PENGERTIAN ULUMUL QUR’AN
A. PENGERTIAN ULUMUL QUR’AN
Ungkapan ulumul qur’an berasal dari bahasa arab yaitu dari kata ulum dan al-qur’an. Kata ulum jamak dari ilmu dan al-qur’an. Menurut Abu syahbah ulumul qur’an adalah sebuah ilmu yang memiliki banyak objek pembahasan yang berhubungan dengan al-qur’an, mulai dari proses penurunan, urutan penulisan, kodifikasi, cara pembaca, penafsiran, nasikh mansukh, muhkam mutashabih serta pembahasan lainnya
B. SEJARAH TURUNNYA ALQUR’AN DAN PENULISAN ALQUR’AN
Hikmah diwahyukan alqur’an secara berangsur-angsur adalah al-qur’an diturunkan dalam waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari yaitu mulai dari malam 17 romadhan tahun 41 dari kelahiran nabi sampai 9 dzulhijah haji wada’ tahun 63 dari kelahiran nabi atau tahun 10 H. Proses turunnya ql-quran melalui 3 tahapan yaitu
1. Al-qur’an turun secara sekaligus dari Allah ke lauh mahfuzh yaitu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah. Dalam firmanya:
“ Bahkan yang didustakan mereka ialah Al-qur’an yang mulia yang tersimpan dalam lauh al-mahfuzh (Q.S AL-buruuj :21-22)
2. Al-qur’an diturunkan dari lauh al mahfuzh ke bait Al-Izzah ( tempat yang berada di langit dunia )
3. Al-qur’an diturunkan dari bait al-Izzah ke dalam hati nabi melalui malaikat jibril dengan cara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakala satu ayat kadang satu surat.
Disamping hikmah diatas ada hikmah yang lainnya yaitu
1. Memantapkan hati nabi
2. Menentang dan melemahkan para penentang Al-qur’an
3. Memudahkan untuk dihafal dan difahami
4. mengikuti setiap kejadian yang menyebabkan turunya ayat-ayat al-qur’an dan melakukan penahapan dalam penetapan syari’at
5. membuktikan dengan pasti bahwa al-qur’an turun dari allah yang maha bijaksana
Penulisan al-qur’an pada masa Abu Bakar termotivasi karena kekwatiran sirnanya al-qur’an dengan syahitnya beberapa penghapal Al-qur’an pada perang yamamah, Abu bakar melakukan pengumpulan al-qur’an dengan mengumpulkan al-qur’an yang terpencar-pencar pada pelepah kurma,kulit,tulang dan sebagainya
C. ASBAB AN-NUZUL
Ungkapan asbab-nuzul merupakan bentuk idhofah dari asbab dan nuzul. Secara etimologi artinya sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu. Menurut Az-zarqani Asbabuan-nuzul adalah sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunya ayat Al-qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.Menurut Az-zargani urgensi asbab an-nuzul dalam mmahami Al-qur’an adalah
1. Membantu dan memahami sekaligus mengatasi ketidak pastian dalam menangkap pesan ayat-ayat Al-qur’an.
2. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
3. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat al-qur’an bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat kusus.
4. Mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan turunnya ayat al-qur’an.
5. Memudahkan untuk menghapal dan memahami ayat serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya.
D. MUNASABAH AL QUR’AN
Menurut Manna Al-qathan munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat,atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surat dalam al-qur’an.
As-Suyuti menjelaskan langkah-langkah yang diperhatikan dalam menemukan munasabah yaitu:
a. Memperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian
b. Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat
c. Menentukan tingkatan uraian-uraian itu apakah ada hubungannya atau tidak
d. Dalam mengambil keputusan,hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkspan dengan benar dan tidak berlebihan
Macam-macam munasabah;
1.Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya: berfungsi sebagai menyempurnakan surat sebelumnya
2. Munasabah antara nama surat dan tujuan turunya
3. Munasabah antar bagian suatu ayat
4. Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan
5. Munasabah antara suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat disampingnya
6. Munasabah antara fashilah (pemisah)dan isi ayat
7. Munasabah antara awal surat dengan akhir surat yang sama
8. Munasabah antara penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya
E. MAKIYAH DAN MADANIYAH
“Makiyah ialah ayat – ayat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah,kendatipun bukan turun di Mekkah .Madaniyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah,kendatipun bukan turun di madinah.Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah di sebut Madaniyyah walaupun turun di Mekkah atau Arafah.”
Ciri-ciri spesifik makiyah dan madaniyah
1. Makiyah
a. Di dalamnya terdapat ayat sajadah
b. Ayat-ayatnya dimulai dengan kalla
c. Dimulai dengan ya-ayuha an-nas
d. Ayatnya mengandung tema kisah para nabi dan umat- umat terdahulu
e. Ayatnya berbicara tentang kisah nabi Adam dan Idris kecuali surat al-baqoroh
f. Ayatnya dimulai dengan huruf terpotong- potong seperti alif lam mim dan sebagainya
2. Madaniyah
a. Mengandung ketentuan-ketentuan faroid dan hadd
b. Mengandung sindiran-sindiran terhadap kaum munafik kecuali surat al-ankabut
c. Mengandung uraian tentang perdebatan dengan ahli kitab
F. MUHKAM DAN MUTASYABIH
Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang baik melalui ta’wil ataupun tafsir.
Ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah saja seperti kedatangan hari kiamat, kedatangan dajjal.
Hikmah keberadaan ayat mutasabih dalam Al-qur’an adalah:
1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia.
2. Teguran bagi orang-orang yang mengotak atik ayat mutasabih.
3. Memberikan pemahaman abstrak Illahi kepada manusia melalui pengalaman inderawi yang biasa disaksikannya.
G. QIRO’AT AL-QUR’AN
Qiro’at adalah ilmu yng mempelajari cara-cara mengucapkan kata-kata al-qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.
Macam-macam qiro’at:
1. Qiro’at Sab’ah ( Qiro’at tujuh ) adalah imam-imam qiro’at ada tujuh orang, yaitu:
a. ‘Abdullah bin Katsir Ad-Dari (w.120 H ) dari Mekkah.
b. Nafi’ bin ‘Abdurrahman bin Abu Na’im (w .169 H ).dari madinah
c. ‘Abdullah Al-yashibi (w.118 H ) dari Syam
d. Abu Amar (w.154 H ) dari Irak
e. Ya’kub (w.205 H ) dari Irak
f. Hamzah (w.188 )
g. ‘Ashim (w.127 H )
2. Qiro’ah Asyiroh adalah qiro’ah sab’ah ditambah dengan 3 imam yaitu: Abu Ja’far, Ya’kub bin Ishaq, kalaf bin hisyam
3. Qiro’ah Arba Asyiroh (qiro’ah empat belas) yaitu qiro’ah sepuluh ditambah dengan 4 imam yaitu Al-hasan al basri, muhammad bin abdul rohman,yahya bin mubarok,Abu fajr muhammad bin ahmad.
Dari segi kualitas qiro’ah dapat dibagi menjadi
1. Qiro’ah Mutawwatir yaitu qiro’ah yang disampakan kelompok orang yang sanatnya tidak berbuat dusta
2. Qiro’ah Mashur yaitu qiro’ah yang memiliki sanad sahih dan mutawatir
3. Qiro’ah ahad yaitu memiliki sanad sahih tapi menyalahi tulisan mushaf usmani dan kaidah bahasa Arab
4. Qiro’ah Maudhu yaitu palsu
5. Qiroah Syadz Yaitu menyimpang
6. Qiro’ah yang menyerupai hadist mudroj (sisipan)
B. Ruang Lingkup Pembahasan Ulumul Qur'an
Dari definisi-definisi tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Ulumul Qur'an adalah suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur'an meliputi semua ilmu yang ada kaitannya dengan al-Qur'an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu I'rab al-Qur'an.
6. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
[403] Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.
[404] Artinya: menyentuh. menurut jumhur Ialah: menyentuh sedang sebagian mufassirin Ialah: menyetubuhi.
Ilmu-ilmu yang tersebut dalam definisi ini berupa ilmu-ilmu tentang sebab-sebab turunnya ayat al-Qur'an, urutan-utrutannya, pengumpulannya, penulisannya, qira'atnya, tafsirnya, kemukijizatannya, nasikh dan mansukhnya , ayat-ayat Makkiah dan Madaniah, ayat-ayat muhkamah dan mutasyabihatnya, hanyalah sebagian dari pembahasan pokok ilmu Qur'an.
Di samping itu masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya seperti ilmu Gharib al-Qur'an, ilmu badai' al-Qur'an, ilmu tanasub ayat al-Qur'an, ilmu Aqsam al-Qur'an, ilmu Amtsaljidal al-Qur'an, ilmu adab tilawah al-Qur'an, dan sebagainya.[5] Bahkan sebagian ilmu ini masih dapat dipecah kepada beberapa cabang dan macam ilmu yang masing-masing mempunyai objek kajian tersendiri.
Demikian luasnya ruang lingkup kajian Ulumul Quran sehingga sebagian ulama menjadikannya luas yang tak terbatas.
Al-Suyuthi memperluasnya sehingga memasukkan astronomi, ilmu ukur, kedokteran, dan sebagainya. Hal ini mungkin berkenaan, karena ada beberapa ayat al-Quran yang berbicara mengenai kajian-kajian ilmu tersebut di atas. Al-Suyuthi mengutip Abu Bakar ibn al-Arabi yang mengatakan bahwa Ulumul Qur'an terdiri dari 775 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-Qur'an mengandung makna zahir, batin, terbatas dan tak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufratnya kata-katanya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung.
Prof. Hasybi Ash-Shiddieqy, memandang segala macam pembahsan Ulumul Quran itu kembali kepada beberapa pokok persoalan saja, yaitu:
1. Persoalan Nuzul. Persoalan ini menyangkut dengan ayat-ayat yang diturunkan di Makkah yang disebut Makkiah, ayat-ayat yang diturunkan di Madinah yang disebut Madaniah, ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi berada di kampung yang disebut Hadhariah. Ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi dalam perjalanan disebut Safariah, ayat-ayat yang diturunkan pada malam hari disebut Lailiah, yang diturunkan di musim dingin disebut Syitaiah, yang diturunkan di musim panas disebut Shaifiah, dan yang diturunkan ketika Nabi di tempat tidur disebut Fisasyiah. Persoalan ini juga meliputi hal yang menyangkut sebab-sebab turunnya ayat, yang mula-mula turun, yang terakhir turun, yang berulang-ulang turun, yang turun terpisah-pisah, yang turun sekaligus, yang pernah diturunkan kepada seorang Nabi, dan yang belum pernah sama sekali.
2. Persoalan Sanad[8]. Persoalan ini meliputi hal-hal yang menyangkut sanad yang Mutawatir,[9] yang Ahad,[10] yang Syaz,[11] bentuk-bentuk qiraat Nabi, para periwayat dan para penghapal al-Qur'an, dan cara tahmul (penerima wahyu).
3. Persoalan ada' al-qira’at (cara membaca al-Qur'an). Hal ini menyangkut waqaf (cara berhenti), ibtida' (cara memulai), imalah madd (bacaan yang dipanjangkan), takhtif hamzah (meringankan bacaan hamzah), Idgham (memasukkan bunyi huruf yang sakin kepada bunyi huruf sesudahnya).
4. Pembahasan yang menyangkut lafal al-Quran, yaitu tentang yang gharib (pelik), mu'rab (menerima perubahan akhir kata), majaz (metafora), musytarak (lafal yang mengandung lebih dari satu makna), muradif (sinonim), isti'arah (metafor), dan tasybih
5. Pesoalan makna al-Qur'an yang berhubungan dengan hukum, yaitu ayat-ayat yang bermakna ‘amm (umum) yang dimaksudkan khusus, ‘amm (umum) yang dimaksudkan Sunnah, yang nash, yang zahir, yang mujmal (bersifat global), yang mufashshal (dirinci), yang manthuq (makna yang berdasarkan pengutaraan), yang mafhum (makna yang berdasarkan pemahaman), muthlaq (tidak terbatas), yang muqayyad (terbatas), yang muhkam (kukuh, jelas), mutasyabih (samar), yang musykil (maknanya pelik), yang nasikh (menghapus) dan mansukh (dihapus), muqaddam (didahulukan), muakhkhar (dikemudiankan), ma'mul (diamalkan) pada waktu tertentu, dan yang hanya ma'mul (diamalkan) oleh seorang saja.
6. Persoalan makna al-Qur'an yang berhubungan dengan lafal, yaitu fashl (pisah), washl (berhubung), ijaz (singkat), ithnabmusawah (sama), qashr (pendek). (10-9-2009)
Demikianlah Ash-Shiddieqy memberi ruang lingkup Ulumul Qur'an. Namun, persoalan-persoalan yang dikemukakannya juga tidak keluar dari ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Pandangan ini tampaknya sejalan dengan pendapat al-Zarqani yang tidak setuju memasukkan ilmu-ilmu astronomi, kosmologi, ekonomi, kedokteran ke dalam pembahasan Ulumul Qur'an. Al-Zarqani menolak pandangan al-Suyuthi yang memandang ilmu-ilmu tersebut terakhir ini sebagai pembahasan Ulumul Quran. Al-Zarqani mengakui bahwa al-Qur'an menganjurkan agar kaum muslimin mempelajarinya dan mendalami ilmu-ilmu tersebut, terutama ketika diperlukan. Akan tetapi ilmu yang dianjurkan al-Quran untuk mempelajarinya berbeda dengan ilmu yang masalahnya atau hukumnya ditunjukkan oleh al-Qur'an dan ilmu yang mengabdi kepada al-Qur'an. Menurut dia, ilmu yang pertama tidak termasuk dalam kategori Ulumul Qur'an. Sedangkan dua terakhir jelas mempunyai hubungan dengan al-Qur'an.[12]
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya, dan yang menjadi pokok pembahasan Ulumul Quran itu adalah ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Namun, melihat kenyataan adanya ayat-ayat yang menyangkut berbagai aspek kehidupan dan tuntutan yang semakin besar kepada petunjuk al-Qur'an, maka untuk menafsirkan ayat-ayat menyangkut disiplin ilmu tertentu memerlukan pengetahuan tetnang ilmu tersebut. Penafsiran ayat-ayat kauniah[13] memerlukan pengetahuan astronomi, ayat-ayat ekonomi memerlukan ilmu ekonomi, dan ayat-ayat politik memerlukan ilmu politik, dan seterusnya.
C. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ulumul Qur'an
Di masa Rasulullah SAW dan para sahabat, Ulumul Qur'an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul SAW. Bila mereka menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul SAW.
Adapun mengenai kemampuan Rasul memahami al-Qur'an tentunya tidak diragukan lagi karena Dialah yang menerimanya dari Allah SWT, dan Allah mengajarinya segala sesuatu.
Ada tiga faktor yang menyebabkan Ulumul Qur'an tidak dibukukan pada masa Rasul dan sahabat, yaitu:
1. Kondisinya tidak mermbutuhkan karena kemampuan mereka yang besar dan untuk memahami al-Qur'an dan Rasul dapat menjelaskan maksudnya.
