dan disayanginya, Nabi Ismail as. Atas kekuasaan Allah, secara tiba-tiba yang justru disembelih oleh Nabi Ibrahim as telah berganti menjadi seekor kibas (sejenis domba). Peristiwa itulah yang kemudian menjadi simbol bagi umat Islam sebagai wujud ketaqwaan seorang manusia mentaati perintah Allah swt. Ketaqwaan Nabi Ibrahim kepada Allah swt diwujudkan dengan sikap dan pengorbanan secara totalitas, menyerahkan sepenuhnya kepada sang Pencipta dari apa yang ia percaya sebagai sebuah keyakinan.
Allah swt berfirman dalam Qur’an Surat 12 ayat 111,’
Artinya: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Betapa beratnya ujian dan cobaan yang dialami oleh Nabi Ibrahim AS. Beliau harus menyembelih anak semata wayang, anak yang sangat disayang. Namun dengan asas iman, tulus ikhlas, taat dan patuh akan perintah Allah swt Nabi Ibrahim AS akhirnya mengambil keputusan untuk menyembelih putra tercintanya Ismail, beliau memanggil putranya dengan pangilan yang diabadikan dalam Al Quran Surat Ash Shaafaat (37) ayat 102,
“ Maka tatkala anak itu sampai pada umur sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim , Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirlah apa pendapatmu?” “ Ia menjawab:” Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar “
Ismail sebagai anak shaleh, senantiasa patuh kepada orang tua, tidak pernah membantah perintah orang tua, setia membantu orang tua di antaranya membangun Ka’bah Baitullah di Makkah.
Ibrah atau pelajaran
1. Sebagai orang tua atau pimpinan tidak bertindak otoriter atau sewenang-wenang. Orang tua yang baik adalah orang tua yang mendidik anaknya dengan contoh dan ketauladanan. Seorang pemimpin yang baik akan ditiru oleh rakyatnya jika ia memberikan contoh perilaku yang baik. Seorang pemimpin tidak diikuti ucapannya, tetapi perilaku atau tindak tanduknya. Seorang pemimpin juga harus menjunjung nilai-nilai demokratis, tidak selalu memberikan perintah-perintah, tetapi juga harus mendengarkan aspirasi rakyatnya.
2. Peran sang Ibu dalam mendidik sehingga melahirkan anak yang sholeh.
Peran Ibu sbg madrasah/sekolah utama dan pertama bagi anak sangat penting. Pendidikan anak sholeh dimulai dari saat pertemuan benih dan sel telur, diawali do'a mohon perlindungan dari syetan. Mulai dari kandungan banyak dibacakan ayat2 Qur'an. Dari peran Ibulah, karakter anak sholeh dapat terbentuk. Intensitas pertemuan yang cukup, memungkinkan penanaman dan sosialisasi nilai-nilai normatif, akhlak, dan perilaku terpuji lainnya dapat terinternalisasi pada diri anak.
3. Pembentukkan anak sholeh tergantung dari orang tua
Banyak orang tua yang beranggapan bahwa pendidikan itu akan terbentuk hanya di sekolah-sekolah, jadi tidaklah perlu orang tua mengarahkan anak-anaknya di rumah. Bahkan ada sebagian orang tua yang tidak tahu tujuan dalam mendidik anak. Perlu kita pahami, bahwasannya pendidikan di rumah yang meskipun sering disebut sebagai pendidikan informal, bukan berarti bisa diabaikan begitu saja. Orang tua harus memahami bahwa keluarga merupakan institusi pendidikan yang tidak kalah pentingnya dibandingkan institusi pendidikan formal. Ini bisa dimengerti karena keluarga merupakan sekolah paling awal bagi anak. Di keluargalah seorang anak pertama kali mendapatkan pengetahuan, pengajaran dan pendidikan.
Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd,
Bapak-bapak, ibu-ibu serta hadirin jama’ah shalat Idul Adha Rahimakumullah,
Kata kurban dalam bahasa arab berarti mendekatkan diri. Dalam fiqh Islam dikenal dengan istilah udh-hiyah, sebagian ulama mengistilahkannya an-nahr sebagaimana yang dimaksud dalam QS Al-Kautsar (108): 2,
“ Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah “
Akan tetapi, pengertian korban bukan sekadar menyembelih binatang korban dan dagingnya kemudian disedekahkan kepada fakir miskin. Akan tetapi, secara filosofis, makna korban meliputi aspek yang lebih luas.
Dalam konteks sejarah, dimana umat Islam menghadapi berbagai cobaan, makna pengorbanan amat luas dan mendalam. Sejarah para nabi, misalnya Nabi Muhammad dan para sahabat yang berjuang menegakkan Islam di muka bumi ini memerlukan pengorbanan. Sikap Nabi dan para sahabat itu ternyata harus dibayar dengan pengorbanan yang teramat berat yang diderita oleh Umat Islam di Mekkah ketika itu. Umat Islam disiksa, ditindas, dan sederet tindakan keji lainnya dari kaum kafir quraisy. Rasulullah pernah ditimpuki dengan batu oleh penduduk Thaif, dianiaya oleh ibnu Muith, ketika leher beliau dicekik dengan usus onta, Abu Lahab dan Abu Jahal memperlakukan beliau dengan kasar dan kejam. Para sahabat seperti Bilal ditindih dengan batu besar yang panas ditengah sengatan terik matahari siang, Yasir dibantai, dan seorang ibu yang bernama Sumayyah,ditusuk kemaluan beliau dengan sebatang tombak.
Tak hanya itu, umat Islam di Mekkah ketika itu juga diboikot untuk tidak mengadakan transaksi dagang. Akibatnya, bagaimana lapar dan menderitanya keluarga Rasulullah SAW. saat-saat diboikot oleh musyrikin Quraisy, hingga beliau sekeluarga terpaksa memakan kulit kayu, daun-daun kering bahkan kulit-kulit sepatu bekas.
Sejarah nabi Yusuf as yang disiksa dan dibuang ke sebuah sumur tua oleh para saudaranya sendiri adalah bagian dari pengorbanan beliau menegakkan kebenaran. Sejarah nabi Musa as yang mengalami tekanan, tidak hanya dari Fir’aun, tetapi juga kaumnya, adalah juga wujud dari pengorbanan beliau.
Pengorbanan Nabi Suaib juga dikisahkan dalam QS Al-A’raf, ayat 88,
• • •
”Pemuka-pemuka dari kaum Syu’aib yang menyombongkan diri berkata: ”Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami”. Berkata Syu’aib: ”Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak menyukainya?” (QS AL-A’raf ayat 88)
Qur’an Surat Ibrahim Ibrahim (14) ayat 12-13,
•
(12) Mengapa kami tidak akan bertawakkal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakkal itu berserah diri”.
(13) Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka: ”Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami”. Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka: ”Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu.
Dalam konteks kekinian, pengorbanan umat Islam di berbagai belahan dunia terlihat nyata di Palestina, Kashmir, Thailand Selatan, dan Philipina Selatan. Dengan sikap dan keyakinan mereka terhadap Islam, mereka harus mengalami berbagai penyiksaan dan penindasan oleh penguasa. Umat Islam di Palestina menjadi gambaran betapa pengorbanan yang dipikul sangat berat. Mereka mengalami penyiksaan, penganiayaan, dan bahkan blokade di kawasan Jalur Gaza oleh Israel laknatullah. Akan tetapi, umat Islam di Palestina tidak ada kata menyerah. Mereka terus berjuang membela martabat dan kehormatan bangsa dan agamanya. Sama halnya dengan yang terjadi di kawasan lain dunia.
