PENGERTIAN WAJIB DAN MACAM-MACAMNYA
MENURUT USHUL FIQIH
PENDAHULUAN
- 1. Latar Belakang Masalah
Negara
Indonesia terkenal dengan negara yang bermayoritas muslim. Ini dikarenakan
penduduknya kebanyakan beragama Islam. Sebagai seorang muslim seharusnya dia mengamalkan
apa yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi larangan-Nya. Di agama ini juga
ada kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim. Namun, apa
yang kita saksikan sekarang ? Kebanyakan muslimin di negeri ini tidak
menunaikan sholat fardlu secara sempurna, melalaikan zakat, tidak mau puasa
Ramadlan. Padahal semua itu adalah suatu kewajiban yang harus mereka
laksanakan. Salah satu sebabnya mereka enggan mengamalkannya karena mereka
tidak tahu apa makna wajib yang sebenarnya.
Dari sini
penulis tergerak untuk menjelaskan apa yang dimaksud wajib beserta
macam-macamnya menurut ushul Fiqih.
- 2. Rumusan Masalah
Rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah apa yang dimaksud dengan wajib itu dan
berapa macamnya menurut Ushul Fiqih ?
- 3. Tujuan Penelitian
Sedangkan
tujuan yang diinginkan penulis dalam penelian ini adlah untuk menjelaskan makna
wajib dan macamnya.
- 4. Kegunaan Penelitian
Mejelaskan
kepada muslimin tetnang makna wajib dan macamnya.
- 5. Metode Penelitian
Jenis
Penelitian
Dilihat dari
segi tempatnya, penelitian ini termasuk penelitian perpustakaan (literatur).
Karena penulis merujuk pada buku-buk. Sedangkan menurut tujuan umumnya,
penelitian ini termasuk penelitian verifikatis, yaitu penelitian yang bertujuan
untuk menguji kebenaran suatu pengetahuan.
Metode
Pengumpulan Data
Pengumpulan
data dalam penelititan ini dilakukan dengan cara membaca, mencatat, meneliti
kitab-kitab yang memuat pembahasan masalah tentang wajib serta macam-macamnya.
PEMBAHASAN TENTANG WAJIB DAN MACAM-MACAMNYA
- 1. Pengertian Tentang Wajib
Wajib
menurut bahasa adalah pasti atau tepat[1] sedangkan menurut istilah Ushul
Fiqih adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’[2] supaya dikerjakan oleh mukalaf[3] secara pasti dan perintah itu
disertai dengan petunjuk yang menunjukkan bahwa perintah itu menjadi wajib.[4] Petunjuk itu bisa berupa kalimat
perintah itu sendiri atau kalimat yang terdapat petunjuk harus melakukannya.
Contoh
petunjuk yang berupa kalmat perintah itu sendiri :
وَأَقِيمُواْ
الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ … (البقرة (2) : 43)
Artinya : Dan
tegakkanlan shalat serta tunaikanlah zakat ….
(QS. Al-Baqarah (2) : 43).
Contoh
kalimat yang terdapat petunjuk harus melakukannya :
كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ … (البقرة (2) : 183)
Artinya : Diwajibkan
atas kamu sekalian berpuasa … (QS. Al-Baqarah (2) : 183).
Hukum wajib
disini harus dilakukan. Siapa yang melakukannya akan mendapat pahala, sedangkan
siapa yang meninggalkannya akan mendapatkan siksaan.
- 2. Pembagian Wajib
Wajib
ditinjau dari beberapa aspek terbagi menjadi empat :
Wajib
ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya
Wajib
ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya terbagi menjadi dua, yaitu wajib muthlaq
(tidak terikat waktu) dan wajib muqayyad (terikat waktu).
- Wajib muthlaq (tidak terikat waktu) adalah sesuatu yang dieprintah oleh syari’ untuk melakukannya secara pasti dan tidak ditentukan waktu pelaksanannya.[5] Seperti orang yang melanggar sumpah, dia harus membayar denda. Pelaksanaan pembayaran denda ini tidak ditentukan waktunya. Ia dapat melaksanakannya langsung setelah melanggar sumpah atau dalam jeda beberapa waktu.
- Wajib muqayyad (terikat waktu) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ untuk melakukannya secara pasti dlam waktu tertentu.[6] Seperti shalat lima waktu. Masing-masing shalat diabtasi waktu tertentu sehingga tidak boleh bagi mukalaf untuk melaksanakan sebelumnya atau ia akan mendapat dosa jika melaksanakannya di luar waktu yang ditentukan tanpa uzur.
Wajib muqayyad
(terikat waktu), jika waktu wajib yang ditetapkan oleh syari’ memuat
satu kewajiban dan hal-hal lain yang sejenisnya, maka waktu itu disebut muwassa’
au dzorf (yang luas atau memuat). Contohnya adalah waktu dhuhur, di dalam
waktu itu mukalaf bisa menunaikan shalat zuhur dan shalat-shalat selainnya
seperti shalat sunnah sebelum shalat zuhur. Jika waktu yang ditetapkan oleh
syari’ hanya untuk kewajiban itu saja tidak yang lain, maka waktu itu disebut
mudlqyyaq au mi’yar (yang sempit atau dibatasi), misalnya waktu puasa Ramadan.
Dalam bulan ini seorang mukalaf tidak bisa menjalankan puasa lain selain puasa
Ramadan. Jika waktu yang ditetapkan oleh syari’ tidak untuk kewajiban selainnya
dari satu segi sedangkan dari segi yang lain bisa memuat hal-hal selain
kewajiban itu, maka waktu itu disebut dzasysyibhain (yang memiliki dua
kesamaan). Contoh : waktu haji (bulan-bulan hari). Dari segi mukalaf, dia dapat
menunaikan haji hanya satu kali dalam setahun. Dari segi bahwa ibadah haji
tidak menghabiskan seluruh bulan-bulan hajji maka waktu itu menjadi luas dan
memuat hal-hal lain yang sejenisnya.
Wajib
ditinjau dari segi ketentuannya dari syari’.
Wajib
ditinjau dari segi ketentuannya dari syari terbagi menjadi wajib muhaddad
(ketentuan yang dibatasi) dan ghoiru muhaddad (ketentuan yang tidak dibatasi).