2. Para sahabat sedikit sekali yang pandai menulis.
3. Adanya larangan Rasul untuk menuliskan selain al-Qur'an.
Semuanya ini merupakan faktor yang menyebabkan tidak tertulisnya ilmu ini baik di masa Nabi maupun di zaman sahabat.[14]
Di zaman Kahlifah Ustman, wilayah Islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara penakluk Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa Arab dari bangsa Arab. Bahkan kekhawatiran akan terjadinya perpecahan di kalangan kamu Muslimin tentang bacaan al-Qur'an selama mereka tidak memiliki sebuah al-Qur'an yang menjadi standar bagi bacan mereka. Untuk menjaga agar tidak terjadinya kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah al-Qur'an yang disebut Mushhaf Imam. Dengan terlaksananya penyalinan ini maka berarti Ustman telah meletakkan dasar Ulumul Qur'an yang disebut Rasm al-Qur'an atau ‘Ilm al-Rasm al-Ustmani.[15]
Di masa Ali terjadi perkembangan baru dalam ilmu al-Qur'an. Karena melihat banyaknya umat Islam yang berasal dari bangsa non-Arab, kemerosotan dalam bahasa Arab, dan kesalahan pembacaan al-Qur'an, Ali menyuruh Abu al-Aswad al-Duali (w. 69 H.) untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab. Hal ini dilakukan untuk memelihara bahasa Arab dari pencemaran dan menjaga al-Qur'an dari keteledoran pembacanya. Tindakan Khalifah Ali ini dianggap perintis bagi lahirnya ilmu nahwu dan I'rab al-Qur'an.[16]
Setelah berakhirnya zaman Khalifah yang Empat, timbul zaman Bani Umayyah. Kegiatan para sahabat dan tabi'in terkenal dengan usaha-usaha mereka yang tertumpu pada penyebaran ilmu-ilmu al-Qur'an melalui jalan periwayatan dan pengajaran secara lisan, bukan melalui tulisan dan catatan. Kegiatan-kegiatan ini dipandang sebagai persiapan bagi masa pembukuannya.
Pada masa ini dianggap sebagai peletak batu pertama bagi apa yang disebut ilmu tafsir, asbab al-nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu gharib al-Qur'an dan lainnya.[17]
Ulumul Qur'an memasuki masa pembukuannya pada abad ke-2 H. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai Umm al-‘Ulum (induk ilmu-ilmu al-Qur'an). Para penulis pertama dalam tafsir adalah Syu'bah Ibn al-Hajjaj (w. 160 H.), Sufyan ibn ‘Uyaynah dan Wali' Ibn al-Jarrah.
Pada abad ke-3 lahir ilmu asbab al-nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu tentang ayat Makkiah dan Madaniah, qiraat, I'rab dan istinbath
Abad ke-4 lahir ilmu gharib al-Qur'an. Abad ke-5 lahir ilmu amtsal al-Qur'an. Abad ke-6 di samping banyak ulama yang melnajutkan pengembangan ilmu-ilmu al-Qur'an yang telah ada, lahir pula ilmu mabhat al-Qur'an. Ilmu ini menerangkan lafal-lafal ql-Qur'an yang masksudnya apa dan siapa tidak jelas.
Pada Abad ke-8 muncul beberapa ulama yang menyusun ilmu-ilmu tentang al-Qur'an. Ibn Abi al-Ishba' menulis tentang badai' al-Qur'an, yang membahas macam-macam keindahan bahasa dalam al-Qur'an. Ibn Qayyim menulis tentang aqsam al-Qur'an, yang membahas tentang sumpah-sumpah al-Quran.
Pada Abab ke-9, Jalaluddin al-Suyithi menyusun dua kitab, al-Tahbir fi ‘Ulum al-Tafsir dan al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur'an. Kedua kitab ini dianggap puncak karang-mengarang dalam Ulumul Qur'an. Setelah abad ini hampir tidak ada lagi yang mampu melampaui karyanya. Ini terjadi sebagai akibat meluasnya sifat taklid.
Sejak penghujung abab ke-13 H. sampai saat ini perhatian para ulama terhadap penyusunan kitab-kitab Ulumul Qur'an bangkit kembali. Kebangkitan ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama lainnya.
Dalam bahasa Indonesia, ada beberapa buku Ulumul qur'an yang dikarang oleh ulama Indonesia sendiri, di antaranya kitab Ilmu-ilmu al-Qur'an karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Tafsir karya Rifa'at Syauki Nawawi dan Ali Hasan, dan yang terbaru berjudul Membumikan Al-Qur'an karya ahli tafsir Indonesia M. Quraish Shihab.
(penggalian hukum dari al-Qur'an).
D. Pembagian dan Cabang-cabang Ulumul Qur'an
Ilmu-ilmu Qur'an pada dasarnya terbagi ke dalam dua kategori,[18] yaitu:
1. Ilmu Riwayah, yaitu ilmu-ilmu yang hanya dapat diketahui melalui jalan riwayat, seperti bentuk-bentuk qiraat, tempat-tempat turunnya al-Qur'an, waktu-waktu turunnya, dan sebab-sebab turunnya.
2. Ilmu Dirayah, yaitu ilmu-ilmu yang diketahui melalui perenungan, berpikir, dan penyelidikan, seperti mengetahui pengertian lafal yang gharib, makna-makna yang menyangkut hukum, penafsiran ayat-ayat yang perlu ditafsirkan.
Menurut T.M Hasbi Ash-Shiddieqy, ada tujuh belas ilmu-ilmu al-Qur'an yang terpokok.[19]
1. Ilmu Mawathin al-Nuzul
Ilmu ini menerangkan tempat-tempat turun ayat, masanya, awalnya, dan akhirnya.
2. Ilmu tawarikh al-Nuzul
Ilmu ini menjelaskan masa turun ayat dan urutan turunnya satu persatu, dari permulaan sampai akhirnya serta urutan turun surah dengan sempurna.
3. Ilmu Asbab al-Nuzul
Ilmu ini menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat.
4. Ilmu Qiraat
Ilmu ini menerangkan bentuk-bentuk bacaan al-Qur'an yang telah diterima dari Rasul SAW. Ada sepuluh Qiraat yang sah dan beberapa macam pula yang tidak sah.
5. Ilmu Tajwid
Ilmu ini menerangkan cara membaca al-Qur'an dengan baik. Ilmu ini menerangkan di mana tempat memulai, berhenti, bacaan panjang dan pendek, dan sebagainya.
6. Ilmu Gharib al-Qur'an
Ilmu ini menerangkan makna kata-kata yang ganjil dan tidak terdapat dalam kamus-kamus bahasa Arab yang biasa atau tidak terdapat dalam percakapan sehari-hari. Ilmu ini berarti menjelskan makna kata-kata yang pelik dan tinggi.
7. Ilmu I'rab al-Qur'an
Ilmu ini menerangkan baris kata-kata al-Qur'an dan kedudukannya dalam susunan kalimat.
8. Ilmu Wujuh wa al-Nazair
Ilmu ini menerangkan kata-kata al-Qur'an yang mengandung banyak arti dan menerangkan makna yang dimaksud pada tempat tertentu.
9. Ilmu Ma'rifah al-Muhkam wa al-Mutasyabih
Ilmu ini menjelaskan ayat-ayat yang dipandang muhkam (jelas maknanya) dan yang mutasyabihat (samar maknanya, perlu ditakwil).
10. Ilmu Nasikh wa al-Mansukh
Ilmu ini menerangkan ayat-ayat yang dianggap mansukh (yang dihapuskan) oleh sebagian mufassir[20].
11. Ilmu Badai' al-Qur'an
Ilmu ini bertujuan menampilkan keindahan-keindahan al-Qur'an dari sudut kesusastraan, keanehan-keanehan, dan ketinggian balaghahnya.
12. Ilmu I'jaz al-Qur'an
Ilmu ini menerangkan kekuatan susunan dan kandungan ayat-ayat al-Qur'an sehingga dapat membungkam para sastrawan Arab.
13. Ilmu Tanasub Ayat al-Qur'an
Ilmu ini menerangkan persesuaian dan keserasian antara suatu ayat dan ayat yang di depan dan yang di belakangnya.
14. Ilmu Aqsam al-Qur'an
Ilmu ini menerangkan arti dan maksud-maksud sumpah Tuhan yang terdapat dalam al-Qur'an.
15. Ilmu Amtsal al-Qur'an
Ilmu ini menerangkan maskud perumpamaan-perumpamaan yang dikemukan al-Qur'an.
16. Ilmu Jidal al-Qur'an
Ilmu ini membahas bentuk-bentuk dan cara-cara debat dan bantahan al-Qur'an yang dihadapkan kepada kamu Musyrik yang tidak bersedia menerima kebenaran dari Tuhan.
17. Ilmu Adab Tilawah al-Qur'an
Ilmu ini memaparkan tata-cara dan kesopanan yang harus diikuti ketika membaca al-Qur'an.
Ramli Abdul Wahid menambahkan ilmu tafsir sebagai bagian dari Ulumul Qur'an[21]. Ilmu tafsir berfungsi sebagai alat untuk mengungkap isi dan pesan yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur'an. Menurunya, Ulumul Qur'an lebih umum dari ilmu tafsir karena ulumul Qur'an ialah segala ilmu-ilmu yang mempunyai hubungan dengan al-Qur'an. Ilmu tafsir tidak kurang penting dari ilmu-ilmu tersebut di atas, terutama setelah berkembang dengan menampilkan berbagai metodologi, corak, dan alirannya.
Ulumul Qur'an merupakan kumpulan berbagai ilmu yang berhubungan dengan al-Quran. Pada dasarnya, ilmu-ilmu ini adalah ilmu agama dan bahasa Arab. Namun, menyangkut ayat-ayat tertentu seperti ayat-ayat kauniah dan perjalanan bulan dan bintang diperlukan pengetahuan kosmologi[22] dan astronomi. Karena itu, ilmu ini mempunyai ruang lingkup yang luas dan dalam sejarahnya selalu mengalami perkembangan.
Pintu ilmu ini selalu terbuka kepada setiap ulama yang datang kemudian untuk memasuki persoalan-persoalan yang belum terjamah para ulama terdahulu karena faktor-faktor tertentu.
Dengan ilmu ini seseorang akan dapat menunjukkan dan mempertahankan kesucian dan kebenaran al-Qur'an. Betapa pentingnya ilmu ini sehingga Al-Zarqani memberikan perumpamaan Ulumul Qur'an sebagai anak kunci bagi para
SEJARAH TURUN DAN PENULISAN AL-QUR’AN
(MA’RIFATUL Al-Quran)
PENGERTIAN KITAB-KITAB ALLAH
Al kutub secara bahasa berarti kitab-kitab. Secara istilah berarti kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul – rasul Nya sebagai rahmat dan hidayah bagi seluruh ummat manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat.
a. PENGERTIAN AL-QURAN
Al-Quran (QS 75 : 17 – 18) bermakna bacaan.
Al-Quran adalah kalam (Firman) Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab (QS.12:2;38:29;41:3;42:7;43:3-4;44:58;46:12) sebagai petunjuk bagi seluruh ummat manusia, penjelasan dari petunjuk dan pembeda (QS.2:185)
1. QS.12:2
2. Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.
2. QS. 38:29
29. Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.
3. QS.41:3
3. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, Yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui,
JENIS AYAT AL-QURAN: (QS. 3 : 7 ; 11 : 1 ; 39 : 23)
a. muhkamaat ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah
b. Mutasyabihaat
1) ayat – ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali setelah diselidiki secara mendalam.
2) Ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui, misalnya ayat-ayat yang berhubungan dengan ayat-ayat ghaib seperti ayat-ayat mengenai syurga, neraka, qiyamat dsb.
b. Hikmah diwahyukan secara berangsur-angsur (PROSES TURUNNYA)
Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur (QS. 17 : 106),
•• •
106. Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.
Nabi Muhammad SAW bersabda tentang Al-Quran :
“Sesungguhnya Al-Quran tidak diturunkan agar sebagian mendustakan sebagian yang lain. Tetapi ia diturunkan agar sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Maka apa yang kamu ketahui, amalkanlah, dan apa yang samar bagimu, imanilah “ (Mengungkap rahasia Al-Quran, A.M.H. Thoba thoba’I, hal50).
Ada perbedaan pendapat yang cukup tajam diantara pakar sejarah dalam menetapkan awal bulan Allah memuliakan Nabi Muhammad dan menurunkan wahyu. Di antara mereka lebih banyak yang yang menetapkannya pada bulan Rabi’ul awwal. Namun ada segolongan lain yang menetapkannya bulan Ramadhan, dan golonngan lain ada yang menetapkan bulan rajab. Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury pemenang pertama lomba menulis sejarah nabawiyah lebih menguatkan pendapat kedua, yaitu pada bulan Ramadhan, yang difirmankan Allah, ”Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya duturunkan permulaan Al-Quran.” (Al-Baqarah:185) . begitu pula Firman Allah, “ Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada lailatul qadr.” (Al-Qadar:1) sebagaimana yang sudah diketahui bersama, lailatul qadar adalah pada bulan Ramadhan. Inilah maksud dari firman Allah, “Sesungguhnya Kami menurunkanny pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (Ad-Dukhan:3). Karena saat iu beliau berada di Gua Hira’, berarti Jibril turun disana, sebagaimana yang sudah diketahui.
Ada pula perbedaan pendapat diantara para pakar tertang penentuan harinya dari bulan Ramadhan. Ada yang berpendapat pada hari ketujuh, ada yang berpendapat pada hari kesebelas, ada yang berpendapat pada hari kedelapan belas. Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury menguatkan pernyataan yang menguatkan pada tanggal dua puluh satu, sekalipun Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfurytidak melihat orang yang menguatkan pendapat ini. Sebab semua pakar biografi atau diantaranya mayoritas diantara mereka sepakat bahwa beliau diangkat sebagai Rasul pada hari senin,hal ini diperkuat riwayat para imam hadits, dari Abu Qathadah Radhiyallahu amhu, bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa hari senin. Maka beliau menjawab, “pada hri inilah aku dilahirkan dan pada hari ini pula turun wahyu (yang pertama) kepadaku.” Dalam lapadz lain disebutkan, “itulah hari aku dilahirkan dan pada hari itu pula aku diutus sebagai Rasul atau turun kepadaku wahyu.” Hari senin dari bulan Ramadhan pada tahun itu jatuh pada tanggal tujuh, empat belas, dua puluh satu dan dua puluh delapan. Beberapa riwayat yang shahih telah menunjukkan bahwa lailatul-Qadr tidak jatuh kecuali pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Jadi jika kita membandingkan antara firman Allah, “Sesungguhnya kami menurunkannya (Al-Quran) pada Lilatul Qadr”, dengan riwayat Abu Qathadah, bahwa hari diutusnya beliau sebagai Rasul jatuh pada hari senin, serta berdasarkan penelitian ilmiah tentang jatuhnya hari senin pada bulan Ramadhan pada tahun itu, maka jelaslah bagi kami hari diutusnya beliau sebagai Rasul jatuh pada malam tanggal dua puluh satu dari bulan Ramadhan.
Ketika itu Rasulullah SAW berusia 40 tahun, Surat yang pertama turun yaitu surat Al-Alaq : 1-5. Dan yang terakhir turun pada hari Jum’at, 9 Dzulhijjah 10 H (Maret 632 M) yaitu surat Al Maidah : 3
Al-Quran yang diturunkan pada sebelum hijrah (periode makkah) disebut surat makkiyah, terdiri dari 86 surat, dan yang turun pada setelah hijrah (periode Madinah) disebut surat Madaniyah, terdiri dari 28 surat.
Tanda-tanda kebenaran Al-Quran
a. Jaminan kebenaran Al-Quran secara haqiqi.