Dalam sejarah perjuangan bangsa, para pahlawan mengorbankan jiwa raga, harta benda untuk kemerdekaan bangsanya. Jenderal Sudirman harus keluar masuk hutan memimpin tentara Indonesia berjuang melawan Belanda. Sikap para tokoh bangsa yang dipenjara, dibuang, dan disiksa adalah sebagai wujud dari keyakinan mereka akan kebenaran. Ribuan nyawa yang mati adalah pengorbanan mereka terhadap negeri ini. Tentu saja, mereka berkorban atas dasar sikap yang mereka percaya sebagai sebuah kebenaran. Pengorbanan para pemuda di berbagai tempat di Indonesia menghadapi penjajah, adalah sebagai wujud dari sikap mereka mempertahankan kemerdekaan bangsa.
Allahu Akbar, Allahu Akbar
Walilaahilhamd
Bapak-bapak, ibu-ibu serta hadirin jama’ah shalat Idul Adha Rahimakumullah,
Dalam konteks keseharian kita, pengorbanan juga bisa dilihat dari pengorbanan seorang pemimpin yang berusaha untuk mensejahterakan rakyatnya, pengorbanan seorang isteri terhadap suami dan anak-anaknya, serta sebaliknya, anak terhadap kedua orang tuanya.
Seorang pemimpin yang adil terhadap rakyatnya dan berusaha memberikan kontribusinya bagi negaranya adalah wujud pengorbanan. Seorang suami sebagai kepala rumah tangga berjuang membanting tulang demi menafkahi dan membahagiakan keluarganya. Seorang istri mengabdi setia kepada suaminya juga sebagai wujud pengorbanan. Orang tua yang mendidik dan membesarkan anak-anaknya sehingga menjadi berhasil, adalah juga wujud pengorbanan.
Dengan demikian, pengorbanan bisa berdimensi luas. Pengorbanan adalah sebagai sebuah konsekuensi logis dari keyakinan yang diperjuangan demi sebuah kebenaran.
Allahu Akbar, Allahu Akbar Walilaahilhamd
Bapak-bapak, ibu-ibu serta hadirin jama’ah shalat Idul Adha Rahimakumullah,
Sekedar merenungi kembali momentum Idul
Qurban, Kesanggupan Nabi Ibrahim menyembelih anak kandungnya sendiri Nabi Ismail, bukan semata-mata didorong oleh perasaan taat setia yang membabi buta (taqlid), tetapi meyakini bahwa perintah Allah s.w.t. itu harus dipatuhi. Bahkan, Allah Taala memberi perintah seperti itu sebagai peringatan kepada umat yang akan datang bahwa adakah mereka sanggup mengorbankan diri, keluarga dan harta benda yang disayangi demi menegakkan perintah Allah. Dan adakah mereka juga sanggup memikul amanah sebagai khalifah Allah di muka bumi?
Hidup adalah satu perjuangan dan setiap perjuangan memerlukan pengorbanan. Tidak akan ada pengorbanan tanpa kesusahan. Justeru kesediaan seseorang untuk melakukan pengorbanan termasuk uang satu rupiah, tenaga dan waktu, akan benar-benar menguji keimanan seseorang.
Peristiwa berkorban Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail merupakan satu noktah kejadian yang dapat direnungi oleh semua manusia dari semua level usia dan latar belakang tingkat pendidikan. Dengan kata lain, semangat berkorban adalah tuntutan paling besar yang ada dalam lingkungan keluarga, masyarakat maupun, agama bangsa dan negara.
Akhirnya sebagai penutup Khutbah Idul Adha ini, marilah bersama-sama memanjatkan do’a kehadirat Allah SWT, :
Ya Allah yang Maha pengampun ampunilah dosa dan kesalahan kami, dosa dan kesalahan para pemimpin kami, tunjukkanlah kami semua ke jalan yang lurus, jalan yang Engkau ridhoi;-
Ya Allah berilah kami kekuatan dan kemampuan untuk mewujudkan masyarakat, bangsa dan Negara kami berkekalan dan berkepanjangan untuk dapat menjaga situasi kondusif, aman dan damai serta sejahtera dibawah perlindungan-MU;-
Ya Allah anugrahkan kepada kami seorang pemimmpin yang benar-benar beriman dan bertaqwa, seorang pemimpin yang benar-benar memahami jeritan hati nurani rakyatnya, rela dan ikhlas mengabdikan hidupnya untuk memperjuangkan hak-hak kedaultan rakyatnya.
Bersikap Memerlukan Pengorbanan
Oleh : Drs.H.M.Munzir, MHI
َالسَّلاَمُ عَلَيـْكُـمْ وَ رَحـْمـَةُ اللهِ وَ بــَرَ كــَاتـُهُ
اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ. اَللهُ أَكْــبَرُ كَـبِــيْرًا وَالحْـَمْدُ للهِ كَـثِـيْرًا وَ سُبْحَانَ اللهِ بُكْرَ ةً وَأَصِيْلاً.اَ لْحَمْدُللهِ الَّذِى جَعَلَ هَذَااْلـيَوْمَ عِيـْدًا لـِعِـبَادِهِ اْلـمُؤْ مِنـِيـْنَ, ، وَجَعَلَ فِى طَـاعَتِهِ عِزَّ الدُّ نْـيَــا وَاْلأَخِرَةِ لِلـطَّـا ئِعِـينَ، وَفِى مَعْصِيـَتـِهِ ذُلَّ الدَّارَ يـْنِ لـِلْـعَـا صِيـْنَ . اَشْـهـَدُاَنْ َلااِلــهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ َلا شَرِ يـْكَ لــَهُ شَهَا دَ ةً تـُطَـهِّرُ اْلـقُـلُـوْبَ مِـنَ اْلغِـشِّ اللّـعِـنِـيْنَ.وَأ َشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدً ا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَطْوَعُ اْلخَلْقِ لِرَبِّ اْلـعـَا لَمِيـْنَ. أَ للّهُمَّ صَلِّ وَسلِّمْ وَبـَارِكْ عَلــَى سَيِّــدِنــَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلـِهِ وَاَصْحَابـِـهِ اْلمُجَـا هِــدِيــْنَ. اَمَّا بــَعـْدُ، فـَيــَا عـِبَادَاللهِ اُوْصِيْكُمْ وَنــََفْسِى بِتَقْوََىاللهِ لـَعَلَكُمْ تـُـفْـلِـحُوْن .
اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ وَللهِ اْلَحَمْدُ.
Allahu Akbar, Allahu Akbar Walilaahilhamd
Hadirin yang dirahmati Allah swt.
Bapak-bapak, ibu-ibu serta hadirin jama’ah shalat Idul Adha Rahimakumullah,
Pada hari yang mulia ini, 10 Dzulhijah 1430 H seluruh umat Islam di seantero dunia memperingati hari raya Idul Adha atau hari raya qurban. Sehari sebelumnya, 9 Dzulhijah 1430 H, jutaan umat Islam yang menunaikan ibadah haji wukuf di Arafah, berkumpul di Arafah dengan memakai ihram putih sebagai lambang kesetaraan derajat manusia di sisi Allah, tidak ada keistimewaan antar satu bangsa dengan bangsa yang lainnya kecuali takwa kepada Allah.
•• • •
“ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. QS Al-Hujaraat (49):13
Peringatan hari raya ini tak bisa dilepaskan dari peristiwa bersejarah ribuan tahun silam ketika Nabi Ibrahim as, dengan penuh ketaqwaan, memenuhi perintah Allah untuk menyembelih anak yang dicintai dan disayanginya, Nabi Ismail as. Atas kekuasaan Allah, secara tiba-tiba yang justru disembelih oleh Nabi Ibrahim as telah berganti menjadi seekor kibas (sejenis domba). Peristiwa itulah yang kemudian menjadi simbol bagi umat Islam sebagai wujud ketaqwaan seorang manusia mentaati perintah Allah swt. Ketaqwaan Nabi Ibrahim kepada Allah swt diwujudkan dengan sikap dan pengorbanan secara totalitas, menyerahkan sepenuhnya kepada sang Pencipta dari apa yang ia percaya sebagai sebuah keyakinan.