- wajib muhaddad (ketentuan yang dibatasi) adalah suatu kewajiban yang ketentuannya ditentukan oleh syari’ sehingga mukalaf tidak akan keluar dari tanggungan kewajiban itu kecuali apabila ia telah melakukannya sebagaimana syari’ telah menetapkannya[7]. Misalnya shalat lima waktu. Shalat fardlu ini harus dilakukan sesuai dengan jumlah, rukun dan syarat yang telah dibatasi oleh syari’.
- Wajib ghoiru muhaddad (ketentuan yang tidak dibatasi) adalah suatu kewajiban yang ketentuannya tidak dibatasi oleh syari’[8]. Misalnya infak di jalan Allah, saling tolong menolong pada kebaikan, dan memberi makan orang yang lapar. Tujuan kewajiban ini tidaklah lain untuk memenuhi kebutuhan. Sedangkan ketentuan yang dapat memenuhi kebutuhan itu tergantung yang dapat memenuhi kebutuhan itu tergantung pada jenis kebutuhan.
Wajib
ditinjau dari segi tuntunan penunainnya.
Wajib
ditinjau dari segi tuntunan penunainnya terbagi menjadi dua, yaitu wajib ‘aini
(wajib ‘ain) dan wajib kifai (wajib kifayah).
- Wajib ‘ain (wajib ‘ain) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ supaya dilaksanakan oleh setiap mukalaf[9]. Misalnya: shalat, zakat, haji.
- Wajib kifa’i (wajib kifayah) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ untuk dilaksanakan tanpa melihat siapa yang melaksanakannya[10]. Jadi syari’ hanya menuntut dari kelompok mukalaf, jika seorang mukalaf telah melakukannya maka gugurlah dosa dari mukalaf yang lain, tapi apabila tidak ada seorang mukalafpun yang melakukannya maka semua mukalaf berdosa karena mengabaikan kewajiban itu. Misalnya menjawab salam, amar ma’ruf nahi munkar, menshalatkan orang yang meninggal, menolong orang lain.
wajib
kifayah bisa menjadi wajib ‘ain apabila tidak ada yang bisa melakukannya
kecuali mukalaf itu. Contoh : ada seorang yang tenggelam, sedang semua orang
yang menyaksikan tidak ada yang pandai berenang kecuali satu orang, maka wajib
kifayah itu menjadi wajib ‘ain baginya. Atau contoh lain, dalam satu negeri
hanya terdapat satu dokter, maka menolong orang sakit yang seharusnya wajib
kifayah menjadi wajib ‘ain sehingga dokter itu harus menolong orang yang sakit.
Wajib
ditinjau dari segi sifatnya.
Wajib
ditinjau dari segi sifatnya terbagi menjadi wajib mu’ayyan (tertentu) dan wajib
mukhayyar (pilihan).
- Wajib mu’ayyan (tertentu) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ dengan sendirinya tanpa pilihan antara satu kewajiban dengan kewajiban lainnya. Maksudnya mukalaf harus melaksanakan kewajiban itu sendiri tanpa memilih yang lainnya. Seperti shalat, maka mukalaf harus melakukan kewajiban itu dengan sendirinya.
- Wajib mukhayyar (pilihan) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ secara samar yang mencakup semua perkara yang ditentukan[11]. Maksudnya, mukalaf diharuskan untuk memilih salah satu diantara kewajiban itu, sehingga hilanglah tanggungannya dengan melaksanakan salah satunya. Misalnya denda bagi orang yang melanggar sumpah. Allah swt mewajibkan kepada orang yang melanggar sumpah untuk memberi makanan kepada sepuluh orang miskin, atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan budak. Mukalaf bisa mimilih salah satu diantaranya.
PENUTUP
- 1. Kesimpulan
1.1
Wajib menurut bahasa adalah pasti atau tepat, sedangkan menurut istilah ushul
fiqih adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ supaya dikerjakan oleh mukalaf
secara pasti dan perintah itu disertai dengan sesuatu yang menunjukkan
kepastian untuk berbuat.
1.2
Wajib terbagi menjadi empat macam:
- Dari segi waktu pelaksanaannya:
- Wajib muthlaq (tidak terikat waktu)
- Wajib muqayyad (terikat waktu)
- Dari segi ketentuan dari syari’
- Wajib muhaddad (ketentuan yang dibatasi)
- Wajib ghairu muhaddad (ketentuan yang tidak dibatasi)
- Dari segi tuntunan penunaiannya
- Wajib ‘ain (wajib ‘ain)
- Wajib kifai’ (wajib kifayah)
- Dari segi sifatnya
- Wajib mu’ayyan (tertentu)
- Wajib mukhayyar (pilihan)
- 2. Saran
Apabila ada
suatu kewajiban yang diperintahkan oleh syari’ muslimin diharuskan untuk
melaksanakannya.
Karena dari
beberapa aspek wajib terbagi menjadi empat, maka muslimin diharapkan untuk
mengerjakan sesuai dengan pembagian itu.
DAFTAR PUSTAKA
- Mushaf, Al Qur’an
- Abdul Wahhab khallaf 2006 M, Ilmu Ushulil Fiqhi, Beirut, Darul Kutubil ‘Ilmiah.
- Ahmad Warson, 2002. Kamus Al Munawwir. Surabaya. Pustaka Progresif.
- Hasan Alwi, dkk. 2002. kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
- Utsaimin, Syekh Muhammad Shalih. 2004 M / 1415 H. Syarh Ushul min Ilmil Ushul. Kairo. Darul Aqidah.
- Prof. Dr. Taufik Abdullah, dkk. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
- Dr. Wahbah Az Zuhaili, 2008 M / 1429 H. Ushulul Fiqhil Islami. Damaskus. Darul Fikr.
[1] Prof. Dr. Taufiq Abdullah, dkk, Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, hlm. 83, kol. 2.
[2] الشَارِعُ
: هُوَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ
Artinya : Syari’ = dia itu adalah
Allah dan Rasul-Nya
(Syeikh
Utsaimin, Syarhul Ushul min ‘Ilmil Ushul, hlm. 37).
[3] Mukalaf : orang dewasa yang wajib
menjalankan hokum agama.
(Hasan Alwi,
dll, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 760, kol. 1).