§ Datangnya dari Allah yang ayat-ayatnya tidak mungkin bertentangan (QS.4:82)
82. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
§ Turunnya disaksikan oleh Allah dan Malaikat (QS. 4 : 166)
166. (mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), tetapi Allah mengakui Al Quran yang diturunkan-Nya kepadamu. Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya; dan malaikat-malaikat pun menjadi saksi (pula). cukuplah Allah yang mengakuinya.
§ Diturunkan dengan kebenaran (QS. 17 : 106)
§ Kitab yang sempurna (QS. 46 : 30 ; 5 : 48)
§ Al-Quran bukan permainan (QS. 86 : 13-14)
§ Tidak akan didatangi kebatilan (QS. 41 : 41-42 ; 10 : 32)
§ Dijamin keselamatannya oleh Allah (QS. 15 : 9 ; 18 : 17)
§ Perkataan yang paling baik (QS. 39 : 23)
b. kebenaran kisah sejarah.
§ Peristiwa penemuan mumi Fir’aun (QS. 10 : 92)
§ Kemenangan bangsa romawi dalam peperangan melawan Persia (QS.30:3–5)
§ Agama Nasrani terpecah belah (QS. 5 : 14)
c. Ramalan Ilmiah.
§ Proses penciptaan alam semesta (QS. 32 : 4-5 ; 21 : 30 ; 41 : 9-12 ; 50 : 38)
§ Ekspansi dan kontraksi kosmos (QS. 21 : 104 ; 51 : 47)
§ Planet/kawahib (QS. 24 : 35 ; 37 : 6)
• • ••
35. Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus[1039], yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya)[1040], yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
[1039] Yang dimaksud lubang yang tidak tembus (misykat) ialah suatu lobang di dinding rumah yang tidak tembus sampai kesebelahnya, biasanya digunakan untuk tempat lampu, atau barang-barang lain.
[1040] Maksudnya: pohon zaitun itu tumbuh di puncak bukit ia dapat sinar matahari baik di waktu matahari terbit maupun di waktu matahari akan terbenam, sehingga pohonnya subur dan buahnya menghasilkan minyak yang baik.
§ Orbit benda-benda langit (QS. 51 : 7 ; 27 : 33)
§ Pergerakan Gunung-gunung (QS. 27 : 88)
§ Adanya kehidupan di luar Bumi (QS. 65 : 12 ; 16 : 49 ; 26 : 29)
§ Tidak akan ada yang menandingi (QS. 17 : 88)
Hal-hal yang wajib diimani berhubungan dengan kitab-kitab Allah SWT.
1. Beriman kepada kitab-kitab tersebut benar-benar diturunkan oleh Allah SWT.
2. Beriman kepada kitab-kitab yang sudah kita kenal namanya seperti shuhuf Ibrahim dan Musa, zabur, Taurat, Injil dan Al-Quran.
3. Membenarkan seluruh berita-berita yang terdapat dalam Al-Quran, juga berita-berita dalam kitab terdahulu yang belum diganti dan diselewangkan.
4. Mengerjakan seluruh hukum dalam kitab-kitab tersebut yang belum di nasakh oleh Al-Quran serta rela dan tunduk pada hukum tersebut baik memahami hikmahnya maupun tidak (QS. 2 : 97 ; 5 : 48)
Dalil-dalil yang mewajibkan kepada kitab-kitab Allah.
Firman Allah SWT dalam Al-Quran, ” Hai orang-orang yang beriman tetaplah beriman kepada Allah, rasul rasul Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat Nya, kitab kitab Nya, rasul rasul Nya dan hari akhir maka sesungguhnya orang tersebut telah sesaat sejauh-jauhnya”. (QS.4:134). Begitu juga dengan ayat-ayat yang lain seperti (QS 2:1-4,90,91,136,285)
Kitab-kitab samawi yang disebutkan dalam Al-Quran
1. Shuhuf Ibrahim (QS. 87 : 14 – 19 ; 53 : 36 – 42)
•
14. Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman),
15. Dan Dia ingat nama Tuhannya, lalu Dia sembahyang.
16. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.
17. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.
18. Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam Kitab-Kitab yang dahulu,
19. (yaitu) Kitab-Kitab Ibrahim dan Musa
2. Shuhuf Musa (QS. 87 : 14 – 19 ; 53 : 36 – 42)
3. Taurat (QS. 2 : 53 ; 3 : 3 ; 5 : 44 ; 6 : 91)
4. Zabur (QS. 4 : 164 ; 18 : 55 ; 21 : 105)
5. Injil (QS. 3 : 3 ; 5 : 46)
•
3. Dia menurunkan Al kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil,
46. Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi Nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, Yaitu: Taurat. dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, Yaitu kitab Taurat. dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.
6. Al-Quran (QS. 2 : 2 ; 12 : 2 ; 18 : 1 ; 25 : 1 ; 68 : 51-52)
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada kitab terdahulu
Penyimpangan (tahrif) dalam kitab-kitab terdahulu dapat kita ketahui dari ungkapan Al-Quran serta kenyataan sekarang ini. Bentuk-bentuk penyimpangan yang terjadi:
1. Mengubah arti dari lafadz (QS. 3 : 75, 181, 182 ; 4 : 160,161 ; 5 : 64)
2. Mengubah dan menambah (QS. 2 : 79 ; 3 : 79,80 ; 5 : 116-117)
3. Menyembunyikan kebenaran (QS.2:89,90,109,146;3:71,72;61:6)
4. Contoh seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani terhadap kitab mereka (QS.2:75; 3:78;4:46;5:14,41)
Al-Quran menashkan kitab-kitab sebelumnya.
Seluruh kitab terdahulu telah dinashkan oleh Al-Quran (QS.5:48,49,50,68;3:19,85
Nama – Nama lain Al-Quran
1. Al Furqon : pemisah yang Haq dan bathil (QS. 25 : 1)
2. At Tanzi : (QS. 26 : 192, 193)
3. Az Zikru : pengingat (QS. 15 : 9)
4. Al Kitab : tulisan yang lengkap (QS. 2 : 2 ; 44 : 1-3)
5. Al mauidzoh : nasihat (QS 10 : 57)
6. Asy Syifa : obat (QS. 10 : 57)
7. Al Huda : Petunjuk (QS. 72 : 13)
8. Al Hikmah : Kebijaksanaan (QS. 17 : 39)
9. Al Hukmu : Keputusan (QS. 13 : 37)
10. Al Khoir : Kebaikan (QS. 3 : 103)
11. Ar Ruh : ruh, semangat (QS. 42 : 52)
12. Al Muthohharoh : yang di sucikan (QS. 80 : 14)
13. Al Quran : yang di baca (QS. 17 : 9)
Sifat-sifat Al-Quran
1. Nur (QS. 4 : 173)
2. Mubin (QS. 4 : 173)
3. Huda (QS. 10 : 57)
4. Syifa (QS. 10 : 57)
5. Rahman (QS. 10 : 57)
6. Mau’idzoh (QS. 10 : 57)
7. Basyir (QS. 2 : 119)
8. Nazir (QS. 2 : 119)
9. Mubaroq (QS. 38 : 29)
Penjagaan Allah terhadap Al-Quran dan Sarana Penunjangnya.
1. Firman Allah dalam Al-Quran (QS. 15 : 9)
2. Allah menciptakan bagi Al-Quran ummat yang kuat hafalannya.
3. Adanya kemudahan dalam menghafal Al-Quran (QS.54:17,22,32,40)
4. Para sahabat belajar (talaqqi) dari Nabi Muhammad SAW.
5. Rasulullah selalu mengulangi dan mengecek hafalannya kepada jibril setiap tahun sekali dan pada tahun terakhir dua kali.
6. Para sahabat yang belajar langsung pada Rasulullah SAW selalu mengecek hapalan mereka kepada Rasulullah SAW atau kepada sesama mereka.
7. Pembukuan Al-Quran pertama kali dipimpin oleh para sahabat yang betul-betul talaqqi dan hafal
8. Setiap ada usaha pencetakan atau penerbitan Al-Quran pasti ada lajnah pentashhihnya
9. Adanya ketenangan hati sewaktu membaca Al-Quran
10. Al-Quran selalu cocok dengan setiap disiplin ilmu.
Kedudukan Al-Quran dihati kaum muslimin
1. Al-Quran sebagai manhaj tarbiyah islamiyah
2. Al-Quran sebagai kitab Syariah
3. Al-Quran adalah petunjuk jalan dalam menjalani hidup ini.
4. Al-Quran adalah penyeru kepada penghayatan (tadabbur) ayat-ayat Allah dalam Al- Quran atau alam ini
5. Al-Quran adalah masdar ma’rifah (referensi) sejarah yang mulia.
konsekuensi Iman kepada kitab-kitab Allah
Sebagai Muslim dituntut:
1. Hidup bersama Al-Quran, dengan tilawah, tahfidz dan tadabbur
2. Mentarbiyah diri dan keluarga berdasarkan Al-Quran
3. Merealisasikan kehendak Al-Quran dalam kehidupannya sehari-hari.
Hikmah beriman kepada kitab-kitab Allah.
1. Mengetahui perhatian Allah kepada Hamba – hamba Nya sehingga menurunkan kitab yang menjadi hidayah bagi setiap Muslim.
2. Mengetahui Hikmah Allah dalam syara’ atau hukumnya sehingga menetapkan hukum sesuai dengan tabiat dan keadaan setiap ummat (QS. 5 : 48)
3. Meyakinkan kita bahwa Islam adalah risalah seluruh Nabi dan Rasul.
4. Menyadarkan kita akan kasih sayang Allah SWT sehingga kita harus mensyukuri segala nikmat yang telah dianugerahkan Nya kepada kita.
PENGERTIAN KITAB-KITAB ALLAH
Al kutub secara bahasa berarti kitab-kitab. Secara istilah berarti kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul – rasul Nya sebagai rahmat dan hidayah bagi seluruh ummat manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat.
PENGERTIAN AL-QURAN
Al-Quran (QS 75 : 17 – 18) bermakna bacaan.
إلَيِْنَّ عَنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (١٧)فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (١٨)
17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
18. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
Al-Quran adalah kalam (Firman) Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab (QS.12:2;38:29;41:3;42:7;43:3-4;44:58;46:12) sebagai petunjuk bagi seluruh ummat manusia, penjelasan dari petunjuk dan pembeda (QS.2:185)
JENIS AYAT AL-QURAN: (QS. 3 : 7 ; 11 : 1 ; 39 : 23)
a. muhkamaat ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat
dipahami dengan mudah
b. Mutasyabihaat
1) ayat – ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali setelah diselidiki secara mendalam.
2) Ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui, misalnya ayat-ayat yang berhubungan dengan ayat-ayat ghaib seperti ayat-ayat mengenai syurga, neraka, qiyamat dsb.
PROSES TURUNNYA
Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur (QS. 17 : 106), Nabi Muhammad SAW bersabda tentang Al-Quran :
“Sesungguhnya Al-Quran tidak diturunkan agar sebagian mendustakan sebagian yang lain. Tetapi ia diturunkan agar sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Maka apa yang kamu ketahui, amalkanlah, dan apa yang samar bagimu, imanilah “ (Mengungkap rahasia Al-Quran, A.M.H. Thoba thoba’I, hal50).
Ada perbedaan pendapat yang cukup tajam diantara pakar sejarah dalam menetapkan awal bulan Allah memuliakan Nabi Muhammad dan menurunkan wahyu. Di antara mereka lebih banyak yang yang menetapkannya pada bulan Rabi’ul awwal. Namun ada segolongan lain yang menetapkannya bulan Ramadhan, dan golonngan lain ada yang menetapkan bulan rajab. Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury pemenang pertama lomba menulis sejarah nabawiyah lebih menguatkan pendapat kedua, yaitu pada bulan Ramadhan, yang difirmankan Allah, ”Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya duturunkan permulaan Al-Quran.” (Al-Baqarah:185) . begitu pula Firman Allah, “ Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada lailatul qadr.” (Al-Qadar:1) sebagaimana yang sudah diketahui bersama, lailatul qadar adalah pada bulan Ramadhan. Inilah maksud dari firman Allah, “Sesungguhnya Kami menurunkanny pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (Ad-Dukhan:3). Karena saat iu beliau berada di Gua Hira’, berarti Jibril turun disana, sebagaimana yang sudah diketahui.
Ada pula perbedaan pendapat diantara para pakar tertang penentuan harinya dari bulan Ramadhan. Ada yang berpendapat pada hari ketujuh, ada yang berpendapat pada hari kesebelas, ada yang berpendapat pada hari kedelapan belas. Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury menguatkan pernyataan yang menguatkan pada tanggal dua puluh satu, sekalipun Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfurytidak melihat orang yang menguatkan pendapat ini. Sebab semua pakar biografi atau diantaranya mayoritas diantara mereka sepakat bahwa beliau diangkat sebagai Rasul pada hari senin,hal ini diperkuat riwayat para imam hadits, dari Abu Qathadah Radhiyallahu amhu, bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa hari senin. Maka beliau menjawab, “pada hri inilah aku dilahirkan dan pada hari ini pula turun wahyu (yang pertama) kepadaku.” Dalam lapadz lain disebutkan, “itulah hari aku dilahirkan dan pada hari itu pula aku diutus sebagai Rasul atau turun kepadaku wahyu.” Hari senin dari bulan Ramadhan pada tahun itu jatuh pada tanggal tujuh, empat belas, dua puluh satu dan dua puluh delapan. Beberapa riwayat yang shahih telah menunjukkan bahwa lailatul-Qadr tidak jatuh kecuali pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Jadi jika kita membandingkan antara firman Allah, “Sesungguhnya kami menurunkannya (Al-Quran) pada Lilatul Qadr”, dengan riwayat Abu Qathadah, bahwa hari diutusnya beliau sebagai Rasul jatuh pada hari senin, serta berdasarkan penelitian ilmiah tentang jatuhnya hari senin pada bulan Ramadhan pada tahun itu, maka jelaslah bagi kami hari diutusnya beliau sebagai Rasul jatuh pada malam tanggal dua puluh satu dari bulan Ramadhan.
Ketika itu Rasulullah SAW berusia 40 tahun, Surat yang pertama turun yaitu surat Al-Alaq : 1-5. Dan yang terakhir turun pada hari Jum’at, 9 Dzulhijjah 10 H (Maret 632 M) yaitu surat Al Maidah : 3
Al-Quran yang diturunkan pada sebelum hijrah (periode makkah) disebut surat makkiyah, terdiri dari 86 surat, dan yang turun pada setelah hijrah (periode Madinah) disebut surat Madaniyah, terdiri dari 28 surat.
Tanda-tanda kebenaran Al-Quran
a. jaminan kebenaran Al-Quran secara haqiqi.
§ Datangnya dari Allah yang ayat-ayatnya tidak mungkin bertentangan (QS.4:82)
§ Turunnya disaksikan oleh Allah dan Malaikat (QS. 4 : 166)
§ Diturunkan dengan kebenaran (QS. 17 : 106)
§ Kitab yang sempurna (QS. 46 : 30 ; 5 : 48)
§ Al-Quran bukan permainan (QS. 86 : 13-14)
§ Tidak akan didatangi kebatilan (QS. 41 : 41-42 ; 10 : 32)
§ Dijamin keselamatannya oleh Allah (QS. 15 : 9 ; 18 : 17)
§ Perkataan yang paling baik (QS. 39 : 23)
b. kebenaran kisah sejarah.
§ Peristiwa penemuan mumi Fir’aun (QS. 10 : 92)
§ Kemenangan bangsa romawi dalam peperangan melawan Persia (QS.30:3–5)
§ Agama Nasrani terpecah belah (QS. 5 : 14)
c. Ramalan Ilmiah.