Allah swt berfirman dalam Qur’an Surat 12 ayat 111,’
Artinya: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Betapa beratnya ujian dan cobaan yang dialami oleh Nabi Ibrahim AS. Beliau harus menyembelih anak semata wayang, anak yang sangat disayang. Namun dengan asas iman, tulus ikhlas, taat dan patuh akan perintah Allah swt Nabi Ibrahim AS akhirnya mengambil keputusan untuk menyembelih putra tercintanya Ismail, beliau memanggil putranya dengan pangilan yang diabadikan dalam Al Quran Surat Ash Shaafaat (37) ayat 102,
“ Maka tatkala anak itu sampai pada umur sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim , Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirlah apa pendapatmu?” “ Ia menjawab:” Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar “
Ismail sebagai anak shaleh, senantiasa patuh kepada orang tua, tidak pernah membantah perintah orang tua, setia membantu orang tua di antaranya membangun Ka’bah Baitullah di Makkah.
Ibrah atau pelajaran
1. Sebagai orang tua atau pimpinan tidak bertindak otoriter atau sewenang-wenang. Orang tua yang baik adalah orang tua yang mendidik anaknya dengan contoh dan ketauladanan. Seorang pemimpin yang baik akan ditiru oleh rakyatnya jika ia memberikan contoh perilaku yang baik. Seorang pemimpin tidak diikuti ucapannya, tetapi perilaku atau tindak tanduknya. Seorang pemimpin juga harus menjunjung nilai-nilai demokratis, tidak selalu memberikan perintah-perintah, tetapi juga harus mendengarkan aspirasi rakyatnya.
2. Peran sang Ibu dalam mendidik sehingga melahirkan anak yang sholeh.
Peran Ibu sbg madrasah/sekolah utama dan pertama bagi anak sangat penting. Pendidikan anak sholeh dimulai dari saat pertemuan benih dan sel telur, diawali do'a mohon perlindungan dari syetan. Mulai dari kandungan banyak dibacakan ayat2 Qur'an. Dari peran Ibulah, karakter anak sholeh dapat terbentuk. Intensitas pertemuan yang cukup, memungkinkan penanaman dan sosialisasi nilai-nilai normatif, akhlak, dan perilaku terpuji lainnya dapat terinternalisasi pada diri anak.
3. Pembentukkan anak sholeh tergantung dari orang tua
Banyak orang tua yang beranggapan bahwa pendidikan itu akan terbentuk hanya di sekolah-sekolah, jadi tidaklah perlu orang tua mengarahkan anak-anaknya di rumah. Bahkan ada sebagian orang tua yang tidak tahu tujuan dalam mendidik anak. Perlu kita pahami, bahwasannya pendidikan di rumah yang meskipun sering disebut sebagai pendidikan informal, bukan berarti bisa diabaikan begitu saja. Orang tua harus memahami bahwa keluarga merupakan institusi pendidikan yang tidak kalah pentingnya dibandingkan institusi pendidikan formal. Ini bisa dimengerti karena keluarga merupakan sekolah paling awal bagi anak. Di keluargalah seorang anak pertama kali mendapatkan pengetahuan, pengajaran dan pendidikan.
Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd,
Bapak-bapak, ibu-ibu serta hadirin jama’ah shalat Idul Adha Rahimakumullah,
Kata kurban dalam bahasa arab berarti mendekatkan diri. Dalam fiqh Islam dikenal dengan istilah udh-hiyah, sebagian ulama mengistilahkannya an-nahr sebagaimana yang dimaksud dalam QS Al-Kautsar (108): 2,
“ Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah “
Akan tetapi, pengertian korban bukan sekadar menyembelih binatang korban dan dagingnya kemudian disedekahkan kepada fakir miskin. Akan tetapi, secara filosofis, makna korban meliputi aspek yang lebih luas.
Dalam konteks sejarah, dimana umat Islam menghadapi berbagai cobaan, makna pengorbanan amat luas dan mendalam. Sejarah para nabi, misalnya Nabi Muhammad dan para sahabat yang berjuang menegakkan Islam di muka bumi ini memerlukan pengorbanan. Sikap Nabi dan para sahabat itu ternyata harus dibayar dengan pengorbanan yang teramat berat yang diderita oleh Umat Islam di Mekkah ketika itu. Umat Islam disiksa, ditindas, dan sederet tindakan keji lainnya dari kaum kafir quraisy. Rasulullah pernah ditimpuki dengan batu oleh penduduk Thaif, dianiaya oleh ibnu Muith, ketika leher beliau dicekik dengan usus onta, Abu Lahab dan Abu Jahal memperlakukan beliau dengan kasar dan kejam. Para sahabat seperti Bilal ditindih dengan batu besar yang panas ditengah sengatan terik matahari siang, Yasir dibantai, dan seorang ibu yang bernama Sumayyah,ditusuk kemaluan beliau dengan sebatang tombak.
Tak hanya itu, umat Islam di Mekkah ketika itu juga diboikot untuk tidak mengadakan transaksi dagang. Akibatnya, bagaimana lapar dan menderitanya keluarga Rasulullah SAW. saat-saat diboikot oleh musyrikin Quraisy, hingga beliau sekeluarga terpaksa memakan kulit kayu, daun-daun kering bahkan kulit-kulit sepatu bekas.
Sejarah nabi Yusuf as yang disiksa dan dibuang ke sebuah sumur tua oleh para saudaranya sendiri adalah bagian dari pengorbanan beliau menegakkan kebenaran. Sejarah nabi Musa as yang mengalami tekanan, tidak hanya dari Fir’aun, tetapi juga kaumnya, adalah juga wujud dari pengorbanan beliau.
Pengorbanan Nabi Suaib juga dikisahkan dalam QS Al-A’raf, ayat 88,
• • •
”Pemuka-pemuka dari kaum Syu’aib yang menyombongkan diri berkata: ”Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami”. Berkata Syu’aib: ”Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak menyukainya?” (QS AL-A’raf ayat 88)
Qur’an Surat Ibrahim Ibrahim (14) ayat 12-13,
•
(12) Mengapa kami tidak akan bertawakkal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakkal itu berserah diri”.
(13) Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka: ”Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami”. Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka: ”Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu.
Dalam konteks kekinian, pengorbanan umat Islam di berbagai belahan dunia terlihat nyata di Palestina, Kashmir, Thailand Selatan, dan Philipina Selatan. Dengan sikap dan keyakinan mereka terhadap Islam, mereka harus mengalami berbagai penyiksaan dan penindasan oleh penguasa. Umat Islam di Palestina menjadi gambaran betapa pengorbanan yang dipikul sangat berat. Mereka mengalami penyiksaan, penganiayaan, dan bahkan blokade di kawasan Jalur Gaza oleh Israel laknatullah. Akan tetapi, umat Islam di Palestina tidak ada kata menyerah. Mereka terus berjuang membela martabat dan kehormatan bangsa dan agamanya. Sama halnya dengan yang terjadi di kawasan lain dunia.
Dalam sejarah perjuangan bangsa, para pahlawan mengorbankan jiwa raga, harta benda untuk kemerdekaan bangsanya. Jenderal Sudirman harus keluar masuk hutan memimpin tentara Indonesia berjuang melawan Belanda. Sikap para tokoh bangsa yang dipenjara, dibuang, dan disiksa adalah sebagai wujud dari keyakinan mereka akan kebenaran. Ribuan nyawa yang mati adalah pengorbanan mereka terhadap negeri ini. Tentu saja, mereka berkorban atas dasar sikap yang mereka percaya sebagai sebuah kebenaran. Pengorbanan para pemuda di berbagai tempat di Indonesia menghadapi penjajah, adalah sebagai wujud dari sikap mereka mempertahankan kemerdekaan bangsa.