[4] Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Ushul
Fiqhil Islami, juz. 1, hlm. 53.
[5] Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Ushulal
Fiqhil Islami, juz. 1, hlm. 56.
[6] Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Ushulal
Fiqhil Islami, juz. 1, hlm. 56.
[7] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu
Ushulul Fiqhi, hlm.84
[8] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu
Ushulul Fiqhi, hlm.85
[9] Dr. Wahbah Az Zuhaili, Ushulul
Fiqhil Islami, juz1, hlm.67
[10] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmul Ushul
Fiqhi, hlm.84
[11] Dr. Wahbah Az Zuhaili, Ushulul
Fiqhil Islami, juz. 1, hlm. 72
Hukum Syar'i
Hukum Syar’I terbagi menjadi dua ; Hukum
Taklify, dan Hukum Wadh’y. Hukum Taklify terbagi menjadi lima : Wajib,
Mandub, Haram, Makruh, dan Mubah. Sebagian ulama membaginya menjadi tujuh macam
: Fardhu, Wajib, Mandub, Makruh Tanzihiyan, Makruh
Tahrimiyan, Haram dan Mubah.
Adapun Hukum Wadh’y terbagi menjadi tiga : Sebab,
Syarat dan Halangan.
HUKUM TAKLIFY :
1/ Wajib ;
Wajib secara bahasa berarti jatuh atau roboh,
sebagaimana firman Allah swt :
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا
خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا
لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“ Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu
sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya,
maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan
berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah
sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya
(yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. “ ( QS Al Hajj : 36 )
Tata cara menyembelih unta yang benar menurut
para ulama adalah dengan mengikat tangan kiri ( kaki kiri depan )
unta dan disembelih dari sebelah kanan, sehingga secara otomatis dia akan jatuh
disebelah kiri atau dalam istilah Al Qur’an disebut ( wajabat junubuha )
Wajib juga berarti keharusan, sebagaimana sabda
Rosulullah saw :
غسل الجــمعة واجـب
“ Mandi pada hari jum’at itu adalah suatu
keharusan . “ ( HR Bukhari , no : 879 , Muslim, no : 1925 )
Adapun pengertian “ Wajib “ secara syar’I adalah
: Sesuatu yang diperintahkan oleh syara’ secara tegas. “ Atau : “ Sesuatu
yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan jika
ditinggalkan akan mendapatkan sangsi, contohnya adalah firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa “ ( QS Al Baqarah : 183 )
Mayoritas ulama memandang bahwa pengertian
“ wajib “ sama dengan pengertian “ fardhu “. Sedang menurut ulama Madzhab
Hanafi “ Wajib “ adalah sesuatu yang diketahui dengan praduga.
Sedang Fardhu secara bahasa adalah
ketentuan, sebagaimana firman Allah swt :
فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“ Bayarlah seperdua dari mahar yang telah
kamu tentukan itu. “ ( QS Al Baqarah : 237 )
سُورَةٌ أَنزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا
“ Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan
Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya. “ ( QS. An Nur :
1)
Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa Fardhu
bersifat tegas dan ketat, sekaligus mengandung ketentuan yang sangat
jelas. Itu semua agar ketentuan-ketentuan tersebut bisa
dilaksanakan dengan disiplin dan mudah.
Adapun arti Fardhu secara syar’I adalah “
Ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’ secara jelas
dan tegas, serta pasti. Ketentuan –ketentuan tersebut tidak boleh
dikurangi maupun ditambah. Hal itu, karena dalil- dalil yang menjadi
sandarannya adalah dalil yang kuat dan tidak diragukan lagi, seperti
kewajiban sholat, zakat, haji dan lain-lainnya.
Sedangkan “ Wajib “ adalah : “
Ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’ secara tidak
tegas , dikarenakan dalil-dalil yang menjadi sandarannya, tidak terlalu
kuat. Oleh karenanya orang yang mengingkari kewajiban, karena tidak
menyakininya, dia tidak dikatagorikan sebagai oang yang kafir. Berbeda dengan
Fardhu, orang yang mengingkarinya dikatagorikan kafir dan keluar dari Islam.
Secara ringkas Fardhu dan Wajib, mempunyai
beberapa perbedaan, diantaranya :
- Fardhu dan Wajib sama-sama menunjukkan suatu keharusan, akan tetapi keharusan yang terdapat di dalam Fardhu lebih kuat dari apa yang dikandung di dalam “ wajib “ .
- Fardhu berlandaskan dalil-dalil yang kuat dan pasti, sedang Wajib berlandaskan dalil-dalil yang masih mempunyai kelemahan dari beberapa sisi.
- Orang yang mengingkari fardhu, tergolong orang yang murtad dan kafir. Berbeda dengan orang yang mengingkari “ Wajib “ , dia tidak dihukumi murtad, tetapi dikatakan sesat. Dan Jika dia mengingkari “ wajib ‘ karena menganggapnya tidak termasuk yang wajib dengan alasan-alasan tertentu, dia tidak dikatagorikan sesat.
BEBERAPA MASALAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN WAJIB
DAN FARDHU
- 1/ Membaca surat Al Fatihah di dalam sholat.
Mayoritas Ulama memandang bahwa membaca surat Al
Fatihah di dalam sholat hukumnya wajib yang berarti fardhu, jika
ditinggalkan, maka sholatnya dinyatakan tidak syah, karena dia termasuk
rukun sholat.
Namun bagi ulama mazdhab Hanafi membaca surat Al
Fatihah di dalam sholat hukumnya wajib, yang berarti bukan fardhu.
Mereka beralasan bahwa Al Qur’an yang merupakan dalil qath’I tidak
menyebutkan keharusan membaca surat Al Fatihah, Allah berfirman :
فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“ karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari
Al Quran. “ ( QS Al Muzammil : 20 )
Ayat di atas menyatakan bahwa yang fardhu adalah
membaca Al Qur’an , baik itu membaca surat Al Fatihah maupun membaca ayat-ayat
lain di dalam Al Qur’an. Oleh karenanya, jika seseorang tidak bisa atau belum
bisa membaca Al Fatihah, dibolehkan baginya untuk membaca tiga ayat .