§ Proses penciptaan alam semesta (QS. 32 : 4-5 ; 21 : 30 ; 41 : 9-12 ; 50 : 38)
§ Ekspansi dan kontraksi kosmos (QS. 21 : 104 ; 51 : 47)
§ Planet/kawahib (QS. 24 : 35 ; 37 : 6)
§ Orbit benda-benda langit (QS. 51 : 7 ; 27 : 33)
§ Pergerakan Gunung-gunung (QS. 27 : 88)
§ Adanya kehidupan di luar Bumi (QS. 65 : 12 ; 16 : 49 ; 26 : 29)
§ Tidak akan ada yang menandingi (QS. 17 : 88)
Hal-hal yang wajib diimani berhubungan dengan kitab-kitab Allah SWT.
1. Beriman kepada kitab-kitab tersebut benar-benar diturunkan oleh Allah SWT.
2. Beriman kepada kitab-kitab yang sudah kita kenal namanya seperti shuhuf Ibrahim dan Musa, zabur, Taurat, Injil dan Al-Quran.
3. Membenarkan seluruh berita-berita yang terdapat dalam Al-Quran, juga berita-berita dalam kitab terdahulu yang belum diganti dan diselewangkan.
4. Mengerjakan seluruh hukum dalam kitab-kitab tersebut yang belum di nasakh oleh Al-Quran serta rela dan tunduk pada hukum tersebut baik memahami hikmahnya maupun tidak (QS. 2 : 97 ; 5 : 48)
Dalil-dalil yang mewajibkan kepada kitab-kitab Allah.
Firman Allah SWT dalam Al-Quran, ” Hai orang-orang yang beriman tetaplah beriman kepada Allah, rasul rasul Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat Nya, kitab kitab Nya, rasul rasul Nya dan hari akhir maka sesungguhnya orang tersebut telah sesaat sejauh-jauhnya”. (QS.4:134). Begitu juga dengan ayat-ayat yang lain seperti (QS 2:1-4,90,91,136,285)
Kitab-kitab samawi yang disebutkan dalam Al-Quran
1. Shuhuf Ibrahim (QS. 87 : 14 – 19 ; 53 : 36 – 42)
2. Shuhuf Musa (QS. 87 : 14 – 19 ; 53 : 36 – 42)
3. Taurat (QS. 2 : 53 ; 3 : 3 ; 5 : 44 ; 6 : 91)
4. Zabur (QS. 4 : 164 ; 18 : 55 ; 21 : 105)
5. Injil (QS. 3 : 3 ; 5 : 46)
6. Al-Quran (QS. 2 : 2 ; 12 : 2 ; 18 : 1 ; 25 : 1 ; 68 : 51-52)
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada kitab terdahulu
Penyimpangan (tahrif) dalam kitab-kitab terdahulu dapat kita ketahui dari ungkapan Al-Quran serta kenyataan sekarang ini. Bentuk-bentuk penyimpangan yang terjadi:
1. Mengubah arti dari lafadz (QS. 3 : 75, 181, 182 ; 4 : 160,161 ; 5 : 64)
2. Mengubah dan menambah (QS. 2 : 79 ; 3 : 79,80 ; 5 : 116-117)
3. Menyembunyikan kebenaran (QS.2:89,90,109,146;3:71,72;61:6)
4. Contoh seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani terhadap kitab mereka (QS.2:75; 3:78;4:46;5:14,41)
Al-Quran menashkan kitab-kitab sebelumnya.
Seluruh kitab terdahulu telah dinashkan oleh Al-Quran (QS.5:48,49,50,68;3:19,85
Nama – Nama lain Al-Quran
1. Al Furqon : pemisah yang Haq dan bathil (QS. 25 : 1)
2. At Tanzi : (QS. 26 : 192, 193)
3. Az Zikru : pengingat (QS. 15 : 9)
4. Al Kitab : tulisan yang lengkap (QS. 2 : 2 ; 44 : 1-3)
5. Al mauidzoh : nasihat (QS 10 : 57)
6. Asy Syifa : obat (QS. 10 : 57)
7. Al Huda : Petunjuk (QS. 72 : 13)
8. Al Hikmah : Kebijaksanaan (QS. 17 : 39)
9. Al Hukmu : Keputusan (QS. 13 : 37)
10. Al Khoir : Kebaikan (QS. 3 : 103)
11. Ar Ruh : ruh, semangat (QS. 42 : 52)
12. Al Muthohharoh : yang di sucikan (QS. 80 : 14)
13. Al Quran : yang di baca (QS. 17 : 9)
Sifat-sifat Al-Quran
1. Nur (QS. 4 : 173)
فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدُهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَأَمَّا الَّذِينَ اسْتَنْكَفُوا وَاسْتَكْبَرُوا فَيُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَلا يَجِدُونَ لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا (١٧٣)
173. Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh, Maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, Maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong selain dari pada Allah.
2. Mubin (QS. 4 : 173)
3. Huda (QS. 10 : 57)
4. Syifa (QS. 10 : 57)
5. Rahman (QS. 10 : 57)
6. Mau’idzoh (QS. 10 : 57)
7. Basyir (QS. 2 : 119)
8. Nazir (QS. 2 : 119)
9. Mubaroq (QS. 38 : 29)
Penjagaan Allah terhadap Al-Quran dan Sarana Penunjangnya.
1. Firman Allah dalam Al-Quran (QS. 15 : 9)
2. Allah menciptakan bagi Al-Quran ummat yang kuat hafalannya.
3. Adanya kemudahan dalam menghafal Al-Quran (QS.54:17,22,32,40)
4. Para sahabat belajar (talaqqi) dari Nabi Muhammad SAW.
5. Rasulullah selalu mengulangi dan mengecek hafalannya kepada jibril setiap tahun sekali dan pada tahun terakhir dua kali.
6. Para sahabat yang belajar langsung pada Rasulullah SAW selalu mengecek hapalan mereka kepada Rasulullah SAW atau kepada sesama mereka.
7. Pembukuan Al-Quran pertama kali dipimpin oleh para sahabat yang betul-betul talaqqi dan hafal
8. Setiap ada usaha pencetakan atau penerbitan Al-Quran pasti ada lajnah pentashhihnya
9. Adanya ketenangan hati sewaktu membaca Al-Quran
10. Al-Quran selalu cocok dengan setiap disiplin ilmu.
Kedudukan Al-Quran dihati kaum muslimin
1. Al-Quran sebagai manhaj tarbiyah islamiyah
2. Al-Quran sebagai kitab Syariah
3. Al-Quran adalah petunjuk jalan dalam menjalani hidup ini.
4. Al-Quran adalah penyeru kepada penghayatan (tadabbur) ayat-ayat Allah dalam Al-Quran atau alam ini
5. Al-Quran adalah masdar ma’rifah (referensi) sejarah yang mulia.
konsekuensi Iman kepada kitab-kitab Allah
Sebagai Muslim dituntut:
1. Hidup bersama Al-Quran, dengan tilawah, tahfidz dan tadabbur
2. Mentarbiyah diri dan keluarga berdasarkan Al-Quran
3. Merealisasikan kehendak Al-Quran dalam kehidupannya sehari-hari.
Hikmah beriman kepada kitab-kitab Allah.
1. Mengetahui perhatian Allah kepada Hamba – hamba Nya sehingga menurunkan kitab yang menjadi hidayah bagi setiap Muslim.
2. Mengetahui Hikmah Allah dalam syara’ atau hukumnya sehingga menetapkan hukum sesuai dengan tabiat dan keadaan setiap ummat (QS. 5 : 48)
3. Meyakinkan kita bahwa Islam adalah risalah seluruh Nabi dan Rasul.
4. Menyadarkan kita akan kasih sayang Allah SWT sehingga kita harus mensyukuri segala nikmat yang telah dianugerahkan Nya kepada kita.
I’jaz Al-Qur’an (MUKJIZAT AL-QURAN)
( 25 November 2008)
MUKJIZAT ILMIAH AL-QURAN DI ZAMAN MODERN
Al-Quran al-Karim merupakan kitab hidayah dan i`jaz (melemahkan manusia untuk mendatangkan dalil semisal al-Quran), maka disebabkan oleh kedua alasan itulah ia diturunkan, dengan kedua metode itu ia berbicara, dan berdasarkan kedua faktor tersebut ia berdalil.
Pembahasan mukjizat ilmiyah dari ayat-ayat kauniyah (yang menyebutkan tentang fenomena alam) dalam al-Quran sangat berkaitan dengan gejala-gejala alam dan keterangan hadis Nabi terhadap ilmu ini, sehingga termasuk ke dalam bidang ilmu tafsir yang lebih dikenal dengan tafsir ilmi (Abdul Majid al-Zindany, 1999, 26). Tafsir ilmi begitu berkembang di zaman ilmu pengetahuan moden seperti sekarang ini, yang menjadi salah satu uslub tersendiri dalam dakwah kepada Allah, di mana Allah membukakan begitu banyak rahasia-rahasia alam dan penciptaan, yang membuat manusia begitu terpesona dengan semua ilmu-ilmu tentang alam dan hasil-hasilnya (Zaghlul al-Najjar, 2001, 30).
Tapi apa yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa sesungguhnya Allah tidak menurunkan al-Quran untuk menjadi satu kitab yang menerangkan kepada manusia mengenai teori-teori ilmiah, problem-problem seni dan aneka warna pengetahuan (Mahmud Syaltut, tt, hal 21).
Sesungguhnya ramai ulama berpendapat bahwa i`jaz al-Quran pada abad ke-20 ialah i`jaz ilminya. Ini karena banyak ayat-ayat yang mengandungi hakikat ilmiah yang tidak diambil berat atau yang tidak disadari oleh golongan terdahulu, dan tidak jelas maknanya melainkan selepas keputusan-keputusan ilmiah dihasilkan. Maka dari sini bermula usaha-usaha untuk menggali ayat-ayat al-Quran dengan pendekatan tafsir ilmi. Namun menurut pendapat Yusuf al-Qaradhawy (1999, hal 455), hakikat i`jaz ilmi dalam al-Quran sebenarnya hanyalah kemukjizatan secara retoris, di mana tidak ada sebarang pertentangan ayat al-Quran yang telah turun 14 abad lalu, dengan pelbagai penemuan sains kontemporer, bahkan sesebahagian telah pula dinyatakan al-Quran secara global. Sekiranya al-Quran itu merupakan kitab yang dikarang manusia dan disusun oleh akal mereka, tentulah ungkapan-ungkapannya tidak mampu meliputi segala zaman yang berbeda-beda dan mengikuti perkembangan manusia. Karena itu pijakan kita dalam menetapkan i`jaz ilmi ini mestilah terhadap masalah-masalah yang sudah jelas dan baku, yang tidak mengundang keraguan dan kesangsian.
Syeikh Abd al-‘Azim al-Zarqani mengemukakan syarat-syarat tertentu dalam menafsirkan al-Quran dengan metode ilmiah, antaranya: Hendaklah tidak melampau dalam menafsirkannya agar tidak lari dari maksud asal al-Quran sebagai hidayah dan I’jaz.
Tafsiran ini juga hendaknya menyerupai kitab tafsir bukan kitab sains. Kajian-kajian tersebut hendaklah mendorong kebangkitan umat Islam dan menyadarkan mereka tentang keagungan al-Quran serta tidak tergesa-gesa membuat keputusan yang muktamad tentang ayat kawniyat yang disebut dalam al-Quran melainkan jika mempunyai dalil dan hujjah-hujjah kokoh dan telah terbukti.
Sekiranya terdapat keraguan maka hendaknya kita mendiamkan diri, serta menyerahkannya kepada Tuhan yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. (Syeikh Abd al-‘Azim al-Zarqani, t.th, jld 2: 101-104)
Di antara contoh mukjizat ilmiah al-Quran adalah dalam pembahasan tentang tahapan pertumbuhan janin dalam ilmu embriologi:
Maksudnya: 6. Ia menciptakan kamu dari diri Yang satu (Adam), kemudian ia menjadikan daripadanya - isterinya (Hawa); dan ia mengadakan untuk kamu binatang-binatang ternak delapan ekor: (empat) pasangan (jantan dan betina). ia menciptakan kamu Dalam kandungan ibu kamu (berperingkat-peringkat) dari satu kejadian ke satu kejadian. Dalam tiga suasana Yang gelap-gelita. Yang demikian (kekuasaanNya) ialah Allah Tuhan kamu; bagiNyalah kekuasaan Yang mutlak; tiada Tuhan melainkan dia; oleh itu Bagaimana kamu dapat dipesongkan (dari mematuhi perintahNya)? (Az-Zumar/39: 6)
•
6. Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan[1306]. yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. tidak ada Tuhan selain dia; Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?
[1306] Tiga kegelapan itu ialah kegelapan dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutup anak dalam rahim.
Maksudnya:
12. Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari pati (yang berasal) dari tanah;
13. Kemudian Kami jadikan "pati" itu (setetes) air benih pada penetapan Yang kokoh;
14. Kemudian Kami ciptakan air benih itu menjadi segumpal darah beku. lalu Kami ciptakan darah beku itu menjadi sekerat daging; kemudian Kami ciptakan daging itu menjadi beberapa tulang; kemudian Kami balut tulang-tulang itu Dengan daging. setelah sempurna kejadian itu Kami bentuk Dia menjadi makhluk Yang lain sifat keadaannya. maka nyatalah kelebihan dan ketinggian Allah sebaik-baik Pencipta. 15. Kemudian, Sesungguhnya kamu sesudah itu akan mati. (al-Mukminun/23: 12-15)
•
12. Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
13. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
14. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.
15. Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.
Menurut embriologi yang baru terungkap abad 20 ini, proses kejadian manusia terbagi dalam tiga periode selama 9 bulan janin dalam rahim ibu, sebagai bahasa medical disebut trimester 1, 2 dan 3. Semua ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan al-Quran yang mulia.[1]
Akan tetapi dalam mengartikan al-`Alaq, bahasa Arab tidak menjadikan arti al-'alaq khusus untuk darah beku, tetapi salah satu dari artinya adalah bergantungan atau berdempetan.[2]
Al-Raghib Al-Ashfahaniy, menerangkan beberapa arti al-`alaq menurut bahasa Arab, di antaranya: bergantung dan berdempetan.[3]
Juga tentang ayat,
Maksudnya: Dan tidakkah orang-orang kafir itu memikirkan dan mempercayai Bahwa Sesungguhnya langit dan bumi itu pada asal mulanya bercantum (sebagai benda Yang satu), lalu Kami pisahkan antara keduanya? dan Kami jadikan dari air, tiap-tiap benda Yang hidup?
maka mengapa mereka tidak mahu beriman? (al-Anbiya: 30)
• •
30. Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?
Dan ayat yang Maksudnya: Dan langit itu Kami dirikan Dengan kekuasaan Kami (dalam bentuk binaan Yang kokoh rapi), dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.
Terbukti ayat itu benar, diperkokoh Teori Big Bang menunjukkan bahwa semua benda di alam semesta pada awalnya adalah satu wujud, dan kemudian terpisah-pisah. Ini diartikan bahwa keseluruhan materi diciptakan melalui ledakan raksasa dari satu titik tunggal sekitar 15 milyar tahun lalu, dan membentuk alam semesta kini dengan cara pemisahan satu dari yang lain.[4] Dan sejalan dengan isyarat yang ditunjukkan al-Quran pada ayat diatas, sehingga ke hari ini, alam raya yang kita tempati ternyata semakin mengembang dan meluas hingga ke hari yang Allah tentukan.[5]
Contoh lainnya, ada ayat yang maksudnya:
“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Q.S. Ar-Rahman 55: 19-21).