Allahu Akbar, Allahu Akbar
Walilaahilhamd
Bapak-bapak, ibu-ibu serta hadirin jama’ah shalat Idul Adha Rahimakumullah,
Dalam konteks keseharian kita, pengorbanan juga bisa dilihat dari pengorbanan seorang pemimpin yang berusaha untuk mensejahterakan rakyatnya, pengorbanan seorang isteri terhadap suami dan anak-anaknya, serta sebaliknya, anak terhadap kedua orang tuanya.
Seorang pemimpin yang adil terhadap rakyatnya dan berusaha memberikan kontribusinya bagi negaranya adalah wujud pengorbanan. Seorang suami sebagai kepala rumah tangga berjuang membanting tulang demi menafkahi dan membahagiakan keluarganya. Seorang istri mengabdi setia kepada suaminya juga sebagai wujud pengorbanan. Orang tua yang mendidik dan membesarkan anak-anaknya sehingga menjadi berhasil, adalah juga wujud pengorbanan.
Dengan demikian, pengorbanan bisa berdimensi luas. Pengorbanan adalah sebagai sebuah konsekuensi logis dari keyakinan yang diperjuangan demi sebuah kebenaran.
Allahu Akbar, Allahu Akbar Walilaahilhamd
Bapak-bapak, ibu-ibu serta hadirin jama’ah shalat Idul Adha Rahimakumullah,
Sekedar merenungi kembali momentum Idul
Qurban, Kesanggupan Nabi Ibrahim menyembelih anak kandungnya sendiri Nabi Ismail, bukan semata-mata didorong oleh perasaan taat setia yang membabi buta (taqlid), tetapi meyakini bahwa perintah Allah s.w.t. itu harus dipatuhi. Bahkan, Allah Taala memberi perintah seperti itu sebagai peringatan kepada umat yang akan datang bahwa adakah mereka sanggup mengorbankan diri, keluarga dan harta benda yang disayangi demi menegakkan perintah Allah. Dan adakah mereka juga sanggup memikul amanah sebagai khalifah Allah di muka bumi?
Hidup adalah satu perjuangan dan setiap perjuangan memerlukan pengorbanan. Tidak akan ada pengorbanan tanpa kesusahan. Justeru kesediaan seseorang untuk melakukan pengorbanan termasuk uang satu rupiah, tenaga dan waktu, akan benar-benar menguji keimanan seseorang.
Peristiwa berkorban Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail merupakan satu noktah kejadian yang dapat direnungi oleh semua manusia dari semua level usia dan latar belakang tingkat pendidikan. Dengan kata lain, semangat berkorban adalah tuntutan paling besar yang ada dalam lingkungan keluarga, masyarakat maupun, agama bangsa dan negara.
Akhirnya sebagai penutup Khutbah Idul Adha ini, marilah bersama-sama memanjatkan do’a kehadirat Allah SWT, :
Ya Allah yang Maha pengampun ampunilah dosa dan kesalahan kami, dosa dan kesalahan para pemimpin kami, tunjukkanlah kami semua ke jalan yang lurus, jalan yang Engkau ridhoi;-
Ya Allah berilah kami kekuatan dan kemampuan untuk mewujudkan masyarakat, bangsa dan Negara kami berkekalan dan berkepanjangan untuk dapat menjaga situasi kondusif, aman dan damai serta sejahtera dibawah perlindungan-MU;-
Ya Allah anugrahkan kepada kami seorang pemimmpin yang benar-benar beriman dan bertaqwa, seorang pemimpin yang benar-benar memahami jeritan hati nurani rakyatnya, rela dan ikhlas mengabdikan hidupnya untuk memperjuangkan hak-hak kedaultan rakyatnya.
PERHAKIMAN TAFSIR ALQURAN
PERHAKIMAN CABANG TAFSIR AL QURAN
A. NORMA PENILAIAN
Norma penilaian cabang Tafsir Al Qur’an jadalah ketentuan penilaian tentang pernampilan peserta yang meliputi :
1. Bidang dan materi yang dinilai
a. Bidang Tahfizh
1) Tahfizh
2) Tahwid
3) Fashahah
b. Bidang Tafsir
1) Mufradat (kosa kata/Vocabulary)
2) Munasabat al ayat/Sbab Nuzul/Korelasi/Sabab Nuzul / Correlation/Couses of Nuzul
3) Mudar al Ayat, Wawasan, Durus dan Kesimpulan, Interperation/Commentary/Conclution.
4) Ta’bir/Bahasa/Expression
2. Ketenetuan Penilaian
a. Penilaian bidang Tahfizh sama dengan penilaian musabah musabaqah Hifzh Al Qur’an dengan ketentuan soal tahfizh hanya 4 (empat) soal saja
b. Bdiang Tafsir meliputi :
1) Mufradat / Kosa Kata / Vocabulary
Mufradat (kosa akat/vocabulary) adalah penilaian tentang makna atau persamaan dari kata atau kalimat yang ada dalam suatu ayat.
Contoh :
Apa yang dimaksud :
a) Khamar
Adalah segala sesuatu yang memabukan apabila diminum, dimakan, apapan bahan mentahnya baik dalam kadar sedikit atau banyak.
b) Matsir
Adlah setiap permainan yang mengandung taruhan yang menguntungkan suatu pihak dan merugikan pihak lain (Menurut Mujahid)
c) Itsmun Kabir
Adalah dosa sbesa
d) Al’afwu
Adalah kelebihan harta yang dimiliki atau harta yang sudah berlebih dari keperluan sehari-hari
2) Munasabah al ayat/Sabab Nuzul / Korelasi / sebab Nuzul / Correlation /Couses of Nuzul
a) Munasabat al Ayat adalah hubungan makna antara satu ayat dengan ayat sebelumnya atau sesudahnya yang menggambarkan tidak adanya keterputusan dalam urutan ayat-ayat Al Qur’an maupun rangkaian kalimat-kalimatnya. Sebelum menafsirkan suatu ayat did ahului tentang muansabat al Ayat/Asbabun Nuzul.
b) Sabab an Nuzul adalah penilaian tentang penuturan peristiwan melatar belakangi turunnya suatu ayat .
----------------------- Ayat ------------------
Apa yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut ?
Dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah diterangkan, ketika Rasulullah datang ke Madinah did apatinya para sahabat yang meminum khamar dan berjudi, sebab hal itu sudah menjadi kebiasan mereka sejak dari nenek moyang mereka. Lalu para sahabat bertanya kepada Rasulullah mengenai hukumnya. Maka turunlah ayat ini.
3) Murad al Ayat/Wawasan dan Durusu / Tafsir / Kesimpulan / Interprestasi / Commentary/Conclution
a) Murad Al Ayat yaitu penilaian tentanga rti dan uraian yang jelas dan rinci tentang isi dan makna yang terkandung dalam ayat.
Contoh :
Terjemahkan ayat berikut ini, kemudian jelaskan makna yang terkandung di dalamnya Al Baqarah 219.
Jawab :
Mereka bertanya kepda mu tentang khamar dan perjudian. Jawaban : Pada keduanya itu terdapat (keburukan yang mengakibatkan) dosa yang besar (serta terdapat pula manfaat untuk manusia) dan dosanya lebih besar dari manfaatnya.
Dan mereka bertanya kepada mu apa yang mereka infakkan, katakanlah “yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu supaya kamu berfikir”.
b) Wawasan
Wawasan adalah penilaian tentang tingkat pengetahuan terhadap materi yang ditafsirkan baik pengetahuan tentang keagamaan Iptek, Sosial, Ekonomi, Sejarah, dan lain-lain.