Sedang hadist yang menyebutkan tentang kewajiban
membaca Al Fatihah di dalam sholat tidak sampai pada derajat mutawatir,
sehingga tidak kuat jika dihadapkan pada ayat di atas. Hadits tersebut adalah
sabda Rosulullah saw :
لا صلاة لمن لا يقرأ بفاتحة الكتاب
“ Tidak ( syah ) sholatnya bagi siapa yang tidak
membaca Al Fatihah “ ( HR Bukhari , Muslim )
2/
Hukum Umrah.
Ulama madzhab Hanafi menyatakan bahwa haji
hukumnya fardhu, bukan wajib, karena mempunyai landasan kuat dari Al Qur’an,
yaitu firman Allah swt :
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ
سَبِيلاً
“mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah ( QS Ali Imran : 97 )
Sedang umrah hukumnya wajib atau bahkan
sunnah, karena landasannya berupa hadits ahad.
3/ Suci ketika mengerjakan Thowaf
Mayoritas ulama menyatakan bahwa suci dari hadast
termasuk salah satu syarat syahnya syahnya Thowaf . Dalilnya adalah sabda
Rosulullah saw :
الطواف بالبيت صلاة ، إلا أنكم تتكلمون فيه
“ Thowaf di Ka’bah merupakan ibadah sholat,
hanyasanya kalian boleh berbicara di dalamnya “ ( HR Tirmidzi )
Hadist di atas menyatakan bahwa thowaf hukumnya
seperti sholat. Sholat disyaratkan di dalamnya suci dari hadast ,
maka thowaf demikian juga.
Adapun ulama madzhab Hanafi ([1])
menyatakan bahwa suci bukan syarat syah Thowaf, karena syarat tersebut hanya
berlandaskan hadist ahad, yang mana hadits tersebut tidak kuat jika dihadapkan
pada ayat Al Qur’an yang menyatakan keharusan untuk melakukan thowaf tanpa
menyebut di dalamnya syarat suci dari hadast , yaitu firman Allah
swt :
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf
sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” ( QS Al Hajj : 29 )
4/
Hukum sholat witir
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa sholat witir
hukumnya wajib, bukan fardhu , karena landasannya adalah hadist ahad, yaitu
sabda Rosulullah saw :
إنَّ اللَّهَ تَعَالَى زَادَكُمْ صَلَاةً أَلَا وَهِيَ الْوِتْرُ
“ Sesungguhnya Allah telah menambahkan kepada
kamu kewajiban sholat, yaitu sholat witir. “ )
PEMBAGIAN WAJIB
Wajib bisa diklasifikasikan menjadi empat
bagian :
- Bagian Pertama ; adalah Kewajiban ditinjau dari obyek tuntutannya.
Kewajiban ditinjau dari obyek tuntutannya ,
dibagi menjadi dua :
a/ Wajib Mu’ayyan ( wajib yang telah ditetapkan
) : yaitu kewajiban untuk mengerjakan hal-hal yang tertentu dan tidak ada
pilihan di dalamnya, seperti halnya kewajiban membayar zakat, kewajiban
menegakkan solat , kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan.
b/ Wajib Mukhayyar ( wajib yang boleh dipilih ) :
adalah kewajiban yang mana seorang mulakkaf dibolehkan memilih satu
dari kewajiban –kewajiban yang ada, seperti : kewajiban seseorang membayar
kaffarah , jika melanggar sumpah. Allah berfirman :
لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي
أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ
أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ
فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ
وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُون
« Allah tidak menghukum kamu
disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia
menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat
(melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan
yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah
kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah
sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu
bersyukur (kepada-Nya) ( QS Al Maidah : 89 ) .
Dalam ayat di atas, Allah memberikan pilihan bagi
seseorang yang melanggar sumpah untuk membayar salah satu dari tiga bentuk
kaffarah : yaitu :
1/ memberi makan sepuluh orang miskin dari jenis
makanan yang biasa diberikan kepada keluarganya.
2/ memberi pakaian kepada mereka.
3/ memerdekakan seorang budak.
Jika seorang mukallaf mengerjakan salah satu dari
tiga pilihan di atas, bisa dikatakan bahwa dia telah mengerjakan kewajiban.
Contoh kedua adalah firman Allah :
إِذَا أَثْخَنتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ
وَإِمَّا فِدَاء حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا
“ Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka
maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau
menerima tebusan sampai perang berakhir “ .( QS Muhammad : 4 )
Dalam ayat di atas, Allah mewajibkan bagi pemimpin
kaum muslimin, jika telah menawan musuh-musuh Islam di dalam peperangan untuk
mengerjakan salah satu dari dua pilihan, yaitu : melepaskan tawanan tersebut
tanpa imbalan, atau melepaskannya dengan mengambil tebusan dari musuh.
- Bagian Kedua : Kewajiban ditinjau dari waktu pelaksanan.
Kewajiban jika ditinjau dari waktu
pelaksanaannya dibagi menjadi tiga :
a/ Wajib Mutlaq : yaitu kewajiban yang ditetapkan
oleh syara’ tanpa membatasi waktu pelaksanaannya . Seperti : orang yang
bernazar untuk puasa tiga hari, maka dia bebas menentukan kapan puasa tersebut
mau dilaksanakan.
Hal ini beradasarkan kaedah ushuliyah yang
mengatakan bahwa :
الأصل في الأمر لا يقتضي الفور
“ Pada dasanya suatu perintah itu tidak harus
dilaksanakan secepatnya “
Kaedah ini dipegang oleh ulama madzhab Hanafi.
Sedangkan ulama madzhab Syafi’I dan Abu Hasan Al Karkhi dari madzhab
Hanafi mengatakan bahwa :
الأصل في الأمر يقتضي الفور
“ Pada dasarnya suatu perintah itu menuntut untuk
dilaksanakan secepatnya “
b/ Wajib Muqayyad : yaitu kewajiban yang
ditetapkan oleh syara’ dan dibatasi waktu pelaksanaannya. Wajib Muqayyad
ini dibagi menjadi tiga macam :
b.1/ Wajib Mudhoyaq : “ Yaitu kewajiban yang
ditetapkan oleh syara’ batasan waktunya, tidak boleh lebih dan tidak boleh
kurang, seperti kewajiban puasa pada bulan Ramadhan, kewajiban wukuf di Arafah
pada tanggal 9 Dzulhijjah, dan lain-lainnya.
b.2/Wajib Muwassa’ : yaitu kewajiban yang
ditetapkan syareah batasan waktunya secara lebih luas, seperti waktu
sholat Isya, yang dimulai dari hilangnya awan merah hingga datang waktu subuh.
b.3/ Wajib yang pelaksanaannya melebihi
waktu yang tersedia, seperti orang yang baligh, atau wanita yang bersih dari
haidh , atau orang gila yang sembuh, atau orang yang sadar dari pingsan, yang
kesemuanya terjadi beberapa menit sebelum adzan maghrib. Mereka itu
wajib melaksanakan kewajiban sholat ashar, walaupun waktunya tidak mencukupi
untuk mengerjakan sholat ashar secara sempurna yaitu empat rekaat.