Ternyata sekarang sudah terbukti bahwa di dasar Laut Merah terdapat sumber mata air tawar yang mengalir terus dan tidak bercampur dengan air laut di sekitarnya yang masin.
Juga tentang ayat,
“Maka apabila langit terbelah dan menjadi merah mawar separti (kilapan) minyak. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Q.S. Ar-Rahman 55: 37-38).
Terbukti ayat itu benar, ketika teleskop Hubble memotret gambar Big Bang yang memang separti kilauan berbentuk bunga mawar merah. (http/www.bicara-muslim.com)
Demikian sebahagian contoh penafsiran al-Quran dengan pendekatan sains, demi menunjukkan kemukjizatan ilmiah al-Quran, yang telah diturunkan Allah 14 abad yang lalu melalui lisan Rasul-Nya yang mulia. al-Quran juga memberikan isyarat terhadap hukum-hukum alam dan fenomena kehidupan dengan gambaran yang sangat meyakinkan, yang tidak mungkin bertentangan dengan pencapaian temuan manusia dalam pelbagai fase dan tingkatannya.
Oleh karena itu, para ilmuwan muslim kontemporer begitu terinspirasi untuk menyingkap keilmiahan al-Quran dengan menyatakan bahwa ayat-ayat ilmiah dalam al-Quran merupakan bahasa dakwah zaman ini, di mana al-Quran yang diturunkan kepada Rasul yang "ummy" dan masyarakat yang belum mengetahui sama sekali tentang hakikat sains dan pengetahuan ilmiah telah mengisyaratkan bukti-bukti ilmiah yang baru terungkap beberapa puluh tahun terakhir. Inilah yang dapat menjadi jalan untuk berdakwah kepada Allah dengan membuktikan bahwa al-Quran sememangnya adalah wahyu Ilahi dan memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan Allah di langit dan di bumi.
Isyarat ilmiah dalam al-Quran yang begitu komprehensif dan meliputi segala bidang keilmuan, dapat kita lihat dalam senarai ayat kauniyah yang terdapat dalam pelbagai kitab tafsir ilmi dan dituliskan oleh ulama tentangnya[6]:
Þ Astronomi: 22 ayat[7], di antaranya:
Maksudnya: 38. Dan (sebahagian dari dalil Yang tersebut ialah) matahari; ia beredar ke tempat Yang ditetapkan baginya; itu adalah takdir Tuhan Yang Maha Kuasa, lagi Maha mengetahui;
39. Dan bulan pula Kami takdirkan Dia beredar melalui beberapa peringkat, sehingga di akhir peredarannya kelihatan kembalinya pula ke peringkat awalnya - (berbentuk melengkung)
separti tandan Yang kering.
40. (dengan ketentuan Yang demikian), matahari tidak mudah baginya mengejar bulan, dan malam pula tidak dapat mendahului siang; karena tiap-tiap satunya beredar terapung-apung di tempat edarannya masing-masing. (Yasin/38: 38-40)
Þ Biologi: 67 ayat, di antaranya:
Maksudnya: Wahai umat manusia, sekiranya kamu menaruh syak (ragu-ragu) tentang kebangkitan makhluk (hidup semula pada hari kiamat), maka (perhatilah kepada tingkatan kejadian manusia) karena sebenarnya Kami telah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setitik air benih, kemudian dari sebuku darah beku, kemudian dari seketul daging Yang disempurnakan kejadiannya dan Yang tidak disempurnakan; (Kami jadikan secara Yang demikian) karena Kami hendak menerangkan kepada kamu (kekuasaan kami); dan Kami pula menetapkan Dalam kandungan rahim (ibu Yang mengandung itu) apa Yang Kami rancangkan hingga ke suatu masa Yang ditentukan lahirnya; kemudian Kami mengeluarkan kamu berupa kanak-kanak; kemudian (kamu dipelihara) hingga sampai ke peringkat umur dewasa; dan (dalam pada itu) ada di antara kamu Yang dimatikan (semasa kecil atau semasa dewasa) dan ada pula Yang dilanjutkan umurnya ke peringkat tua nyanyuk sehingga ia tidak mengetahui lagi akan sesuatu Yang telah diketahuiNya dahulu. dan (ingatlah satu Bukti lagi); Engkau melihat bumi itu kering, kemudian apabila Kami menurunkan hujan menimpanya, bergeraklah tanahnya (dengan tumbuh-tumbuhan Yang merecup tumbuh), dan gembur membusutlah ia, serta ia pula menumbuhkan berjenis-jenis tanaman Yang indah permai. (al-Hajj/22: 5)
Þ Fisika 19 ayat, di antaranya:
Maksudnya: 17. Ia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu membanjiri tanah-tanah lembah (dengan airnya) menurut kadarnya Yang ditetapkan Tuhan untuk faedah makhlukNya, kemudian banjir itu membawa buih Yang terapung-apung. dan dari benda-benda Yang dibakar di Dalam api untuk dijadikan barang perhiasan atau perkakas Yang diperlukan, juga timbul buih separti itu. Demikianlah Allah memberi misal Perbandingan tentang perkara Yang benar dan Yang salah. adapun buih itu maka akan hilang lenyaplah ia hanyut terbuang, manakala benda-benda Yang berfaedah kepada manusia maka ia tetap tinggal di bumi. Demikianlah Allah menerangkan misal-misal perbandingan. (ar-Ra'd,13: 17)
Þ Geografi 43 ayat, di antaranya:
Maksudnya: 57. Dan Dia lah (Allah) Yang menghantarkan angin sebagai pembawa berita Yang mengembirakan sebelum kedatangan rahmatNya (iaitu hujan), hingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halakan Dia ke negeri Yang mati (ke daerah Yang kering kontang), lalu Kami turunkan hujan Dengan awan itu, kemudian Kami keluarkan Dengan air hujan itu berbagai-bagai jenis buah-buahan. Demikianlah pula Kami mengeluarkan (menghidupkan semula) orang-orang Yang telah mati, supaya kamu beringat (mengambil pelajaran daripadanya).
58. Dan negeri Yang baik (tanahnya), tanaman-tanamannya tumbuh (subur) Dengan izin Allah; dan negeri Yang tidak baik (tanahnya) tidak tumbuh tanamannya melainkan Dengan keadaan bantut. Demikianlah Kami menerangkan tanda-tanda (kemurahan dan kekuasaan) Kami Dengan berbagai cara bagi orang-orang Yang (mahu) bersyukur. (al-A'raf/7: 57-58)
Þ Geologi 13 ayat, di antaranya:
Maksudnya: Ia menciptakan langit Dengan tidak bartiang sebagaimana Yang kamu melihatnya; dan ia mengadakan di bumi gunung-ganang Yang menetapnya supaya bumi itu tidak menghayun-hayunkan kamu; dan ia biakkan padanya berbagai jenis binatang. dan Kami menurunkan hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan di bumi berbagai jenis tanaman Yang memberi banyak manfaat. (Luqman/31: 10)
Þ Hidrologi 27 ayat, di antaranya:
11. Maka Kami bukakan pintu-pintu langit, Dengan menurunkan hujan Yang mencurah-curah. 12. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air (di sana sini), lalu bertemulah air (langit dan bumi) itu untuk (melakukan) satu perkara Yang telah ditetapkan. (al-Qamar/54: 11-12)
Þ Kedokteran 16 ayat, di antaranya:
Maksudnya: Kemudian makanlah dari Segala jenis bunga-bungaan dan buah-buahan (yang Engkau sukai), serta Turutlah jalan-jalan peraturan Tuhanmu Yang diilhamkan dan dimudahkannya kepadamu". (dengan itu) akan keluarlah dari Dalam badannya minuman (madu) Yang berlainan warnanya, Yang mengandungi penawar bagi manusia (dari berbagai-bagai penyakit).
Sesungguhnya pada Yang demikian itu, ada tanda (yang membuktikan kemurahan Allah) bagi orang-orang Yang mahu berfikir. (al-Nahl/16: 69)
Þ Kimia 21 ayat, di antaranya:
Maksudnya: Dan Sesungguhnya pada binatang-binatang ternak itu, kamu beroleh pelajaran Yang mendatangkan iktibar. Kami beri minum kepada kamu daripada apa Yang terbit dari Dalam perutnya, Yang lahir dari antara hampas makanan dengan darah; (Iaitu) susu Yang bersih, Yang mudah diminum, lagi sedap rasanya bagi orang-orang Yang meminumnya. (al-Nahl/16: 6)
Þ Mineralogi 14 ayat, di antaranya:
Maksudnya: 33. Dan kalaulah tidak karena manusia akan menjadi umat Yang satu (dalam kekufuran), nescaya Kami jadikan bagi orang-orang Yang kufur ingkar kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, bumbung rumah-rumah mereka dari perak, dan tangga-tangga Yang mereka naik turun di atasnya (dari perak juga),
34. Dan juga pintu-pintu Rumah mereka (dari perak juga), dan kerusi-kerusi panjang Yang mereka berbaring di atasnya (dari perak juga),
35. Serta berbagai barang perhiasan (keemasan). dan (ingatlah), Segala Yang tersebut itu tidak lain hanyalah merupakan kesenangan hidup di dunia; dan (sebaliknya) kesenangan hari akhirat di sisi hukum Tuhanmu adalah khas bagi orang-orang Yang bertaqwa. (az-Zukhruf/43: 33-35)
Þ Pertanian 46 ayat, di antaranya:
Maksudnya: 99. Dan Dia lah Yang menurunkan hujan dari langit lalu Kami tumbuhkan Dengan air hujan itu Segala jenis tumbuh-tumbuhan, kemudian Kami keluarkan daripadanya tanaman Yang menghijau, Kami keluarkan pula dari tanaman itu butir-butir (buah) Yang bergugus-gugus; dan dari pohon-pohon tamar (kurma), dari mayang-mayangnya (Kami keluarkan) tandan-tandan buah Yang mudah dicapai dan dipetik; dan (Kami jadikan) kebun-kebun dari anggur dan zaiton serta buah delima, Yang bersamaan (bentuk, rupa dan rasanya) dan Yang tidak bersamaan. perhatikanlah kamu kepada buahnya apabila ia berbuah, dan ketika masaknya. Sesungguhnya Yang demikian itu mengandungi tanda-tanda (yang menunjukkan kekuasaan kami) bagi orang-orang Yang beriman. (al-An'am/6: 99)
Þ Teknologi 15 ayat, di antaranya:
Maksudnya: 14. Dan Dia lah Yang memudahkan laut, supaya kamu dapat makan daripadanya daging Yang lembut hidup-hidup, dan dapat pula mengeluarkan daripadanya benda-benda perhiasan untuk kamu memakainya dan (selain itu) Engkau melihat pula kapal-kapal belayar padanya; dan lagi supaya kamu dapat mencari rezeki dari limpah kurniaNya; dan supaya kamu bersyukur (al-Nahl/16: 14).
Masih banyak cabang-cabang ilmu lain yang dapat dikelompokkan dalam memahami ayat kauniyah ini. Inilah suatu bukti bahwa al-Quran memang kitab yang penuh mukjizat yang selalu sejalan dengan perkembangan manusia dan perjalanan masa.
Pada bulan September 1975 diselenggarakan sebuah konferensi pertama untuk membahas kemukjizatan kedokteran dalam al-Quran. Acara tersebut dihadiri oleh Syekh Azhar: Mutawalli Sya’rawi, rektor al-Azhar dan dekan fakulti perubatan, disamping para doktor terkenal. Acara ini juga menjemput hadir delegasi dari Organisasi Konferensi Islam, dan delegasi Organisasi Perubatan dari pelbagai negara Islam. Dari kalangan bukan muslim dijemput hadir ahli bidang Genelogi, Prof. Keith More[8] dan Prof. Maurice Buccaile[9]. Konferensi itu berlangsung sukses dan menakjubkan. Disana terungkap sisi-sisi kemukjizatan ilmiah atau I’jaz ilmi al-Quran yang dikuatkan oleh para doctor daripada Kanada, Amerika, Inggris, dan Prancis. Sehingga salah seorang dari doktor yang hadir terus mengikrarkan syahadat. Dapat dikatakan ini merupakan dampak dari kebenaran arah dan metod yang mereka gunakan dalam menafsirkan al-Quran melalui pendekatan sains. (Jamal al-Banna, 2003:191)
Hingga ke hari ini, telah banyak konferensi-konferensi peringkat internasional yang dilakukan dalam mengkaji dan membahas tentang I’jaz ilmi dalam al-Quran dengan menafsirkan ayat-ayat kawniyat dengan pendekatan sains dan penemuan ilmiah. Ini juga membawa dampak positif dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan sains di kalangan umat Islam. Diantaranya, kita tentu mengenal nama Harun Yahya yang banyak menyingkap berbagai kebenaran ayat Al Quran melalui berbagai penelitian ilmiahnya. Bahkan, kini sudah tersaji tidak hanya dalam bentuk buku, tetapi juga dalam bentuk tayangan film dokumenter atau video.
Selain itu, antara lembaga-lembaga internasional yang bergiat dalam penafsiran ilmiah al-Quran yang bertujuan untuk menyebarkan dakwah tentang kemukjizatan ilmiah al-Quran, agar mampu memicu kebangkitan ilmiah kaum muslimin dan menyebarluaskan pada non muslim pesan-pesan dan hidayah al-Quran, adalah:
1. Lembaga I`jaz ilmi dalam al-Quran dan al-Sunnah di Rabithah Alam Islamy di Makkah al-Mukarramah,
2. Majelis Tinggi Urusan Agama Islam di Mesir,
3. Organisasi I`jaz Ilmi dalam al-Quran dan al-Sunnah di Mesir,
4. Pertubuhan Islam untuk Ilmu Kedokteran di Kuwait,
5. Akademi Ilmu-ilmu Islam di Oman,
6. Lembaga I`jaz Ilmi al-Quran dan al-Sunnah Bangladesh,
7. Pusat Pembahasan I`jaz Ilmi di Bangladeh (Zaghlul al-Najjar, www.nooran.org).
Kemungkinan masih banyak lagi lembaga nasional mahupun internasional yang bertungkus-lumus dalam pembahasan kajian ilmiah al-Quran, dan kesemuanya memberikan sumbangan yang sangat besar bagi dakwah Islam. Melalui pengungkapan rahasia alam berdasarkan ayat kauniyah akan semakin memperkokoh iman di hati mukmin akan kebenaran al-Quran, menyadarkan para munafik, menguatkan para mualaf, menentang para pendurhaka dan bahkan menjadi jalan hidayah bagi orang-orang yang belum memeluk agama yang hanif ini. Juga membangkitkan imej positif tentang agama Islam, sebagai satu-satunya agama yang tidak pernah bertentangan dengan penemuan ilmu pengetahuan dan sains moden yang merupakan bukti bahwa Islam diturunkan oleh Pencipta dan Penggenggam alam semesta. Wallahu a'lam bisshawab…
A. Pengertian
Berdasarkan etimologi (bahasa), qira`at jamak dari qira`ah, yang merupakan isim mashdar dari qara`a. Qiro’ah artinya bacaan. Adapun secara terminologi (istilah): ”Ilmu yang mempelajari tata cara manyampaikan atau membaca kalimat-kalimat al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya yang disandarkan kepada orang yang menukilnya”.