Contoh :
Bagaimana metode Al Quran menempuh kebijakan pentahapan dan pembiasaan dalam menetapkan hukum-hukumnya. Ini tyerlihat dalam perintah-perintahnya, seperti shalat yang dimulai dengan penanam kesadaran akan kebesaran Allah SWT, disusul kemudian dengan perintah shalat dua kali sehari disertai dengan izin bercakap. Kebijakan yang sama terlihat pula dalam hal larangan-larangan terhadap kebiasan-kebisaan buruk Masyarakat antara lain seperti larangan meminum minuman kerjas. Ditengah masyarakat yang sangat gandrung akan minuman keras. Al Qur’an mengharamkannya melalui metode pentahanapan dari pembiasaan sebagai berikut :
Ayat pertama tentang minuman keras (sebagaimana dikemukakan di atas) turun ketika Nabi Muhammad SAW masih berada di Makkah. Yaitu surah An Nahl Ayat 67 :
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالأعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (٦٧)
Dari buah korma dan anggur kamu buat minuman yang memabukan dan rizki yang baik.
Sejak turun ayat ini, kamum Muslimin yang memiliki kesadaran yang tinggi sudah meninggalkan khamr.
Memang isyaratnya demikian halus, sehingga belum dipahami kebanyakan orang. Dengan demikian wajarlah jika beberapa tahun sesudah turunnya ayat ini pda permulaan tahun pertanam Nabi Muhammad SAW di Madinah sebagian sahabat bertanya tentang Khamr dan judi, dan ketika itu utnuk kedua kalinya turun ayat tentang minuman keras. Kali ini isyarat jalur yang tersirat pada ayat di atas (Surah An Nahl 67) dikemukakan secara tersurat dalam firman-Nya dalam surah Al Baqarah : 219).
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (٢١٩)
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan perjudian. Jawablah, pada keduanya itu terdapat (keburukan dan yang mengakibarkan) dosa yang besar (Serta terdapat pula) manfaat untuk manusia dan dosanya lebih besar dari manfaatnya.
Di celah suratan itu tempat keharaman minuman keras dan perjudian. Bukanlah suatu keburuhaknnya lebih banyak dari pada manfaatnya itu adlah ahrama ? Sayangnya makna tersirat ini belum dipahami oleh banyak sahbat Nabi waktu itu. Mereka masih tetap minum bahkan menjelasng shalat, sehingga suatu ketika ada yang membaca Surat Al Kafirun dengan “A’budu maa ta’buddun” (aku menyembah apa yang kamu sembah), bukannya “Laa a’budu maa ta’buduun” (aku tidak menyembah apa yang kamu sembah).
Dalam situasi semacam itulah turun ayat ketiga yang mengandung larangan tegas walaupun terbatas yaitu : Surat An Nisa ayat : 43).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu dekati shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga engka mengetahui apa yag kamu katakan”.
Dalam suatu riwayat disebutkan telah menjadi kericuhan antara para saabat disebabkan mimum hamar hingga mabuk sempat ada sebagian sahabat dipukul oleh teman mereka sehingga berdarah. Melihat kejadian semacam ini Umar bin Khattab berdoa :
“Ya Allah jelaskanlah kepada kami secara tuntas tentang khamr”.
Maka turunlah ayat 90-91 dari surat Al Maidah, yang memberikan penejalsan secara tunta disertai dengan ketagesannya sepanjang waktu.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٩٠)
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (٩١)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu”.
Ketika itu pula, Nabi Muhammad SAW menumpahkan sendiri bejana-bejana yang berisi minuman keras, para sahabat juga langsung menumpahkan minuman keras yang ada pada mereka, sehinngga lorong-lorong Kota Madinah dipenuhi bau minuman keras. Kini kesadaran melalui pembiasaan dan pentahapan yang ditempuh Al Qur’an selama ini telah dibarengi dengan ketegasan dan turunnya penguasa mengingkirkan setiap minuman keras dari tempat-tempat umum.
Apa yang ditempuh oleh Al Qur’an adalah langkah yang sangat bijaksana. Karena dalam ukuran manusia tidak bisa menghilangkan satu kebiasan sekaligus. Sebab akan berakibat negatif atau tidak membuahkan hasil, walaupun nilainya baik. Namun dengan penyadaran secara perlahan tapi pasti, usaha itu akan mebuahkan hasil.
c) Durus/Kesimpulan adalah penilaian tentang kemampuan peserta dalam menyimpulkan ayat-ayat yang telah ditafsirkan.
Contoh :
------------- Ayat -------------
Ada kesimpulan dari ayat tersebut :
1. Khamr dan segala macam minuman yang memabukan bila diminum dengan kadar sedikit atau banyak oleh orang normal, minuman itu adalah khamar yang haram apabila di minum.
2. Maisir arau segala macam permainan yang di dalamnya mengandung unsur taruhan (qimar) adalah termasuk judi yang dilarang agama
3. Allah mengharamkan minuman khamar dan berjudi karena bahanya yang ditmbulkan dari keduanya sangat besar diabdningkan manfaat yang dinikmati sesaat atau menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain.
4. Metode Al Qur’an dalam menetapkan hukum seperti penetapan tentang hukum meminum khamar dan mengkonsumsikanya melalui pentahapan, menunjukkan bahwa ajaran Islam adalah dinamis, fleksibel dan memanusiakan manusia.
5. Ta’bir (bahasa) adalah penilaian tentang pengungkapan suatu maksud dengan susunan bahas Arab, Indonesia dan Inggris yang baik, baik, lancarr, dan mudah dipahami.
3. Cara Penilaian
a. Bidang Tahfizh
Cara penilaian Bidang Tahfizh (Tahfizh, Tajwid dan Fashahah) sama dengan cara penilaian pada Musabaqah Hifzh Al Qur’an
b. Kelompok Tafsir
1) Mufradat/Kosa Kata/Vocabulary
a) Angka penilaian mufradat maksimal 10
b) Penilaian setiap soal dimulai dari anbgka 0, kemudian ditambah sesuai dnegan ketepatan dan kesempurnaan jawaban.
2) Munasabat Ayat/Sabab Nuzul/Couses of Nuzul
a) Angka penilaian munasabat ayat/sabab nuzul maksmimal 20
b) Penilaian setiap soal dimulai dari angka 0, kemudian ditambah sesuai dengan dengan ketepatan dan kesempurnaan jawaban.
3) Murad al Ayat/Tafsir/Wawasan/Durus/Interpretation/Conclution
a) Angka penilaian muradul ayat maksimal 50
b) Penilaian setiap soal dimulai dari angka 0, kemudian ditambah sesuia dnegan ketepatan dan kesempurnaan jawaban.
c) Komponen murad al Ayat terdiri dari tiga :
(1) Tafsir dengan nilai 20
(2) Wawasan dengan nilai 20
(3) Durus dengan nilai 10
4) Ta’bir / Bahasa / Expression
a) Angka penilaian ta’bir (bahasa) maksmimal 20
b) Penilaian dimulai dari angka minuman 0, kemudian ditambah sesuai dengan ketepatan bahasa serta kelancaran dai keindahan uslub/gaya
c) Ketepatan pemakaian kata, susunan dan qaedah bahasa dinilai 15, dn nilai lebih 5 diberikan kepada peserta yang lancar dan mempunyai uslub yang indah.