( [1] ) Imam Ahmad
dalam suatu riwayat juga mengatakan bahwa suci bukan syarat syahnya Thowaf (
Mughni : 3/ 397 )
( [2] ) Hadist di atas
adalah hadist lemah, bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa hadist tersebut
tidak ada asalnya, sebagian yang lain mengatakan maudhu ‘ .
Shalat Yang Wajib Berjama'ah
Shalat yang
wajib berjama'ah maksudnya
adalah shalat yang dalam shalat jenis ini pelaksanaanya mesti berjamaah
sehingga harus ada niat berjamah atau niat jadi imam bagi imam dan niat jadi
ma'mum bagi ma'mum. Ada 4 jenis shalat yang niatnya harus pakai
berjama'ah (imaaman/ma'muman), yakni :
1. shalat jum'at
2. shalat mu'adah
3. shalat nazar berjama'ah
4. shalat jama taqdim karena hujan
Yang dimaksud shalat mu'adah/shalat i'adah adalah mengulangi shalat fardu atau sunat secara berjamah dengan beberapa syarat tertentu dengan tujuan untuk mengharap ganjaran atau pahala ibadah. Mengenai syaratnya akan Saya jelaskan pada postingan selanjutnya.
Sedangkan shalat nazar berjamaah adalah shalat yang dinazarkan/dijanjikan oleh kita dan pelaksanannya secara berjamaah. Contoh kasus, kita bernazar, kalo dapet proyek akan shalat syukur secara berjama'ah, dan ternyata proyek tersebut berhasil, maka nazar tersebut wajib dilaksanakan.
Yang dimaksud shalat jama taqdim disini adalah bisa dicontohkan dengan kasus sebagai berikut. Misal kita sudah terbiasa shalat berjamaah di masjid. Kebetulan waktu itu kita shalat dzuhur berjamaah. Dari kondisi awal sudah terlihat cuaca mendung dan kelihatannya hujan akan cukup besar dan diprediksikan akan sampai berlanjut sampai tiba waktu ashar. Jika kita shalat dzuhur langsung pulang, kemungkinan shalat ashar tidak bisa berjamaah mengingat hujan besar dan letak rumah agak jauh dari masjid. Nah karena kondisi inilah jemaah boleh bermusyawarah untuk melakukan shalat dzuhur jama taqdim dengan ashar. Mengenai syarat dan ketentuannya akan diposting lewat artikel selanjutnya.
1. shalat jum'at
2. shalat mu'adah
3. shalat nazar berjama'ah
4. shalat jama taqdim karena hujan
Yang dimaksud shalat mu'adah/shalat i'adah adalah mengulangi shalat fardu atau sunat secara berjamah dengan beberapa syarat tertentu dengan tujuan untuk mengharap ganjaran atau pahala ibadah. Mengenai syaratnya akan Saya jelaskan pada postingan selanjutnya.
Sedangkan shalat nazar berjamaah adalah shalat yang dinazarkan/dijanjikan oleh kita dan pelaksanannya secara berjamaah. Contoh kasus, kita bernazar, kalo dapet proyek akan shalat syukur secara berjama'ah, dan ternyata proyek tersebut berhasil, maka nazar tersebut wajib dilaksanakan.
Yang dimaksud shalat jama taqdim disini adalah bisa dicontohkan dengan kasus sebagai berikut. Misal kita sudah terbiasa shalat berjamaah di masjid. Kebetulan waktu itu kita shalat dzuhur berjamaah. Dari kondisi awal sudah terlihat cuaca mendung dan kelihatannya hujan akan cukup besar dan diprediksikan akan sampai berlanjut sampai tiba waktu ashar. Jika kita shalat dzuhur langsung pulang, kemungkinan shalat ashar tidak bisa berjamaah mengingat hujan besar dan letak rumah agak jauh dari masjid. Nah karena kondisi inilah jemaah boleh bermusyawarah untuk melakukan shalat dzuhur jama taqdim dengan ashar. Mengenai syarat dan ketentuannya akan diposting lewat artikel selanjutnya.
Qadha Shalat Wajib
Shalat fardhu, wajib
dilaksanakan tepat pada waktunya, berdasarkan firman Allah SWT,
إِنَّ لصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتٰبًا مَّوْقُوتًا
“Sesungguhnya
Shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman.”
(An-Nisaa’: 103).
Oleh karena itu, barangsiapa mengakhirkannya dari waktu yang telah ditentukan tanpa ada halangan (uzur), maka ia berdosa. Tetapi, jika dia mengakhirkannya karena suatu halangan, tidaklah berdosa. Halangan-halangan itu ada yang dapat menggugurkan kewajiban shalat dan ada pula yang tidak menggugurkannya. Hal-Hal yang Menggugurkan shalat adalah haidl, nifas, gila dan pingsan. Selain itu tidak menggugurkan kewajiban shalat artinya shalat yang ditinggalkan tersebut harus diqadha seperti karena lupa, tertidur dan lalai terhadap shalat.
Hukum mengqadha shalat wajib yang tertinggal adalah wajib, karena yang namanya wajib mesti dilaksanakan dan jika ditinggalkan akan berdosa.
Hal ini berdasarkan hadits Nabi :
مَنْ نَامَ عَنْ
صَلاَةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا لاَ كَفَارَةَ لَهَا
إِلاَّ ذَلِكَ
Barangsiapa yang meninggalkan shalat karena tertidur atau lupa, maka hendaknya ia melakukan salat setelah ingat dan tidak ada kafarat (pengganti) selain itu.