Akan tetapi dalam membicarakan definisi konsep qira`at, para ulama’ menggunakan berbagai definisi yang cukup beragam sesuai dengan paradigma yang dipakai. Namun perbedaan cara pendefinisian sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Nabi Muhammad. Adapun definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyngkut ruang lingkup pebedaan diantara beberapa qira’at yang ada. Dengan demikian, ada tiga unsur qira`at yang dapat ditangkap dari definisi di atas, yaitu:
1. Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
2. Cara pelafalan ayat-ayat al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi, sehingga bersifatnya tauqifi, bukan ijtihadi.
3. Ruang lingkup perbedaan qira`at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl.
Menurut Az-Zarqani mengistilahkan qira`at dengan: ”Suatu madzab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurro` yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baiknya itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.
B. Macam-Macam Qira’at
Pertama, macam-Macam Qira’at Dari Segi kuantitas/ jumlahnya. Adapun sebutan qira`at dari segi jumlah qira’at ada bernacam-macam. Ada yang bernama qira`at tujuh, qira`at delapan, qira`at sepuluh, qira`at sebelas, qira`at tiga belas, dan qira`at empat belas. Tetapi dari sekian macam jumlah qira`at yang dibukukan, hanya tiga macam qira’at yang terkenal yaitu:
1. Qira`at al-Sab’ah: ialah qira`at yang dinisbatkan kepada para imam qurro` yang tujuh yang masyhur. Mereka adalah: Nafi`, Ibnu Katsir, Abu Amru, Ibnu Amir, Ashim, Hamzah dan Kisa`i.
2. Qira`at ‘asyroh: ialah qira`at sab’ah diatas ditambah dengan tiga qira`at lagi, yang disandarkan kepada : Abu Ja’far, Ya’qub dan Khalaf Al-‘Asyir.
3. Qira`at arba’: ialah qira`at ‘asyrah yang lalu ditambah dengan empat qira’ah lagi, yang disandarkan kepada: Ibnu Muhaishin, Al-Yazidi, Hasan Al-Bashri dan Al-A’masy.
Dari tiga macam qira’at ini, qira’at sab’ah-lah yang paling masyhur dan terkenal, menyusul qira`at ‘asyrah.
Kedua, dari segi kualitas, berdasarkan penelitian al-Jazari, qira`at berdasarkan kualitas dapat dikelompokkan dalam lima bagian:
1. Qira`at Mutawatir, yaitu qira`at yang diriwayatkan oleh orang banyak dari orang banyak yang tidak mungkin terjadi kesepakatan di antara mereka untuk berbohong.
2. Qira`at Masyhur, yakni qira’at yang memilki sanad sahih, tetapi tidak sampai kepada kualitas mutawatir. Qira`at ini sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan Mushaf ‘Utsmani, masyhur dikalangan qurro`, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan al-Jazari, dan tidak termasuk qira`at yang keliru. Umpamanya, qira`at dari imam tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda. Sebagian perawi, misalnya, meriwayatkan dari imam tujuh itu, sementara yang lainnya tidak. Dan qira’at semacam ini, banyak digambarkan dalam kitab-ktab qira`at, misalya At-Taisir karya Ad-Dani, Qashidah karya Asy-Syatibi, Au’iyyah An-Nasyr fi Al-Qira’ah al-‘Asyr, dan An-Nasyr (kedua kitab yang terakhir ditulis Ibn Al-Jazari.
3. Qira`at Ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menylahi tulisan Mushaf ‘Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak memilki kemasyhuran, dan tidak dibaca sebagaimana ketetuan yang telah ditetapkan Al-Jazari. At-Turmudzi dalam kitab Jami’-nya dan Al-Hakim dalam Mustadrak-nya menempatkan qira`at seperti ini dalam bahasa khususnya, diantara riwayat yang dikeluarkan Al-Hakim melalui ‘Ashim Al-Jahdiri, dari Abu Bakah yang menyebutkan bahwa Nabi Saw. membaca ayat:
“Mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani yang indah”.(QS:55:76).
Qira’at versi Mushaf ‘Utsmani berbunyi:
4. Qira’at Syadz (menyimpang): yakni qira’at yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qira’at ini. Diantaranya adalah:
”Yang meguasai hari pembalasan.”
Qira’at versi Mushaf’ Utsmani berbunyi:
5. Qira’at Maudhu’(palsu), yaitu qira’at yang dibuat-buat dan disandarkan kepada seorang tanpadasar. Seperti qira’at yang disusun oleh Abu Al-Fadhl Muhammad bin Ja’far dan mensbtkannya kepada Imam Abu Hanifah. Misalnya:
Dengan merofa’kan lafdhul jalalah dan menashabkan hamzah dari kalimat (العلماء). Padahal qiro’qt yang benar adalah sebaliknya. Qira’at seperti ini tidak ada dasarnya. Dan imam Abu Hanifah bersih dari semua itu.
Qira’at jenis ini tidak boleh dipakai di dalam da di luar shalat. Bahkan harus ditolakdan diingkari keberadaannya.
6. Qira’at Syabih bi al-mudroj, yaitu qira’at yang mirip dengan mudroj dari macam-macam hadis. Dia adalah qira’at yang didalamnya ditambah kalimat sebagai tafsir dari ayat tersebut. Seperti qira’at Sa’ad bin Abi Waqqosh yang berbunyi surat an-nisa ayat 12 وَلهُ أَخٌ أوْ أ ُختٌ من أ ُمّ
Qira’at versi Utsmani berbunyi:
وَلهُ أَخٌ أوْ أ ُختٌ tanpa adanya penambahan (من أ ُمٍّ )
Tolak ukur yang dijadikan pegangan para ulama’ dalam menetapkan qira’at yang sahih adalah sebagai berikut:
a. Bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab, baik yang fasih atau paling fasih. Sebab, qora`at adalah sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan pada rasio.
b. Bersesuai dengan salah satu kaidah penulisan Mushaf ‘Ustman walaupun hanya kemungkinan (ihtimal) atau mendekati. Misalnya, lafadz maliki yaumi al-din (ما لك يوم الدين), dituliskan pada semua mushaf dengan membuang alif, sehingga dibaca pendek pada lafadz maliki (ملك)
c. Memiliki sanad yang sahih atau jalan periwayatannya benar, sebab qira`at merupakan sunnah yang diikuti yang didasarkan pada penukilan dan kesahihan riwayat.
B. Penyebab Perbedaan Qira’at
Sebab-sebab munculnya beberapa qira’at yang berbeda adalah:
1. Perbedaan qira’at Nabi: artinya dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya, Nabi memakai beberapa versi qira’at. Misalnya, Nabi pernah membaca surat As-Sajdah (32) ayat 17 sebagai berikut:
2. Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum Muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut dialek diantara mereka dalam mengucapkan kata-kata didalam al-Qur’an. Contohnya:
a. Ketika seorang Hudzail membaca dihadapan Rasul atta hin, pada hal ia menghendaki hatta hin. Rasul pun membolehkannya sebab memang begitulah orang Hudzail mengucapkan dan menggunakannya.
b. Ketika orang Asadi membaca di hadapan Rasul tiswaddu wujuh, huruf ta’ pada kata tiswaddu dikasrahkan. Dan alam i’had (dikasrahkan), Rasul pun membolehkanya, sebab demikianlah orang Asadi menggunakan dan mengucapkannya.
c. Ketika seorang Tamim mangucapkan hamzah pada suatu kata yang tidak diucapkan orang Quraisy, Rasul pun membolehkannya, sebab demikianlah orang Tamim menggunakan dan mengucapkanya.
d. Ketika seorang qari’ membawa wa idza qila lahum dan qhidha al-ma’u dengan menggabungkan dhammah kepada kasrah, Rasul pun membolehkannya sebab demikianlah ia menggunakan dan mengucapkanya.
3. Adanya riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
4. Adanya lahjah atau dialek kebahasaan dikalanghan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.
D. Urgensi Mempelajari Qira`at dan Pengaruhnya dalam Mengistinbath Hukum
Perbedaan anatara satu qira`ah dan qira`ah lainnya bisa terjadi perbedaan huruf, bentuk, kata, susunan kalimat, dan lain-lain. Perbedaan ini tentu sedikit atau banyak membawa perbedaan kepada makna yang selanjutnya berpengaruh kepada hokum diistinbath. Urgensi perbedaan qir`at terhadap hukum yaitu:
1. ilmu qira`at dapat menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati para ‘Ulama. Misalnya, berdasarkan surat al-Nisa` ayat 12, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Namun dalam qira`at syadz, Sa’ad bin Abi Waqash memberi tambahan ungkapan min umm (من أم), sehingga dapat memperkuat dan mengukuhkan ktetapan hukum yang telah disepakati.
2. menarjih hukum yang diperselisihkan para ‘Ulama.
3. menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbea.
4. menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula.
5. dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam al-Qur’an yang mungkin sulit dipahami maknanya.
Adapun pengaruh perbedaan qira`at dalam istinbath hukum, juga memperlihatkan pengaruh. Sebagaimana dikatakan al-Zarkasyi, bahwa perbedaan dengan qira`at timbullah perbedaan dalam hukum. Beliau menyebutkan masalah batalnya wudhu` orang yang disentuh (lawan jenis) dan tidak batalnya atas dasar perbedaan qira`at pada “kamu sentuh” dan “kamu saling menyentuh”.
D. AL-SAB’AH AHRUFIN DALAM AL-QUR’AN
Ada yang berpendapat bahwa qira`at tujuh identik dengan hadis Nabi SAW. yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf. Diantara hadis Nabi yang menyatakan hal tersebut adalah
”Rasul Allah saw. bersabda: sesungguhnya al-Qur’anini diturunkan dalam tujuh huruf, bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah bagimu dari al-Qur’an”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut Shubhi al-Shalih, bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam kajian ilmu tafsir ialah tujuh macam bacaan yang diajarkan oleh Rasulallah dan tidak identik dengan qira`at al-sab’ah yang popular dalam dunia Islam.Istilah tersebut (baca: qira`at al-sab’ah) baru lahir pada penghujunng abad II H, dipelopori Ibn Mujahid.
Sedangkan kata “ahruf”, dalam hadis nabi tersebut, secara lughawi merupakan bentuk jamak dari “harf” yang bermakna musytarak (mempunyai banyak arti) dapat berarti puncak, satu ejaan huruf, tepi sesuatu, bentuk, dan sebagainya. Karena itu, sab’ah ahruf bisa diartikan tujuh bahasa, tujuh ilmu, tujuh makna, tujuh bacaan, dan tujuh bentuk . Akan tetapi, pengertian hadis tersebut Hafizh Abu ‘Amr al-Dani mengandung dua kemungkinan. Pertama, berarti “tujuh cara membaca dari berbagai bahasa”. Kedua, berarti “bacaan” sesuai dengan kebiasaan bangsa Arab menamakan sesuatu dengan salah satu bagian terpenting yang terdapat padanya dan bacaan tidak mungkin terjadi tanpa adanya huruf .
Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan huruf-huruf yang tujuh ialah segi-segi lafadz yang bermacam-macam di dalam satu kalimat dan satu makna, seperti: halumma, aqbala, ta’aala, ‘ajal, asri’, fashaddi, dan nahwiyyi .
Namun sebagian besar ‘Ulama berpendapat bahwa tujuh huruf itu ialah tujuh bahasa, yang menurut Abu Ubayd terdiri atas bahasa: Quraisy, Hudzayl, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, dan Yaman.
Hal ini menunjukkan banyaknya kemungkinan cara membaca al-Qur’an yang dibolehkan untuk memberi kemudahan bagi kaum muslimin yang pada pokoknya terdiri dari orang-orang arab yang menggunakan lahjah pada masa turunnya al-Qur’an.
Untuk mewujudkan kemudahan ini maka terjadilah sebagian perubahan huruf, kata, kalimat, ataupun susunan kalimat dalam sebagian ayat-ayat al-Qur’an. Karena itu, ungkapan tentang al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf ini lebih tepat diartikan sebagai tujuh bentuk perbedaan bacaan al-Qur’an. Adapun secara garis besar bentuk perbedaan itu dapat diperhatikan sebagai berikut:
KESIMPULAN
Mempelajari qira`at dapat meringankan dan memudahkan bagi umat Islam semuanya. Khususnya kaum arab pada masa-masa awal yang diajak berdialog oleh al-Qur’an, padahal mereka terdiri dari banyak suku maupun dialeknya. Selain itu qira`at dapat membantu dalam bidang tafsir. Merupakan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad saw. atas umat-umat pendahulunya. Karena kitab-kitab yang dahulu turun hanya dengan satu segi dan dalam satu qira`ah, berbeda al-Qur’an.
Sejarah Penulisan Al-Quran : Siapa yang Melakukan,
Mengapa dan Bagaimana
Bagaimana proses al-Qur’an itu menjadi suatu Mushaf? Siapa yang menuliskan dan bagaimana bisa tersusun seperti yang ada saat ini?
Al-hamdulillah, wash-shalatu wassalamu ‘ala rasulillah, wa ba’du
Rasullullah SAW telah mengangkat para penulis wahyu Al-Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali bin Abi thalib ra, Muawiyah ra, ‘Ubai bin K’ab ra. dan Zaid bin Tsabit ra. Setia ada ayat turun, beliau memerintahkan mereka menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembar itu membantu penghafalan didalam hati.
Disamping itu sebagian sahabat juga menuliskan Al-Qur’an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh Rasulullah SAW. Mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Zaid bin Sabit ra. berkata,”Kami menyusun al-Qur’an dihadapan Rasulullah pada kulit binatang.” Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menulis Qur’an. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana tersebut. Dan dengan demikian, penulisan Qur’an ini semakin menambah hafalan mereka.
Selain itu malaikat Jibril as membacakan kembali ayat demi ayat Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW pada malam-malam bulan Ramadan pada setiap tahunnya. Abdullah bin Abbas ra. berkata,”Rasulullah adalah orang paling pemurah dan puncak kemurahan pada bulan Ramadan, ketika ia ditemui oleh malaikat Jibril as. Beliau SAW ditemui oleh malaikat Jibril as setiap malam, dimana Jibril membacakan Al-Qur’an kepada beliau, dan ketika itu beliau SAW sangat pemurah sekali.”
Para sahabat senantiasa menyodorkan Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Tulisan-tulisan Al-Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, diantaranya Ali bin Abi Thalib ra, Muaz bin Jabal ra, Ubai bin Ka’ab ra, Zaid bin Sabit ra. dan Abdullah bin Mas’ud ra. telah menghafalkan seluruh isi Al-Qur’an dimasa Rasulullah. Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit ra. adalah orang yang terakhir kali membacakan Al-Qur’an dihadapan Nabi.
Kemudian Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah disaat Al-Qur’an telah dihafal oleh ribuan para shahabat dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan diatas. Tiap ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh huruf. Tetapi memang benar bahwa Al-Qur’an belum lagi dijilid dalam satu mushaf yang menyeluruh. Sebab Rasulullah SAW masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Disamping itu terkadang pula terdapat ayat yang menasahh (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumnya.
Susunan atau tertib penulisan Al-Qur’an itu tidak menurut tertib turunnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan di tempat penulisan sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW. Beliau sendiri yang menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Andaikata (pada masa Nabi) Qur’an itu seluruhnya dikumpulkan diantara dua cover sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi.
Az-Zarkasyi berkata, “Al-Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Qur’an turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah.”
Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Sabit ra. yang mengatakan,”Rasulullah telah wafat sedang Al-Qur’an belum dikumpulkan sama sekali.”
Maksudnya ayat-ayat dalam surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf.