B. PERANGKAT PERHAKIMAN
1. Personalia
a. Komposisi Majelis Hakim
Majelis Hakim Tafsir Bahasa Arab, Indonesia dan Inggris terdiri dari Ketua, anggota dan panitera.
b. Ketua Majelis merangka anggota, anggota adalah Hakim yang terdiri dari :
1) Hakim penanya Tahfizh (tidak menilai)
2) Hakim penilai bidang Tahfizh 3 orang
3) Hakim penilai bdiang Tajwid merangkap bdiang Fashahah 3 orang
4) Hakim penilai bidang tafsir 3 orang, salah seorang merangkap sebagai penanya tafsir
c. Ketentuan Majelis Hakim
1) Pada Musabaqah Tingkat Nasional Hakim penanya dan penilai bidang Tahfizh harus seorang Hafizh dan apda Musabaqah Tingkat Provinsi ke sedapat mungkin disesuaikan dengan ketentuan ini.
2) Apda Musabaqah Tingkat Provinsi jumlah Hakim penilai masing-masing bdiang 3 orang pada tingkat Provinsi ke bawah sedapat mungkin menyesuaikan dengan ketentuan ini.
3) Hakim penanya bidang tafsir bsia menambah pertanyaan kepada peserta berdasarkan soal yang diterapkan, dengan ketentuan apabila jawabannya betul, dapat mnambah nilai, kalau salah tidak mengurangi nilai sebelum penambah pertanyaan.
2. Tempat Tugas
a. Dalam menjalankan tugas penilaian masing-masing Hakim menempati ruangan yang terpisah
b. Hakim penanya dan penilai Tafsir menempati ruangan terdekat dengan mimbar dan berturut-turut Hakim Penilai Fashaha, Tajwid dan Tahfizh.
3. Sarana dan Perlengkapan
a. Sarana Adminsitrasi
1) Formulir penilaian
2) Maqra
3) Ballpoint
4) Block note atau kertas kosong
5) Kalkultaor
6) ATK lainnya
b. Sarana Penunjang
1) Mushaf Bahriyah (Pojok)
2) Kita Tafsir
3) Headphone
4) Wekker/Stopwatch
5) Microphone
6) Tas atau Map
7) Buku Pedoman
8) Jawal Penampilan
9) Jadwal dan Pembagian Tugas
4. Obyek Penilaian
a. Ketentuan tentang obyek penlaian bidang Tahfizh sama dengan ketentuan dalam musabawah Hifzh Al Qur’an
b. Bidang Tafsir
a) Materi soal-soal Tafsir adalah juz yang sudah ditentukan dan tediri dari :
(1) 5 pertanyaan tentang mufradat
(2) Pertanyaan tentang munasabat al ayat / saba nuzul
(3) Pertanyaan tentang murad ala ayat (tafsir)
(4) Pertanyaan tentang wawasan dan durus
b) Soal dan jawaban dalam musabaqah disampaikan dalam bahasa Arab yang fusha, atau bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang baku.
C. PELAKSANAAN PERHAKIMAN
1. Penampilan
a. Pelaksanaan Musabaah Tafsir Al Qur’an bahasa Arab, Indoensia dan Bahasa Inggris pda MTQ/STQ Tingkat Nasional dilaksanakan dengan dua babak, yaitu babak penyisihan dan babak final. Untuk tingkat provinsi ke bawah sesuai kemampuan.
b. Penampilan dilaksanakan dengan cara :
1) Peserta tidak perlu memberi salam pada permulaan dan akhir bacaan. Pada kanhir penampilan peserta cukup mengucapkan “Wallahu A’lam bish Showab”.
2) Peserta menjawab pertanyaan Tahfizh kemudian pertanyaan Tafsir
3) Peserta menjawab langsung setiap pertanyaan setelah Hakim penanya selesai membacakan pertanyaan.
4) Hakim penanya Tafsir bisa menambah pertanyaan langsung kepada peserta berdasar soal yang ditetapkan
2. Lama Penampilan
Waktu untuk mejawab seluruh pertanyaan Tafsir maksimal 15 menit, sedang Tahfizh berdasrkan banyaknya bacaan.
3. Penilaian
a. Hakim memberi penialain langsing kepada setiap peserta sesaat setelah penampilan pada formulir yang tersedia.
b. Hakim memberikan catatan-catatan yang perlu sebagai dasar atas nilai yang diberikan.
c. Nilai yang telah dibuat oleh Hakim dikumpulkan oleh Panitera dan dimasukkan ke dlaam daftar reklapitulasi.
d. Apabila dalam penilaian digunakan sistem IT, maka peraturan ini akan disesuaikan
4. Penentuan Finalis dan Kejuaran
a. Penentuan Finaslis
1) Finaslis ditentukan dalam Sidang Majelis Hakim berdasar jumlah nilai yang telah diberikan oleh Hakim. Dewan Hakim mengukuhkan para finasli dengan suatu Keputusan.
2) Penentuan finaslis ditentukan atas dasar jumlah nilai tertinggi 1, 2 dan 3
3) Bila terjadi nilai yang sama antara dua peserta atau lebih, maka penentuan urutannya didasarkan secara bertahap pada nilai tertinggi bidang Tafsir, Tahfizh bidang Tajwid. Apabila tetap sama maka dimungkinkan finalis lebih dari 3 peserta
b. Penentuan Kejuaraan
1) Majelis Hakim menentukan calon juara dalam Sidang Majelis Hakim atas dasar jumlah nilai tertinggi, 1, 2, dan 3.
2) Sidang Dewan Hakim menetapkan 3 peserta yang diusulkan Majelis Hakim sebagai peserta terbaik peringakt I, II, dan III
3) Bila terjadi nilai sama, maka penentuan didasarkan secara bertahap pada nilai tertinggi di bidang Tafsir, Tahfizh kemudian bidang Tasjwid. Bila tetap sama, maka dimungkinkan adanya juara kembar.
5. Tanda Syarat
Tanda syarat pada musabawah Tafsir Al Qur’an bidang hifzhnya sama dengan tanda/isyarat pada cabang Hifzh Al Qur’an. Untuk soal tafsir langsung disampaikan oleh Hakim Penanya.
A. NORMA PENILAIAN
Norma penilaian cabang Tafsir Al Qur’an jadalah ketentuan penilaian tentang pernampilan peserta yang meliputi :
1. Bidang dan materi yang dinilai
a. Bidang Tahfizh
1) Tahfizh
2) Tahwid
3) Fashahah
b. Bidang Tafsir
1) Mufradat (kosa kata/Vocabulary)
2) Munasabat al ayat/Sbab Nuzul/Korelasi/Sabab Nuzul / Correlation/Couses of Nuzul
3) Mudar al Ayat, Wawasan, Durus dan Kesimpulan, Interperation/Commentary/Conclution.
4) Ta’bir/Bahasa/Expression
2. Ketenetuan Penilaian
a. Penilaian bidang Tahfizh sama dengan penilaian musabah musabaqah Hifzh Al Qur’an dengan ketentuan soal tahfizh hanya 4 (empat) soal saja
b. Bdiang Tafsir meliputi :
1) Mufradat / Kosa Kata / Vocabulary
Mufradat (kosa akat/vocabulary) adalah penilaian tentang makna atau persamaan dari kata atau kalimat yang ada dalam suatu ayat.
Contoh :
Apa yang dimaksud :
a) Khamar
Adalah segala sesuatu yang memabukan apabila diminum, dimakan, apapan bahan mentahnya baik dalam kadar sedikit atau banyak.
b) Matsir
Adlah setiap permainan yang mengandung taruhan yang menguntungkan suatu pihak dan merugikan pihak lain (Menurut Mujahid)
c) Itsmun Kabir
Adalah dosa sbesa
d) Al’afwu
Adalah kelebihan harta yang dimiliki atau harta yang sudah berlebih dari keperluan sehari-hari
2) Munasabah al ayat/Sabab Nuzul / Korelasi / sebab Nuzul / Correlation /Couses of Nuzul
a) Munasabat al Ayat adalah hubungan makna antara satu ayat dengan ayat sebelumnya atau sesudahnya yang menggambarkan tidak adanya keterputusan dalam urutan ayat-ayat Al Qur’an maupun rangkaian kalimat-kalimatnya. Sebelum menafsirkan suatu ayat did ahului tentang muansabat al Ayat/Asbabun Nuzul.
b) Sabab an Nuzul adalah penilaian tentang penuturan peristiwan melatar belakangi turunnya suatu ayat .