(H.R. Bukhari dan
Muslim)
Mayoritas para ulama fiqh dari keempat madzhab berpendapat bahwa wajib mengqadha shalat, karena meninggalkan salat itu dosa dan mengqadhanya itu wajib. Oleh karena itu sangat dianjurkan memohon ampun pada Allah dan bertaubat dari lalainya meninggalkan shalat secara sengaja.
Adapun waktu shalat qadha adalah ketika kita ingat kita telah meninggalkan shalat. Jika penyebabnya tidak disengaja seperti lupa atau tertidur, maka qadhanya sunat disegerakan ketika ingat, sedangkan jika penyebabnya lalai atau disengaja maka qadhanya wajib disegerakan ketika ingat.
Rukun Shalat
Seperti
halnya wudu atau mandi besar, sholat pun mempunyai rukun rukun tertentu,
walaupun dalam wudu istilahnya bukan dengan kata "rukun" melainkan
dengan kata "fardu", namun mempunyai kesamaan arti. Untuk mengetahui
perbedaan kedua kata tersebut silahkan baca kembali postingan tentang fardu wudu.
Mengenai jumlah rukun shalat, banyak sekali perbedaan pendapat, bahkan dari kalangan ulama mazhab Imam Syafi'i pun ada beberapa versi. Namun disini, masalah perbedaan ini tidak akan dibahas, perlu postingan lain agar lebih gamblang. Ingsya Alloh kita bahas di lain waktu. Kali ini hanya akan disebutkan poin-poin yang menjadi rukun shalat yang telah disepakati sebagian besar para ahli fiqih.
Rukun shalat tersebut adalah :
1. Niat
2. Takbiratul Ihram
3. Membaca Fatihah
4. Berdiri
5. Ruku beserta thumaninah
6. I'tidal beserta thumaninah
7. Sujud beserta thumaninah
8. Duduk antara 2 sujud beserta thumaninah
9. Tasyahud akhir
10. Duduk pada tasyahud akhir
11. Membaca shalawat pada tasyahud akhir
12. Membaca salam
13. Tertib
Dari poin-poin tersebut, rukun shalat dibagi menjadi 3 bagian besar, yakni :
Mengenai jumlah rukun shalat, banyak sekali perbedaan pendapat, bahkan dari kalangan ulama mazhab Imam Syafi'i pun ada beberapa versi. Namun disini, masalah perbedaan ini tidak akan dibahas, perlu postingan lain agar lebih gamblang. Ingsya Alloh kita bahas di lain waktu. Kali ini hanya akan disebutkan poin-poin yang menjadi rukun shalat yang telah disepakati sebagian besar para ahli fiqih.
Rukun shalat tersebut adalah :
1. Niat
2. Takbiratul Ihram
3. Membaca Fatihah
4. Berdiri
5. Ruku beserta thumaninah
6. I'tidal beserta thumaninah
7. Sujud beserta thumaninah
8. Duduk antara 2 sujud beserta thumaninah
9. Tasyahud akhir
10. Duduk pada tasyahud akhir
11. Membaca shalawat pada tasyahud akhir
12. Membaca salam
13. Tertib
Dari poin-poin tersebut, rukun shalat dibagi menjadi 3 bagian besar, yakni :
- Rukun qalbi yakni niat
- Rukun qauli yakni membaca takbiratul ihram, fatihah, tasyahud akhir, shalawat pada tasyahud akhir dan salam.
- Rukun fa'li yakni berdiri, ruku, i'tidal, sujud 2 kali, duduk antara 2 sujud, duduk tasyahud dan tertib.
Mengenai penjelasannya dari tiap
poin, silahkan di klik saja satu persatu dari rukun shalat di atas.
Niat Shalat Jamak
Bagi sobat yang sering
bepergian jauh, maka ilmu fiqih yang berkaitan tentang shalat jamak dan
qashar sebaiknya harus dipahami dulu, karena ketika kita dalam perjalanan jauh
diberikan rukhshah atau keringanan untuk menjamak dan juga mengqashar shalat.
Adapun cara dan syaratnya, insya Allah nanti akan Saya tuliskan. Untuk saat
ini, Saya hanya akan menulis tentang bacaan niat
shalat jamak, baik niat shalat jamak taqdim maupun jamak takhir.
Seperti kita ketahui bahwa shalat yang boleh dijamak atau dikumpulkan dalam satu waktu adalah shalat zhuhur dengan ashar, serta shalat maghrib dengan isya. Adapun shalat subuh, tidak bisa dijamak.
Berikut ini bacaan niat shalat jamak taqdim dan takhir yang Saya maksud :
Niat shalat zhuhur jamak taqdim dengan ashar. (Kedua shalat dilakukan pada waktu zhuhur)
Seperti kita ketahui bahwa shalat yang boleh dijamak atau dikumpulkan dalam satu waktu adalah shalat zhuhur dengan ashar, serta shalat maghrib dengan isya. Adapun shalat subuh, tidak bisa dijamak.
Berikut ini bacaan niat shalat jamak taqdim dan takhir yang Saya maksud :
Niat shalat zhuhur jamak taqdim dengan ashar. (Kedua shalat dilakukan pada waktu zhuhur)
أُصَلِّي فَرْضَ الظُّهْرِأربع رَكعَاتٍ مَجْمُوْعًا مع العَصْرِ اَدَاءً للهِ تَعَالى
Ushollii fardlozh zhuhri arba'a raka'aatin majmuu'an ma'al ashri adaa-an lillaahi ta'aalaa.
"Aku sengaja shalat fardu dhuhur empat rakaat yang dijama’ dengan Ashar, fardu karena Allah Ta'aala”
Niat shalat ashar jamak takhir dengan zhuhur. (Kedua shalat dilakukan pada waktu zhuhur)
أُصَلِّي فَرْضَ العَصْرِ أربع رَكعَاتٍ مَجْمُوْعًا مع الظُّهْرِ اَدَاءً للهِ تَعَالى
Ushollii fardlol 'ashri arba'a raka'aatin majmuu'an ma'azh zhuhri adaa-an lillaahi ta'aalaa.