Al-Katabi berkata,”Rasulullah tidak mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya. Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar ra. atas pertimbangan usulan Umar ra.”
Pengumpulan Qur’an pada Masa Abu Bakar
Abu Bakar ra. menjalankan urusan Islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Al-Qur’an. Dalam peperangan ini tujuh puluh qari’ (penghafal Al-Qur’an) dari para sahabat gugur. Umar bin Khatab ra. merasa sangat kuatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar ra. dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak membunuh para qari’.
Di segi lain Umar merasa khawatir juga kalau-kalau peperangan di tempat-tempat lain akan membunuh banyak qari’ pula, sehingga Al-Qur’an akan hilang dan musnah, awalnya Abu Bakar ra. menolak usulan itu dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Umar ra. tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar ra. untuk menerima usulan tersebut, kemudian Abu Bakar ra. memerintahkan Zaid bin Sabit ra, mengingat kedudukannya dalam masalah qiraat, kemampuan dalam masalah penulisan, pemahaman dan kecerdasannya, serta kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali. Abu Bakar ra. menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar. Pada mulanya Zaid ra. menolak seperti halnya Abu Bakar ra. sebelum itu. Keduanya lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya Zaid ra. dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan Al-Qur’an itu.
Zaid ra. melalui tugasnya yang berat ini dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para qari’ dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian lembaran-lembaran (kumpulan) itu disimpan di tangan Abu Bakar ra. Zaid ra. berkata,”Abu Bakar ra. memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai korban perang Yamamah. Ternyata Umar sudah ada disana. Abu Bakar berkata: ‘Umar telah datang kepadaku dan mengatakan bahwa perang yamamah telah menelan banyak korban dari kalangan penghafal Al-Qur’an dan ia khawatir kalau-kalau terbunuhnya para penghafal Al-Qur’an itu juga akan terjadi di tempat-tempat lain, sehingga sebagain besar Al-Qur’an akan musnah. Ia menganjurkan agar aku memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Maka aku katakan kepadanya,”Bagaimana mungkin kita akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah?.” Tetapi Umar menjawab dan bersumpah,”Demi Allah, perbuatan tersebut baik.” Ia terus menerus membujukku sehingga Allah membukakan hatiku untuk menerima usulannya, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar.”
Zaid ra. berkata lagi,”Abu Bakar berkata kepadaku,”Engkau seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukan kemampuanmu. Engkau telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah. Oleh karena itu carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah.” “Demi Allah”, Kata Zaid lebih lanjut”, “Sekiranya mereka memintaku untuk memindahkan gunung, rasanya tidak lebih berat bagiku dari pada perintah mengumpulkan Al-Qur’an. Karena itu aku menjawab,”Mengapa anda berdua ingin melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah?.”
Abu Bakar menjawab,”Demi Allah itu baik.” Abu Bakar tetap membujukku sehingga Allah membukakan hatiku sebagaimana ia telah membukakan hati Abu Bakar ra. dan Umar ra. Maka aku pun mulai mencari Al-Qur’an. Kukumpulkan ia dari pelepah kurma, dari keping-kepingan batu dan dari hafalan para penghafal, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surah At-Taubah berada pada Abu Huzaimah Al-Anshari, yang tidak kudapatkan pada orang lain, yang berbunyi Sesungguhya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri… hingga akhir surah.
Lembaran-lembaran (hasil kerjaku) tersebut kemudian disimpan ditangan Abu Bakar ra. hingga wafatnya. Sesudah itu berpindah ke tangan Umar ra. sewaktu masih hidup dan selanjutnya berada di tangan Hafsah binti Umar ra.
Zaid bin Sabit ra. bertindak sangat teliti dan hati-hati. Ia tidak mencukupkan pada hafalan semata tanpa disertai dengan tulisan. Kata-kata Zaid dalam keterangan di atas,”Dan aku dapatkan akhir surah At-Taubah pada Abu Khuzaimah Al-Anshari yang tidak aku dapatkan pada orang lain”, tidaklah menghilangkan arti keberhati-hatian tersebut dan tidak pula berari bahwa akhir surah At-Taubah itu tidak mutawatir. Tetapi yang dimaksud ialah bahwa ia tidak mendapat akhir surah Taubah tersebut dalam keadaan tertulis selain pada Abu Khuzaimah. Sedangkan Zaid sendiri hafal dan demikian pula banyak diantara para sahabat yang menghafalnya.
Perkataan itu lahir karena Zaid berpegang pada hafalan dan tulisan, jadi akhir surah Taubah itu telah dihafal oleh banyak sahabat. Dan mereka menyaksikan ayat tersebut dicatat. Tetapi catatannya hanya terdapat pada Abu Khuzaimah al-Ansari.
Ibn Abu Daud meriwayatkan melalui Yahya bin Abdurrahman bin Hatib, yang mengatakan,”Umar datang lalu berkata,”Barang siapa menerima dari Rasulullah SAW sesuatu dari Al-Qur’an, hendaklah ia menyampaikannya.”
Mereka menuliskan Al-Qur’an itu pada lembaran kertas, papan kayu dan pelepah kurma. Dan Zaid ra. tidak mau menerima dari seseorang sebelum disaksikan oleh dua orang saksi. Ini menunjukkan bahwa Zaid ra. tidak merasa puas hanya dengan adanya tulisan semata sebelum tulisan itu disaksikan oleh orang yang menerimanya secara pendengaran langsung dari Rasulullah SAW, sekalipun Zaid ra. sendiri hafal. Beliau bersikap demikian ini karena sangat berhati-hati.
Dan diriwayatkan pula oleh Ibn Abu Daud melalui Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwa Abu Bakar berkata pada Umar dan Zaid, “Duduklah kamu berdua di pintu masjid. Bila ada yang datang kepadamu membawa dua orang saksi atas sesuatu dari kitab Allah, maka tulislah.”
Para perawi hadis ini orang-orang terpercaya, sekalipun hadits tersebut munqati,(terputus). Ibn Hajar mengatakan, “Yang dimaksudkan dengan dua orang saksi adalah hafalan dan catatan.”
As-Sakhawi menyebutkan dalam kitab Jamalul Qurra’, yang dimaksdukan ialah kedua saksi itu menyaksikan bahwa catatan itu ditulis dihadapan Rasulullah. Atau dua orang saksi itu menyaksikan bahwa catatan tadi sesuai dengan salah satu cara yang dengan itu Al-Qur’an diturunkan.
Abu Syamah berkata,”Maksud mereka adalah agar Zaid tidak menuliskan Al-Qur’an kecuali diambil dari sumber asli yang dicatat dihadapan Nabi, bukan semata-mata dari hafalan. Oleh sebab itu Zaid berkata tentang akhir surah At-Taubah,”Aku tidak mendapatkannya pada orang lain”, sebab ia tidak menganggap cukup hanya didasarkan pada hafalan tanpa adanya catatan.”
Kita sudah mengetahui bahwa Qur’an sudah tercatat sebelum masa itu, yaitu pada masa Nabi. Tetapi masih berserakan pada kulit-kulit, tulang dan pelepah kurma. Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar catatan-catatan tersebut dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surah yang tersusun serta dituliskan dengan sangat berhati-hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu Qur’an diturunkan. Dengan demikian Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan cara seperti ini, disamping terdapat pula mushaf-mushaf pribadi pada sebagian sahabat, seperti mushaf Ali ra, Ubai dan Ibn Mas’ud ra. Tetapi mushaf-mushaf itu tidak ditulis dengan cara-cara diatas dan tidak pula dikerjakan dengan penuh ketelitian dan kecermatan. Juga tidak dihimpun secara tertib yang hanya memuat ayat-ayat yang bacaannya tidak dimansuk dan secara ijma’ sebagaimana mushaf Abu Bakar.
Keistimewaan-keistimewaan ini hanya ada pada himpunan Al-Qur’an yang dikerjakan Abu Bakar. Para ulama berpendapat bahwa penamaan Al-Qur’an dengan ‘mushaf’ itu baru muncul sejak saat itu, yaitu saat Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an. Ali ra. berkata,”Orang yang paling besar pahalanya dalam hal mushaf ialah Abu Bakar ra. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakar ra. Dialah orang yang pertama mengumpulkan kitab Allah.”
Pengumpulan Qur’an pada Masa Usman
Penyebaran Islam bertambah dan para penghafal Al-Qur’an pun tersebar di berbagai wilayah. Dan penduduk di setiap wilayah itu mempelajari qira’at (bacaan) dari qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara pembacaan (qiraat) Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan ‘huruf ‘ yang dengannya Al-Qur’an diturunkan. Apabila mereka berkumpul di suatu pertemuan atau di suatu medan peperangan, sebagian mereka merasa heran dengan adanya perbedaan qiraat ini. Terkadang sebagian mereka merasa puas, karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah.
Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan keraguan kepada generasi baru yang tidak melihat Rasulullah sehingga terjadi pembicaraan bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan pada gilirannya akan menimbulkan saling bertentangan bila terus tersiar. Bahkan akan menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah yang demikian ini harus segera diselesaikan.
Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Iraq, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin al-Yaman ra. Beliau banyak melihat perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segara menghadap Usman dan melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya. Usman juga memberitahukan kepada Huzaifah ra. bahwa sebagian perbedaan itu pun akan terjadi pada orang-orang yang mengajarkan qiraat pada anak-anak. Anak-anak itu akan tumbuh, sedang diantara mereka terdapat perbedaan dalam qiraat. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran yang pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan tetap pada satu huruf.
Usman ra. kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah ra. untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar ra. yang ada padanya dan Hafsah ra. pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian Usman ra. memanggil Zaid bin Tsabit ra, Abdullah bin Az-Zubair ra, Said bin ‘As ra. dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam ra. Ketiga orang terakhir ini adalah orang quraisy, lalu memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agar apa yang diperselisihkan Zaid ra. dengan ketiga orang quraisy itu ditulis dalam bahasa Quraisy, karena Qur’an turun dengan logat mereka.
Dari Anas ra,”Huzaifah bin al-Yaman ra. datang kepada Usman ra, ia pernah ikut berperang melawan penduduk Syam bagian Armenia dan Azarbaijan bersama dengan penduduk Iraq. Huzaifah amat terkejut dengan perbedaan mereka dalam bacaan, lalu ia berkata kepada Utsman ra,”Selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan (dalam masalah kitab) sebagaimana peerselisihan orang-orang yahudi dan nasrani.”
Utsman ra. kemudian mengirim surat kepada Hafsah ra. yang isinya,”Sudilah kiranya anda kirimkan lembaran-lembaran yang berisi Al-Qur’an itu, kami akan menyalinnya menjadi beberapa mushaf, setelah itu kami akan mengembalikannya.”
Hafsah ra. mengirimkannya kepada Usman ra. dan Usman ra. memerintahkan Zaid bin Sabit ra, Abdullah bin Zubair ra, Sa’ad bin ‘As ra. dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam ra. untuk menyalinnya. Mereka pun menyalinnya menjadi beberapa mushaf. Usman ra. berkata kepada ketiga orang quraisy itu,”Bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Sabit ra. tentang sesuatu dari Al-Qur’an, maka tulislah dengan logat quraisy karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa quraisy.”
Mereka melakukan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Usman ra. mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada Hafsah ra. Kemudian Usman ra. mengirimkan salinan ke setiap wilayah dan memerintahkan agar semua Al-Qur’an atau mushaf lainnya dibakar. Dan ditahannya satu mushaf untuk dimadinah, yaitu mushafnya sendiri yang dikenal dengan nama “mushaf Imam.” Penamaan mushaf itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat dimana ia mengatakan, ” Bersatulah wahai umat-umat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf Qur’an pedoman).”
Umat pun menerima perintah dengan patuh, sedang qiraat dengan enam huruf lainnya ditinggalkan. Keputusan ini tidak salah, sebab qiraat dengan tujuh huruf itu tidak wajib. Seandainya Rasulullah mewajibkan qiraat dengan tujuh huruf itu semua, tentu setiap huruf harus disampaikan secara mutawatir sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini menunjukkan bahwa qiraat dengan tujuh huruf itu termasuk dalam katergori keringanan. Dan bahwa yang wajib ialah menyampaikan sebagian dari ketujuh huruf tersebut secara mutawatir dan inilah yang terjadi.
Ibn Jarir mengatakan berkenaan dengan apa yang telah dilakukan oleh Usman: ‘Ia menyatukan umat Islam dengan satu mushaf dan satu huruf, sedang mushaf yang lain disobek. Ia memerintahkan dengan tegas agar setiap orang yang mempunyai mushaf ‘berlainan’ dengan mushaf yang disepakati itu membakar mushaf tersebut, umat pun mendukungnya dengan taat dan mereka melihat bahwa dengan begitu Usman telah bertindak sesuai dengan petunjuk dan sangat bijaksana. Maka umat meninggalkan qiraat dengan enam huruf lainnya sesuai dengan permintaan pemimpinnya yang adil itu, sebagai bukti ketaatan umat kepadanya dan karena pertimbangan demi kebaikan mereka dan generasi sesudahnya.
Dengan demikian segala qiraat yang lain sudah dimusnahkan dan bekas-bekasnya juga sudah tidak ada. Sekarang sudah tidak ada jalan bagi orang yang ingin membaca dengan ketujuh huruf itu dan kaum muslimin juga telah menolak qiraat dengan huruf-huruf yang lain tanpa mengingkari kebenarannya atau sebagian dari padanya. Tetapi hal itu bagi kebaikan kaum muslimin itu sendiri. Dan sekarang tidak ada lagi qiraat bagi kaum muslimin selain qiraat dengan satu huruf yang telah dipilih olah imam mereka yang bijaksana dan tulus hati itu. Tidak ada lagi qiraat dengan enam huruf lainya.
Apabila sebagian orang lemah pengetahuan bertanya bagaimana mereka boleh meninggalkan qiraat yang telah dibacakan oleh Rasulullah dan diperintahkan pula membaca dengan cara itu?, Maka jawab ialah bahwa perintah Rasulullah kepada mereka untuk membacanya itu bukanlah perintah yang menunjukkan wajib dan fardu, tetapi menunjukkan kebolehan dan keringanan (rukshah). Sebab andaikata qiraat dengan tujuh huruf itu diwajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap huruf dari ketujuh huruf itu wajib pula bagi orang yang mempunyai hujjah untuk menyampaikannya dan keraguan harus dihilangkan dari para qari.
Dan karena mereka tidak menyampaikan hal tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam masalah qiraat mereka boleh memilih, sesudah adanya orang yang menyampaikan Al-Qur’an di kalangan umat yang penyampaiannya menjadi hujjah bagi sebagian ke tujuh huruf itu.
Jika memang demikian halnya maka mereka tidak dipandang telah meninggalkan tugas menyampaikan semua qiraat yang tujuh tersebut, yang menjadi kewajigan bagi mereka untuk menyampaikannya. Kewajiban mereka ialah apa yang sudah mereka kerjakan itu. Karena apa yang telah mereka lakukan tersebut ternyatasangat berguna bagi islam dan kaum muslimin. Oleh karena itu menjalankan apa yang menjadi kewajiban mereka sendiri lebih utama dari pada melakukan sesuatu yang malah akan lebih merupakan bencana terhadap islam dan pemeluknya dari pada menyelamatkannya.