----------------------- Ayat ------------------
Apa yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut ?
Dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah diterangkan, ketika Rasulullah datang ke Madinah did apatinya para sahabat yang meminum khamar dan berjudi, sebab hal itu sudah menjadi kebiasan mereka sejak dari nenek moyang mereka. Lalu para sahabat bertanya kepada Rasulullah mengenai hukumnya. Maka turunlah ayat ini.
3) Murad al Ayat/Wawasan dan Durusu / Tafsir / Kesimpulan / Interprestasi / Commentary/Conclution
a) Murad Al Ayat yaitu penilaian tentanga rti dan uraian yang jelas dan rinci tentang isi dan makna yang terkandung dalam ayat.
Contoh :
Terjemahkan ayat berikut ini, kemudian jelaskan makna yang terkandung di dalamnya Al Baqarah 219.
Jawab :
Mereka bertanya kepda mu tentang khamar dan perjudian. Jawaban : Pada keduanya itu terdapat (keburukan yang mengakibatkan) dosa yang besar (serta terdapat pula manfaat untuk manusia) dan dosanya lebih besar dari manfaatnya.
Dan mereka bertanya kepada mu apa yang mereka infakkan, katakanlah “yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu supaya kamu berfikir”.
b) Wawasan
Wawasan adalah penilaian tentang tingkat pengetahuan terhadap materi yang ditafsirkan baik pengetahuan tentang keagamaan Iptek, Sosial, Ekonomi, Sejarah, dan lain-lain.
Contoh :
Bagaimana metode Al Quran menempuh kebijakan pentahapan dan pembiasaan dalam menetapkan hukum-hukumnya. Ini tyerlihat dalam perintah-perintahnya, seperti shalat yang dimulai dengan penanam kesadaran akan kebesaran Allah SWT, disusul kemudian dengan perintah shalat dua kali sehari disertai dengan izin bercakap. Kebijakan yang sama terlihat pula dalam hal larangan-larangan terhadap kebiasan-kebisaan buruk Masyarakat antara lain seperti larangan meminum minuman kerjas. Ditengah masyarakat yang sangat gandrung akan minuman keras. Al Qur’an mengharamkannya melalui metode pentahanapan dari pembiasaan sebagai berikut :
Ayat pertama tentang minuman keras (sebagaimana dikemukakan di atas) turun ketika Nabi Muhammad SAW masih berada di Makkah. Yaitu surah An Nahl Ayat 67 :
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالأعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (٦٧)
Dari buah korma dan anggur kamu buat minuman yang memabukan dan rizki yang baik.
Sejak turun ayat ini, kamum Muslimin yang memiliki kesadaran yang tinggi sudah meninggalkan khamr.
Memang isyaratnya demikian halus, sehingga belum dipahami kebanyakan orang. Dengan demikian wajarlah jika beberapa tahun sesudah turunnya ayat ini pda permulaan tahun pertanam Nabi Muhammad SAW di Madinah sebagian sahabat bertanya tentang Khamr dan judi, dan ketika itu utnuk kedua kalinya turun ayat tentang minuman keras. Kali ini isyarat jalur yang tersirat pada ayat di atas (Surah An Nahl 67) dikemukakan secara tersurat dalam firman-Nya dalam surah Al Baqarah : 219).
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (٢١٩)
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan perjudian. Jawablah, pada keduanya itu terdapat (keburukan dan yang mengakibarkan) dosa yang besar (Serta terdapat pula) manfaat untuk manusia dan dosanya lebih besar dari manfaatnya.
Di celah suratan itu tempat keharaman minuman keras dan perjudian. Bukanlah suatu keburuhaknnya lebih banyak dari pada manfaatnya itu adlah ahrama ? Sayangnya makna tersirat ini belum dipahami oleh banyak sahbat Nabi waktu itu. Mereka masih tetap minum bahkan menjelasng shalat, sehingga suatu ketika ada yang membaca Surat Al Kafirun dengan “A’budu maa ta’buddun” (aku menyembah apa yang kamu sembah), bukannya “Laa a’budu maa ta’buduun” (aku tidak menyembah apa yang kamu sembah).
Dalam situasi semacam itulah turun ayat ketiga yang mengandung larangan tegas walaupun terbatas yaitu : Surat An Nisa ayat : 43).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu dekati shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga engka mengetahui apa yag kamu katakan”.
Dalam suatu riwayat disebutkan telah menjadi kericuhan antara para saabat disebabkan mimum hamar hingga mabuk sempat ada sebagian sahabat dipukul oleh teman mereka sehingga berdarah. Melihat kejadian semacam ini Umar bin Khattab berdoa :
“Ya Allah jelaskanlah kepada kami secara tuntas tentang khamr”.
Maka turunlah ayat 90-91 dari surat Al Maidah, yang memberikan penejalsan secara tunta disertai dengan ketagesannya sepanjang waktu.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٩٠)
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (٩١)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu”.
Ketika itu pula, Nabi Muhammad SAW menumpahkan sendiri bejana-bejana yang berisi minuman keras, para sahabat juga langsung menumpahkan minuman keras yang ada pada mereka, sehinngga lorong-lorong Kota Madinah dipenuhi bau minuman keras. Kini kesadaran melalui pembiasaan dan pentahapan yang ditempuh Al Qur’an selama ini telah dibarengi dengan ketegasan dan turunnya penguasa mengingkirkan setiap minuman keras dari tempat-tempat umum.
Apa yang ditempuh oleh Al Qur’an adalah langkah yang sangat bijaksana. Karena dalam ukuran manusia tidak bisa menghilangkan satu kebiasan sekaligus. Sebab akan berakibat negatif atau tidak membuahkan hasil, walaupun nilainya baik. Namun dengan penyadaran secara perlahan tapi pasti, usaha itu akan mebuahkan hasil.
c) Durus/Kesimpulan adalah penilaian tentang kemampuan peserta dalam menyimpulkan ayat-ayat yang telah ditafsirkan.
Contoh :
------------- Ayat -------------
Ada kesimpulan dari ayat tersebut :
1. Khamr dan segala macam minuman yang memabukan bila diminum dengan kadar sedikit atau banyak oleh orang normal, minuman itu adalah khamar yang haram apabila di minum.
2. Maisir arau segala macam permainan yang di dalamnya mengandung unsur taruhan (qimar) adalah termasuk judi yang dilarang agama
3. Allah mengharamkan minuman khamar dan berjudi karena bahanya yang ditmbulkan dari keduanya sangat besar diabdningkan manfaat yang dinikmati sesaat atau menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain.
4. Metode Al Qur’an dalam menetapkan hukum seperti penetapan tentang hukum meminum khamar dan mengkonsumsikanya melalui pentahapan, menunjukkan bahwa ajaran Islam adalah dinamis, fleksibel dan memanusiakan manusia.
5. Ta’bir (bahasa) adalah penilaian tentang pengungkapan suatu maksud dengan susunan bahas Arab, Indonesia dan Inggris yang baik, baik, lancarr, dan mudah dipahami.