"Aku sengaja shalat fardu Ashar empat rakaat yang dijama’ dengan dhuhur, fardu karena Allah Ta'aala”
Niat shalat zhuhur jamak takhir dengan ashar. (Kedua shalat dilakukan pada waktu ashar)
أُصَلِّي فَرْضَ الظُّهْرِأربع رَكعَاتٍ مَجْمُوْعًا مع العَصْرِ اَدَاءً للهِ تَعَالى
Ushollii fardlozh zhuhri arba'a raka'aatin majmuu'an ma'al ashri adaa-an lillaahi ta'aalaa.
"Aku sengaja shalat fardu dhuhur empat rakaat yang dijama’ dengan Ashar, fardu karena Allah Ta'aala”
Niat shalat ashar jamak takhir dengan zhuhur. (Kedua shalat dilakukan pada waktu ashar)
أُصَلِّي فَرْضَ العَصْرِ أربع رَكعَاتٍ مَجْمُوْعًا مع الظُّهْرِ اَدَاءً للهِ تَعَالى
Ushollii fardlol 'ashri arba'a raka'aatin majmuu'an ma'azh zhuhri adaa-an lillaahi ta'aalaa.
"Aku sengaja shalat fardu Ashar empat rakaat yang dijama’ dengan dhuhur, fardu karena Allah Ta'aala”
Niat shalat maghrib jama taqdim (Dilaksanakan pada waktu
maghrib)
أُصَلِّي فَرْضَ المغرب ثلاث رَكعَاتٍ مَجْمُوْعًا مع العشاء جمع تقديم اَدَاءً للهِ تَعَالى
Ushalii fardlol maghribi tsalaatsa raka'aatin majmuu'an ma'al 'isyaa-i jam'a taqdiimin adaa-an lillaahi ta'aalaa.
"Aku sengaja shalat fardu maghrib tiga rakaat yang dijama’ dengan isya, dengan jama taqdim, fardu karena Allah Ta'aala”
Niat shalat
isya jama taqdim (Dilaksanakan pada waktu maghrib)
أُصَلِّي فَرْضَ العشاء أربع رَكعَاتٍ مَجْمُوْعًا مع المغرب جمع تقديم اَدَاءً للهِ تَعَالى
Ushalii fardlol 'isyaa-i arba'a raka'aatin majmuu'an ma'al maghribi jam'a taqdiimin adaa-an lillaahi ta'aalaa.
"Aku sengaja shalat fardu isya empat rakaat yang dijama’ dengan maghrib, dengan jama taqdim, fardu karena Allah Ta'aala”
Niat shalat
maghrib jama takhir (Dilaksanakan pada waktu isya)
أُصَلِّي فَرْضَ المغرب ثلاث رَكعَاتٍ مَجْمُوْعًا مع العشاء جمع تاخير اَدَاءً للهِ تَعَالى
Ushalii fardlol maghribi tsalaatsa raka'aatin majmuu'an ma'al 'isyaa-i jam'a ta-khiirinin adaa-an lillaahi ta'aalaa.
"Aku sengaja shalat fardu maghrib tiga rakaat yang dijama’ dengan isya, dengan jama takhir, fardu karena Allah Ta'aala”
Niat shalat
isya jama takhir (Dilaksanakan pada waktu isya)
أُصَلِّي فَرْضَ العشاء أربع رَكعَاتٍ مَجْمُوْعًا مع المغرب جمع تاخير اَدَاءً للهِ تَعَالى
Ushalii fardlol 'isyaa-i arba'a raka'aatin majmuu'an ma'al maghribi jam'a ta-khiirinin adaa-an lillaahi ta'aalaa.
"Aku sengaja shalat fardu isya empat rakaat yang dijama’ dengan maghrib, dengan jama takhir, fardu karena Allah Ta'aala”
Demikianlah berbagai niat shalat jamak yang mungkin bermanfaat buat Anda.
ushul fikih Wajib dilihat dari segi waktu melaksanakannya
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Berangkat
dari realita yang terjadi pada umat islam dalam pelaksanaan pelaksanaan hukum
yang seharusnya dilaksanakan sesuai dengan tuntunan.
Kaitannya dengan hal tersebut,
dalam makalah ini saya akan sedikit mengulas salah satu Hukum yang terkandung
dalam Hukum Taqlifi yaitu wajib.
Pada dasarnya wajib ini sendiri
dalam pelaksanaanya dibagi didalam beberapa segi, dalam makalah ini akan
mengulas dari salah satu segi yaitu wajib dilihat dari segi waktu
mengerjakannya. Hal ini sangat penting bagi kita karena dengan kita
mengetahui bagaimanakah pelaksanaan Wajib itu sendiri, sudah sesuaikah atau
tidak dengan tuntunan sebagaimana yang telah syiarkan dalam agama islam.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Wajib..?
2. Bagaimanakah pembagian
Wajib..?
3. Dibagi menjadi
berapakah pembagian wajib Jika dilihat dari segi waktu mengerjakannya..?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah Agar pembaca mengetahui dengan jelas, bagaimana
pelaksanaan wajib jika dilihat dari waktu mengerjakannya.
1.4 Metode Penulisan
Metode yang digunakan
dalam penulisan makalah ini adalah menggunakan metode pustaka yaitu: penulisa
menggunakan media pustaka dalam penyusunan makalah.
PEMBAHASAN
1. WAJIB
a. Pengertian
wajib
Wajib atau fardlu yaitu
sesuatu perbuatan yang diberi pahala jika dikerjakan dan diberi siksa bila
ditinggalkan[1]. Atau suatu perkara yang apabila
dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat dosa[2].
b. Pembagian
Wajib
Wajib atau fardlu
terbagi atas dua bagian :
1. Wajib
‘ain
Wajib ‘ain yaitu
sesuatu yang mesti atau harus dikerjakan oleh setiap mukallaf sendiri, seperti
shalat yang lima waktu, puasa dan sebagainya.
2. Wajib
Kifayah
Yaitu Suatu kewajiban
yang telah dianggap cukup apabila telah dikerjakan oleh sebagian dari
orang-orang mukallaf. Dan berdosalah seluruhnya jika tidak seorang pun dari
mereka mengerjakannya, seperti menyolatkan dan mengubur jenazah[3].