Perbedaan antara Pengumpulan Abu Bakar dengan Usman
Dari teks-teks di atas jelaslah bahwa pengumpulan mushaf oleh Abu Bakar ra. berbeda dengan pengumpulan yang dilakukan Usman ra. dalam motif dan caranya. Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Al-Qur’an karena banyaknya para penghafal Al-Qur’an yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan korban. Sedang motif Usman ra. dalam karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an yang disaksikannnya sendiri di daerah-daerah dan mereka saling menyalahkan antara satu dengan yang lain.
Pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar ra. ialah memindahkan satu tulisan atau catatan Al-Qur’an yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang, dan pelepah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya yang tersusun serta terbatas dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya serta terbatas dengan bacaan yang tidak dimansukh dan tidak mencakup ke tujuh huruf sebagaimana ketika Qur’an itu diturunkan.
Al-Haris al-Muhasibi mengatakan bahwa yang masyhur di kalangan orang banyak ialah bahwa pengumpul Al-Qur’an itu Usman ra. Padahal sebenarnya tidak demikian, Usman ra. hanyalah berusaha menyatukan umat pada satu macam (wajah) qiraat, itupun atas dasar kesepakatan antara dia dengan kaum muhajirin dan anshar yang hadir dihadapannya. Serta setelah ada kekhawatiran timbulnya kemelut karena perbedaan yang terjadi karena penduduk Iraq dengan Syam dalam cara qiraat. Sebelum itu mushaf-mushaf itu dibaca dengan berbagai macam qiraat yang didasarkan pada tujuh huruf dengan mana Qur’an diturunkan. Sedang yang lebih dahulu mengumpulkan Qur’an secara keseluruhan (lengkap) adalah Abu Bakar as-Sidiq. Dengan usahanya itu Usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga isi Qur’an dari penambahan dan penyimpangan sepanjang zaman.
Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah
A. Pengertian Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah
Secara bahasa kata Tafsir ( تفســير ) berasal dari kata فَسَّرَ yang mengandung arti: menjelaskan, menyingkap dan menampak-kan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata الفســر berarti menyingkapkan sesuatu yang tertutup [Al-Qaththan, 1992: 450 - 451].
Menurut istilah, Tafsir berarti Ilmu untuk mengetahui kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammas Saw. dan penjelasan maknanya serta pengambilan hukum dan makna-maknanya [Az-Zarkasyi, 1972: I, 13]. Definisi lain tentang pengertian Tafsir dikemukakan oleh As-Shabuni [1985: 66], bahwa Tafsir adalah Ilmu yang membahas tentang Al-Quranul-Kariem dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
Sedangkan pengertian Ta’wil, menurut sebagian ulama, sama dengan Tafsir. Namun ulama yang lain membedakannya, bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173]. Sehubungan dengan itu, Asy-Syathibi [t.t.: 100] mengharuskan adanya dua syarat untuk melakukan penta’wilan, yaitu: (1) Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya [tidak bertentangan dengan syara’/akal sehat], (2) Makna yang dipilih sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Alquran].
Dari pengertian kedua istilah ini dapat disimpulkan, bahwa Tafsir adalah penjelasan terhadap makna lahiriah dari ayat Alquran yang penegrtiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki oleh Allah; sedangkan ta’wil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbathkan dari ayat Alquran berdasarkan alasan-alasan tertentu.
Sedangkan Tarjamah, secara bahasa berati memindahkan lafal dari suatu bahasa ke bahasa lain. Dalam hal ini, memindahkan lafal ayat-ayat Alquran yang berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Dalam pelaksanaannya, tarjamah terbagi kepada tiga bentuk:
1. Tarjamah Harfiah/Lafzhiah: yaitu memindahkan lafal dari suatu bahasa ke bahasa lain dengan cara memindah bahasakan kata-demi kata, serta tetap mengikuti susunan (uslub) bahasa yang diterjemahkan .
2. Tarjamah Ma’nawiah/Tafsiriah: Sebagian ulama ada yang membedakan antara tarjamah ma’nawiah dengan tarjamah tafsiriah, sedangkan sebagian lainnya menganggap keduanya adalah sama.
B. Macam-macam tafsir berdasarkan sumbernya
Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi kepada dua bagian: Tafsir Bil-Ma’tsur dan Tafsir Bir-Ra’yi. Namun sebagian ulama ada yang menyebutkannya tiga bagian.
1. Tafsir Bilma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Alquran dan/atau As-Sunnah sebagai sumber penafsirannya.
2. Tafsir Bir-Ra’yi adalah Tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber penafsirannya.
3. Tafsir Bil Isyarah, Penafsiran Alquran dengan firasat atau kemampuan intuitif yang biasanya dimiliki oleh tokoh-tokoh shufi, sehingga tafsir jenis ini sering juga disebut sebagai tafsir shufi.
ad.1. Contoh Kitab-kitab Tafsir Bil-Ma’tsur antara lain:
a. Tafsir Al-Qur’anu al-‘Azhim (القرآن العظيم), karangan Abu al-Fida’ Ismail bin Katsir al-Qarsyi al-Dimasyqy, terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir (w. 774H.)
b. Tafsir Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an(جامع البيان), karangan Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabary, dikenal dengan sebutan Ibnu Jarir At-Thabary (225 H. – 310 H.)
c. Tafsir Ma’alim al-Tanzi, (معالم التنزيل), dikenal dengan sebutan al-Tafsir al-Manqul, karangan al-imam al-Hafizh al-Syahir Muhyi al-Sunnah Abu Muhammad bin Husein bin Mas’ud bin Muhammad bin al-Farra’ al-Baghawy al-Syafi’iy, dikenal dengan sebutan Imam al-Baghawy (w. 462 H.)
d. Tafsir Tanwir al-Miqyas Min Tafsir Ibn ‘Abbas(التنوير المقياس من تفسير ابن عباس), karangan Majd al-din Abu al-ThahirMuhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar al-Syairazi al-Fairuzabadi, dikenal dengan sebutan al-fairūzâbâdi (Lahir tahun 729 H.)
e. Tafsir al-Bahr (البحر), karangan al-‘Allamah Abu al-Layts al-Samarqandy
ad.2. Contoh kitab-kitab Tafsir Bil-Ra’yi:
C. Macam-macam Tafsir berdasarkan corak penafsirannya
Corak penafsiran yang dimaksud dalam hal ini adalah bidang keilmuan yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufassir memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya pun memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya.
Berdasarkan corakm penafsirannya, kitab-kitab tafsir terbagi kepada beberapa macam. Di antara sebagai berikut:
1. Tafsir Shufi/Isyari, corak penafsiran Ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir Isyariy. Nama-nama kitab tafsir yang termasuk corak shufi ini antara lain:
a. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, karya Sahl bin Abdillah al-Tustari. Dikenal dengan Tafsir al-Tustasry.
b. Haqaiq al-Tafsir, Abu Abdirrahman al-Silmy, terkenal dengan sebutan Tafsir al-Silmy.
c. Al-Kasf Wa al-Bayan, karya Ahmad bin Ibrahim al-Naisabury, terkenal dengan nama Tafsir al-Naisabury.
d. Tafsir Ibnu Araby, karya Muhyiddin Ibnu Araby, terkenal dengan nama Tafsir Ibnu ‘Araby.
e. Ruh al-Ma’ani, karya Syihabuddin Muhammad al-Alusy, terkenal dengan nama tafsir al-Alusiy. [Ash-Shabuni, 1985: 2001]
2. Tafsir Fiqhy, corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fiqih. Dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak fiqhi ini termasuk tafsir bilma’tsur. Kitab-kitab tafsir yang termasuk corak ini antara lain:
a. Ahkam al-Qur’an, karya al-Jashshash, yaitu Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Razi, dikenal dengan nama Tafsir al-Jashshash. Tafsir ini merupakan tafsir yang penting dalam fiqh madzhab Hanafi.
b. Ahkam al-Qur’an, karya Ibnu ‘Araby, yaitu Abu Bkar Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Mu’afiri al-Andalusiy al-Isybily. Kitab tafsir ini menjadi rujukan penting dalam Ilmu fiqh bagi pengikut madzhab Maliki.
c. Al-Jami’ Li ahkam al-Qur’an, karya Imam al-Qurthuby, yaitu Abdu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Anshary al-Khazrajy al-Andalusy. Kitab ini dikenal dengan nama kitab Tafsir al-Qurthuby, yang pendapat-pendapatnya tentang fiqh cendrung pada pemikiran madzhab Maliki.
d. Al-Tafsirah al-Ahmadiyyah Fi Bayan al-Ayat al-Sayari’ah, karya Mula Geon
e. Tafsir Ayat al-Ahkam, karya Muhammad al-Sayis,
f. Tafsir Ayat al-Ahkam, karya Manna’ al-Qaththan
g. Tafsir Adhwa’ al-Bayan, karya Syeikh Muhammad al-Syinqitiy. [Manna’ al-Qaththan, 1992: 511 – 515]
3. Tafsir Falsafi, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan filsafat, termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian Ilmu Kalam. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak falsafi ini termasuk tafsir bir-Ra’yi. Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah:
a. Mafatih al-Ghaib, karya Imam Fkhruddin al-Razi yang lebih dikenal dengan nama tafsir al-Razi. Tafsir ini bercorak kalam aliran Ahlus-Sunnah.
b. Tanzih al-Qur’an ‘An al-Matha’in, karya al-Qadhi Abdul Jabbar. Tafsir ini bercorak kalam aliran Mu’tazilah. Dilihat dari segi metode yang digunakannya, tafsir ini termasuk tafsir Ijmaliy. Sedangkan dari segi sumber penafsirannya ia lebih banyak menggunakan akal, karena itu termasuk Tafsir Bir-Ra’yi.
c. Al-Kasysyaf ‘An Haqaiq al-Tanzil Wa ‘Uyun al-Aqawil Fi Wujuh al-Ta’wil, karya al-Zamakhsyary. Kitab ini dikenal dengan nama Tafsir al-Kasysyaf. Corak penafsirannya adalah kalam aliran Mu’tazilah
d. Mir’at al-Anwar Wa Misykat al-Asrar, dikenal dengan Tafsir al-Misykat, karya Abdul Lathif al-Kazarani. Tafsir ini bercorak kalam aliran Syi’ah
e. At-Tibyan al-Jami’ Li Kulli ‘Ulum al-Qur’an, karya Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan bin ‘Ali al-Thusi. Tafsir ini bercorak kalam aliran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah.
4. Tafsir Ilmiy, yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak ‘Ilmiy ini juga termasuk tafsir bir-Ra’yi. Salah satu contoh kitab tafsir yang bercorak ‘ilmiy adalah kitab Tafsir al-Jawahir, karya Thanthawi Jauhari.
5. Tafsir al-Adab al-Ijtima’i, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial kemasyara-katan. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak al-Adab al-Ijtima’ ini termasuk tafsir bir-Ra’yi. Namun ada juga sebagian ulama yang mengkategorikannya sebagai tafsir Bil-Izdiwaj (tafsir campuran), karena prosentase atsar dan akal sebagai sumber penafsiran dilihatnya seimbang.
Salah satu contoh tafsir yang bercorak demikian ini adalah Tafsir Al-Manar, buah pikiran Syeikh Muhammad Abduh yang dibukukan oleh Muhammad Rasyid Ridha.
D. Macam-macam Tafsir berdasarkan metodenya
Para ulama ahli Ulum al-Qur’an telah membuat klasifikasi tafsir berdasarkan metode penafsirannya menjadi empat macam metode. Yaitu: (1) Metode Tahlily, (2) Metode Ijmaliy, (3) Metode Muqaran, dan (4) Metode Maudhu’i. Keempat metode ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Metode Tahlily (metode Analisis)
Yaitu metode penafsiran ayat-ayat Alquran secara analitis dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya sesuai dengan bidang keahlian mufassir tersebut. Uraiannya, antara lain menyangkut pengertian kosa kata (makna mufradat), keserasian redaksi dan keindahan bahasanya (fashahah dan balaghah), keterkaitan makna ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayuat sebelum maupun sesudahnya (munasabah al-ayat) dan sebab-sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul). Demikian pula penafsiran dengan metode ini melihat keterkaitan makna ayat yang ditafsirkannya dengan penjelasan yang pernah diberikan oleh Nabi, para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama sebelumnya yang telah lebih dahulu memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut. Karena itu, kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini pada umumnya memerlukan volume kitab yang sangat besar, berjilid-jilid sampai 30 jilid banyaknya.
Penafsiran dengan metode ini dilakukan secara berurutan dan berkesinambungan terhadap ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutannya yang terdapat dalam mushhaf ‘Utsmani yang ada sekarang. Mulai dari awal surat al-Fatihah sampai dengan akhir surat an-Nas.
2. Metode Ijmaly (metode Global)
Yaitu penafsiran Alquran secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar, tapi mencakup makna yang dikehendaki dalam ayat. Dalam hal ini mufassir hanya menjelaskan arti dan maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan artinya sebatas makna yang terkait secara langsung, tanpa menyinggung hal-hal tidak terkait secara langsung dengan ayat. Tafsir dengan metode ini sangat praktis untuk mencari makna mufradat kalimat-kalimat yang gharib dalam Alquran. Di antara kitab-kitab tafsir yang termasuk menggunakan metode Ijmali ini antara lain:
a) Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, karya Muhammad Farid Wajdi,
b) Al-Tafsir al-Wasith, Produk Lembaga Pengkajian Universitas Al-Azhar, Kaero.
c) Tafsir al-Jalalain, karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahally,
d) Shafwah al-Bayan Li Ma’ani al-Qur’an, karya Syeikh Husanain Muhammad Makhlut,
e) Tafsir al-Qur’an, karya Ibnu Abbas yang dihimpun oleh Fayruz Abady,
f) At-Tafsir al-Muyassar, karya Syeikh Abdul Jalil Isa,
g) Taj al-Tafasir, karya Muhammad Utsman al-Mirghani [al-‘Aridh, 1992: 74; Baidan, 1998: 13].
3. Metode Muqaran (metode Komparasi/Perbandingan)
Tafsir dengan metode muqaran adalah menafsirkan Alquran dengan cara mengambil sejumlah ayat Alquran, kemudian mengemukakan pendapat para ulama tafsir dan membandingkan kecendrungan para ulama tersebut, kemudian mengambil kesimpulan dari hasil perbandingannya [al-‘Aridh, 1992: 75]. Namun menurut Baidan [1998: 65], Metode komparatif (muqaran) ialah:
a) Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Alquran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih; dan atau memiliki redaksi yang berbeda tentang satu kasus yang sama,
b) Membandingkan ayat Alquran dengan Hadits, yang sep-intas terlihat bertentangan,
c) Membandingkan pendapat berbagai ulama tafsir dalam menafsirkan suatu ayat.
4. Metode Maudhu’i (metode Tematik)
Yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir untuk menjelaskan konsep Alquran tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Alquran yang membicarakan tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat tersebut dikaji secara komprehensif, mendalam dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya. Baik dari segi asbabun nuzulnya, munasabahnya, makna kosa katanya, pendapat para mufassir tentang makna masing-masing ayat secara parsial, serta aspek-aspek lainnya yang dipandang penting. Ayat-ayat tersebut dipandang sebagai satu kesatuan yang integral membicarakan suatu tema (maudhu’) tertentu didukung oleh berbagai fakta dan data, dikaji secara ilmiah dan rasional.
Demikian luasnya sudut pandang yang digunakan dalam metode tafsir ini, maka sebagian ulama menyebutnya sebagai metode yang paling luas dan lengkap. Bahkan ketiga metode yang disebutkan sebelumnya, semuanya diterapkan secara intensif dalam metode ini.