3. Cara Penilaian
a. Bidang Tahfizh
Cara penilaian Bidang Tahfizh (Tahfizh, Tajwid dan Fashahah) sama dengan cara penilaian pada Musabaqah Hifzh Al Qur’an
b. Kelompok Tafsir
1) Mufradat/Kosa Kata/Vocabulary
a) Angka penilaian mufradat maksimal 10
b) Penilaian setiap soal dimulai dari anbgka 0, kemudian ditambah sesuai dnegan ketepatan dan kesempurnaan jawaban.
2) Munasabat Ayat/Sabab Nuzul/Couses of Nuzul
a) Angka penilaian munasabat ayat/sabab nuzul maksmimal 20
b) Penilaian setiap soal dimulai dari angka 0, kemudian ditambah sesuai dengan dengan ketepatan dan kesempurnaan jawaban.
3) Murad al Ayat/Tafsir/Wawasan/Durus/Interpretation/Conclution
a) Angka penilaian muradul ayat maksimal 50
b) Penilaian setiap soal dimulai dari angka 0, kemudian ditambah sesuia dnegan ketepatan dan kesempurnaan jawaban.
c) Komponen murad al Ayat terdiri dari tiga :
(1) Tafsir dengan nilai 20
(2) Wawasan dengan nilai 20
(3) Durus dengan nilai 10
4) Ta’bir / Bahasa / Expression
a) Angka penilaian ta’bir (bahasa) maksmimal 20
b) Penilaian dimulai dari angka minuman 0, kemudian ditambah sesuai dengan ketepatan bahasa serta kelancaran dai keindahan uslub/gaya
c) Ketepatan pemakaian kata, susunan dan qaedah bahasa dinilai 15, dn nilai lebih 5 diberikan kepada peserta yang lancar dan mempunyai uslub yang indah.
B. PERANGKAT PERHAKIMAN
1. Personalia
a. Komposisi Majelis Hakim
Majelis Hakim Tafsir Bahasa Arab, Indonesia dan Inggris terdiri dari Ketua, anggota dan panitera.
b. Ketua Majelis merangka anggota, anggota adalah Hakim yang terdiri dari :
1) Hakim penanya Tahfizh (tidak menilai)
2) Hakim penilai bidang Tahfizh 3 orang
3) Hakim penilai bdiang Tajwid merangkap bdiang Fashahah 3 orang
4) Hakim penilai bidang tafsir 3 orang, salah seorang merangkap sebagai penanya tafsir
c. Ketentuan Majelis Hakim
1) Pada Musabaqah Tingkat Nasional Hakim penanya dan penilai bidang Tahfizh harus seorang Hafizh dan apda Musabaqah Tingkat Provinsi ke sedapat mungkin disesuaikan dengan ketentuan ini.
2) Apda Musabaqah Tingkat Provinsi jumlah Hakim penilai masing-masing bdiang 3 orang pada tingkat Provinsi ke bawah sedapat mungkin menyesuaikan dengan ketentuan ini.
3) Hakim penanya bidang tafsir bsia menambah pertanyaan kepada peserta berdasarkan soal yang diterapkan, dengan ketentuan apabila jawabannya betul, dapat mnambah nilai, kalau salah tidak mengurangi nilai sebelum penambah pertanyaan.
2. Tempat Tugas
a. Dalam menjalankan tugas penilaian masing-masing Hakim menempati ruangan yang terpisah
b. Hakim penanya dan penilai Tafsir menempati ruangan terdekat dengan mimbar dan berturut-turut Hakim Penilai Fashaha, Tajwid dan Tahfizh.
3. Sarana dan Perlengkapan
a. Sarana Adminsitrasi
1) Formulir penilaian
2) Maqra
3) Ballpoint
4) Block note atau kertas kosong
5) Kalkultaor
6) ATK lainnya
b. Sarana Penunjang
1) Mushaf Bahriyah (Pojok)
2) Kita Tafsir
3) Headphone
4) Wekker/Stopwatch
5) Microphone
6) Tas atau Map
7) Buku Pedoman
8) Jawal Penampilan
9) Jadwal dan Pembagian Tugas
4. Obyek Penilaian
a. Ketentuan tentang obyek penlaian bidang Tahfizh sama dengan ketentuan dalam musabawah Hifzh Al Qur’an
b. Bidang Tafsir
a) Materi soal-soal Tafsir adalah juz yang sudah ditentukan dan tediri dari :
(1) 5 pertanyaan tentang mufradat
(2) Pertanyaan tentang munasabat al ayat / saba nuzul
(3) Pertanyaan tentang murad ala ayat (tafsir)
(4) Pertanyaan tentang wawasan dan durus
b) Soal dan jawaban dalam musabaqah disampaikan dalam bahasa Arab yang fusha, atau bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang baku.
C. PELAKSANAAN PERHAKIMAN
1. Penampilan
a. Pelaksanaan Musabaah Tafsir Al Qur’an bahasa Arab, Indoensia dan Bahasa Inggris pda MTQ/STQ Tingkat Nasional dilaksanakan dengan dua babak, yaitu babak penyisihan dan babak final. Untuk tingkat provinsi ke bawah sesuai kemampuan.
b. Penampilan dilaksanakan dengan cara :
1) Peserta tidak perlu memberi salam pada permulaan dan akhir bacaan. Pada kanhir penampilan peserta cukup mengucapkan “Wallahu A’lam bish Showab”.
2) Peserta menjawab pertanyaan Tahfizh kemudian pertanyaan Tafsir
3) Peserta menjawab langsung setiap pertanyaan setelah Hakim penanya selesai membacakan pertanyaan.
4) Hakim penanya Tafsir bisa menambah pertanyaan langsung kepada peserta berdasar soal yang ditetapkan
2. Lama Penampilan
Waktu untuk mejawab seluruh pertanyaan Tafsir maksimal 15 menit, sedang Tahfizh berdasrkan banyaknya bacaan.
3. Penilaian
a. Hakim memberi penialain langsing kepada setiap peserta sesaat setelah penampilan pada formulir yang tersedia.
b. Hakim memberikan catatan-catatan yang perlu sebagai dasar atas nilai yang diberikan.
c. Nilai yang telah dibuat oleh Hakim dikumpulkan oleh Panitera dan dimasukkan ke dlaam daftar reklapitulasi.
d. Apabila dalam penilaian digunakan sistem IT, maka peraturan ini akan disesuaikan
4. Penentuan Finalis dan Kejuaran
a. Penentuan Finaslis
1) Finaslis ditentukan dalam Sidang Majelis Hakim berdasar jumlah nilai yang telah diberikan oleh Hakim. Dewan Hakim mengukuhkan para finasli dengan suatu Keputusan.
2) Penentuan finaslis ditentukan atas dasar jumlah nilai tertinggi 1, 2 dan 3
3) Bila terjadi nilai yang sama antara dua peserta atau lebih, maka penentuan urutannya didasarkan secara bertahap pada nilai tertinggi bidang Tafsir, Tahfizh bidang Tajwid. Apabila tetap sama maka dimungkinkan finalis lebih dari 3 peserta
b. Penentuan Kejuaraan
1) Majelis Hakim menentukan calon juara dalam Sidang Majelis Hakim atas dasar jumlah nilai tertinggi, 1, 2, dan 3.
2) Sidang Dewan Hakim menetapkan 3 peserta yang diusulkan Majelis Hakim sebagai peserta terbaik peringakt I, II, dan III
3) Bila terjadi nilai sama, maka penentuan didasarkan secara bertahap pada nilai tertinggi di bidang Tafsir, Tahfizh kemudian bidang Tasjwid. Bila tetap sama, maka dimungkinkan adanya juara kembar.
5. Tanda Syarat
Tanda syarat pada musabawah Tafsir Al Qur’an bidang hifzhnya sama dengan tanda/isyarat pada cabang Hifzh Al Qur’an. Untuk soal tafsir langsung disampaikan oleh Hakim Penanya.
Langganan:
Postingan (Atom)