2. WAIIB
DILIHAT DARI SEGI WAKTU MENGERJAKANNYA
Dilihat dari segi waktu mengerjakannya
wajib terbagi menjadi:
a. Wajib
mudhayyaq(yang disempitakan) atau mi’yar
Wajib mudhayyaq yaitu
waktu untuk melakukan kewajiban sama dengan banyaknya waktu yang dibutuhkan,
seperti bulan ramadhan ditentukan untuk melakukan puasa selama satu bulan itu.
Contoh lain adalah
akhir waktu sholat. Dalam wajib ini kewajiban harus segera dilakukan waktu itu
juga.
b. Wajib
muwassa’ (yang diluaskan waktunya) atau dzarf
Yaitu wajib yang dimana
waktunya lebih banyak dari pada waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan
kewajiban. Seperti sholat lima waktu. Dalam kewajiban muwassa’ pekerjaan
tersebut boleh dilakukan disembarang waktu dalam batas waktu yang telah
ditentukan[4].
Sedangkan
menurut ulama ushul fikih bahwa jika dilihat dari segi waktu mengerjakannya
wajib terbagi menjadi :
1.Wajib al mutlaq
Ialah sesuatu yang
dituntut syar’I untuk dilaksanakan oleh mukallaf tanpa ditentukan
waktunya,misalnya: kewajiban membayar kafarat sebagai hukumanorang yang
melanggar sumpahnya. Orang yang bersumpah tanpa mengaitkan dengan waktu, lalu
ia melanggar sumpahnya itu, maka kafaratnya boleh dibayar kapan saja.
2.Wajib al mu’aqqat
Adalah
kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukalaf pada waktu-waktu tertentu,
seperti sholat dan puasa ramadhan. Sholat wajib harus dikerjakan pada waktunya,
demikian pula puasa ramadhan. Waktu disini merupakan bagian dari kewajiban itu
sendiri, sehingga apabila belum masuk waktunya, kewajiban itu belum ada. Wajib
al mu’aqqat terbagi lagi dalam tiga macam, yaitu
-
Wajib muwassa’ (kewajiban yang mempunyai batas waktu yang lapang)
Yaitu kewajiban yang
ditentukan waktunya tetapi waktunya ini cukup lapang, sehingga dalam waktu itu
bias juga dikerjakan amalan yang sejenis. Misalnya, waktu-waktu yang ditentukan
untuk melaksanakan shalat. Ketika masuk waktunya shalat dhuhur seseorang bisa
melaksanakan shalat dhuhur dan shalat sunat.
-
Wajib mudhayyaq( yang mempunyai batas waktu yang sempit)
Yaitu kewajiban yang
waktunya secara khusus diperuntukkan pada suatu amalan, dan waktunya itu tidak
bisa digunakan untuk kewajiban lain. Seperti puasa ramadhan, harus dilaksanakan
sebulan penuh, sehingga tidak bias diselingi dengan puasa sunnat atau mengganti
puasa yang tertinggal.
-
Wajib dzu asy-syibhain
Yaitu kewajiban yang mempunyai
waktu yang lapang tetapi tidak bisa digunakan untuk amalan sejenis secara
berulang-ulang. Misalnya waktu haji itu cukup lapang dan seseorang bisa
melaksanakan beberapa amalan haji pada waktu itu berkali-kali, tetapi yang
diperhitungkan syara’ hanya satu amalan saja. Orang bisa berulang ulang melaksanakan
amalan haji, tetapi amalan yang berulang itu tidaklah diperhitungkan syara’
sebagai suatu kewajiban. Akan tetapi ulama’ syafi’iyah berpendapat bahwa waktu
untuk beribadah haji, termasuk dalam waktu wajib almutlaq, karena
seseorang boleh melaksanakan ibadah haji itu kapan saja ia mau selama ia hidup.
[5]
Dalam persoalan wajib almuaqqat para ulama’ ushul fikih juga mengemukakan
bahasan tentang persoalan `ada`, i’adah,dan qadha’, yang ketiganya terkait erat
dengan pelaksanaan amalan yang berstatus wajib almuaqqat.
-
‘Ada’, menurut Ibnu Al Hajib, adalah melaksanakan suatu amalan untuk
pertamakalinya pada waktu yang ditentukan syara’. Apabila amalannya dikerjakan
pada waktunya, bukan untuk pertama kalinya maka hal itu tidak dinamakan dengan
‘ada’.
-
Maa’adah,
adalah suatu amalan yang dikerjakan untuk kedua kalinya pada waktu yang telah
ditentukan, karena amalan yang dikerjakan pertama kali tidak sah atau
mengandung uzur.
-
Qadha’ adalah suatu amalan yang dikerjakan diluar waktu yang telah
ditentukan dan sifatnya sebagai pengganti. Apabila suatu amalan wajib tidak
dilaksanakan baik disengaja atau tidak, dan mempunyai kemungkinan untuk
dikerjakan atau tidak seperti puasa bagi wanita haid, sakit atau bepergian,
maka seluruh amalan tersebut wajib dikerjakan pada waktu yang lain. Mengerjakan
amalan-amalan yang tidak pada waktunya disebut qadha’.[6]
Kesimpulan
Wajib adalah
suatu perbuatan atau suatu perkara yang apabila dikerjakan atau dilakukan akan
mendapat pahala tatapi apabila tidak dikerjakan atau tidak dilakukan akan
mendapat dosa.
Wajib atau
fardhu dibagi menjadi:
a. Wajib
a’in
b. Wajib
kifayah
Jika dilihat dari waktu
pelaksanaannya atau waktu mengerjakannya,dibagi atas:
a. Wajib
mudhayyaq ( yang disempitkan )atau ma’yar
b. Wajib
muwassa’ ( yang di luaskan waktunya ) atau dzarf.
Sedangkan menurut para ulama
ushul fiqh,wajib dilihat dari waktu mengerjakannya,dibagi atas:
1. Wajib al-mutlaq :
2. Wajib al-muaqqat :
-
Wajib muwassa’
-
Wajib mudhayyaq
-
Wajib dzu asy-syibhain
Dalam persoalan wajib
Al-mu’aqqat, ulama Ushul Fiqh juga mengkaitkannya dengan tiga hukum lainnya
yang erat kaitannya dengan hukum wajib al-Muaqqat,yaitu:
- ‘Ada’
- I’adah
- Dzu Asy-Syibhain